MENUDUH SAHABAT BERBUAT BID'AH


SYUBHAT YANG PALING BANYAK MAKAN KORBAN

MENUDUH BILAL JUGA BERBUAT BID'AH

Ada orang-orang yang ingin MELEGALKAN bid'ah hasanah berdalih dengan mengatakan bahwa Bilal juga berbuat BID'AH. mereka berdalil dengan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal radhiallahu anhu:

ﻳَﺎ ﺑِﻼَﻝُ ﺃَﺧْﺒِﺮْﻧِﻲْ ﺑِﺄَﺭْﺟَﻰ ﻋَﻤَﻞٍ ﻋَﻤِﻠْﺘَﻪُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺈِﺳْﻼَﻡ , ﻓَﺈﻧِّﻲْ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺩُﻑَّ ﻧَﻌْﻠَﻴْﻚَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱَّ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ .

"Wahai Bilal, kabarkan kepadaku amalan apa yang engkau paling harapkan (pahalanya) yang engkau lakukan dalam Islam, sesungguhnya aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di Surga".

Maka Bilal radhiallahu anhu menjawab:

ﻣَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺃَﺭْﺟَﻰ ﻋِﻨْﺪِﻱ : ﺃَﻧِّﻲ ﻟَﻢْ ﺃَﺗَﻄَﻬَّﺮْ ﻃَﻬُﻮﺭًﺍ ، ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔِ ﻟَﻴْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻧَﻬَﺎﺭٍ، ﺇِﻟَّﺎ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮﺭِ ﻣَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻟِﻲ ﺃَﻥْ ﺃُﺻَﻠِّﻲَ

"Aku tidak pernah mengerjakan amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain aku tidak pernah bersuci di waktu malam dan siang kecuali aku mengerjakan shalat sunnah seberepa banyak yang telah ditentukan kepadaku". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

TANGGAPAN MENGENAI ORANG YANG BERDAIL DENGAN PERBUATAN BILAL Radhiallahu'anhu : 

PERTAMA: Jika kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah yang baru. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendengarkan suara terompah beliau di surga. Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan baru.

KEDUA: Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’ sudah memiliki dasar nash (dalil) yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan Bilal sebagaimana anggapan para pelaku bid'ah). 

Di antara nash tersebut adalah: 

Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234), bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻓَﻴُﺤْﺴِﻦُ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﻭَﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻳُﻘْﺒِﻞُ ﺑِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﻭَﺟْﻬِﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﺟَﺒَﺖْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔُ

“Tidaklah seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat 2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan surga”

Hadits ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu adalah perkara yang di SUNNAHKAN. Di antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah .Di akhir hadits tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

ﻣﻦ ﺗﻮﺿﺄ ﻧﺤﻮ ﻭﺿﻮﺋﻲ ﻫﺬﺍ ﺛﻢ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﻻ ﻳﺤﺪﺙ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻧﻔﺴﻪ ﻏﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ

“Barang siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2 rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat -pent), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”

Kedua hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at. Kedua hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan para pelaku bid'ah yang mengatakan :

“...tidak ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu…”

Alhasil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah yang baru. Jika ada yang berkata : 

“boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) Bilal melakukan ibadah tersebut sebelum beliau mengetahui kedua hadist ini”

Kita pun bisa mengatakan : 

“Boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) SEBALIKNYA; Bilal melakukan ibadah tersebut setelah beliau mengetahui kedua hadits ini”

KETIGA : Kalaupun kita menerima anggapan bahwa Bilal telah melakukan suatu ibadah shalat sebelum mengetahui dalil-dalil khusus tentang Shalat setelah wudhu, maka tetap saja Bilal tidak bisa dikatakan telah membuat-buat perkara baru dalam agama. Karena Bilal mengamalkan apa yang beliau pahami dari firman Allah dan sabda Rasulullah yang berisi anjuran melakukan atau memperbanyak shalat-shalat sunnah secara MUTLAK. Adapun shalat yang beliau lakukan setiap selesai berwudhu, karena memang seseorang jika ingin melakukan shalat maka dia harus berwudhu terlebih dahulu. Dan sebaik-baik amalan saat dalam keadaan suci-di antaranya-adalah shalat. Maka tidak heran jika Bilal segera shalat setelah suci dengan berwudhu.

Di antara dalil umum yang jadi pegangan Bilal dalam hal ini adalah, firman Allah:

ﻭﺍﺳﺘﻌﻴﻨﻮﺍ ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ

“Mohonlah pertolongan dengan kesabaran dan shalat.”

Ini adalah dalil umum yang menunjukan bahwasanya melakukan shalat sunnah secara MUTLAK—di waktu yang dibolehkan melakukan shalat Sunnah—sangatlah dianjurkan dan tentu saja sebelum melakukannya harus berwudhu.

Diriwayatkan dari hadits Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, sebagaimana dalam Shahih Muslim (no. 489); bahwa suatu ketika Rabi’ah meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar di akhirat nanti bisa dekat dengan beliau di surga maka Rasul berkata kepada beliau:

ﻓﺄﻋﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻚ ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﺴﺠﻮﺩ

“Wahai Rabi’ah, kalau begitu perbanyaklah sujud”

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah
Shahih Muslim (jilid 4 hal. 206):
“Yang dimaksud memperbanyak sujud di sini adalah sujud dalam SHALAT”

Ini adalah dalil umum yang memotivasi kita untuk banyak melakukan shalat SUNNAH yang sifatnya MUTLAK (tidak terikat). Lagi pula jika kita merujuk penjelasan ulama, shalat Sunnah setelah wudhu adalah jenis ibadah yang bersifat “ghairu maqshuudah bi-dzaatihaa”, dalam artian; dia bukanlah jenis shalat yang bersifat khusus semisal shalat fardhu. Dia mirip dengan shalat Tahiyyatul Masjid, yang penting shalat dulu ketika masuk masjid sebelum duduk, shalat apa saja, sudah terhitung Tahiyyatul Masjid. Demikian pula, jika ada orang melakukan shalat Sunnah Qabliyah Zhuhur langsung setelah ia berwudhu, maka ia sudah terhitung melakukan shalat Sunnah wudhu. Karena yang terpenting adalah; dia shalat setelah wudhu, shalat apa saja. Demikian pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani (wafat: 1898-M) dalamkitabnya Nihaayatu az-Zain (hal. 104), beliau menuliskan:

ﻭﻣﻨﻪ ﺻﻼﺓ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻔﺮﺍﻍ ﻣﻨﻪ ﻭﻗﺒﻞ ﻃﻮﻝ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﻭﺍﻹﻋﺮﺍﺽ ، ﻭﺗﺤﺼﻞ ﺑﻤﺎ ﺗﺤﺼﻞ ﺑﻪ ﺗﺤﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ؛ ﻓﻠﻮ ﺃﺗﻰ ﺑﺼﻼﺓ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻣﻦ ﻓﺮﺽ ﺃﻭ ﻧﻔﻞ ﻓﻔﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﺗﺤﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺣﺼﻮﻝ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻭﺳﻘﻮﻁ ﺍﻟﻄﻠﺐ

Ini juga yang menjadi pendapat ulama al-Lajnah ad-Da-imah (7/248-249). Termasuk juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqo' al-Bab al-Maftuh: 25/20).

Berarti shalat Sunnah mutlak yang dilakukan setelah wudhu, termasuk dalam cakupan makna hadits Bilal di atas. Sehingga semua dalil-dalil yang berisi anjuran memperbanyak shalat secara mutlak, berlaku juga bagi orang yang shalat setelah wudhu. Dengan demikian, tak lagi bisa diterima alasan yang menyebut Bilal telah melakukan ibadah tanpa dalil, atau sebelum ia mengetahui dalilnya.

KEEMPAT : Ibadah yang dilakukan oleh Bilal ini resmi menjadi sunnah setelah mendapatkan taqriir atau PENGAKUAN dari Nabi. Kita menyebutnya sebagai sunnah taqririyyah, yaitu sunnah yang telah mendapat legitimasi (persetujuan) dan pengakuan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jadi ibadah tersebut menjadi bagian dari syari’at karena taqriir Nabi, bukan semata-mata karena dipelopori oleh Sahabat atau ulama tertentu. 
ADAPUN DI ZAMAN INI, Sunnah Taqriiriyyah sudah tak ada lagi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk mengada-ada atau menambah-nambah perkara baru dalam hal ibadah.

Jika dikatakan ; bukankah perbuatan Bilal tersebut sebelum mendapat taqrir dari Nabi adalah bid’ah..?? JAWABANNYA; Maka kita katakan; bahwasanya para Sahabat punya kekhususan dalam masalah ini. Karena mereka hidup di zaman turunnya wahyu. Tidak bisa disamakan apa yang dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini. Jika ada amalan Sahabat yang tidak diridhai secara syar’i di era turunnya wahyu dan pensyariatan, niscaya Allah akan menurunkan teguran melalui Nabi-Nya, dan menjelaskan jalan ibadah yang sesuai dengan keridhaan-Nya. Namun yang demikian ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup tidak di zaman turunnya wahyu (YANG SEKARANG INI).

Ibnu al-Qayyim mengatakan:

ﺃﻥ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺮﺏ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻮﻥ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺷﺮﻉ ﺍﻟﺸﺮﺍﺋﻊ ﻭﻧﺰﻭﻝ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻭﺇﻗﺮﺍﺭﻩ ﻟﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻋﻔﻮﻩ ﻋﻨﻪ

“Ilmu Rabb ta’ala atas apa-apa yang diamalkan (oleh para Sahabat) di zaman pensyariatan, atau di era turunnya wahyu, lantas Allah men-taqriir-nya (atau mendiamkannya), adalah bukti bahwa Allah tidak mempermasalahkan amalan mereka tersebut.”
[Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Mustakhrajah min I’lamil Muwaqqi’in: 292, Abdurrahman al-Jazairi, Taqdim: Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid]

Adapun pada zaman ini, Rasul sudah tiada, wahyu sudah terputus dan agama sudah di SEMPURNAKAN. Wahyu mana yang akan menjamin keabsahan setiap ide atau kreasi orang dalam ibadah..? Sementara itu amalan yang dilakukan oleh Bilal adalah amalan yang dilakukan pada waktu Rasul masih hidup, dan belum diturunkan ayat tentang kesempurnaan Islam:

ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Kalian” (Almaidah : 3)

Sehingga tidak bisa disamakan kasus yang terjadi di zaman para sahabat dengan apa yang terjadi di zaman ini. Ibadah yang diada-adakan pada zaman ini tidak ada JAMINAN legitimasi dari Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena agama ini sudah di SEMPURNAKAN, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah wafat dan wahyu telah TERPUTUS. Di sisi yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menutup peluang bagi orang-orang belakangan untuk berkreasi dalam ibadah, melalui sabdanya: 

ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ

“Semua bid’ah itu sesat”

Para sahabat seperti Ibnu ‘Umar, menafsirkan sabda Rasulullah ini dengan ucapannya;

ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻭﺇﻥ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﺴﻨﺔ

“Setiap kebidahan adalah kesesatan sekalipun manusia memandangnya hasanah (baik)”

KELIMA ; jangankan di zaman ini, di era Nabi masih hidup saja, tidak semua ide Sahabat dalam hal ibadah di-taqriir (di setujui) oleh Nabi. Ada yang bahkan diingkari dengan keras. Seperti kisah 3 orang yang ingin beribadah lebih—yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063). "Di antara mereka ada yang ingin membujang selamanya agar fokus beribadah, ada yang ingin berpuasa sepanjang tahun (dahr), dan ada yang hendak shalat malam tanpa tidur. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingkari ide mereka tersebut, sekalipun NIAT mereka BAIK.

Juga kisah al-Baraa' bin 'Aazib yang mengganti lafaz “wabi-nabiyyika…” menjadi “wabi-rasuulika…” dalam doa sebelum tidur yang diajarkan Nabi pada beliau. Tindakan al-Baraa’ ini langsung mendapat TEGURAN dari Nabi (Lihat Shahih al-Bukhari no. 6311).

Nah, jika Sahabat saja ada yang diingkari oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam atas ide atau tindakan mereka dalam hal IBADAH, maka apalagi IDE BARU orang-orang ZAMAN SEKARANG…??

KESIMPULANNYA

perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan DALIL untuk menyokong adanya bid’ah mahmudah/hasanah dalam ranah ritual IBADAH sehingga seseorang bisa bebas melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid dan lain-lainnya).

𝘽𝘼𝙃𝘼𝙔𝘼 𝙎𝙃𝙐𝘽𝙃𝘼𝙏

Hati kita satu
Dan itupun lemah
Shubhat begitu menyambar²..

Yang dimaksud syubhat adalah perkara yang masih samar hukumnya, apakah halal atau haram. 

Jika kita menemukan perkara semacam ini, maka lebih utama untuk ditinggalkan. 

Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. 

Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. 

Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. 

Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. 

Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. 

Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” 

(HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

JANGAN SALAH MENGAMBIL ILMU AGAMA !!

Menuntut ilmu syar'i itu wajib,tapi tetaplah perhatikan dari mana dan dari siapa kita mengambil,Tidak semua ustadz,da'i atau penceramah yang bisa kita ambil ilmunya.

Karena telah datang zamannya semakin banyak pengekor firqoh-firqoh sesat yang keluar di akhir zaman ini, da'i-da'i penebar syubhat yang hanya pandai beretorika dan sebatas ingin di gemari ummat.

Maka dari itu,jangan salah memilih guru.
Jangan memilih guru hanya karena banyak pengikutnya,sekedar banyak hafalannya,sekedar tenar,Karena banyak pengikut, banyaknya hafalan dan terkenal belum tentu manhaj dan aqidahnya benar!

Karna sejatinya Kita sebagai pemuda pemudi yang berhijrah menuntut ilmu syar'i gak butuh ustadz keren apalagi gaul yang pandai beretorika,pandai membuat kita bergelak tawa. 

Pemuda hijrah hanya butuh ustadz yang lurus aqidah,manhaj serta senantiasa menjauhkan kita dari syirik,bid'ah khurafat,takhayul. Yang kita bituhkan ustadz Yang mengenalkan Tauhid,sunnah dan ilmu² syar'i lainnya.

Dan juga bisa membuat kita semakin mengenal Allah dan RosulNya sehingga membuahkan rasa takut kita kepada Allaah..

Allahul musta'an.

Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita untuk memahaminya. hanya Allah-lah pemberi taufiq dan hidayah

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?