Buya Hamka Wahabi?
Simak video berikut "Riwayat Hidup BUYA HAMKA HEBATNYA BUYA HAMKA DIMATA ULAMA MALAYSIA"
Oleh : Dr Rozaimi Ramle
Sumber video : https://youtu.be
Banyak orang yang belum mengetahui tentang hal ini, namun disini kami membongkar habis 17 fakta yang jarang diungkap tentang apakah benar Buya Hamka adalah seorang Wahabi. Kami mencoba mengutip langsung dari perkataan Buya Hamka sendiri sehingga dijamin keasliannya. Sumber-sumber kutipan tersebut berasal dari buku-buku yang telah dikarang oleh beliau. Anda dapat merujuk sendiri tulisan tersebut berdasarkan judul buku karangan Buya Hamka yang penulis cantumkan dibawah.
(1). MENDUKUNG WAHABI
Buya Hamka sangat tegas mendukung dakwah salafiyyah yang ketika itu sering disebut sebagai Wahabi. Hal ini nampak jelas pada perkataan beliau pada salah satu bukunya bahwa:
"Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat takut melainkan Allah SWT. Wahabi adalah menantang keras kepada Jumud, yaitu memahami agama dengan beku. Orang harus kembali kepada Al-Qur'an dan al-Hadits."
Sumber: Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 213-216, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017.
(2). MASALAH TAWASUL DI KUBURAN
Buya Hamka dikenal sangat tegas dalam masalah aqidah. Beliau terang-terangan membantah orang yang mengerjakan kesyirikan di kuburan karena perbuatan tersebut jelas-jelas menyelisihi Aqidah Salafiyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah yang melarang tawasul syirik. Buya Hamka berkata:
"Yang lebih disayangkan lagi ialah kesalahan penilaian mereka tentang arti wali Allah. Mereka pergi ke kuburan orang yang mereka anggap di masa hidupnya jadi wali, lalu dia memohon apa-apa di situ. Padahal ayat-ayat itu menyuruh orang bertauhid, mereka lakukan sebaliknya, jadi musyrik. Kalau ditegur dia marah, hingga mau dia menyerang orang yang menegurnya itu, seperti tersebut pada ayat 72 di atas tadi."
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 153-156, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
(3). MEMUJI SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Buya Hamka sangat mencintai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Ulama Salafiyyah/Ahlus Sunnah yang selalu menjadi inspirasi Buya Hamka dalam berdakwah. Ketika mengisahkan sejarah hijaz beliau menyinggung tentang Syaikh, Buya Hamka berkata:
"Sejak munculnya cahaya Islam 1000 tahun sebelumnya boleh dikatakan bahwa di tanah Arab sendiri sedikit sekali Islam meninggalkan jejak. Kebesaran Islam telah dikecap nikmatnya oleh negeri-negeri dan umat lain. Damsyik dan Baghdad telah merasakan nikmat itu. Pahlawan-pahlawan Islam yang banyak telah berpindah dibawa kewajiban suci mengembangkan Islam ke negeri-negeri yang baru dibuka, seperti Mesir, Syam, Kufah, Basrah, Wasith. Bahkan, ada sahabat yang wafat di Qairuan, Afrika, dan ada yang berkubur di Konstantinopel. Oleh sebab itu, Tanah Arab menjadi sepi lahir dan batin. Pemikiran-pemikiran besar tidak tumbuh lagi di sana. Hanya Kota Mekah dan Madinah yang masih dapat memelihara kebesarannya karena di sana tempat beribadah. Adapun negeri-negeri yang lain kian lama kian muram. Kehidupan tidak ada perubahan (statis). Kemajuan ilmu pengetahuan tidak ada sama sekali.
Orang-orang telah amat jauh dari hakikat ajaran Islam. Mereka menjadi penyembah kuburan, penyembah keramat dan budak azimat serta tangkal. Dari empat Imam madzhab besar, hanya seorang yang muncul di Madinah, yaitu Imam Malik ibnu Anas. Demikianlah halnya yang terjadi selama 1000 Tahun, barulah muncul cahaya baru di tengah-tengah padang pasir itu pada Tahun 1116 H (1704 M), yaitu 12 Abad setelah tiadanya Nabi saw. Dengan lahirnya Syekh Muhammad ibnu abdul Wahab, guru besar ajaran Wahabi yang masyhur.
"Kembali pada ajaran Rasul saw. yang asli", adalah dasar pengajarannya. Tauhid yang khalis, yang tidak bercampur dengan syirik sedikit juga ke sanalah semua umat harus pulang agar selamat dunia dan akhirat. Perbaharui kembali keimanan dan bangkitkan semangat baru adalah sari ajaran Muhammad ibnu Abdul Wahab. Ajaran ini muncul setelah ia mengembara terlebih dahulu keluar dari negerinya, belajar agama di Kota Damsyik, dan sangat dipegangnya ajaran Ibnu Taimiyyah, murid dari Ibnu Qayim, Ibnu Rajab dan lain-lain. Semua adalah ulama-ulama Madzhab Hanbali."
Sumber: Sejarah Umat Islam, Hal. 288-292, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.
(4). SANGAT MELAWAN BID'AH DALAM AGAMA
Ciri-ciri dakwah Salafi/Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah sangat menentang praktik mengada-ada, menambah, mengurangi, mengubah ajaran agama. Hal ini sangat ditekankan oleh Buya Hamka. Buya Hamka prihatin melihat fenomena masyarakat yang disibukkan dengan ibadah yang tidak memiliki dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah. Buya Hamka berkata:
“Sumber agama, sebagaimana diserukan dalam ayat ini sangat jelas, yaitu aturan Allah dan Rasul. Di luar itu, bid'ah namanya. Semua perbuatan bid'ah jelas tidak bersumber dari ilmu dan bukan dari hidayah (tuntunan Ilahi). ). Jika ditambah karena taqlid maka sifat keadaan agama itu akan berubah total. Dinamakan agama baru dengan nama Islam, padahal jauh dari Islam. Di negara kita banyak disebabkan kebodohan atau diangkat oleh penguasa sendiri, dijadikan tradisi yang menyerupai ibadah, dan orang yang menegurnya karena tidak berasal dari suatu agama, akan dimarahi lagi. dari Allah dan Rasul-Nya dilaksanakan.”
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 55-57, Penerbit Gema Manusia, Cet.1, 2015.
(5). AYAHNYA WAHABI
Buya Hamka juga bercerita tentang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Buya Hamka bercerita tentang hubungan baik ayahnya dengan KH Ahmad Dahlan. Buya Hamka mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan adalah pembaca setia surat kabar Wahhabi yang terbit rutin oleh ayahnya. Buya Hamka berkata:
Kiai-kiai di Yogya mengatakan KHR Hajid mengetahui bahwa KHA Dahlan adalah pembaca setia "Al-Munir", sebuah koran Wahhabi di Padang. Setelah mendengar kisah hubungan spiritual KHA Dahlan dengan Al-Munir yang terbit pada tahun 1911 dan resmi mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, saya dapat memahami cerita ayah saya kepada saya yang sering dia ulangi, bahwa ketika dia berada di Jawa pada tahun 1917, Ia singgah di Yogya dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Surabaya. Ia menceritakan bahwa di dadanya tertempel huruf Arab HAKA (Haa, Ain, Kaaf, Hamzah), maka begitu KHA Dahlan datang ke stasiun Tugu untuk menjemputnya , begitu dia bisa mengenali ayahku, sebagai wakil Al-Munir. Dia berada di Yogya selama 3 hari sebagai tamu KHA Dahlan. Ayah saya berkata (Haji Abdul Karim Amrullah -red):“Dengan tawaduknya, KHA Dahlan meminta izin untuk menyalin karangannya ke dalam bahasa Jawa, untuk diajarkan kepada murid-muridnya.” Dan dengan segala kerendahan hati ia mengizinkannya dan menyuruh untuk menambah apa yang kurang.”
Sumber: Ayahku, 159-161, PTS Publishing House Malaysia, 2015.
