Sebaik-baik Generasi dan Abu Hasan al-Asy'ari Bukan Generasi Tabiut Tabi'in

Nabi Muhammad Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam. menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan juga untuk kita yang hidup di akhir zaman ini, sbb :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.

Sebaik-baik Generasi Manusia

Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين يلونهم

“Sebaik-baik manusia adalah kurunku (Sahabat), kemudian orang-orang yang setelahnya (Tabi’in), lalu orang-orang yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Generasi Sahabat Nabi ﷺ, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in

Penting untuk dicatat bahwa tanggal yang diberikan di sini hanyalah perkiraan umum. Ketepatan waktu dapat bervariasi di beberapa sumber dan pendapat para sejarawan agama.

Berikut adalah perkiraan rentang waktu untuk setiap masa:

Generasi Sahabat (610 – 632 M)

Masa ini mencakup periode ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup dan sahabat-sahabatnya berinteraksi langsung dengannya. Rentang waktu ini umumnya dianggap dari tahun 610 Masehi (tahun permulaan wahyu) hingga tahun 632 Masehi (wafatnya Nabi Muhammad ﷺ). Jadi, masa sahabat Nabi ﷺ dapat dikatakan berkisar antara 610-632 Masehi.

Generasi Tabi’in (632 – 750 M)

Masa Tabi’in dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah generasi kedua umat Islam yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Rentang waktu ini diperkirakan antara awal abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-8 Masehi (sekitar tahun 632-750 Masehi). Namun, tanggal pasti bergantung pada definisi yang digunakan oleh para sejarawan dan ahli hadis.

Berikut adalah beberapa tokoh ulama terkenal dari masa Tabi’in:
  • Hasan al-Basri (642-728 M): Ulama terkenal yang dikenal karena pengetahuannya tentang Al-Qur’an dan tafsir.
  • Abdullah ibn Umar (614-693 M): Anak dari sahabat Nabi Muhammad ﷺ, Umar ibn Khattab, yang merupakan sumber pengetahuan yang signifikan tentang praktik dan ajaran Islam.
  • Sa’id ibn al-Musayyib (642-713 M): Salah satu tokoh utama dalam bidang tafsir, fiqh, dan hadis.
Generasi Tabiut Tabi’in (750 – 850 M)

Masa Tabiut Tabi’in adalah generasi ketiga umat Islam yang hidup setelah masa Tabi’in. Rentang waktu ini diperkirakan antara pertengahan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-9 Masehi (sekitar tahun 750-850 Masehi). Seperti sebelumnya, tanggal pasti dapat bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan.

Berikut adalah beberapa tokoh ulama terkenal dari Masa Tabiut Tabi’in (generasi ketiga umat Islam):
  • Imam Abu Hanifah (699-767 M): Pendiri salah satu dari empat mazhab dalam fiqh Sunni, Mazhab Hanafi.
  • Imam Malik ibn Anas (711-795 M): Pendiri Mazhab Maliki dan dikenal karena kitab hadisnya yang terkenal, “Al-Muwatta”.
  • Imam Shafi’i (767-820 M): Pendiri Mazhab Syafi’i dan juga seorang penyair terkenal.
  • Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M): Pendiri Mazhab Hanbali dan dikenal karena ketekunannya dalam menegakkan kebenaran. 

Abū Ḥasan al-Asyʿarī 
bukan Generasi Tabiut Tabi’in

Abū Ḥasan al-Asyʿarī hidup bukan digenerasi terbaik manusia atau bukan Generasi Tabiut Tabi’in, sebagaimana Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين يلونهم

“Sebaik-baik manusia adalah kurunku (Sahabat), kemudian orang-orang yang setelahnya (Tabi’in), lalu orang-orang yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Masa tabiin dimulai sejak wafatnya sahabat nabi terakhir, Abu Thufail al-Laitsi, pada tahun 100 H (735 M) di kota Makkah; dan berakhir dengan wafatnya Tabiin terakhir, Khalaf bin Khulaifat, pada tahun 181 H (812 M).5 Feb 2021

Ulama Tabi'in yang terakhir wafat sekitar 110-120 Hijriah.

Salaf adalah "Generasi Terbaik" yang hidup di abad 2 H. Simak uraian UAH berikut :

Sumber video : https://youtu.be/nwZ

Abū Ḥasan al-Asyʿarī lahir di Basra pada sekitar tahun 260 H (874 Masehi) dan meninggal di Baghdad pada tahun 322 H (936 Masehi). Di masa mudanya dia belajar kepada ayah tiri sekaligus gurunya, Ali al-Juba’i, seorang tokoh Mu'tazilah di masanya. Tidak heran bila pada masa mudanya, al-Asyʿari meyakini doktrin Mu'tazilah. Namun, sebagaimana menurut sumber-sumber klasik, saat berusia 40 tahun diberitakan dia bermimpi bertemu dengan Nabi Islam Muhammad sebanyak tiga kali pada suatu bulan Ramadhan.

Dalam sumber-sumber klasik itu diceritakan saat pertama kali mimpi bertemu Nabi Islam Muhammad, Muhammad memintanya untuk tidak pernah meninggalkan tradisi (sunnah) yang datang dari dirinya. Saat terbangun, dirinya pun menjadi khawatir karena beberapa pandangannya bertentangan dengan ucapan Muhammad (hadis). Selang 10 hari, dirinya bermimpi, dan Muhammad kembali memintanya untuk tidak pernah meninggalkan sunnah-sunnahnya. Kejadian kedua itu membuatnya meninggalkan ilmu kalam dan hanya mempercayai hadis. Namun, pada malam 27 Ramadan dirinya kembali bermimpi bertemu Muhammad, dan kali ini Muhammad mengatakan kepadanya bahwa ia tidak memintannya untuk meninggalkan ilmu kalam tetapi hanya memintanya untuk mendukung sunnah-sunnah yang datang dari dirinya. Dalam kitab Tabyin Kidzb Al-Muftari karangan Ibnu As-Sakir terdapat kisah mimpi perjumpaan al-Asy'ari dengan Muhammad (Baca selengkapnya, klik disini)

---oOo---

Abū Ḥasan al-Asyʿarī, bukanlah  Tabi'in, Tabiut Tabi’in, apalagi Sahabat..!
Kenapa sunnah menyimpangnya yang diikuti..?

Simak video berikut :
Sumber video : https://youtu.be/6Ct0

Sumber video : https://fb.watch/p4

Baca artikel terkait berikut :

Sumber video : https://fb.watch/p4XY

---oOo---

Alasan Akidah Asy’ariah Banyak Diikuti Masyarakat Indonesia

Berikut ini alasan akidah Asy’ariah banyak diikuti masyarakat Indonesia. Mazhab Asy’ariyah adalah mazhab akidah ahlusunnah wal jama’ah yang dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari.

Imam Abul Hasan al-Asy’ari, sekalipun di awal hayatnya beliau berkeyakinan Muktazilah, namun beliau dapat melepaskan diri dari mereka di usia ke empat puluh tahun. Di mana saat Muktazilah sedang gencar-gencarnya mendakwahkan ajarannya, Imam Abul Hasan al-Asy’ari mendapat ilham dari Allah SWT.

Sehingga saat itu, beliau tidak ikut mempercayai kemakhlukan Alquran, juga tidak mengamini pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seorang pendosa besar akan berada di sebuah tempat di antara dua tempat.

Imam Abul Hasan al-Asy’ari merupakan sosok mujtahid sekaligus mujaddid (tokoh pembaharu) yang berkomitmen menjaga akidah umat Islam. Beliau menulis banyak sekali buku yang menguraikan persoalan-persoalan akidah Islam, mencapai dua ratus tulisan.

Sejak kemunculannya sebagai sosok yang mengingkari ajaran Muktazilah, beliau sudah menyita perhatian umat Islam di berbagai wilayah. Menakjubkannya, beliau tidak hanya menyita perhatian umat muslim saat itu, melainkan di masa-masa selanjutnya akidah Islam ala beliau diikuti oleh kebanyakan muslim di seluruh belahan dunia.

Sehingga dari sini muncul pertanyaan, hal apa yang membuat akidah Islam ala Imam Abul Hasan al-Asy’ari ini begitu masyhur dan diyakini oleh kebanyakan umat Islam, bahkan hingga saat ini?

Dalam bukunya “Asy’ariyyu Anâ”, Doktor Muhammad Salim Abu ‘Ashiy (Dosen Universitas al-Azhar Kairo) menjelaskan alasan mengapa mazhab akidah Asy’ariyah banyak diikuti oleh muslim. Setidaknya ada dua hal yang membuat akidah Imam Abul Hasan al-Asy’ari dapat menempati kedudukannya saat ini.

Pertama, Imam Abul Hasan al-Asy’ari mampu mengkolaborasikan nas (teks agama) dan akal sebagai landasan pengambilan hukum, dengan baik dan cermat. Sebagaimana yang terjadi saat itu, pendapat kelompok-kelompok Islam dalam hal akidah selalu saja condong kepada salah satu di antara akal dan nas.

Sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Khawarij yang mengandalkan pemahaman tekstualis mereka terhadap nas-nas agama. Pun sebaliknya, kelompok Muktazilah yang berlebihan dalam penggunaan akal, sehingga dalam persoalan-persoalan urgen mereka melampaui nas-nas Alquran.

Oleh sebab itu, Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang hadir dengan kemampuannya menafsirkan nas-nas secara seimbang, berikut juga buah pemikirannya yang wasathiyah (moderat), dapat diterima dengan baik oleh umat Islam saat itu hingga sekarang.

Kedua, dalam menyiarkan akidah Islam, Imam Abul Hasan al-Asy’ari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian. Di depan umat muslim (termasuk mereka yang berbeda pemahaman dengan Imam Abul Hasan al-Asy’ari), beliau berargumentasi secara ilmiah tanpa mengeluarkan kata-kata kotor yang dapat memicu kebencian mereka.

Beliau bersikap toleransi, menerima dan mendengarkan setiap tanggapan dari mereka, sekalipun tanggapan tersebut menyerang beliau. Pun beliau sangat membenci pertikaian dan pengkafiran (takfiri).

Imam Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya “Tibyân Kadzb al-Muftariy” meriwayatkan, saat di penghujung usianya, Imam Abul Hasan al-Asy’ari berkata kepada salah satu muridnya, “Bersaksilah untukku, aku tidak akan mengkafirkan seseorang pun dari Ahli Kiblat. Sebab mereka semua tetap beribadah kepada Tuhan Yang Satu.

muridnya, “Bersaksilah untukku, aku tidak akan mengkafirkan seseorang pun dari Ahli Kiblat. Sebab mereka semua tetap beribadah kepada Tuhan Yang Satu. Sebenarnya perbedaan-perbedaan yang ada adalah perbedaan ungkapan/istilah.”

Berargumentasi dengan ilmiah dan bersikap tasamuh merupakan ciri khas utama mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau tidak mengkafirkan seorang pun di antara kaum muslim kecuali dengan sebab yang jelas-jelas menunjukkan kekafiran.

Poin ini juga menjadi kritik beliau terhadap kelompok Muktazilah, Khawarij dan Hanabilah fanatik, tanpa menisbatkan hukum kafir kepada mereka. Beliau mencukupkan diri dengan mengatakan bahwa qaul mereka bathil, dan memberikan argumen atas kekeliruan mereka.

Dua hal inilah yang juga melandasi wasathiyah atau keseimbangan manhaj Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Yang lantas menjadikan mazhab Asy’ariyah dapat diterima dengan baik oleh umat Islam, hingga berkembang pesat di seluruh pelosok dunia.

Sejak keinsafan hingga akhir hayatnya, beliau dengan telaten bergumul dengan dalil-dalil naqli dan aqli. Beliau menghabiskan waktunya untuk menghadapi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari akidah ahlussunnah wal jama’ah.

Dari upaya beliau, kita dapat menemukan bahwa Islam agama yang menerima dialog ilmiah, bukan fanatisme tanpa dalil yang jelas. Islam agama yang membawa ketenangan, bukan keributan. Islam agama yang penuh cinta, bukan kebencian. Dan Islam agama yang mendambakan kebersamaan, bukan perpecahan.

Demikian penjelasan mengenai alasan mazhab akidah Asy’ariah banyak diikuti masyarakat Indonesia, dan juga umat muslim.

Sumber : https://bincangsyariah.com/

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi