Kitab Kuning: Pembentuk Pandangan Hidup ala Pesantren
Kitab Kuning: Pembentuk Pandangan Hidup ala Pesantren
Kitab kuning atau dalam istilah lain kitab ‘gundul’ merupakan salah satu karakteristik keilmuan Islam klasik yang ada di pesantren. Kitab ini mampu berdialog dengan zaman panjang segala kearifan lokal yang beragam. Kemampuan kitab kuning ini tidak hanya bertumpu dalam keilmuan, melainkan juga mampu menghadapi dan menyelesaikan problematika sosial.
والنحو أولى أولا أن يعلما # إذ الكلام دونه لن يفما
Tata bahasa atau gramatika Arab lebih utama untuk dipelajari, karena teks (kitab kuning) tidak akan dipahami tanpa itu (nahwu dan sharaf).
Problem solving yang banyak ditawarkan kitab kuning mampu menjawab segala macam persoalan sosial, politik, budaya dan lain-lain. Seperti bahtsul masail yang menjadi tradisi rutin di pesantren (aswaja-asy'ariyah,red), yang mana kitab selalu menjadi rujukan dan pijakan utama setelah Alquran dan Hadis. Jika dalam setiap kesimpulan hukum tidak dilengkapi dalil kitab kuning atau ijma’ maka itu tidak bisa dijadikan keputusan hukum yang sah dan kredibel.
Kitab kuning selalu memberikan pencerahan dan pemahaman agama melampaui teks, dan santripun dalam memahami kitab kuning tidak berhenti di teks (menurut pemahaman aswaja-asy'ariyah,red). Maka bukan sesuatu yang langka jika banyak dari kalangan santri yang kritis, jeli, teliti, dan penasaran dengan sesuatu yang baru dan yang belum pasti. Tidak sedikit juga dari kaum santri yang secara tidak sadar mereka mengikuti teori Socrates pada bagian tugas filsafat “selalu mempermasalahkan jawaban” artinya kehadiran santri dan kitab kuning mampu memberikan pemahaman dari berbagai sudut pandang dan wawasan yang komprehensif.
Ilmu yang terdapat dalam kitab kuning adalah nilai-nilai moral antara lain, inklusivitas dan toleransi. Maka perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan para ulama terdahulu menunjukkan pluralitas pandangan yang sama sekali bukan hal tabu. Seperti perbedaan antara ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah, Hanafiyah dan antara teologi Asya’riyah dan Maturidiyah yang menjadi rujukan umum dari pesantren.
Yang jauh lebih penting dan menarik, kitab kuning merupakan manifestasi dari khazanah keilmuan aktor intelektual dari produk ijtihadi atau hasil dialog dengan zaman. Keberadaan kitab kuning merupakan upaya kontekstualisasi nilai dan ajaran islam ke dalam kehidupan konkret melalui proses negosiasi dengan realitas kehidupan. Seperti diktum pendapat dan keputusan hukum Imam Syafi’i selama masih di Irak (qoul qodim) dan ketika sudah menetap di Mesir (qoul jadid) ini salah satu contoh kecil yang tak bisa dielakkan.
Dari masa ke masa, pesantren (aswaja-asy'ariyah,red) selalu melihat perkembangan dan merespons kehidupan untuk mengeksplorasi keilmuan dan menciptakan produk hukum. Dengan pendekatan yang jauh dari sekadar pemahaman teks dan literalisme menunjukkan bahwa pesantren (aswaja-asy'ariyah,red) dengan kitab kuning yang menjadi ciri khas sangat terbuka dengan beragam pandangan, toleransi, moderasi. Ini salah satu karakteristik pesantren yang dapat mewarnai dan bisa menampilkan wajah Islam yang sebenarnya (???-!).
Mengenal Kitab Pesantren : Kitab Sihir Arab Klasik, The Picatrix
Dalam surat Al-Baqarah, Allah swt secara eksplisit melarang menggunakan ilmu sihir. Sihir itu berbahaya dan tidak bermanfaat, kurang lebih demikian firman Allah ketika menjelaskan kisah Harut dan Marut.
Namun meskipun demikian, beberapa ulama – seperti Al-Razi – membolehkan mempelajari sihir karena seluruh ilmu pada hakikatnya diturunkan oleh Allah. Apapun yang diturunkan oleh Allah adalah hal yang mulia. Namun tetap, ini hanya soal belajar. Untuk mengamalkan sihir, maka hukumnya tetap haram.
Karena sihir termasuk ilmu. Dan ilmu itu mulia. Maka tak heran jika banyak buku-buku mantra sihir dalam dunia Islam. Buku demikian ini biasa disebut dengan wifq, huruf, dan lain-lain. Di antara buku yang demikian itu adalah buku berjudul Ghayat al-Hakim. Beberapa kalangan menyebut bahwa buku ini ditulis oleh Maslamah Al-Majrithi (w. 1005 M), seorang ilmuwan dari Andalusia.
Buku ini sangat masyhur di Eropa pada abad pertengahan. Pada abad 13, Alfonso si Bijak, seorang Raja dari Kastila, memerintahkan agar buku ini diterjemah ke dalam Bahasa Spanyol. Lalu dari Bahasa Spanyol, buku ini diterjemah ke dalam Bahasa Latin. Maka jadilah buku ini menyebar ke seluruh penjuru Eropa dan dikenal dengan nama The Picatrix.
Buku ini berisi tentang mantra-mantra dalam berbagai hal. Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang hubungan benda angkasa dengan kejadian di bumi. Tak jarang pula buku ini menyebutkan benda-benda talismanik (طلسمية) alias benda yang diyakini memiliki daya magis.
Mantra dari buku ini mayoritas – sejauh pembacaan penulis atas beberapa bagian buku ini – tidak berasal dari Alquran atau pun hadis. Justru beberapa di antaranya berasal dari literatur Yunani atau pun Babilonia kuno. Maka tak heran jika beberapa ulama banyak mengharamkan membaca kitab ini.
Misalnya, untuk memikat hati seorang kekasih, maka, ujar Al-Majrithi, ia harus menggambar gambar tertentu di jam-jam tertentu. Jika ia melakukannya, maka gadis yang ingin ia pikat pasti akan tergila-gila padanya. Tentu saja, buku semacam ini laris di Eropa. Ilmu astrologi pun menjadi cukup populer berkat kitab ini.
Demikianlah sekilas tentang kitab Ghayat al-Hakim.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar