Ulama Wahabi dan Penguasa Saudi Tentang Pelaksanaan Ibadat di Masjidil Haram


Shalat Fardhu Berjamaah di Masjidil Haram disatukan :

Banyak buku kisah dan laporan perjalanan yang menyatakan bahwa kaum muslimin menunaikan shalat fardhu berjamaah di Masjid Haram tidaklah dalam satu jamaah, tetapi terpecah-pecah menjadi lima kelompok jamaah berdasarkan mazhab, yang mihrab imamnya telah dijelaskan di atas. Setelah waktu masuk, azan dikumandangkan oleh beberapa orang mu`adzdzin secara bersamaan, ada yang menyatakan sampai dua puluh orang. Mereka berdiri di atas beberapa kubah dan tujuh menara yang ada di empat penjuru masjid.
Mu’adzdzin utama berada di atas kubah Sumur Zamzam. Setelah dia mulai mengumandangkan azan lantas diikuti secara bersahut-sahutan oleh semua mu`adzdzin yang lain.
Setelah adzan, dibacakan iqamat dan jamaah pertama yang menunaikan shalat fardhu adalah pengikut mazhab Syafi`i. Setelah mereka selesai barulah jamaah bermazhab Hanafi menyusun shaf dan menunaikan shalat dengan iqamat baru. Setelah ini dilanjutkan oleh kaum muslimin yang bermazhab Maliki juga dengan iqamat yang baru, dan setelah ini bangun pula pengikut mazhab Hanabilah menyusun shaf, membacakan iqamat dan menunaikan shalat. Kemudian barulah kaum muslimin bermazhab Syi`ah menyusun shaf dan menunaikan shalat fardhu sebagai jamaah yang terakhir dengan iqamat sendiri juga. Jadi setiap waktu ada lima jamaah yang secara bergantian menunaikan shalat fardhu.
Menurut buku-buku tersebut, pada waktu Maghrib semua jamaah ini menunaikan shalat pada waktu bersamaan, mungkin karena waktunya pendek sehingga tidak sempat sekiranya dilaksanakan secara bergiliran—sampai lima kali.
Karena dilaksanakan secara bersamaan, terjadi kekacauan dan kesemrautan yang sekiranya kita bandingkan dengan keadaan sekarang sangatlah memiriskan. Bayangkan dalam masjid yang menjadi kiblat umat Islam dan lambang persatuan umat Islam, tetapi pada waktu bersamaan mengakui perpecahan (pengelompokan) jamaahnya kepada empat bahkan lima kelompok jamaah shalat fardhu yang relatif saling bersaing.
Buku-buku tersebut mencatat, bahwa shalat Maghrib berjamaah di Masjid Haram pada waktu itu sangatlah kacau. Suara imam bersahut-sahutan, baik dalam bacaan al-fatihah dan surat ataupun dalam memberi komando (mengucapkan Allahu Akbar dengan suara keras ketika terjadi perpindahan rukun) yang kemudian diikuti oleh muballigh, sehingga jamaah harus secara sungguh-sungguh menandai yang mana suara imamnya dan mana suara imam dari jamaahyang lain, agar dia tidak keliru. Karena itu sangatlah biasa terutama dimusim haji, sekiranya ada yang sudah ruku’ sebelum imamnya ruku`, ada yang baru mulai sujud sedang temannya sudah bangun untuk duduk dan seterusnya sampai kepada salam. Kekacauan dan kesemrautan ini terjadi karena dia telanjur mengikuti imam dari jamaah yang lain, yang bukan imamnya sendiri.
Mengenai posisi imam dan jamaah, seperti di atas telah dijelaskan, imam untuk jamaah bermazhab Syafi`i berdiri sedikit di belakang Maqam Ibrahim, dan jamaahnya berdiri di belakang membentuk seperempat lingkaran antara rukun Yamani dan rukun Iraqi, setentang dengan pintu masuk Bab Salam. Sedang imam untuk jamaah bermazhab Hanafi, berdiri setentang Hijir Isma`il, dan jamaahnya membentuk seperempat lingkaran antara rukun Iraqi dan rukun Syami. Sedang imam untuk jamaah bermazhab Maliki bediri di dekat Ka`bah antara rukun Syami dan Yamani dan jemaahnya membentuk seperempat lingkaran di belakangnya, setentang dengan pintu masuk Bab Malik. Sedang imam untuk jamaah bermazhab Hanbali berdiri di dekat Ka`bah antara rukun Yamani dengan Hajar Aswad dan jamaahnya juga membentuk seperempat lingkaran di belakangnya. Buku yang penulis baca tidak menjelaskan posisi imam untuk kaum muslimin bermazhab Syi`ah dan juga tidak menjelaskan tempat jamaahnya berkumpul atau beri`tikaf.
Pengelompokan menjadi lima jamaah shalat, pasti tidak dimulai pada masa Rasulullah dan Sahabat, karena pada waktu itu mazhab belum lahir, belum dibuat dan disusun oleh para ulama.
Tetapi kapan persisnya pengelompokan berdasarkan mazhab ini dimulai tidak penulis ketahui. Buku-buku kisah perjalanan, yang ditulis sampai awal abad kelima hijriah (sebelas masehi) belum menceritakannya.
Tetapi buku-buku yang ditulis pada akhir abad kelima atau awal abad keenam hijriah (dua belas masehi, jadi sezaman dengan Al-Ghazali) mulai menceritakan adanya empat bahkan lima jamaah yang menunaikan shalat fardhu secara bergantian berdasarkan mazhab.
Keadaan tidaklah sama sepanjang rentang waktu yang disebutkan itu. Urut-urutan shalat pun pernah berbeda dari urutan di atas, tetapi tetap mazhab Syafi`iah yang pertama dan Syi`ah yang terakhir.
Buku-buku ini juga menjelaskan bahwa mazhab Hanabilah pernah bergabung dengan mazhab Syafi`i menjadi satu jamaah. Sedang mazhab Syi`ah kadang-kadang tidak diberi izin untuk mendirikan jamaah sendiri secara resmi, sesuai dengan keadaan politik dan kecenderungan dari penguasa kota Makkah.
Sebagai contoh, al-Fasi menyebutkan pada musim haji tahun 811 Hijriah Sultan al-Malik al-Nashir Farj, penguasa Mesir, mengeluarkan perintah agar jamaah bermazhab Syafi`i melaksanakan shalat Maghrib terlebih dahulu, baru sesudah mereka selesai tiga mazhab lainnya menunaikan shalat Maghrib secara bersamaan. Perintah ini dibatalkan oleh sultan (raja) penggantinya, al-Malik al-Mu’ayyid Abu al-Nashr pada musim haji tahun 816 Hijriah, yang menyuruh semua imam mazhab melakukan shalat Maghrib secara bersamaan, sehingga kembali semraut seperti masa sebelumnya.
Sebetulnya tidak semua ulama setuju dengan cara shalat yang terkotak-kotak ini. Syeikh Abu al-Qasim al-Habbab al-Maliki yang berasal dari Mesir, pada tahun 550 Hijriah (jadi masih pada masa awal pengelompokan) mengeluarkan fatwa yang mencela pelaksanaan shalat fardhu dengan jemaah yang berbilang-bilang ataupun yang dilaksanakan secara bergiliran di Masjid Haram ini.
Ketika fatwa ini dibacakan di Kota Mekkah pada musim haji tahun tahun berikutnya, ulama dari keempat mazhab yang datang ke Makkah untuk berhaji medukung dan memperkuat fatwa tersebut dan menjelaskan keburukan dan kekeliruan shalat dengan berbilang jamaah seperti yang di praktekkan di Masjid Haram. Tetapi kelihatannya para ulama ini tidak cukup kuat untuk mengubah tradisi yang ada, yang secara terselubung mungkin sekali berisi kepentingan politik dan ekonomi.
Berdasarkan pengelompokan ini, maka jama`ah yang masuk ke Masjid Haram pun mungkin sekali sejak dari daerah asalnya sudah diarahkan untuk mencari sisi yang sesuai dengan posisi imamnya, guna memudahkan mereka mengikuti shalat berjamaah. Karena itu tentu dapat dimaklumi sekiranya kaum muslimin dari Indonesia sangat menonjolkan hadis yang mengutamakan BABUS SALAM sebagai pintu masuk pertama (utama) ke Masjid Haram, karena pintu ini berada di belakang mihrab imam bermazhab Syafi`i, sehingga dengan demikian mereka tidak akan tersesat ke jamaah bermazhab lain. Sedang saudara kita bermazhab Maliki akan mencari BAB MALIK untuk masuk pertama karena pintu ini berada di belakang mihrab imam bermazhab Maliki. Begitu juga saudara kita bermazhab Hanafi akan mencari BAB UMRAH dengan alasan yang lebih kurang sama.
Pada tahun 1343 Hijriah (1925 Miladiah), ketika Dinasti Sa`udi di bawah pimpinan Raja `Abd al-`Aziz bin `Abd al-Rahman Al Sa`ud dengan dukungan ulama Wahhabiah merebut Makkah dari kekuasaan Dinasti Hasyimiah (Syarif Husein), mereka langsung menggabung seluruh jamaah shalat fardhu di Masjid Haram menjadi satu jamaah dengan satu orang imam. Begitu juga mereka menggabung jamaah shalat Jum`at, shalat Tarawih, dan shalat Hari Raya menjadi satu jamaah saja. Dua tahun setelah ini, tepatnya pada Rabi`ul Akhir tahun 1345 Hijriah berlangusng pertemuan ulama Hijaz dan Nejed yang salah satu keputusannya meneguhkan kebijakan Raja `Abd al-`Aziz Al Sa`ud yang memerintahkan pelaksanaan shalat fardhu di Masjid Haram hanya dengan satu jamaah saja. Untuk itu mereka meminta Raja agar memilih tiga orang imam untuk mewakili empat mazhab sunni, sehingga semuanya berjumlah 12 orang. Mereka inilah yang secara bergantian menjadi imam shalat fardhu lima kali sehari, imam dan khatib Shalat Jum`at serta imam Shalat Tarawih.
Dengan demikian tidak ada lagi pengelompokan berdasar mazhab, dan kaum muslimin dari mazhab apa saja boleh memilih masuk dari pintu mana saja dan boleh memilih tempat untuk shalat dan i`tikaf di bagian mana saja di dalam masjid, karena tidak akan tersesat ke dalam jamaah dengan mazhab yang berbeda. Setelah ini dalam rangka perluasan tempat thawaf untuk menampung jamaah yang semakin bertambah, Ulama Wahhabiah dan penguasa Bani Sa`ud, pada bulan Sya`ban tahun 1377, secara berangsur-angsur menghancurkan mihrab yang ada, mulai dari mazhab Hanabilah, kemudian mazhab Maliki dan mazhab Hanafi. Sedang mihrab untuk imam bermzhab Syafi`i baru dihancurkan pada tahun 1383 Hijriah, bersamaan dengan penghancuran bangunan di atas sumur Zamzam.[14] Dengan penghancuran mihrab-mihrab ini maka lambang perpecahan umat Islam berdasarkan mazhab dapat dianggap telah terhapus. Lebih dari itu mereka juga menghapus semua jejak yang dapat memberi petunjuk tentang adanya pengelompokan jamaah berdasar mazhab.

Mungkin sekali para ulama Wahhabiah ingin menonjolkan bahwa kaum muslimin pada masa Rasulullah adalah satu jamaah ketika shalat; karena itu di Masjid Haram pun hanya boleh ada satu jamaah dengan satu orang imam pada setiap shalat fardhu. Kaum muslimin boleh bahkan wajib mengikuti imam yang bertugas walaupun mereka berbeda mazhab. Perbedaan mazhab tidak akan menjadikan shalat mereka tidak sah atau tidak sempurna. Jadi masa kelam keterpecahan umat bedasarkan keterpecahan dalam menunaikan shalat fardhu berjamaah di Masjid Haram tersebut telah berlangsung sekitar 800 tahun, ketika diakhiri oleh penguasa Dinasti Sa`udiah dan Wahhabiah,.
Penghapusan jamaah shalat berdasar mazhab oleh Dinasti Sa`udiah dan ulama Wahhabiah, serta lebih luas dari itu penghapusan pengelompokan masyarakat berdasarkan mazhab, ditambah dengan penghapusan berbagai situs bersejarah seperti akan diuraikan di bawah, kelihatannya disesalkan oleh sebagian tokoh dan umat Islam. Kuat dugaan kelompok yang fanatik mazhab ini kecewa karena keberadaan dan pengagungan mazhab tidak terlihat lagi di Masjid Haram. Sesudah kehadiran pemerintahan Dinasti Sa`udiah di Tanah Haram, tidak bermanfaat lagi menunjukkan rasa fanatik kepada mazhab, dan tidak ada gunanya menunjukkan identitas diri sebagai pengikut mazhab tertentu ketika menunaikan haji. Boleh jadi kelompok fanatik mazhab ini tidak puas, ketika mereka melihat jamaah yang datang ke Masjid Haram diberi kesempatan luas untuk menyatu dan berbaur. Mungkin sekali para pengikut mazhab yang fanatik ini telah melupakan ruh dan inti ajaran Islam bahwa kedekatan dan kesamaan antar jamaah yang berasal dari berbagai belahan dunia dan berbagai mazhab sebagai umat Islam adalah lebih banyak dan harus lebih menonjol dibandingkan dengan perbedaan karena mereka menjadi pengikut mazhab yang berbeda-beda.

Simak video berikut :
Baca selengkapnya @ klik tautan berikut :

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?