Sejarah : Permulaan Hiasab dan Hukumnya Dalam Ibadah Puasa Ramadhan
CARA MENENTUKAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN MENURUT SYARI'AT & TENTANG HISAB ADALAH CARA SYI'AH DALAM PENETAPAN INI.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah karena kalian telah melihat bulan dan berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah melihatnya, apabila kalian terhalangi untuk melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
BEBERAPA PERMASALAHAN:
Pertama: Peringatan bagi Kaum Muslimin untuk Mengikuti Tuntunan Syari’at dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan
Hadits yang mulia di atas adalah kata putus dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam permasalahan cara menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya. Maka sudah sepatutnya kaum muslimin untuk selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar selamat dari kesesatan dan perselisihan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa: 59]
Kedua: Dua Cara Penetapan Awal Ramadhan
Hadits yang mulia ini menunjukkan dua cara menetapkan awal bulan Ramadhan:
1) Melihat hilal, yaitu bulan yang muncul setelah terbenam matahari pada tanggal 29 Sya’ban.
2) Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (ketika bulan tidak terlihat).
Inilah dua cara yang disyari’atkan, adapun selain itu seperti menetapkan awal bulan Ramadhan dengan ilmu hisab maka termasuk kategori mengada-ada (bid’ah) dalam agama dan menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ بِاسْتِكْمَالِ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ، أَوْ رُؤْيَةِ هِلَالِهِ
“Wajib berpuasa Ramadhan dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari atau melihat hilal Ramadhan.” (Roudhatut Thoolibin, 2/345)
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata,
فَالصَّوَابُ ماقاله الْجُمْهُورُ وَمَا سِوَاهُ فَاسِدٌ مَرْدُودٌ بِصَرَائِحِ الْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ
“Maka yang benar adalah pendapat Jumhur ulama, dan yang selain itu adalah pendapat yang rusak lagi tertolak berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang jelas maknanya.” (Al-Majmu’, 6/270)
Bahkan para ulama yang lainnya telah menukil ijma’ (kesepakatan ulama) atas wajibnya menetapkan awal bulan dengan ru’yah hilal atau menggenapkan bulan menjadi 30 hari, dan penetapan dengan cara hisab adalah batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَلَا رَيْبَ أَنَّهُ ثَبَتَ بِالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ وَاتِّفَاقِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الِاعْتِمَادُ عَلَى حِسَابِ النُّجُومِ
“Tidak diragukan lagi bahwa telah tetap berdasarkan sunnah yang shahih dan kesepakatan sahabat, tidak boleh menetapkan awal bulan Ramadhan dengan berpatokan kepada hisab nujum.” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/207)
Dan ternyata, kelompok yang pertama kali menggunakan hisab adalah kelompok sesat Syi’ah.
Penulis Bulughul Marom, Al-Hafiz Ibnu Hajar Asqolani rohimahullah berkata ;
وَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى الرُّجُوعِ إِلَى أَهْلِ التَّسْيِيرِ فِي ذَلِكَ وَهُمُ الرَّوَافِضُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ مُوَافَقَتُهُمْ قَالَ الْبَاجِيُّ وَإِجْمَاعُ السَّلَفِ الصَّالح حجَّة عَلَيْهِم وَقَالَ بن بَزِيزَةَ وَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ
“Sebagian orang berpendapat untuk merujuk kepada ahli hisab dalam penetapan bulan, mereka itu adalah Syi’ah Rafidhah dan dinukil persetujuan terhadap pendapat tersebut dari sebagian fuqoho, maka Al-Baaji berkata: Dan ijma’ As-Salafus Shalih adalah hujjah atas mereka. Dan berkata Ibnu Bazizah: Menggunakan hisab adalah pendapat yang batil.” (Fathul Baari Syaroh (penjelasan) Shohih Al Bukhari, 4/127)
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ ?Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284)
Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah yang mempelopori. Pernyataan beliau ini perlu dicermati lagi, karena nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin Abdillah Al Shikhier tidak benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu Abdil Barr Yang akan kami sampaikan setelah ini. (Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122)
Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif. juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:
" ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب."
“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan riwayat tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih).”
Paparan Panjang Dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh Tentang Hisab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
" بخلاف من خرج في ذلك إلى الأخذ بالحساب أو الكتاب كالجداول وحساب التقويم والتعديل المأخوذ من سيرهما . وغير ذلك الذي صرح رسول الله صلى الله عليه وسلم بنفيه عن أمته والنهي عنه . ولهذا ما زال العلماء يعدون من خرج إلى ذلك قد أدخل في الإسلام ما ليس منه فيقابلون هذه الأقوال بالإنكار الذي يقابل به أهل البدع."
مجموع الفتاوى [25 /179 ]
“Berbeda dengan orang-orang yang keluar (dari cara yang haq) dalam permasalahan tersebut (penentuan awal Ramadhan) dengan mengambil cara hisab atau tulisan seperti jadwal dan perhitungan kalender yang diambil dari perhitungan peredaran Matahari dan Bulan, dan cara-cara lainnya yang dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah meniadakan hal tersebut dan melarangnya dari umatnya. Oleh karena itu para ‘ulama senantiasa menganggap orang-orang yang mengambil cara-cara tersebut (hisab) sebagai orang yang telah memasukkan dalam Islam suatu ajaran yang bukan bagian dari Islam itu sendiri. Maka mereka (para ‘ulama) menyikapi pendapat-pendapat seperti dengan pengingkaran, sebagaimana mereka menyikapi ahlul bid’ah.” (Majmu' Fatawa 25/179)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
" ولا ريب أنه ثبت بالسنة الصحيحة واتفاق الصحابة أنه لا يجوز الاعتماد على حساب النجوم كما ثبت عنه في الصحيحين أنه قال : { إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته } . والمعتمد على الحساب في الهلال كما أنه ضال في الشريعة مبتدع في الدين فهو مخطئ في العقل وعلم الحساب . فإن العلماء . بالهيئة يعرفون أن الرؤية لا تنضبط بأمر حسابي وإنما غاية الحساب منهم إذا عدل أن يعرف كم بين الهلال والشمس من درجة وقت الغروب مثلا ؛ لكن الرؤية ليست مضبوطة بدرجات محدودة فإنها تختلف باختلاف حدة النظر وكلاله وارتفاع المكان الذي يتراءى فيه الهلال وانخفاضه وباختلاف صفاء . الجو وكدره . وقد يراه بعض الناس لثمان درجات وآخر لا يراه لثنتي عشر درجة ؛ ولهذا تنازع أهل الحساب في قوس الرؤية تنازعا مضطربا وأئمتهم : كبطليموس لم يتكلموا في ذلك بحرف لأن ذلك لا يقوم عليه دليل حسابي . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . لما رأوا الشريعة علقت الأحكام بالهلال فرأوا الحساب طريقا تنضبط فيه الرؤية وليست طريقة مستقيمة ولا معتدلة بل خطؤها كثير وقد جرب وهم يختلفون كثيرا : هل يرى ؟ أم لا يرى ؟ وسبب ذلك : أنهم ضبطوا بالحساب ما لا يعلم بالحساب فأخطئوا طريق الصواب
مجموع الفتاوى [25 /207]
“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada ilmu hisab astronomi sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah ) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahîhain (Al-Bukhâri dan Muslim) bahwa beliau bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak bisa menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yatul Hilâl, dan ber’idulfitrilah berdasarkan ru’yatul Hilâl).”
Sementara orang yang menyandarkan diri pada ilmu hisab untuk menentukan al-hilâl, sebagaimana ia telah sesat dalam syari’at sekaligus sebagai mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini, maka ia pun salah menurut akal dan ilmu hisab itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal ilmu hisab mereka, kalau benar, adalah menentukan berapa derajat jarak antara al-hilâl (Bulan) dan Matahari ketika terbenam. Sementara ru’yah bukanlah perkara yang bisa dihitung secara pasti dalam derajat tertentu. Karena ru’yah berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendahnya tempat melakukan ru`yatul hilâl. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja sebagain orang berhasil melihat Al-Hilal pada ketinggian 8° (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak berhasil melihatnya walaupun pada ketinggian 12° (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka –semacam Bathlemous – tidak berbicara dalam masalah ini sedikitpun, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab.
Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh ahli hisab yang datang belakangan –seperti Kusyiar Ad-Dailami dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati bahwa Syari’at (Islam) banyak mengaitkan hukum-hukum dengan (Ru’yah) Al-Hilâl. Maka mereka meyakini bahwa ilmu hisab merupakan cara yang bisa digunakan untuk memastikan ru’yatul hilâl. Padahal cara (hisab) tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan salahnya lebih banyak. Dan itu telah terbukti. Para pakar ilmu hisab pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?
Sebabnya adalah karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab padahal sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.” (Majmu' Fatawa 25/207)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإيلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلا ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيدا بالإغمام ومختصا بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ."
مجموع الفتاوى [25 /132-133]
“Maka kita mengetahui secara pasti dari agama Islam, bahwa menentukan terlihatnya hilal dalam penentuan pelaksanaan ibadah shaum, haji, ‘iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya yang terkait dengan hilal berdasarkan berita seorang ahli hisab bahwa hilal terlihat atau tidak terlihat, maka yang demikian tidak boleh.
Dalil-dalil yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam masalah ini sangat banyak, dan kaum muslim telah berijma’ dalam masalah tersebut. Tidak diketahui adalah perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, baik dulu maupun sekarang. Kecuali sebagian muta’akhkhirin dari kalangan orang-orang yang menampilkan diri sebagai ahli fiqh, yang muncul setelah abad ke-3 mengklaim bahwa apabila hilal terhalangi mendung maka boleh bagi seorang ahli hisab untuk menerapkan hisabnya untuk dirinya sendiri, jika hisab menunjukkan hilal terlihat maka berpuasa, jika tidak maka tidak berpuasa. Klaim ini, meskipun terbatas pada waktu mendung dan khusus bagi ahli hisab itu itu saja, maka merupakan pendapat yang ganjil, telah terdahului oleh ijma’ yang menunjukkan hal sebaliknya. Adapunmengikuti klaim tersebut dalam kondisi cerah atau mengkaitkan hukum umum dengannya, maka tidak diucapkan oleh seorang muslim pun.“ (Majmu' Fatawa,25/132-133)
Sumber : https://m.facebook.com
KISAH DIGANTUNGNYA HAKIM ISLAM SUNNY GEGARA MENOLAK HISABnya PENGUASA SYI'AH DALAM PENENTUAN HARI RAYA IED.
١٩٤ - الحُبُلِيُّ مُحَمَّدُ بنُ الحُبُلِيِّ
Al-Hubuli, Muhammad bin al-Hubuli
الإِمَامُ، الشَّهِيْد، قَاضِي مَدِيْنَةَ بَرْقَةَ، مُحَمَّدُ بنُ الحُبُلِيِّ.
Al-Imam, al-Syahîd insyaAllah, Qadhi (Hakim) kota Barqah, Muhammad bin al-Hubuli.
أَتَاهُ أَمِيْرُ بَرْقَة، فَقَالَ: غداً العِيْد.
Suatu hari Amir (Penguasa dari pemerintahan syi'ah) Barqah mendatangi beliau, lalu si Amir (Penguasa) berkata: Besok hari raya!
قَالَ: حَتَّى نرَى الهِلاَل، وَلاَ أُفَطِّر النَّاس، وَأَتقلَّد إِثمَهُم،
Sang Qadhi (Hakim) menjawab: (Tunggu) hingga kami melihat hilal. Jangan sampai Aku membuat masyarakat membatalkan puasa sehingga menanggung dosa mereka.
فَقَالَ : بِهَذَا جَاءَ كِتَاب المَنْصُوْر - وَكَانَ هَذَا مِنْ رَأْي العُبَيْدِيَّة يفِّطرُوْنَ بِالِحسَاب، وَلاَ يعتبرُوْنَ رُؤْيَة - فَلَمْ يُرَ هِلاَل، فَأَصبح الأَمِيْرُ بِالطُّبولِ وَالبُنُودِ وَأُهبَةِ العِيْد.
Si Amir (Penguasa dari pemerintahan syi'ah) menimpali: Telah tiba surat al-Mansur dengan keputusan ini -saat itu pemikiran ini berasal dari Ubaidiyyah (Daulah Fathimiyyah) yang membuat orang tidak berpuasa berdasar hisab dan mengabaikan rukyat-. Lalu, hilal tak terlihat. Keesokan paginya si Amir (Penguasa dari pemerintahan syi'ah) membawa genderang, "bendera besar", dan perlengkapan hari raya.
فَقَالَ القَاضِي: لاَ أَخرج وَلاَ أُصَلِّي، فَأَمر الأَمِيْرُ رَجُلاً خَطَبَ.
Sang Qadhi (Hakim) pun berkata: Aku tak akan keluar dan tak akan shalat (Id).
Lalu, Si Amir (Penguasa dari pemerintahan syi'ah) memerintahkan seseorang untuk berkhotbah
وَكَتَبَ بِمَا جرَى إِلَى المَنْصُوْر، فَطَلَبَ القَاضِي إِلَيْهِ، فَأُحضِر.
Dan sang Qadhi (Hakim) mengirim surat kepada al-Mansur tentang kejadian itu. Lalu, al-Mansur memanggil Sang Qadhi (Hakim) sehingga beliau dihadirkan.
فَقَالَ لَهُ: تَنَصَّلْ، وَأَعفو عَنْكَ، فَامْتَنَعَ، فَأَمر، فَعُلِّق فِي الشَّمْس إِلَى أَنْ مَاتَ، وَكَانَ يَسْتَغيث العطشَ، فَلَمْ يُسقَ.
Al-Mansur berkata pada sang Qadhi (Hakim): Tinggalkan pendapatmu dan Aku akan mengampunimu.Sang Qadhi (Hakim) menolak. Lalu, al-Mansur memerintahkan untuk menggantung sang Qadhi (Hakim) di bawah terik matahari hingga wafat. Sang Qadhi (Hakim) sempat meminta air minum, namun tidak diberi.
ثُمَّ صَلَبُوهُ عَلَى خَشَبَةٍ.
Kemudian, mereka menyalib sang Qadhi (Hakim) di atas kayu.
Al-Imam al-Dzahabi rohimahullah murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah membawakan kisah diatas mengomentari :
فلعنَةُ اللهِ عَلَى الظَّالمِين.
Mudah-mudahan Allah melaknati orang-orang yang dholim.¹
Demikianlah kekekjaman penguasa syi'ah Dinasti Fatimiyah dari Bani Ubaidillah. Ulama mazhab Syafi'iAl-Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengisahkan mereka kaum syi'ahlah yang menggunakan hisab dalam penentuan Iedul Fitri, idul adha juga awal bulan ramadhan. Al-Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
وَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى الرُّجُوعِ إِلَى أَهْلِ التَّسْيِيرِ فِي ذَلِكَ وَهُمُ الرَّوَافِضُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ مُوَافَقَتُهُمْ قَالَ الْبَاجِيُّ وَإِجْمَاعُ السَّلَفِ الصَّالح حجَّة عَلَيْهِم وَقَالَ بن بَزِيزَةَ وَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ
“Sebagian orang berpendapat untuk merujuk kepada ahli hisab dalam penetapan bulan, mereka itu adalah Syi’ah Rafidhah dan dinukil persetujuan terhadap pendapat tersebut dari sebagian fuqoho, maka Al-Baaji berkata: Dan ijma’ As-Salafus Shalih adalah hujjah atas mereka. Dan berkata Ibnu Bazizah: Menggunakan hisab adalah pendapat yang batil.” ²
Apa yang terjadi Al-Hubuli, Muhammad bin al-Hubuli rahimahullah memang demikian adanya menjadi suatu tradisi kebiasaan ahlul batil kepada ahlul haq, berkata Imam Asy Syatiby rohimahumulloh tentang sikap ahli bathil (dari kalangan ahli bid'ah dan hizbiyyiin) lebih lagi kaum syiah kepada ahlul haq
"كل من كان له صولة منهم بقرب الملوك فإنهم تناولوا أهل السنة بكل نكال وعذاب وقتل."
Artinya : setiap yang punya sepak terjang penerkaman dari kalangan mereka ( yaitu ahli bathil/ahli kesesatan/ahli bid'ah/mubtadi'), dikarenakan kedekatan dengan raja (penguasa), maka sungguh mereka akan memberikan hukuman, siksaan, pembunuhan pada ahli Sunnah.³
Pembahasannya lebih panjang sikap ahli bathil (dari kalangan ahli bid'ah dan hizbiyyiin) lebih lagi kaum syiah kepada ahlul haq bisa dilihat ditautan, klik : https://m.facebook.com
Adapun pembahasan tentang HISAB bisa dibaca pada judul berikut ini :
Maroji' (Rujukan) :
1 Fathul Baari, 4/127
2 Siyar A'lamin Nubala, 15/374 melalui tautan berikut ini : https://shamela.ws/book/10906/9645
3. Al i'thisom bab 2 hal 91.
Sumber : https://m.facebook.com
TIDAK BOLEH MENENTUKAN HILAL DENGAN ILMU HISAB
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
"وَلَا رَيْبَ أَنَّهُ ثَبَتَ بِالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ وَاتِّفَاقِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الِاعْتِمَادُ عَلَى حِسَابِ النُّجُومِ."
" Tidak diragukan lagi bahwa telah tetap berdasarkan sunnah yang shahih dan kesepakatan sahabat, tidak boleh menetapkan awal bulan Ramadhan (demikian pula iedul fitri, ataupun iedul adha) dengan berpatokan kepada hisab nujum.”
Majmu’ Al-Fatawa, 25/207
شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : " بخلاف من خرج في ذلك إلى الأخذ بالحساب أو الكتاب كالجداول وحساب التقويم والتعديل المأخوذ من سيرهما . وغير ذلك الذي صرح رسول الله صلى الله عليه وسلم بنفيه عن أمته والنهي عنه . ولهذا ما زال العلماء يعدون من خرج إلى ذلك قد أدخل في الإسلام ما ليس منه فيقابلون هذه الأقوال بالإنكار الذي يقابل به أهل البدع."
مجموع الفتاوى، ٢٥/ ١٧٩
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Berbeda dengan orang-orang yang keluar (dari cara yang haq) dalam permasalahan tersebut (penentuan awal Ramadhan juga 2 Ied [fitri & adha]) dengan mengambil cara hisab atau tulisan seperti jadwal dan perhitungan kalender yang diambil dari perhitungan peredaran Matahari dan Bulan, dan cara-cara lainnya yang dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah meniadakan hal tersebut dan melarangnya dari umatnya. Oleh karena itu para ‘ulama senantiasa menganggap orang-orang yang mengambil cara-cara tersebut (hisab) sebagai orang yang telah memasukkan dalam Islam suatu ajaran yang bukan bagian dari Islam itu sendiri. Maka mereka (para ‘ulama) menyikapi pendapat-pendapat seperti dengan pengingkaran, sebagaimana mereka menyikapi AHLUL BID'AH.” (Majmu' Fatawa 25/179)
HUKUM BERPEGANG PADA HISAB FALAK UNTUK PENENTUAN WAKTU IBADAH
Fatwa Hai`ah Kibaril ‘Ulama Saudi ‘Arabia
Ketetapan No. 34 14/ 2/1395 H tentang: Hukum Perpegang Pada Hisab Falaki untuk Penentuan Waktu Ibadah
بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Berpegang Pada Hisab Falaki Untuk Penentuan Waktu Ibadah
( …… )[1]
وبعد دراسة المجلس للقرارات والتوصيات والفتاوى والآراء المتعلقة بهذا الموضوع وإعادة النظر في البحث الذي سبق أن أعدته اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في موضوع توحيد أوائل الشهور القمرية، والاطلاع على القرار الصادر من الهيئة في دورتها الثانية برقم (٢) وتاريخ ١٣\٢\١٣٩٣هـ ومداولة الرأي في ذلك كله- قرر ما يلي:
Setelah Majelis mempelajari berbagai ketetapan, arahan, fatwa, dan pendapat terkait dengan masalah ini, dan setelah meninjau ulang pembahasan sebelumnya yang telah disiapkan oleh Al-Lajnah ad-Da`imah Li al-Buhuts al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komisi Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) tentang Penyatuan Awal Bulan Qamariyyah, serta menelaah ketetapan yang dikeluarkan oleh Hai`ah pada Daurah II no. 2 tanggal 13 – 2 – 1393 H, dan setelah mendiskusikan semuanya, maka majelis menetapkan sebagai berikut:
أولا: أن المراد بالحساب والتنجيم هنا معرفة البروج والمنازل، وتقدير سير كل من الشمس والقمر وتحديد الأوقات بذلك؛ كوقت طلوع الشمس ودلوكها وغروبها، واجتماع الشمس والقمر وافتراقهما، وكسوف كل منهما، وهذا هو ما يعرف بـ (حساب التسيير،
Pertama: Bahwa yang dimaksud dengan hisab dan perbintangan di sini adalah pengetahuan tentang benda-benda langit dan peredarannya, perhitungan atas perjalan Matahari dan Bulan, serta penentuan waktu dengannya, seperti waktu terbit Matahari, waktu Matahari berada di tengah, waktu tenggelamnya, waktu ijtima’ (konjungsi) Matahari – Bulan dan waktu terpisahnya, serta waktu gerhana Matahari dan gerhana Bulan. Ilmu tersebut adalah ilmu yang dikenal dengan Hisab at-Taisir.[2]
وليس المراد بالتنجيم هنا الاستدلال بالأحوال الفلكية على وقوع الحوادث الأرضية؛ من ولادة عظيم أو موته، ومن شدة وبلاء، أو سعادة ورخاء، وأمثال ذلك مما فيه ربط الأحداث بأحوال الأفلاك علما بميقاتها، أو تأثيرا في وقوعها من الغيبيات التي لا يعلمها إلا الله، وبهذا يتحرر موضوع البحث.
