Postingan

Pesantren Lintas Agama, Sebagai Bentuk Toleransi?

Pesantren Lintas Agama, Sebagai Bentuk Toleransi?  Oleh: Ameena N  Kyai Muhammad Muchtar Mujtaba Mu’thi (pimpinan Pesantren Majmaal Bahrain Hubbul Wathon Mial Iman Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur) dan didampingi oleh Romo Yohanes (pendeta Kristen Ortodoks), Romo Salam Raharjo (pemuka agama Hindu), Romo Wisnu Sugiman (pemuka agama Katolik), Pinandita Edi Sunyoto (pemuka agama Budha), memberikan pembekalan khusus bagi sekitar 280 calon guru pendidik. Mereka menerima pembekalan pelajaran Jatidiri Bangsa Indonesia Merajut Perdamaian Nusantara menuju perdamaian dunia. Lalu setelahnya, baru dibukalah pendaftaran umum untuk calon santri lintas agama.  Pesantren pertama di Indonesia yang mengusung konsep lintas agama ini diresmikan pada tahun 2023 kemarin. Tujuan dari pesantren lintas agama ini didirikan adalah agar bisa mencetak generasi Indonesia yang bersyukur kepada Tuhan atas karunia tanah air dan negara Republik Indonesia, terlepas dari apa pun agama dan keyakinannya sehingga dapat terc

Tidak Meyakini Allah Di Atas ‘Arsy, Apakah Keluar Dari Islam (Kafir) ?

Tidak Meyakini Allah Di Atas ‘Arsy, Apakah Keluar Dari Islam (Kafir) ?  Oleh : Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله  1. Saudara Muslim Yang Berbeda Aqidah.  Seorang Muslim  yang berbeda aqidah, termasuk masalah dalam asma wa sifat, tidak dapat dikatakan kafir kecuali di dalam perkara yang menjadikan kemurtadan atau keluar dari Islam.  Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahulloh berkata:  Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahulloh berkata: “Menghukumi dengan takfir dan tafsiq (menyatakan seseorang sebagai orang kafir dan orang fasiq) bukan diserahkan kepada kita, tetapi hal itu diserahkan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga hal itu termasuk hukum-hukum agama yang tempat kembalinya adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dalam hal ini wajib sangat berhati-hati. Tidaklah dikafirkan dan difasiqkan kecuali orang yang ditunjukkan Al-Kitab dan As-Sunnah atas kekafirannya atau kefasiqannya. Dan hukum asal seorang muslim yang nyata (keislamannya), yang lurus, adalah tetap pa

Zikir Istimewa: “Subhanallahi wa bihamdihi ‘adada khalqihi wa ridha nafsihi wa zinata ‘arsyihi wa midada kalimatihi”

Gambar
Zikir Istimewa: “Subhanallahi wa bihamdihi ‘adada khalqihi wa ridha nafsihi wa zinata ‘arsyihi wa midada kalimatihi”  Dari Ummul mu’minin yaitu Juwairiyah binti al-Harits radhiallahu ‘anha bahwasanya Nabi ﷺ keluar dari rumahnya pada pagi hari ketika bersembahyang Subuh. Waktu itu Juwairiyah ada di dalam masjidnya. Kemudian beliau Nabi ﷺ kembali setelah melakukan shalat Dhuha, sedangkan Juwairiyah masih duduk. Kemudian beliau Nabi ﷺ bersabda: “Engkau masih tetap dalam keadaan di waktu tadi saya tinggalkan,” Juwairiyah menjawab, “Ya.” Nabi ﷺ lalu bersabda: “Saya telah mengucapkan setelah meninggalkan engkau tadi empat macam kalimat, sebanyak tiga kali, andaikata kalimat-kalimat itu ditimbang dengan kalimat-kalimat yang engkau ucapkan sejak hari ini tadi, niscaya kalimat-kalimat yang saya ucapkan itu menang daripada yang engkau ucapkan. Kalimat-kalimat itu ialah: “Subhanallah wa bihamdihi ‘adada khalqihi wa ridha nafsihi wa zinata ‘arsyihi wa midada kalimatihi – Maha Suci Allah dan denga

Hukum Menambahkan Kata “Sayyidina” dalam Ucapan Shalawat

Ust.  Prof. H. Abdul Somad Batubara, Lc., D.E.S.A., Ph.D., Datuk Seri Ulama Setia Negara menganjurkan membaca tambahan kata "sayyidina" pada shalawat dalam shalat dan azan, simak video berikut : Simak juga penjelasan Ust. Khalid Basalamah pada video berikut : Hukum Menambahkan Kata “Sayyidina” dalam Ucapan Shalawat Tambahan ‘sayyidina’ pada shalawat  Pertama : Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, kekasih Tuhan semesta alam, yang akan menempati maqam mahmud, nabi yang menebarkan rahmah, rasul hidayah, junjungan kita, penghulu kita. Kita sepakat, Beliaulah sayyiduna (pemimpin kita). Semoga Allah memberikan shalawat kepada beliau.  Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa beliau adalah sayyid seluruh manusia. Beliau bersabda:  أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ  “Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali t

Inilah Hukum Shalat Memandang Ka’bah bagi yang Berada di Masjidil Haram

Inilah Hukum Shalat Memandang Ka’bah bagi yang Berada di Masjidil Haram  Ketika seorang muslim shalat, ia diperintahkan untuk melihat tempat sujud.  Tetapi, hal itu berbeda jika muslim shalat di Masjidil Haram dan bisa melihat Ka’bah secara langsung.  Sebab, saat seseorang shalat di Masjidil Haram dan memungkinkan melihat Ka’bah, ia diperintahkan untuk shalat dengan melihat Ka’bah.  Hal itu bisa disimak dari firman Allah SWT di Surat Al Baqarah ayat 149,  وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ  Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al Baqarah: 149) Dan firman Allah SWT di Surat Al Baqarah ayat 144,  قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِ

Fatwa MUI: Salam Lintas Agama Bukanlah Makna Toleransi

Gambar
Fatwa MUI: Salam Lintas Agama Bukanlah Makna Toleransi  Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai panduan hubungan antarumat beragama, termasuk hukum salam lintas agama. Fatwa itu merupakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.  Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia secara resmi ditutup. Salah satu hasilnya adalah panduan hubungan antarumat beragama, ujar Ketua MUI Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, Jumat (31/5/2024). Terkait fikih salam lintas agama, MUI tidak membenarkan pengucapan salam berbagai agama dengan alasan toleransi. Hal tersebut bukanlah makna toleransi. Selengkapnya simak video diatas atau baca infografis berikut : Sumber :  https://infografis.sindonews.com/

MEMBEDAH DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI

Gambar
MEMBEDAH DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI Termasuk bagian ideologi tarekat Sufi, komitmen mereka dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang telah diciptakan dan ditetapkan oleh para pemimpin mereka. Selanjutnya para jamaah golongan ini terikat untuk membaca dan mengamalkan ketentuan internal tersebut yang –sayangnya- tidak pernah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian dzikir menjadi tiga jenis; yaitu dzikir ‘âmmah (dzikir orang umum), dzikir khâsh (dzikir orang khusus), dzikir khâshsshatil khâshshah (dzikir orang-orang paling utama). Anehnya dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mereka kategorikan dalam jenis dzikir pertama (dzikir âmmah) yang merupakan tingkatan dzikir paling rendah dalam pandangan mereka. Dzikir yang dimaksud ialah ucapan lâ ilâha illallâh. Level dzikir kedua, berdzikir dengan isim mufrad (nama tunggal) yaitu den