Bagaimana Hukum Puasa Arafah saat Sudah Ada yang Idul Adha?

Ust. Adi Hidayat puasa Arafah ikut "Wahabi"...? (Arab Saudi)

Simak uraiannya dan penjelasan dari Ust. Syafiq Reza Basalamah di video berikut :

Sumber video : https://youtu.be/kWC

DALIL :

Firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, shahih).

Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”.

Yang dimaksud mayoritas manusia (masyarakat) :

Hadits di atas bukan dimaksud kita berhari raya dengan masyarakat setempat, yang dimaksud adalah dengan jama’ah. Jama’ah adalah dengan rakyat banyak di bawah keputusan penguasa (ulil amri). Sehingga keliru pemahaman sebagian orang tentang hadits tersebut.

Yang dimaksud hilal :

Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di  langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu sama sekali tidak dikenai hukum baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut mengabarkan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110)


Bagaimana Hukum Puasa Arafah saat Sudah Ada yang Idul Adha?

Rasulullah SAW dalam haditsnya secara jelas melarang umatnya untuk berpuasa pada hari-hari besar Islam. Hadist tersebut dikisahkan dari Abu Sa'id Al Khudri RA yang mengutip perkataan Rasulullah SAW. Ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.

Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fitri dan Idul Adha." (HR Muslim).

Sementara, penetapan Idul Adha di Indonesia diwarnai dengan perbedaan.

"Tentunya perbedaan itu pada setiap permasalahan adanya wujudulhilal dan ada rukyatulhilal yang kedua-duanya menggunakan hisab hanya tergantung pada ketinggian pada hisab itu masing-masing,"

Permasalahan ini sebetulnya juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Syekh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah menunjukkan keterangan hadist bahwa Aisyah RA tetap mengamalkan puasa Arafah meski ada kekhawatiran waktu tersebut bertepatan dengan Idul Adha di wilayah lainnya.

"Masruq (seorang tabi'in) menyarankan beliau (Aisyah) untuk tidak berpuasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa," kata Syekh Al Albani yang diterjemahkan oleh Muhammad Hadi Bashori

Aisyah RA pun kemudian menjawab keresahan Masruq dan mengatakan, segala sesuatunya lebih diutamakan dengan mengikuti yang mayoritas. Aisyah RA kemudian mengutip hadits yang pernah disabdakan Rasulullah SAW berikut,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Artinya: "Puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Idul Fitri adalah hari di mana kalian semua berlebaran. Idul Adha adalah hari di mana kalian semua menyembelih." (HR Tirmdzi).

Berdasarkan hadits di atas, Syekh Al Albani berpendapat, tidak masalah mengamalkan puasa Arafah meski sudah ada yang merayakan Idul Adha lebih dulu.

Tapi ingat Rasulullah SAW juga pernah bersabda dalam haditsnya mengenai sikap patuh pada keputusan pemerintah adalah wujud kewajiban dari rakyat. Kemudian dikuatkan dalam firman Allah Surah An Nisa ayat 59 yang berbunyi,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat),"

Sikap patuh pada pemerintah pun pernah dicontohkan oleh Ibnu Umar RA kala dirinya melihat hilal untuk penetapan awal puasa. Ibnu Umar pun bergegas menyampaikan pada Rasulullah SAW selaku pemimpin agama dan pemimpin pemerintahan saat itu.

تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ

Artinya: "Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa," (HR Abu Dawud).

Jika pemerintah membuat keputusan yang salah dalam menentukan hari raya.

Pemerintah membuat keputusan hari raya  misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, maka –wallahu ‘alam- tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan untuk berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin, dalam hal ini bersama pemerintah demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan. Sesuai dengan sabda Rasulullah :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.

Ash-Shan’ani, ketika mensyarah hadits ini berkata : “Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka.[7]

Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar Radhiyallahu ‘anhum berkata : “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Ied”.[8]

Asy-Syaukani menyebutkan, diperbolehkan shalat Ied pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan dengannya”[9]

Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan : Jika dikatakan “Bisa saja pemerintah diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal”.

Maka dikatakan (kepada mereka) : Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun, pen) tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal ; baik sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang para penguasa :

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka.” [Lihat: Majmu’ Fatawa: 23/115-116]

Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan.[10]

Kesimpulan :

Hari raya bukanlah urusan ormas tertentu, bukan urusannya wong cilik. Yang berhak angkat suara dan memutuskan adalah pemerintah (di Indonesia adalah atas nama Kementrian Agama RI).

Baca juga :
Referensi :

(1) https://rumaysho.com/1926-manut-pemerintah-dalam-hari-raya.html

(2) https://muslim.or.id/9675-puasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah.html

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?