(6). AGAMA HARUS MEMAHAMI ARGUMEN
Salah satu wasiat Buya Hamka adalah bahwa setiap Muslim harus mengetahui cara beragama yang benar. Dakwah salafi menekankan bahwa setiap muslim harus memiliki ilmu agar tidak terjebak oleh sikap fanatik kelompok dan tradisi nenek moyangnya. Buya Hamka berkata saat menafsirkan ayat:
“Dan janganlah kamu taat hanya dalam hal-hal yang tidak ada ilmunya bagimu.” (Dasar ayat 36). Ayat ini termasuk sendi-sendi akhlak muslim yang ingin menegakkan kepribadiannya. tidak menyelidiki sebab akibat. Qatadah menafsirkan Kelemahan pribadi Pak Turut sebagai berikut, “Jangan bilang saya melihat, ketika Anda tidak melihatnya. Saya mendengar, ketika Anda tidak pernah mendengar. Aku tahu, padahal kamu tidak tahu.” Di awal ayat ini wa laa taqfu. Kata-kata taqfu itu dari mengikuti jejak. Ke mana orang pergi, ke sanalah. Ke mana tujuan orang itu, kamu tidak tahu. .
Di akhir ayat tersebut ditegaskan, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, masing-masing akan ditanyai”. (akhir ayat 36). Jelas di sini bahwa seseorang yang hanya mengikuti jejak orang lain, baik nenek moyangnya karena adat, kebiasaan dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub.pada bagian, membuat orang tidak lagi menggunakan penilaian mereka sendiri. Bahkan, dia diberi alat penting oleh Tuhan agar dia bisa berhubungan dengan dunia di sekitarnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang yang baik dan yang buruk. Sedangkan pendengaran dan penglihatan adalah penghubung antara diri, atau antara hati kita yang paling dalam dengan segala sesuatu yang harus diamati dan dipertimbangkan untuk bahaya dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya. Dalam kehidupan beragama penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati sangat penting untuk menimbang. Sebab, terkadang orang yang mengamalkan sunnah bercampur baur dengan yang mengamalkan bid'ah. Bahkan seringkali munculnya hal-hal yang sunnah menumpuk dan yang sesat muncul dan semakin terkenal. Jadi kita harus beragama dengan ilmu.”
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 288-289, Penerbit Gema Manusia, Cet.1, 2015.
(7). MASALAH BUDAYA INDIVIDU
Prinsip dakwah salafiyyah yang dianut Buya Hamka antara lain menentang segala macam pemaksaan terhadap orang-orang shaleh. Hal ini karena dampak buruk dari penyertaan/pemujaan individu tertentu dapat menyebabkan orang terjerumus ke dalam syirik. Buya Hamka berkata:
“Sebagian ulama tafsir menyatakan bahwa makna jibti adalah sihir. Namun setelah digali ke dalam rumpun bahasa, mereka menemukan bahwa semua kepercayaan takhayul, dongeng, takhayul, yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, itulah jibti. Thagut diturunkan dari kalimat thaagiyah kita berarti kesewenang-wenangan, pelanggaran, terutama kepada manusia yang telah melupakan atau dengan sengaja melampaui batas sebagai manusia, kemudian merampas hak-hak Tuhan. Atau manusia dianggap Tuhan oleh orang-orang yang beriman kepadanya. dengan perbuatan, termasuk dalam pengertian thagut.Ada ulama besar yang dihormati, akhirnya dianggap suci, diikuti sejak lama sehingga semua fatwa harus dianggap suci seperti firman Allah semata. Maka ulama itu menjadi thagut bagi orang-orang yang beriman kepadanya. Apalagi setelah meninggal, makamnya dipuja, dikunjungi untuk meminta wasilah, menjadi perantara menyampaikan keinginannya kepada Allah, ia menjadi penjahat setelah kematiannya.
Atau ada penguasa negara yang kuat. Orang-orang takut akan murka-Nya dan orang-orang memperbudak diri mereka sendiri kepadanya. Siapa pun yang mencoba mengungkapkan pikirannya, bebas untuk menyatakan kebenaran, ada bahaya dihukum, dipenjara, diasingkan, ditahan, diusir, atau dibunuh. Tetapi barangsiapa tunduk, patuh, rela mengorbankan kebebasan berpikir, dan rela takut pada yang berkuasa, rela menjadi budak untuk bergerak bebas, terkadang bahkan lebih takut daripada takut akan Tuhan, penguasa juga menjadi penjahat.
Terkadang dicampur antara jibti dan thagut, atau digabungkan menjadi satu. Di Mesir orang merayakan Maulid Sayyid Badawi setiap tahun, mengumpulkan ribuan pria dan wanita ke kuburannya. Karena dia dianggap sangat suci. Gadis-gadis tua meminta suami di sana, wanita mandul meminta anak-anak di sana. Siswa yang takut tidak lulus ujian pergi ke sana. Di kuburan juga ada jibtinya, yaitu ada sorbannya yang dianggap membawa rezeki jika bisa dipegang.
Di tanah air kita banyak yang seperti itu. Jika Anda ingin mempelajari campuran jibti dan thagut, pergilah berziarah ke makam Sunan-sunan (Wali Songo), dan dengarkan kisah-kisah absurd, kumpulan jibti dan thagut dari tukang kunci. Dalam ayat ini dijelaskan betapa sesatnya orang-orang yang telah diberi sebagian kitab. Keyakinan asli pada tauhid telah hilang, dalam lipatan jibti (penyesatan) dan thagut (pembunuhan makhluk).
Jika ditanya, apakah Anda mendewakan siapa? Pasti mereka juga akan menjawab, "Tuhan kami adalah Allah!" Namun jika ditanya lagi, mengapa perkataan orang tersebut, fatwa orang tersebut, penafsiran orang tersebut, Anda terima begitu saja tanpa menggunakan akal sehat, padahal terkadang sangat jauh dari firman Allah yang disampaikan oleh Nabi Anda? Mereka tidak bisa memberikan jawaban yang benar."
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 322-324, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
8. MASALAH KHILAFIYAH
Buya Hamka menegur mereka yang menuduhnya sebagai Ulama yang memecah belah. Ada yang tidak suka dengan Buya Hamka karena Buya Hamka berbicara lantang dalam mengoreksi kesalahan dan ajaran sesat yang ada di masyarakat. Dia berkata:
“Namun, kita juga harus menyadari bahwa akan ada sebagian besar masyarakat yang tidak ingin orang tuanya tersinggung, tidak ingin penyakitnya diobati, karena obatnya pahit. Kita juga harus sadar bahwa ada obatnya. akan menjadi kelompok yang tersinggung puncaknya (posisi) jika kita buka Kadang-kadang, kita akan dituduh memecah belah, dilarang berdiskusi, membahas masalah khilafah. Dengan segala upaya kami telah memilih untuk tidak menyinggung, tidak untuk menjadi khilafah. Namun karena masalah khilafah sangat relatif maka terkadang jika kita membasmi “Perbuatan yang tidak berasal dari Islam, kita juga dituduh melanggar persatuan. Jika kita merenungkan masa depan Islam di tanah air, kami jadi ingat bahwa tugas ini tidak boleh dihentikan. Berhenti adalah dosa."
Sumber: Dari Hati Ke Hati, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.
(9). MANHAJ SALAF DAN PEMBAGIAN TAUHID
Manhaj Salafus Shalih adalah metode agama yang benar bagi Buya Hamka. Selain itu, Buya Hamka sempat menyinggung dua dari tiga jenis Tauhid, yaitu Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Buya berkata:
Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah
“Ilmu dalam Islam adalah ilmu yang memiliki dasar dan dalilnya, terutama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, termasuk tafsir para ulama yang telah mendapat kepercayaan umat, yang disebut Salafus Shalihin , dan sesuai dengan akal sehat. tidak ada prinsip seperti itu, itu bukan ilmu, tetapi hanya dongeng, takhayul, takhayul, takhayul yang membekukan otak mereka yang percaya atau hanya bisa dipercaya oleh orang yang tidak waras. keyakinan yang teguh, tidak mengenal Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah, dan tidak mengerjakan amal saleh sesuai sunnah Nabi Muhammad saw., maka carilah guru untuk mempelajari doa-doa Nabi Muhammad saw., wirid-wirid, ayat ini dan ayat itu. Orang ini tidak akan luput dari bahaya penyakit mental.”
Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, 410-411, Penerbit Gema Manusia, Cet.1, 2016.
(10). AJARAN TASHAWWUF ALA SALAFI
Penyimpangan berupa syirik dan bid'ah yang menyebar di kalangan mazhab sufi membuat Buya Hamka kesal. Oleh karena itu, Buya Hamka menulis buku Tasawuf Modern. Mengapa disebut tasawuf? Bukankah itu bid'ah? Nah, disinilah letak kecerdikan Buya Hamka. Buya Hamka menamakan bukunya sebagai “kitab tasawuf” agar orang-orang yang mengaku sufi mau membaca bukunya.
Isi buku tersebut merupakan penyempurnaan dari ajaran tasawuf dari hal-hal yang berbau bid'ah dalam agama. Jadi, esensi sebenarnya dari kitab tersebut adalah tasawuf ala Salafi/Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim, yang merujuk pada istilah Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa. Buya Hamka berkata:
Kami mengenal Ibnu Taimiyah banyak karena kami banyak membaca buku-buku Ibnu al-Qayyim tentang berbagai masalah. Keduanya menyukai tasawuf, tetapi sangat bertentangan dengan pemahaman Ibn 'Arabi. Karangan Ibnu Taimiyah “At-Tawassul wal Wasillah” sangat menentang praktek melebih-lebihkan kuburan yang ternyata telah sangat merusak iman sejak abad ke-7.”
Sumber: Pengembangan & Pemurnian Tasawuf, hal. 265-266, Republik Penerbit, Cet.1, 2016.
“Kami sebut “Tasawuf”, adalah mengikuti makna asli tasawuf, seperti yang dikatakan Junaid sebelumnya. Yaitu: “Keluar dari akhlak tercela dan menjadi akhlak terpuji. “Dengan tambahan keterangan “Modern”. Tasawuf yang mensucikan jiwa, mendidik, dan meninggikan derajat kebajikan; menekankan segala keserakahan dan keserakahan untuk melawan hawa nafsu yang lebih dari perlu untuk kesejahteraan pribadi.”
Sumber: Sufisme Modern: Kebahagiaan Dekat dengan Kita; Ada di Kami, Hal. 7-8, Republic of Publishers, Cet.3, 2015.
(11). MENOLAK TASHAWWUF ALA BID'AH
Selain ajaran penyucian jiwa ala Salafi yang dibungkus dengan nama Tasawuf Modern. Buya Hamka sangat keberatan dengan aliran sufi yang senang melakukan bid'ah dalam agama. Dia berkata:
“Maka, para mistikus datang untuk membuat berbagai dzikir ciptaan mereka sendiri, yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Nabi. Ada dzikir yang hanya dibacakan Allah berkali-kali dengan suara nyaring, bersorak-sorai sampai pingsan dan sampai pingsan. Ada dzikir Karena mereka mengatakan huwa yang artinya Dia, adalah Dia adalah Allah itu sendiri. Terkadang mereka mengadakan semacam demonstrasi yang bertentangan dengan orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah. jauh dari dasar Islam.”
SUMBER: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 652, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
(12). IBN TAIMIYYAH DAN AQIDAH SALAFI
Buya Hamka termasuk orang-orang yang mendukung atribusi Madrasah Salaf. Dalam tafsirnya, Buya Hamka mengutip perkataan Ibnu Taimiyah:
“Tidak ada dosa bagi seseorang yang mengungkapkan Madzhab Salaf , menghubungkan dirinya dengannya dan bangga padanya, bahkan wajib menerima semua itu darinya dengan persetujuan para ulama. Karena sebenarnya Madzhab Salaf itu haq. ." (Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa 4/149). “Maka berdo’alah kepada Allah dalam keadaan mensucikan agama kepada-Nya.” (dasar ayat 14). Aqidah (keyakinan), ibadah (perbudakan dan persembahan), syariah (aturan dan prosedur) yang dilakukan harus murni, ikhlas kepada Allah.”
SUMBER: Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 87, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
Buya Hamka memaparkan berbagai pendapat dari tokoh-tokoh Islam. Namun Buya Hamka sendiri mengikuti Madzhab Salafi dalam memahami Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah (Tauhid Asma adalah Shifat) seperti yang ditekankannya dalam Pembukaan Tafsir Al Azhar. Pada kesempatan lain, Buya Hamka juga membeberkan tuduhan palsu yang ditujukan kepada Ibnu Taimiyah. Dia berkata:
“Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf , yaitu Madzhab Rasulullah dan para sahabatnya serta para ulama yang mengikuti jejaknya. Dari segi aqidah dan ibadah, murni taslim artinya menyerah tanpa banyak meminta.”
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
“Di antara ulama terakhir yang sangat berpegang teguh pada Salaf adalah Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Ibnu al-Qayyim di akhir zaman adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan yang tak kalah pentingnya adalah Sayyid Rashid Ridha. memahami "mujassimah" (menggambarkan Tuhan memiliki tubuh) karena betapa sulitnya mempertahankan pemahaman ini."
Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.
(13). HADITS DHA'IF
Buya Hamka berpendapat sesuai dengan pendapat ulama Salafi bahwa hadis yang lemah tidak dapat dijadikan sebagai dalil atau dalil. Dia berkata:
“Jika telah dijadikan sebagai penyemangat bagi manusia, maka hadits yang lemah tidak dapat dijadikan hujjah, atau hadis yang lemah tidak dapat dijadikan hujjah. ”
Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 369, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.
(14). TAHLILAN DAN YASINAN
Masalah ritual Tahlilan dan Yasinan sudah lama dikritik oleh Buya Hamka. Bagi Buya Hamka yang menganut ajaran Islam Murni/Salafiyyah, ini jelas bukan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Buya Hamka berkata:
“Pembacaan surah Yasin bagi orang yang sudah meninggal bukanlah ajaran yang sah dari Nabi. Ajaran satu-satunya adalah anjuran membacakan surah Yasin kepada orang yang akan meninggal, agar beliau dapat merasakan bagaimana perpindahan kehidupan dari sini. alam fana ke alam baqa', yaitu akan menyelamatkan kita di akhirat hanyalah amalan kita selama hidup. Namun hadits yang menganjurkan membaca surah yasin untuk orang yang akan meninggal juga termasuk hadits dha'if juga, tidak dapat digunakan sebagai argumen untuk amal. Setelah nenek moyang kita memeluk Islam, kepercayaan animisme belum sepenuhnya hilang, sehingga orang-orang berkumpul di rumah orang mati pada masa itu, Sebagai warisan zaman kuno, hanya mengganti mantra kuno dengan membaca Al-Qur'an , khususnya surah Yasin.”
Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 408, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.
(15). MASYARAKAT TIDAK BOLEH FANATIS
Buya Hamka adalah seorang ulama yang mengikuti mazhab Syafi'i, namun ia tidak fanatik terhadap mazhab tersebut. Dia mengajarkan prinsip-prinsip ajaran Salafi yang menyarankan agar seseorang tidak terpaku dan fanatik hanya pada satu mazhab fiqih. Dia berkata:
“Para fuqaha sendiri selalu mengatakan bahwa ijtihad itu tidak pasti kebenarannya, tetapi zhan, maknanya bisa ditinjau ulang, ” jika sesuai dengan sumber aslinya (al-Qur’an dan hadits) bisa langsung dikenali, dan jika tidak harus diakui. segera ditinggalkan dan dibuang.” Demikian risalah para perintis mujtahid sebelumnya seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali."
Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 222-223, Gema Insani Publishers, Cet.1, 2016.
(16). STATUS BAPA DAN IBU NABI
Buya Hamka mengutip pendapat ulama Salafi yang mengatakan bahwa ayah dan ibu Nabi meninggal dalam perselingkuhan. Buya Hamka membela ulama Salafi karena banyaknya tuduhan bahwa Salafi tidak memiliki sopan santun terhadap Nabi karena menganggap orang tua Nabi kafir. Buya Hamka berkata:
“Padahal ada hadits Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari hadits Anas bin Tsabit bahwa ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah saw. ! " Penanya berdiri untuk pergi, dia dipanggil oleh Rasulullah (semoga damai besertanya) dan dia berkata, "Sesungguhnya ayahku dan ayahmu ada di neraka!" (HR. Muslim).
Kemudian ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam khutbahnya, “Di sini jelas bahwa barang siapa meninggal dalam keadaan kafir maka dia akan masuk neraka dan itu tidak bermanfalat baginya karena kerabat (keluarga). Dan dalam hadits ini juga bisa. Dapat dipahami bahwa orang yang meninggal di usia fitrah dalam keadaan apa yang dipegang orang Arab, menyembah berhala, dia pergi ke neraka. Dan ini tidak boleh dibantah dengan mengatakan bahwa dakwah belum sampai kepada mereka karena bagi mereka dakwah wah Ibrahim dan para nabi lainnya telah mencapai mereka. Dan Nabi (damai dan berkah Allah besertanya) mengatakan ayah saya dan ayahmu di neraka, adalah untuk menunjukkan persekutuan yang baik dan penyembuh hati yang bertanya untuk sama-sama dalam penderitaan yang menyedihkan . "
Demikian syarah (komentar) Imam Nawawi. “Saya meminta izin kepada Tuhan saya untuk meminta pengampunan bagi ibu saya, tetapi saya tidak diberi izin. Kemudian saya meminta izin untuk mengunjungi makamnya dan saya diberi izin.” (HR.Muslim). Bahkan, dalam hadits lain dijelaskan bahwa dia menangis di kuburan dan mendorong umatnya untuk berziarah ke kuburan untuk mengingat orang mati. Maka dengan hadits-hadits shahih tersebut, masih ada yang berpendapat bahwa ayah dan ibu Nabi belum wafat dalam Islam, apalagi ayah Nabi Ibrahim. Namun, para ulama Salaf, bahkan mereka yang berpegang pada hadits shahih sendiri, tidak kurang menghormati Nabi dalam hal orang tua dan keluarganya,
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 190-192, Penerbit Gema Manusia, Cet.1, 2015.
(17). DITAHDZIR ULAMA ASY'ARIYYAH
Buya Hamka pernah ditahdzir dan dituduh sesat oleh Ulama Asy'ariyyah dari Negara Bagian Johor, Malaysia bernama Habib Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad. Habib Alwi bin Thahir menilai Buya Hamka adalah orang yang berbahaya karena terindikasi mengajarkan pemahaman salaf yang disebutnya Wahhabi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Buya, Beliau mengatakan:
"Mufti Johor telah mengenal saya sebagai Pemuda dan Wahabi dari Indonesia."
Sumber: Dari Hati Ke Hati, Hal. 70, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.
Karena itu, Buya Hamka dilarang berbicara di Johor. Mufti Johor yang menganggap Salafiyyah salah paham, memerintahkan seluruh qadhi di Pemerintah Johor untuk menutup pintu semua masjid di Pemerintah Johor agar Hamka mengadakan 'ceramah' (tabligh).
Atas kejadian tersebut, Buya Hamka menulis sebuah buku berjudul “Teguran Suci dan Jujur kepada Mufti Johor” yang berhasil mematahkan argumentasi dan tuduhan terhadap dirinya dan sahabatnya, Syekh Ahmad Hassan. Kutipan dari buku tersebut dapat dilihat, atau dibaca (baca klik disini)
Bahkan sampai saat ini Pemerintah Johor masih melarang masuknya Ustadz Sunnah/Salafi ke wilayah Johor, misalnya Ustadz Hussain Yee, Ustadz Rasul Dahri, dll. Wallahu A'lam.
Baca juga artikel terkait : "Membaca Tasauf Medern; Resep Bahagia Ala HAMKA"
Komentar
Posting Komentar