Bukanlah yang dimaksud dengan ilmu perbintangan di sini adalah berdalil dengan peredaran benda-benda langit atas berbagai kejadian di muka Bumi[3], seperti petanda akan lahirnya orang besar atau wafatnya, atau petanda akan datangnya bencana besar, atau petanda kebahagian dan keberuntungan, atau yang semisalnya yang mengaitkan kejadian-kejadian di muka bumi dengan benda-benda langit, untuk mengetahui waktu kejadian atau pengaruhnya. Semuanya itu merupakan perkara-perkara ghaib. Tidak ada yang mengetahui perkara ghaib tersebut kecuali Allah l. Dengan uraian ini, maka jelaslah masalah yang akan dibahas.
ثانيا: أنه لا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع ما لم تثبت رؤيته شرعا، وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله
Kedua: Bahwa semata-mata kelahiran Bulan baru[4] belum memenuhi kriteria syar’i untuk penetapan awal dan akhir bulan-bulan qamariyah, selama tidak ada ru`yah yang syar’i. Hal ini berdasarkan ijma’ (konsensus/kesepakatan para ‘ulama). Ini terkait dengan penentuan waktu ibadah. Barang siapa pada masa ini yang menyelisihi hal tersebut, maka ia telah didahului oleh ijma’ para ‘ulama sebelumnya.
ثالثا: أن رؤية الهلال هي المعتبرة وحدها في حالة الصحو ليلة الثلاثين في إثبات بدء الشهور القمرية وانتهائها بالنسبة للعبادات فإن لم ير أكملت العدة ثلاثين بإجماع.
Ketiga: Bahwa dalam kondisi cerah pada malam ke-30, ru`yatul hilal satu-satunya yang dijadikan landasan (secara syar’i) untuk penetapan awal dan akhir bulan-bulan qamariyah, terkait dengan penentuan waktu ibadah. Bila al-hilal tidak terlihat (pada malam itu) maka para ‘ulama sepakat menggenapkan bilangan (bulan sebelumnya) menjadi 30 hari.
أما إذا كان بالسماء غيم ليلة الثلاثين: فجمهور الفقهاء يرون إكمال العدة ثلاثين؛ عملا بحديث: «فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين (١) » ، وبهذا تفسر الرواية الأخرى الواردة بلفظ: «فاقدروا له (٢) » .
Adapun jika langit mendung pada malam ke-30 tersebut, maka mayoritas ‘ulama berpendapat menyempurnakan bilangan (bulan sebelumnya) menjadi 30 hari, berdasarkan hadits:
فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
“Bila (al-hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (bulan sebelumnya) menjadi 30 hari.”[5]
Hadits ini merupakan tafsir atas riwayat lainnya yang berlafazh:
فَاقْدُرُوْالَهُ
“Maka perkirakanlah.”[6]
وذهب الإمام أحمد في رواية أخرى عنه، وبعض أهل العلم إلى اعتبار شعبان في حالة الغيم تسعة وعشرين يوما احتياطا لرمضان، وفسروا رواية: «فاقدروا له (٣) » : بضيقوا، أخذا من قوله تعالى: {وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ} (٤) أي: ضيق عليه رزقه.
Al-Imam Ahmad rahimahullah -dalam riwayat lain dari beliau[7]– dan sebagian ‘ulama berpendapat bahwa dalam situasi mendung, bulan Sya’ban dijadikan 29 hari saja dalam rangka berhati-hati untuk bulan Ramadhan. Mereka menafsirkan riwayat (فاقدروا له ) “Maka perkirakanlah.” dengan makna (بضيقوا) “Persempitlah”, berdasarkan firman Allah :
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang ditentukan atasnya rezkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
Kalimata قُدِرَ (Ditentukan) yakni: ضيق عليه رزقه. ‘disempitkan’ rezkinya.
وهذا التفسير مردود بما صرحت به رواية الحديث الأخرى الواردة بلفظ: «فاقدروا له ثلاثين (١) » ، وفي رواية أخرى: «فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (٢) » .
Penafsiran ini tertolak dengan riwayat hadits lainnya yang tegas dan jelas dengan lafazh:
فَاقْدُرُوْالَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Maka tentukanlah bilangannya menjadi 30 (hari).”[8]
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
فَأَكْمِلُوْاعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ
“Maka sempurnakanlah bilangan (bulan) Sya’ban menjadi 30 hari.”[9]
وحكى النووي في شرحه على صحيح مسلم لحديث: «فإن غم عليكم فاقدروا له (٣) » عن ابن سريج وجماعة، ومنهم مطرف بن عبد الله - أي: ابن الشخير - وابن قتيبة وآخرون- اعتبار قول علماء النجوم في إثبات الشهر القمري ابتداء وانتهاء، أي: إذا كان في السماء غيم.
An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam syarh (penjelasan) beliau terhadap kitab Shahih Muslim, yaitu pada hadits:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ
“Jika (al-hilal) terhalangi atas kalian maka perkirakanlah.”
Pendapat dari Ibnu Juraij rahimahullah dan beberapa ‘ulama lainnya, di antaranya Mutharrif bin ‘Abdillah – yaitu Ibnu Asy-Syakhir- Ibnu Qutaibah dan lainnya, yang memperhitungkan perkataan para ahli astronomi (ahli hisab) untuk penetapan awal dan akhir bulan-bulan qamariyah, yakni ketika langit mendung.
وقال ابن عبد البر: روي عن مطرف بن الشخير، وليس بصحيح عنه، ولو صح ما وجب اتباعه؛ لشذوذه فيه، ولمخالفة الحجة له
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan:
“Telah diriwayatkan dari Mutharrif bin Asy-Syakhir, namun riwayatnya tidak sah, kalaupun sah periwayatannya maka tidak boleh mengikuti pendapat beliau tersebut, karena ketidak benaran pendapat beliau dalam masalah ini dan menyelisihi hujjah (dalil).”
ثم حكى عن ابن قتيبة مثله، وقال: ليس هذا من شأن ابن قتيبة، ولا هو ممن يعرج عليه في مثل هذا الباب.
Kemudian beliau menyebutkan dari Ibnu Qutaibah seperti pendapat tersebut, lalu beliau mengatakan: “Ini bukan bidangnya Ibnu Qutaibah, dan beliau tidak bisa dijadikan rujukan dalam bidang seperti ini.”
ثم حكى عن ابن خويز منداد أنه حكاه عن الشافعي، ثم قال ابن عبد البر: والصحيح عنه في كتبه وعند أصحابه وجمهور العلماء خلافه. انتهى.
Berikutnya beliau juga menyebutkan dari Khuwaiz Mindad bahwa dia menukilkan dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, lalu al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr pun mengatakan: “Riwayat yang sah dari beliau (asy-Syafi’i) dalam kitab-kitab beliau dan yang ada para murid-murid beliau, dan mayoritas ‘ulama, adalah berbeda dengan itu.[10]” – sekian-
وبهذا يتضح: أن محل الخلاف بين الفقهاء إنما هو في حال الغيم وما في معناه. وهذا كله بالنسبة للعبادات، أما بالنسبة للمعاملات فللناس أن يصطلحوا على ما شاءوا من التوقيت.
Dengan ini jelaslah, bahwa letak perbedaan pendapat di antara para fuqaha’ adalah ketika kondisi mendung dan yang semakna.[11] Itu semuanya kaitannya dengan penentuan waktu-waktu ibadah. Adapun dalam masalah muamalah, maka silakan manusia menentukan waktu berdasarkan pedoman yang mereka kehendaki.
رابعا: أن المعتبر شرعا في إثبات الشهر القمري هو رؤية الهلال فقط دون حساب سير الشمس والقمر لما يأتي:
Keempat: Bahwa yang menjadi landasan syar’i untuk penetapan bulan-bulan qamariyah adalah ru`yatul hilal saja, tidak dengan hisab peredaran Matahari dan Bulan, karena alasan-alasan berikut:
أ - أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالصوم لرؤية الهلال والإفطار لها في قوله: «صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته (١) » ،
A. Nabi ﷺ memerintahkan melaksanakan shaum berdasarkan ru`yatul hilal, demikian juga ber’idul fitri berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabda beliau ﷺ :
صُوْمُوْالِرُؤْيَتِهِ،وَأَفْطِرُوْالِرُؤْيَتِهِ
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal.”[12]
وحصر ذلك فيها بقوله: «لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه (٢) » ، وأمر المسلمين إذا كان غيم ليلة
Bahkan beliau ﷺ membatasi hanya dengan ru`yatul hilal dalam sabda beliau ﷺ :
لَاتَصُوْمُوْاحَتَّىتَرَوْهُ،وَلَاتُفْطِرُوْاحَتَّى تَرَوْهُ
“Janganlah kalian bershaum sampai kalian melihatnya (al-hilal), dan janganlah kalian ber’idulfitri sampai kalian melihatnya.”[13]
الثلاثين أن يكملوا العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى علماء النجوم، ولو كان قولهم أصلا وحده أو أصلا آخر في إثبات الشهر- لأمر بالرجوع إليهم، فدل ذلك على أنه لا اعتبار شرعا لما سوى الرؤية، أو إكمال العدة ثلاثين في إثبات الشهر، وأن هذا شرع مستمر إلى يوم القيامة، {وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا} (١)
Beliau ﷺ memerintahkan kaum muslimin jika cuaca mendung pada malam ke-30 untuk menyempurnakan bilangan (bulan sebelumnya), dan beliau ﷺ sama sekali tidak memerintahkan untuk merujuk kepada ahli astronomi (ahli hisab). Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) merupakan landasan hukum yang tersendiri, atau landasan hukum lainnya dalam penetapan bulan qamariyah, niscaya Nabi ﷺ memerintahkan untuk merujuk kepada mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa dijadikan landasan secara syar’i untuk penetapan bulan qamariyah kecuali ru`yatul hilal atau dengan menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari. Ini merupakan syari’at yang terus berlaku hingga Hari Kiamat, dan tidaklah Rabbmu lupa.
ودعوى أن الرؤية في الحديث يراد بها العلم أو غلبة الظن بوجود الهلال أو إمكان رؤيته لا التعبد بنفس الرؤية - مردودة؛ لأن الرؤية في الحديث متعدية إلى مفعول واحد، فكانت بصرية لا علمية، ولأن الصحابة فهموا أنها رؤية بالعين، وهم أعلم باللغة ومقاصد الشريعة، وجرى العمل في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وعهدهم على ذلك، ولم يرجعوا إلى علماء النجوم في التوقيت،
Adapun klaim yang menyatakan bahwa “ru`yah” pada hadits tersebut yang dimaksud adalah ilmu atau dugaan kuat akan wujudul hilal atau imkanur ru`yah, bukan merupakan ibadah dengan aktivitas ru`yah; maka klaim tersebut tertolak/terbantah. Karena kata “ru`yah”pada hadits tersebut mengenai atau bekerja pada satu objek saja (yaitu pada kata al-hilalsaja). Sehingga maknanya adalah ru`yah bashariyyah (ru`yah dengan mata) bukan ru`yah ‘ilmiyah (ru`yah dengan ilmu).[14] Dan karena para shahabat memahami bahwa ru`yah tersebut adalah dengan mata, sementara mereka (para shahabat) adalah orang yang paling mengerti tentang bahasa ‘Arab dan maksud-maksud syari’at. Demikian pulalah berlangsungnya praktek amaliah pada masa Nabi ﷺ dan pada masa mereka (para shahabat). Mereka sama sekali tidak merujuk kepada para ahli astronomi (ahli hisab) untuk penentuan waktu ibadah.
ولا يصح أيضا أن يقال: إن النبي صلى الله عليه وسلم حين قال: «فإن غم عليكم فاقدروا له (٢) » أراد أمرنا بتقدير منازل القمر لنعلم بالحساب بدء الشهر ونهايته؛ لأن هذه الرواية فسرتها رواية: «فاقدروا له ثلاثين (٣) » وما في معناه، ومع ذلك فالذين يدعون إلى توحيد أوائل الشهور يقولون بالاعتماد على حساب المنازل في الصحو والغيم، والحديث قيد القدر له بحالة الغيم.
Tidak benar pula kalau dikatakan bahwa Nabi ﷺ ketika bersabda: “Apabila (al-hilal) terhalangi atas kalian, maka perkirakanlah.” Maksud beliau ﷺ memerintahkan kita untuk memperhitungkan tempat-tempat peredaran Bulan, supaya kita mempelajari ilmu hisab untuk menentukan awal dan akhir bulan qamariyah. Karena riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat: “maka hitunglah menjadi 30,” dan riwayat-riwayat lain yang semakna. Padahal mereka yang mendung-dengungkan misi penyatuan awal bulan qamariyah berpendapat untuk berpegang pada ilmu hisab baik dalam kondisi cerah maupun mendung. Sementara dalam hadits tersebut hanya khusus kalau situasi mendung saja.[15]
ب - أن تعليق إثبات الشهر القمري بالرؤية يتفق مع مقاصد الشريعة السمحة؛ لأن رؤية الهلال أمرها عام يتيسر لأكثر الناس، بخلاف ما لو علق الحكم بالحساب فإنه يحصل به الحرج ويتنافى مع مقاصد الشريعة، ودعوى زوال وصف الأمية في علم النجوم عن الأمة لو سلمت لا يغير حكم الشرع في ذلك.
B. Bahwa mengaitkan penetapan bulan-bulan qamariyah dengan ru`yatul hilal sangat sesuai dengan misi syari’at yang mudah. Karena ru`yatul hilal sifatnya umum dan menyeluruh, mudah bagi mayoritas manusia. Berbeda kalau seandainya mengaitkannya dengan hisab, maka yang demikian akan menyebabkan kesulitan yang bertentangan dengan misi syari’at. Dan klaim bahwa sifat ummi dalam bidang ilmu perbintangan telah hilang dari umat ini, kalaupun itu kita terima, maka yang demikian tidak bisa mengubah ketetapan syari’at dalam masalah tersebut.
ج - أن علماء الأمة في صدر الإسلام قد أجمعوا على اعتبار الرؤية في إثبات الشهور القمرية دون الحساب، فلم يعرف أن أحدا منهم رجع إليه في ذلك عند الغيم ونحوه، أما عند الصحو فلم يعرف عن أحد من أهل العلم أنه عول على الحساب في إثبات الأهلة أو علق الحكم العام به.
C. Bahwa para ‘ulama umat, pada masa-masa awal Islam, telah ber-ijma’ (berkonsensus/bersepakat) untuk hanya berlandaskan pada ru`yatul hilal dalam penetapan bulan qamariyah, tidak dengan hisab. Tidak pernah ada seorangpun dari mereka yang berpegang pada hisab ketika kondisi mendung atau semisalnya. Adapun dalam kondisi mendung, maka tidak ada seorang pun dari para ‘ulama yang beralih pada hisab untuk menetapkan hilal, atau mengaitkan hukum umum dengan berlandaskan hisab.
خامسا: تقدير المدة التي يمكن معها رؤية الهلال بعد غروب الشمس لولا المانع من الأمور الاعتبارية الاجتهادية التي تختلف فيها أنظار أهل الحساب، وكذا تقدير المانع، فالاعتماد على ذلك في توقيت العبادات لا يحقق الوحدة المنشودة؛ ولهذا جاء الشرع باعتبار الرؤية فقط دون الحساب.
Kelima: Perhitungan waktu setelah tenggelamnya Matahari agar memungkin terlihatnya al-hilal -kalau tidak ada penghalang- merupakan perkara yang bersifat perkiraan dan ijtihadiyah, yang pendapat para ahli hisab berbeda-beda.[16] Demikian juga dalam menentukan faktor-faktor penghalang. Sehingga berpegang pada hisab untuk penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang selama ini terus didengung-dengungkan.[17] Oleh karena itulah syari’at menetapkan bahwa hanya ru`yatul hilal sajalah sebagai landasan, tidak dengan hisab.
سادسا: لا يصح تعيين مطلع دولة أو بلد - كمكة مثلا - لتعتبر رؤية الهلال منه وحده، فإنه يلزم من ذلك أن لا يجب الصوم على من ثبتت رؤية الهلال عندهم من سكان جهة أخرى، إذ لم ير الهلال في المطلع المعين.
Keenam: Tidak benar menentukan mathla’ satu negara atau negeri tertentu saja – Makkah misalnya- sebagai acuan ru`yatul hilal. Karena hal itu konsekuensinya meskipun ru`yatul hilal berhasil di negeri lain, penduduknya tetap tidak wajib bershaum selama di negeri yang menjadi acuan mathla belum terlihat al-hilal.
سابعا: ضعف أدلة من اعتبر قول علماء النجوم في إثبات الشهر القمري. ويتبين ذلك بذكر أدلتهم ومناقشتها:
Ketujuh: Lemahnya dalil-dalil orang-orang yang berpegang pada perkataan para ahli astronomi (ahli hisab) untuk penetapan bulan-bulan qamariyah. Hal ini akan jelas dengan menyebutkan dalil-dalil mereka dan bantahannya:
أ- قالوا: إن الله أخبر بأنه أجرى الشمس والقمر بحساب لا يضطرب، وجعلهما آيتين وقدرهما منازل؛ لنعتبر، ولنعلم عدد السنين والحساب، فإذا علم جماعة بالحساب وجود الهلال يقينا وإن لم تمكن رؤيته بعد غروب شمس التاسع والعشرين أو وجوده مع إمكان الرؤية لولا المانع، وأخبرنا بذلك عدد منهم يبلغ مبلغ التواتر - وجب قبول خبرهم؛ لبنائه على يقين، واستحالة الكذب على المخبرين؛ لبلوغهم حد التواتر، وعلى تقدير أنهم لم يبلغوا حد التواتر وكانوا عدولا فخبرهم يفيد غلبة الظن، وهي كافية في بناء أحكام العبادات عليها.
A. Mereka (para ahli hisab) mengatakan: Allah telah memberitakan bahwa Dia menentukan perjalanan Matahari dan Bulan dengan perhitungan yang sangat teliti. Dia menjadikan keduanya (Matahari dan Bulan) sebagai dua ayat, dan menentukan posisi-posisinya, dalam rangka kita mengambil pelajaran dan mengetahui bilangan tahun dan hisab.[18] Jika sekelompok orang sudah tahu secara pasti dengan ilmu hisab bahwa hilal telah wujud setelah tenggelamnya Matahari para hari ke-29, meskipun tidak mungkin untuk diru`yah atau hilal telah wujud dan memungkikan untuk diru`yah kalau tidak ada penghalang, dan sejumlah orang dari mereka mengabarkan kepada kita -dan jumlah mereka telah mencapai mutawatir– maka wajib untuk menerima berita mereka. Karena beritanya tersebut ditegakkan di atas keyakinan, dan mustahil para pemberi berita tersebut berdusta karena jumlahnya yang telah mencapai derajat mutawatir. Kalaupun jumlahnya belum mencapai mutawatir, namun mereka orang-orang yang adil, maka berita mereka menunjukkan pada dugaan kuat. Yang demikian sudah cukup untuk menegakkan hukum-hukum ibadah di atasnya.
والجواب: أن يقال: إن كونها آيات للاعتبار بها والتفكير في أحوالها للاستدلال على خالقها ومجريها بنظام دقيق لا خلل فيه ولا اضطراب، وإثبات ما لله من صفات الجلال والكمال - أمر لا ريب فيه.
Bantahan: Fakta bahwa Matahari dan Bulan sebagai ayat untuk bisa diambil ‘ibrah darinya, direnungkan kondisinya yang menunjukkan pada Penciptanya dan Yang menjalankannya dengan aturan yang sangat cermat tidak ada kekurangan ataupun kekacauan sedikitpun padanya, serta menetapkan sifat kemulian dan kesempurnaan untuk Allah l, ini merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi.
أما الاستدلال بحساب سير الشمس والقمر على تقدير أوقات العبادات فغير مسلم؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم - وهو أعلم الخلق بتفسير كتاب الله - لم يعلق دخول الشهر وخروجه بعلم الحساب، وإنما علق ذلك برؤية الهلال أو إكمال العدة في حال الغيم، فوجب الاقتصار على ذلك، وهذا هو الذي يتفق وسماحة الشريعة وسهولتها مع ما فيه من الدقة والضبط، بخلاف تقدير سير الكواكب فإن أمره خفي عقلي لا يدركه إلا النزر اليسير من الناس، ومثل هذا لا تبنى عليه أحكام العبادات.
Adapun berdalil dengan hisab perjalanan Matahari dan Bulan untuk penentuan waktu-waktu ibadah, maka yang demikian tidak bisa diterima.[19] Karena Rasulullah n –beliau adalah orang yang paling tahu dan paling mengerti tentang tafsir Al-Qur’an- sama sekali tidak mengaitkan masuk dan keluarnya bulan-bulan qamariyah dengan ilmu hisab. Namun beliau mengaitkannya dengan ru`yatul hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan ketika dalam kondisi mendung. Maka wajib untuk mencukupkan dengannya. Inilah yang selaras dengan keluwesan dan kemudahan syari’at, di samping padanya (ru`yatul hilal) lebih cermat dan lebih tepat. Berbeda halnya dengan perhitugan peredaran bintang, maka perkaranya tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali segelintir orang saja. Maka yang seperti ini tidak bisa ditegakkan di atasnya hukum-hukum ibadah.
ب - وقالوا: إن الفقهاء يرجعون في كثير من شئونهم إلى أهل الخبرة فيرجعون إلى الأطباء في فطر المريض في رمضان، وتقدير مدة التأجيل في العنين والمعترض، وإلى أهل اللغة في تفسير نصوص الكتاب والسنة، إلى غير ذلك من الشئون، فليرجعوا في معرفة بدء الشهور القمرية ونهايتها إلى علماء النجوم.
B. Mereka mengatakan: Para fuqaha dalam banyak masalah merujuk kepada para ahli. Mereka merujuk kepada para dokter untuk memutuskan seorang yang sakit boleh berbuka pada bulan Ramadhan. Merujuk kepada ahli bahasa dalam menafsirkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan dalam berbagai masalah lainnya. Maka hendaknya mereka juga merujuk kepada para ahli hisab untuk mengetahui permulaan dan akhir bulan-bulan qamariyah.
والجواب: أن يقال: هذا قياس مع الفارق؛ لأن الشرع إنما جاء بالرجوع إلى أهل الخبرة في اختصاصهم في المسائل التي لا نص فيها. أما إثبات الأهلة فقد ورد فيه النص باعتبار الرؤية فقط، أو إكمال العدة دون الرجوع فيه إلى غير ذلك.
Bantahan: Ini merupakan analogi (qiyas) dua hal yang sangat jauh berbeda. Karena syari’at memerintahkan untuk merujuk kepada orang-orang yang memiliki keahlian pada bidangnya, dalam perkara-perkara yang tidak ada nash padanya. Adapun penetapan hilal maka telah ada nash yang tegas yang menetapkan satu-satunya cara adalah dengan ru`yatul hilal atau menyempurnakan bilangan bulan, tanpa merujuk pada yang lainnya.
ج- وقالوا: إن توقيت بدء الشهر القمري ونهايته لا يختلف عن توقيت الصلوات الخمس وبدء صوم كل يوم ونهايته، وقد اعتبر الناس حساب المنازل علميا في الصلوات والصيام اليومي فليعتبروه في بدء الشهر ونهايته.
C. Mereka mengatakan: Bahwa penentuan waktu awal dan akhir bulan qamariyah tidaklah berbeda dengan penentuan waktu shalat lima waktu dan penentuan awal dan akhir shaum setiap harinya. Kaum muslimin berpedoman pada ilmu hisab dalam menentukan waktu shalat lima waktu dan shaum. Maka hendaknya kaum muslimin juga menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan qamariyah.
وأجيب: بأن الشرع أناط الحكم في الأوقات بوجودها، قال تعالى: {أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ} (١) وقال: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ} (٢)
Bantahan: bahwa syari’at mengaitkan hukum dalam penentuan waktu (shalat lima waktu) dengan keberadaanya (wujudnya).[20] Allah berfirman: “Dirikanlah shalat sejak tergelincirnya Matahari sampai gelapnya malam, dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Isra: 78)
Allah juga berfirman: “Dan makan minumlah kalian hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
وفصلت السنة ذلك، وأناطت وجوب صوم رمضان برؤية الهلال ولم تعلق الحكم في شيء من ذلك على حساب المنازل، وإنما العبرة بدليل الحكم.
Kemudian hadits-hadits Rasulullah ﷺ memberikan perincian tentang waktu-waktu tersebut. Sementara itu, untuk kewajiban shaum Ramadhan, syari’at mengaitkannya dengan ru`yatul hilal[21] dan sama sekali tidak mengaitkannya dengan ilmu hisab. Maka yang menjadi pedoman adalah dalil.
د- وقالوا: إن الله تعالى قال: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} (٣)
D. Mereka mengatakan: bahwa firman Allah : “Karena itu, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu, maka ia harus bershaum pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
إذ المعنى: فمن علم منكم الشهر فليصمه، سواء كان علم ذلك عن طريق رؤية الهلال مطلقا أو عن طريق علم حساب المنازل.
Maknanya adalah: ‘Barangsiapa di antara kalian yang mengetahui masuknya bulan, maka ia harus bershaum pada bulan tersebut.’ Baik ia mengetahui masuknya bulan dengan cara ru`yatul hilal secara mutlak, ataupun dengan cara ilmu hisab perbintangan.
والجواب: أن يقال: إن معنى الآية: فمن حضر منكم الشهر فليصمه، بدليل قوله تعالى بعده: {وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} (٤)
Bantahan: bahwa makna ayat tersebut adalah: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,maka ia harus bershaum pada bulan itu. “
Dengan dalil lanjutan ayat berikutnya: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib atas mengganti sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
وعلى تقدير تفسير الشهود بالعلم، فالمراد: العلم عن طريق رؤية الهلال، بدليل حديث: «لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه (٥) » .
Kalaupun diterima bahwa tafsirnya adalah persaksian dengan ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu yang didapat dengan cara ru`yatul hilal, dengan dalil hadits:
لَاتَصُوْمُوْاحَتَّى تَرَوْهُ،وَلَاتُفْطِرُوْاحَتَّى تَرَوْهُ
“Janganlah kalian bershaum sampai kalian berhasil meru`yah (al-hilal), dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian berhasil meru`yahnya.”[22]
هـ- وقالوا: إن علم الحساب مبني على مقدمات يقينية، فكان
الاعتماد عليه في إثبات الشهور القمرية أقرب إلى الصواب وتحقيق الوحدة بين المسلمين في نسكهم وأعيادهم.
E. Mereka mengatakan: bahwa ilmu hisab itu berdasarkan rumus-rumus yang bersifat pasti dan meyakinkan. Sehingga bersandar pada ilmu hisab untuk menetapkan bulan-bulan qamariyah lebih dekat kepada kebenaran dan lebih mewujudkan persatuan antara kaum muslimin dalam pelaksanaan ibadah dan hari raya mereka.
وأجيب: بأن ذلك غير مسلم؛ لأن الحس واليقين في مشاهدة الكواكب لا في حساب سيرها، فإنه أمر عقلي خفي لا يعرفه إلا النزر اليسير من الناس، كما تقدم ؛
Bantahan: argumentasi tersebut tidak bisa diterima. Karena kepastian dan keyakinan itu justru terdapat pada aktivitas melihat bintang bukan pada menghisab/menghitung peredarannya. Karena hisab itu perkara yang bersifat akal dan tersembunyi, tidak diketahui kecuali oleh segelintir orang saja -sebaimana telah dijelaskan di atas- karena:
لحاجته إلى دراسة وعناية، ولوقوع الغلط والاختلاف فيه،
– perlu benar-benar mempelajari dan memperhatikan secara khusus.[23]
كما هو الواقع في اختلاف التقاويم التي تصدر في كثير من البلاد الإسلامية،
– adanya kemungkinan jatuh kepada kesalahan dan perbedaan, hal ini sebagaimana fakta yang ada yaitu terdapat adalah perbedaan hasil-hasil perhitungan di berbagai negeri muslimin.
فلا يعتمد عليه ولا تتحقق به الوحدة بين المسلمين في مواقيت عباداتهم.
Maka tidak boleh bersandar pada ilmu hisab dan dengan ilmu hisab tidak bisa mewujudkan persatuan antara kaum muslimin dalam waktu-waktu ibadah dan hari raya mereka.
ووقالوا: إن تعليق الحكم بثبوت الشهر على الأهلة معلل بوصف الأمة بأنها أمية، وقد زال عنها هذا الوصف، فقد كثر علماء النجوم، وبذلك يزول تعليق الحكم بالرؤية أو بخصوص الرؤية، ويعتبر الحساب وحده أصلا، أو يعتبر أصلا آخر إلى جانب الرؤية.
F. Mereka mengatakan: bahwa pengaitan hukum penentuan bulan qamariyah dengan al-hilal karena adanya ‘illah (sebab) yaitu sifat umat ini yang ummiyyah (tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung). Namun pada masa ini sifat tersebut sudah hilang, karena sudah banyak di tengah umat ini para ahli ilmu perbintangan. Dengan demikian gugur pulalah pengaitan hukum dengan ru`yatul hilal. Ilmu hisab menjadi dasar yang berdiri sendiri atau dasar alternatif di samping ru`yah.
والجواب: أن يقال: إن وصف الأمة بأنها أمية لا يزال قائما بالنسبة لعلم سير الشمس والقمر وسائر الكواكب، فالعلماء به نزر يسير، والذي كثر إنما هو آلات الرصد وأجهزته، وهي مما يساعد على رؤية الهلال في وقته، ولا مانع من الاستعانة بها علة الرؤية وإثبات الشهر بها، كما يستعان بالآلات على سماع الأصوات، وعلى رؤية المبصرات،
Bantahan: sifat umat sebagai umat yang ummiyyah masih terus ada, yaitu dalam hal ilmu tentang perederan Matahari dan Bulan serta segenap bintang lainnya. Para ahli ilmu tersebut jarang dan sangat sedikit. Yang banyak hanyalah alat dan berbagai sarananya. Dan itu justru bisa membantu pelaksanaan ru`yatul hilal dan tidak mengapa menggunakannya untuk membantu ru`yatul hilal dan penetapan bulan qamariyah berdasarkan ru`yah, sebagaimana digunakannya alat-alat untuk membantu mendengar suara atau melihat benda-benda kecil.
ولو فرض زوال وصف الأمية عن الأمة في علم الحساب - لم يجز الاعتماد عليه في إثبات الأهلة؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤية، أو إكمال العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى الحساب واستمر عمل المسلمين على ذلك بعده.
Kalau seandainya diterima bahwa sifat ummiyyah telah hilang dari umat ini dalam bidang dalam ilmu hisab, maka tetap tidak boleh untuk bersandar pada ilmu hisab untuk penetapan/pemastian al-hilal. Karena Rasulullah n mengaitkan hukum dengan ru`yah atau menyempurnakan bilangan bulan, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada hisab. Dan praktek ini terus berjalan kepada kaum muslimin sepeninggal beliau.
وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Ditetapkan pada 14 Shafar 1395 H
Hai`ah Kibaril ‘Ulama
– Pimpinan Daurah VI,
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Catatan kaki :
[1]. Bagian ini sengaja tidak diterjemahkan untuk mempersingkat.
[2]. Yaitu astronomi.
[3]. Yaitu astrologi. Atau yang dikenal pula dengan ilmu nujum.
[4]. Bulan baru terjadi sesaat setelah konjungsi. Tentu saja peristiwa ini tidak bisa diru`yah. Namun peristiwa inilah yang dijadikan acuan oleh para ahli hisab. Agar sesuai dengan kriteria syar’i -menurut anggapan mereka- maka ditambahkan beberapa kriteria lain. Dalam menetapkan kriteria-kriteria tersebut para ahli hisab berselisih dalam berbagai kelompok, antara lain:
– Ijtima’ Qablal Ghurub, bahwa untuk menyatakan esok hari sebagai awal bulan harus terjadi ijtima’ sebelum tenggelamnya Matahari.
– Wujudul Hilal, yang menyatakan bahwa ijtima’ qablal ghurub saja tidak cukup, tapi harus ditambahkan kriteria bahwa ketika Matahari tenggelam, Bulan masih di atas ufuk, berapa pun ketinggiannya.
– Imkanur Ru`yah, yang menyatakan bahwa wujudul hilal saja tidak cukup, tapi harus menentukan ketinggian minimum agar hilal yang memungkinkan untuk diru`yah di samping faktor-faktor lainnya. Maka mereka pun juga berselisih dalam menentukannya.
[5]. HR. al-Bukhari 1907.
[6]. HR. al-Bukhari 1900, Muslim 1080.
[7]. Perhatian!: Telah dinisbahkan kepada al-Imam Ahmad rahimahulah pendapat wajibnya bershaum pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab al-Mughni di mana Ibnu Qudamah rahimahulah menukilkan perkataan al-Imam Ahmad rahimahulah : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulah mengatakan: “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya al-Imam Ahmad“.
[8]. HR. Muslim 1080.
[9]. HR. al-Bukhari 1909.
[10]. Artinya tidak benar jika pendapat merujuk kepada ahli hisab dalam kondisi mendung tersebut dinisbahkan kepada al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Justru pendapat beliau, sebagaimana ada dalam kitab-kitab beliau dan pada murid-murid beliau, adalah sebagaimana pendapat mayoritas ‘ulama, yaitu: bersandar pada ru`yatul hilal, apabila mendung/hilal tidak terlihat maka menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari.
[11]. Itu pun pendapat yang menyatakan merujuk pada ahli hisab pada kondisi mendung tertolak, karena jelas-jelas menyelisihi nash/dalil yang jelas dan tegas, sebagaimana dijelaskan di atas.
[12]. HR. al-Bukhari 1909, Muslim 1081.
[13]. HR. al-Bukhari 1906, Muslim 1080.
[14]. Dalam bahasa ‘arab, kata ru`yah jika mengenai dua objek, bisa bermakna ru`yah ‘ilmiyyah. Misalnya:
رَأَيْتُهَذَاالأَمْرَخَيْرًا
“Saya melihat perkara ini baik.”
Kata ru`yah pada kalimat tersebut mengenai dua objek, maka maknanya ru`yah ‘ilmiyyah.
[15]. Maksudnya kalau mereka konsekuen berpegang dengan riwayat “maka perkirakanlah”maka mestinya mereka menggunakan hisab falaki hanya pada situasi mendung saja, karena memang haditsnya khusus berbicara pada kondisi mendung saja. Adapun ketika cuaca cerah, maka mestinya tidak menggunakan hisab. Namun faktanya, mereka tetap berpegang pada ilmu hisab dalam semua kondisi, baik situasi cerah maupun mendung.
[16]. Sehingga di kalangan ahli hisab, muncul berbagai kriteria. Ada kriteria wujudul hilal yang mempersyaratkan hanya wujudnya hilal di atas ufuk, beberapa pun ketinggiannya. Ada juga kriteria Imkanur Ru`yah yang mempersyaratkan ketinggian tertentu. yang syarat tersebut saling berbeda, ada yang mencukupkan 2 derajat, ada yang 4 derajat, 7 derajat, bahkan ada yang sampai 12 derajat.
[17]. Demikianlah faktanya. Sama-sama berpegang pada hisab, belum tentu hasilnya sama. Karena tergantung kriteria apa yang dijadikan pegangan. Beda kriteria beda hasil. Bukan berbeda hasil hitungannya, tapi berbeda dalam mengaplikasikan hasil hitungan tersebut.
[18]. Seperti firman Allah dalam surah Al-Isra ayat 12 yang artinya: “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Rabbmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan (hisab). Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
[19]. Ayat-ayat Al-Qur`an yang dijadikan dalil oleh para ahli hisab semuanya sama sekali tidak berbicara tentang ketentuan cara penetapan awal bulan qamariyah.
[20]. Yakni tidak harus melihat/ meru`yah. Cukup dengan wujud/ keberadaan tanda-tandanya.
[21]. Artinya al-hilal harus benar-benar terlihat. Tidak cukup sekadar sudah wujud di langit. Kalau seandainya cukup sekadar wujud maka untuk mengetahuinya tidak harus dengan melihatnya, boleh dengan menghisab. Karena untuk mengetahui wujud atau tidaknya tidak harus dengan melihat.
[22]. HR. al-Bukhari 1906, Muslim 1080.
[23]. Yang ini merupakan pekerjaan yang berat dan tidak semua orang bisa melakukannya.
Sumber: Abhats Hai'ah Kibaril ‘Ulama' jilid III, Halaman 35-43 melalui tautan berikut :
Sumber : https://m.facebook.com
Setiap negeri berpuasa mengikuti kebijakan pemerintah masing-masing berdasarkan hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,”Bilakah kalian melihat hilal?” Aku menjawab,”Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi,”Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku,”Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata,”Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata,”
أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟
Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yat hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, ”Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.”
Hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih gharib.”
Baca juga : Alasan bagi Ormas Muhammadiyah memulai puasa dengan "hisab" (Klik Disini)
Komentar
Posting Komentar