Titik (tidak) Bertemu NU-Wahhabi
Fitnah NU kepada Wahhabi
Simak video berikut :
Sumber video : https://youtu.be/
Sumber video : https://youtu.be/VI7tWi0
Intinya (tidak) Bertemu NU-Wahhabi
Oleh : Asyhari Masduki MA
(Aswaja NU Center Kepung Kediri)
Barangkali inilah yang dimaksud Prof Ali Mustafa Ya'qub dalam artikelnya di Republika, "Titik Pertemuan NU-Wahhabi" (baca klik) ketika mencoba mempertemukan dua kubu yang tak pernah akur. Umat Islam tidak boleh saling berperang. Apalagi jika melihat Protokol Zionis No. 7 yang sengaja ingin menimbulkan gejolak di masyarakat.
Hentikan bid'ah dan kekafiran Wahhabi terhadap kaum Nahdliyin dan hindari juga reaksi berlebihan kaum Nahdliyin terhadap Wahhabi. Reaksinya ibarat asap, tidak akan muncul tanpa api. Jika terjadi kebingungan dan saling pengertian satu sama lain, tentu kehangatan akan terjalin. Itulah yang kami cita-citakan hingga saat ini.
Semangat serupa juga ditegaskan pendiri NU KH Hasyim Asy'ari dalam karyanya, at-Tibyan fi an-Nahyi 'an Muqatha'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Mbah Hasyim, sapaan akrabnya, menegaskan permasalahan tak berprinsip dalam agama tidak membuat para sahabat dan ulama mujtahid pendiri empat aliran tersebut saling menyalahkan.
Namun Kiai Ali juga harus ingat, di balik sikap toleran Mbah Haysim, terdapat tekad yang sangat luar biasa bahwa saat ini ada kesenjangan antara NU dan Wahabi. Faktanya, hampir sulit menemukannya. Sikap Mbah Hasyim dapat ditelusuri langsung dari karya-karyanya. Jumlahnya lebih dari satu, sehingga disebut jamak dalam kaidah bahasa. Bukan dari sumber referensi lain, atau 'perkataannya' seperti yang pernah disinggung Kiai Ali.
Dalam kata pengantar at-Tanbihat al-Wajibat, Mbah Hasyim menggarisbawahi pentingnya penyucian iman (tanzih) terhadap hakikat Allah SWT. Tuhan tidak menyerupai apapun di antara makhluk-Nya. Tuhan tidak berwujud (tubuh) dan Tuhan suci dari sifat-sifat tubuh.
Bandingkan dengan pendapat referensi Wahhabi, khususnya Ibnu Taimiyah yang meyakini tajsim (bahwa Tuhan itu berwujud benda) dan meyakini Tuhan bersemayam di atas singgasana (arsh). (Lihat, Syarh Hadits an-Nuzul, Syarih Muwafaqah al-Ma'qul Li Shahih al-Manqul dan Majmu' Fatawa).
Dalam Bayan Talbis al-Jahmiyah, Ibnu Taimiyah menulis, “Sesungguhnya tidak ada satupun yang menyebutkan, baik dalam Al-Qur’an, hadits Nabi, maupun pendapat para ulama salaf dan para imamnya yang mengingkari jasad (jisme) Tuhan. .Juga tidak ada penyebutan yang mengingkari bahwa sifat-sifat Tuhan bukanlah sifat-sifat sesuatu. Dengan demikian, mengingkari apa yang telah ditetapkan oleh hukum dan akal, berarti mengingkari sesuatu dan sifat-sifat sesuatu dari Tuhan adalah suatu kebodohan dan kekeliruan. "
Penelitian lebih lanjut terhadap karya Mbah Hasyim juga mengungkap adanya perbedaan yang sangat mendasar dengan Wahabi. Dalam Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Mbah Hasyim tak segan-segan mengecam orang-orang kafir yang mengatakan bahwa alam sudah ada sejak semula (azali) dan abadi. Artinya, jika alam itu kekal dan kekal, maka kita akui ada keabadian lain selain Tuhan. Oleh karena itu, keyakinan ini sangat berbahaya.
Sementara itu, Ibnu Taimiyah yang banyak dikutip oleh kaum Wahhabi menyatakan bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau') dunia ini tidak ada permulaannya, mereka abadi atau kuno sebagaimana Tuhan itu abadi dan kuno. Lihat Muwafaqah Syarih al-Ma'qul Li Shahih al-Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah dan Majmu' al-Fatawaj).
Perbedaan NU-Wahhabi lainnya yang sangat jelas dan menyangkut akidah, bukanlah soal khilafah melainkan soal status surga dan neraka. Mayoritas ulama sepakat dengan mengutip 60 ayat Al-Qur'an bahwa kehidupan di surga dan neraka akan abadi, tidak punah. Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim mempunyai pendapat berbeda. Neraka akan lenyap dan siksaan orang-orang kafir di dalamnya akan berakhir. (Lihat Hadi al-Arwah Ila Bilad al-Afrah dan ar-Radd 'Ala Man Qala Bi Fana al Jananh wa an-Nar).
Perbedaan NU-Wahhabi rupanya tidak sebatas pada tataran keilmuan saja. Pada tataran latihan dan gerak, keduanya berada pada arah yang berlawanan. Panitia Hijaz yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah (cikal bakal terbentuknya NU pada 31 Januari 1926), menemui Raja Ibnu Sa'ud yang berasal dari aliran Wahabi untuk menyampaikan lima permintaan menyusul kebijakan yang cenderung mengerdilkan aliran yang berbeda. Diantaranya, keterbukaan terhadap keempat aliran, tidak hanya Wahabi dan pelestarian tempat bersejarah.
Baca juga :
Maka tidak mengherankan, jika Mbah Hasyim dalam kitab Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah telah mengidentifikasi kalangan bid'ah sebagai kelompok Wahhabi; pengikut Ibnu Taimiyah dan kedua muridnya, Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Abd al-Hadi serta pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab.
Terakhir, kita masing-masing mendambakan keharmonisan, asalkan tidak ada hujatan dari orang-orang sesat, sesat, dan kafir terhadap siapapun yang berbeda golongan. Jika hanya mencari persamaan tanpa mengungkap perbedaan yang sangat mendasar, sayang sekali karena walaupun mirip, tetap saja tidak sama dan sulit ditemukan.
Padahal seperti yang disampaikan Mbah Hasyim di atas, hendaknya kita saling menghormati tanpa harus mengkritik dan menghakimi. Biarkan kendali ada di tangan-Nya, Pemilik kebenaran sejati. Tuhan memberkati.
Terakhir, kita masing-masing mendambakan keharmonisan, asalkan tidak ada hujatan dari orang-orang sesat, sesat, dan kafir terhadap siapapun yang berbeda golongan. Jika hanya mencari persamaan tanpa mengungkap perbedaan yang sangat mendasar, sayang sekali karena walaupun mirip, tetap saja tidak sama dan sulit ditemukan.
Padahal seperti yang disampaikan Mbah Hasyim di atas, hendaknya kita saling menghormati tanpa harus mengkritik dan menghakimi. Biarkan kendali ada di tangan-Nya, Pemilik kebenaran sejati. Tuhan memberkati.
Baca juga artikel terkait berikut :
Komentar
Posting Komentar