Campur Tangan Inggris dan Sejarah Berdirinya Negara Kerajaan Saudi



Campur Tangan Inggris dan Sejarah Berdirinya Negara Kerajaan Saudi

Sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi tidak lepas dari peran negara Inggris merebut wilayah Arab dari kekuasaan Turki Utsmani, muncullah Revolusi Arab, dan akhirnya kemunculan kerajaan Arab Saudi di Jazirah Arab. Inggris mendukung Arab Saudi setelah tanggal 29 Oktober 1914 Turki Utsmani menyatakan perang terhadap aliansi Inggris, Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat.

Sejak tahun 1517 Turki memperluas wilayahnya hingga Arab dan menanggalkan kekuasaan Mamluk. Sayangnya, saat itu Turki tidak menguasai Hijaz. Mekah dikuasai Al-Idrisi, dan wilayah lain di Jazirah Hijaz dikuasai Klan Saudz yang wilayahnya makin meluas saat itu, apalagi setelah bersama Muhammad bin Abdul Wahab. Bani Saud berhasil menguasai sebagian Hijaz, hingga ke Irak.

Pengaruh, dan kekuasaan Bani Saud, membuat wakil Turki Utsmani di Kairo khawatir. Maka, dikirimlah ulama terkenal, bernama Mahmud Syukuri Al-Alusi. Ia memberi hadiah kepada Bani Saud 10.000 lira emas dan diminta agar tidak mengganggu jalur perdagangan Utsman serta para jamaah haji. Ibnu Saud menyetujuinya.

Namun pada tahun 1818, pertempuran antara pasukan Turki dengan pasukan Bani Saud tetap terjadi. Pasukan Bani Saud kalah. Pada tahun 1824, Bani Saud bangkit dan membangun kekuasaan di Nejd. Namun lagi-lagi kembali dihancurkan oleh Klan Al-Rasyid.

Sementara itu, konflik dan pertikaian antar para amir (pemimpin) Dinasti Saudi kian meningkat. Klan Ibnu Ar-Rasyid dengan cerdiknya memanfaatkan kondisi ini untuk menguasai wilayah-wilayah Dinasti Saudi di Najd dan berafiasi dengan Turki Utsmani, sedangkan Klan Ash Shabah di Kuwait tempat Dinasti Saudi berafiliasi dengan Inggris.

Perebutan kekuasaan antar amir Dinasti Saudi terus terjadi dan berujung pemberontakan di seluruh wilayah Arab. Turki Utsmani pun terus melakukan tekanan serta intervensi di wilayah ini. Melihat keadaan seperti itu, Inggris langsung bergerak menyatakan dukungan terhadap Dinasti Saudi. Mereka berusaha membubarkan Kekaisaran Utsmani dan melakukan strategi perang tertentu untuk mengusir Utsmani dari tanah Arab. Terjadilah pemberontakan Syarif Husein tahun 1916.

Perjanjian The Sykes-Picot
(Baca klik disini)

Bermacam cara dilakukan Inggris mengambil Dinasti Saudi dari tangan Turki Utsmani yang mereka pandang sebagai bagian dari perang dunia. Menciptakan pemberontakan-pemberontakan di wilayah jazirah Hijaz yang dikuasai Kekaisaran Utsmani menjadi salah satu strategi Inggris.

Untuk merealisasikan strategi ini mereka mendekati amir Dinasti Saudi yang dikenal dengan sebutan Syarif Husein bin Ali (1856-1931). Syarif Husein merupakan gubernur Mekah yang diangkat tahun 1908 oleh Turki, dan Raja Hijaz 1916-1924. Syarif Husein dianggap bisa membantu dan bersedia membuat perjanjian dengan pemerintah Inggris untuk memberontak Turki Utsmani tahun 1916.

Perjanjian antara Inggris dengan Syarif Husein, kemudian dikenal, dengan nama Perjanjian Sykes dan Picot, yang ditandatangani tahun 1916. Sykes, diambil dari nama diplomat Inggris, Sir Mark Sykes, sedang Picot dari nama diplomat Prancis, Francois Georges Picot.

Perjanjian itu, antara lain berisikan pembagian pengaruh dan kendali wilayah-wilayah Islam di Asia Barat. Sehingga setelah jatuhnya Kekhalifahan Utsmani di luar jazirah Arab di masa depan, dapat ditentukan dimana kendali atau pengaruh Inggris dan Perancis akan berlaku. Hasil lain dari perjanjian Sykes Picot adalah Suriah dan Libanon menjadi mandat Perancis dan Yordania, sementara Irak serta Palestina termkasuk Yerusalem di bawah mandat Inggris.

Pasca perang dunia I, orang-orang Arab tidak hanya gagal mendapatkan kemerdekaan, namun juga dibagi-bagi menjadi beberapa negara yang terpisah dan diperintah dua kekuatan berbeda. Konflik yang berkepanjangan terus terjadi hingga sekarang akibat perbedaan.

Sebagai tindak lanjut dari perjanjian Inggris yang mendorong bangsa-bangsa Arab untuk bersatu melawan Turki Utsmani selama perang dunia I, Inggris berjanji untuk membantu Arab membangun sebuah persatuan di bawah Syarif Husein bin Ali (1856-1931). Syarif Husein pun akhirnya memberontak kepada Kekhalifahan Utsmani atas bujukan Inggris.

Pemberontakan Syarif Husain

Alasan Syarif Husein beraliansi dengan Inggris, salah satunya adalah penolakan atas penunjukan tiga Pasha oleh nasionalis Turki, dan konflik personal dengan Utsmani. Pada saat itu, Inggris sempat mengajak Abdul Aziz Ibnu Saud atau dikenal Ibnu Saud untuk memberontak terhadap Turki Utsmani. Namun, Ibnu Saud tetap pada pendiriannya, menolak dengan alasan bahwa makar adalah tindakan keji, karena bagaimanapun, Hijaz dan Mekah adalah bagian dari wilayah Kesultanan Turki Utsmani, serta rival Nejd.

Ibnu Saud pun menyarankan kepada Syarif Husein agar bersikap netral dengan bangsa-bangsa kolonial Eropa. Syarif Husein menolak ajakan tersebut, hingga terjadilah pemberontakan pada Turki Utsmani tahun 1916. Perang antara pasukan Syarif Husein yang didukung Inggris melawan Turki Utsmani pun tak dapat dihindarkan. Inggris berjanji untuk menyediakan dana, prajurit, uang, dan senjata modern kepada pemberontak, demi membantu mereka bertempur melawan tentara Ottoman.

Syarif Husein juga mendapat kerajaan Arabnya sendiri yang terdiri atas seluruh Semenanjung Arab, termasuk Suriah dan Iraq. Surat-surat yang menunjukan negosiasi ini disebut Korespondensi McMohan-Husein, karena Syarif Husein berbalas pesan dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMohan. Perang berlangsung selama hampir 3 tahun, tanpa ada keterlibatan Ibnu Saud. Perang ini kemudian terkenal dengan nama Revolusi Arab.
Pada tahun 1916, terjadi kampanye bersenjata melawan Ottoman yang membawa kelompok bersenjata Bedouin, dari Hejaz. Gerakan ini mampu menguasai Hejaz, Jedah, dan Mekah dengan bantuan angkatan darat, dan laut Inggris melawan Ottoman. Turki Utsmani akhirnya menyerah, dan mengakui kekalahannya atas pasukan Syarif Husain. Turki Utsmani semakin melemah, setelah kalah dalam perang dunia I. Tanggal 3 Maret 1924 khilafah Turki Utsmani dibubarkan.

Pemberontakan yang dipimpin Syarif Husein berimbas pada kejatuhan Palestina, yang akhirnya berada dalam genggaman Inggris. Runtuhnya Turki Utsmani tentu saja memberi jalan bagi Inggris untuk mewujudkan pembagian negara-negara di Timur Tengah sesuai perjanjian Sykes-Picot tahun 1916. Dari keputusan perjanjian inilah kemudian menjadi penyebab negara-negara Arab mengalami konflik berkepanjangan di abad ke-20 sampai kini.

Syarif Husein Mengaku Sebagai Raja Seluruh Arab

Syarif Husein terus melakukan pemberontakan demi mewujudkan keinginannya untuk menjadi raja Arab. Setelah melepaskan diri dari Kekhalifahan Turki, ia pun mengangkat dirinya sebagai raja seluruh Arab. Walaupun secara de facto ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk bisa mewujudkan kekuasaan tersebut. Sayangnya, ternyata Inggris, Perancis dan Italia hanya mengakuinya sebagai Raja Tanah Hijaz. Sejak itu, Turki serta Inggris pun melepas dukungannya, maka Syarif tidak mempunyai kekuatan yang dihandalkan.

Syarif Husein masih yakin dirinya bisa menjadi Raja Arab. Ia pun memaksa keluarga Saud agar tunduk kepadanya. Keluarga Saud pun menolak mentah-mentah. Hal ini karena ia telah memiliki wilayahnya sendiri sejak zaman Utsmani. Meletuslah perang antara Saudi dan Syarief Husein di Al-Khurman, sebuah daerah subur di Timur Mekah.

Pada pertempuran tersebut, pasukan Syarief yang didukung Inggris berhadapan dengan pasukan al-Ikhwan, pasukan loyalis Saudi akhirnya kalah. Tahun 1924, Syarif Husein mengangkat dirinya sebagai khalifah, setelah Kamal Ataturk membubarkan Kekhalifahan Turki Utsmani.

Semenjak itu, Syarif melarang jamaah haji dari Nejd untuk melakukan ibadah haji di Mekah. Hal ini, menimbulkan kemarahan keluarga Saud dan Inggris melepaskan dukungannya. Maka dengan cepat Saud menguasai Hijaz. 

Akhir Kekuasaan Syarif Husein

Sementara itu, kekuasaan Bani Saud makin meluas dan berpengaruh di wilayah Nejd setelah ditaklukannya pada akhir 1921. Pada tahun itu, Faisa putra Syarif Husein dinobatkan menjadi raja Iraq setelah diangkat oleh Miss Bell, utusan dari pemerintah Inggris yang berkantor di Cairo. Syarif Husein terdesak meminta bantuan Inggris melawan Ibnu Saud, tetapi ditolak oleh Ingggris, karena Inggris malah berpihak pada Ibnu Saud.

Akhirnya, Syarif Husain turun tahta karena kalah dengan Abdul Aziz bin Saud. Kekalahan Syarif Husein lantaran dikhianati Inggris setelah menang perang dunia I. Syarif Husein akhirnya gagal mendapatkan wilayah dari perjanjian Skyes- Picot. Tahun 1926, ia diusir oleh Inggris dari Aqabah dan dibolehkan mengungsi ke Pulau Ciprus. Tahun 1930, ia pindah ke Amman bersama putranya, hingga meninggal dunia tahun 1931. Keturunan Syarif Husein memegang kekuasaan di Yordania hingga sekarang ini.
-----
Baca juga artikel terkait :
Kisah Abdul Aziz bin Saud Mendirikan Kerajaan Arab Saudi

Kerajaan Arab Saudi merupakan monarki yang terletak di Semenanjung Arab. Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Saud yang juga dikenal dengan nama Ibnu Saud memproklamasikan kemerdekaan Kerajaan Arab Saudi pada 23 September 1932. Dalam mendirikan negara, sebelumnya Ibnu Saud harus melalui proses penaklukan kota-kota di Jazirah Arab.

Abdul Aziz bin Saud lahir di Riyadh pada November 1880. Ia adalah putra dari Abdul Rahman bin Faisal dan Sara binti Ahmad al-Kabir Sudayri. Sebagai seorang remaja, ia mengalami masa-masa ketika keluarganya menderita di akhir Kerajaan kedua Arab Saudi di Najd. Pasalnya, Ibnu Saud dan ayahnya harus dideportasi ke Kuwait karena posisinya di Riyadh direbut oleh Muhammad bin Rasyid pada tahun 1891.

Akibatnya, keluarga Saud jatuh miskin. Di sisi lain, Ibnu Saud belajar banyak tentang politik sejak pindah ke Kuwait. Tak jarang ia harus mengalami dan melihat langsung peristiwa perselisihan akibat konflik internasional.

Bersumber dari buku berjudul History of Islamic Civilization from Classic to Modern (2003) , perjuangan Ibnu Saud dimulai dengan merebut kembali tanah keluarganya dari Dinasti Rashidi. Pada tahun 1902, ketika Ibnu Saud berusia 21 tahun, ia bersama keluarga dan saudaranya berhasil merebut kembali Riyadh dengan membunuh Gubernur Rashidi.

Tidak sampai disitu, pada tahun 1912, Ibnu Saud juga berhasil menguasai Najed dengan bantuan Gerakan Wahhabi. Hingga akhirnya Dinasti Rashidi berhasil dikalahkan dan mengakhiri kekuasaannya di Tanah Arab pada tahun 1922. Perluasan kekuasaan Ibnu Saud dilanjutkan dengan merebut Kota Suci Mekkah dari Sharif Husain bin Ali pada tahun 1924 dan menguasai Madinah dan Jeddah pada tahun 1925.

Tepatnya pada 8 Januari 1926, Ibnu Saud dinobatkan sebagai Raja Hijaz di Masjidil Haram, Mekkah. Setelah berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab dari musuh-musuhnya, pada tahun 1932 Ibnu Saud menamai tanah gabungan Hijaz dan Najd sebagai Arab Saudi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nama Saudi diambil dari nama keluarga Raja Abdul Aziz al-Saud yang merupakan raja pertama Kerajaan Arab Saudi.

Setelah itu, Ibnu Saud dan keluarganya mulai membangun Kerajaan Arab Saudi. Melansir dari the-saudi.net, tanah Arab Saudi yang semula merupakan tanah tandus berubah menjadi kawasan yang makmur dan kaya raya. Hal itu tak lepas dari keberhasilan Ibnu Saud yang berhasil menemukan sumber minyak di tanah tersebut pada 1932. Selain itu, ia juga membangun sejumlah fasilitas dan membebaskan warga dari ikatan kesukuan.

Peran Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi an-Najdi dalam.perjuangan kemerdekaan Arab Saudi :

Sejarah berdirinya negara yang mulia ini tak lepas dari sosok dua tokoh besar, yaitu Syaikhul Islam al- Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi an-Najdi rahimahullah dan al-Amir Muhammad bin Su’ud rahimahullah.

Berdirinya Kerajaan Arab Saudi juga tak bisa dipisahkan dari dakwah tauhid dan pemurnian Islam yang ditegakkan oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dari sejarah yang telah diuraikan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita analisa terkait sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi bahwa Gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab  pada awalnya hanyalah gerakan keagamaan saja dengan Mazhab Hambali yang merupakan salah satu Mazhab dari 4 imam Mazhab. Perbedaan antara ajaran atau Gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dengan ajaran Mazhab sunni yang lainnya menurut para ulama hanyalah masalah furu yang sebenarnya sudah selesai pembahasannya oleh 4 Imam Mazhab. Pergesekan antara ajaran Wahabi dengan ajaran Sunni yang lainnya akhirnya terjadi karena ajaran Gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dianut oleh Dinasti Saudi yang masuk perebutan kekuasaan di wilayah Hijaz dan Najd.

Kita harus bisa memisahkan antara dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab  dengan kepentingan politik Dinasti Saudi.

Kalau kedua hal tersebut bisa dipisahkan maka tidak ada alasan lagi antara kelompok Gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab atau yang disebut "Wahabi yang kadang disebut juga dengan Salafi" dengan kelompok dari Mazhab Suni lainnya untuk saling bermusuhan. Karena perbedaan di antaranya hanyalah masalah furu’ saja yang sebenarnya bisa untuk saling bertoleransi seperti halnya yang telah dilakukan pada zaman imam Mazhab.

Referensi :

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?