Membaca Tasawuf Modern; Resep Bahagia ala HAMKA
Baca buku "Tasawuf Modern" oleh Hamka
Ketika mendengarkan kata tasawuf tentu banyak yang akan langsung mengarahkan pikirannya kepada kaum sufi. Kaum yang menghabiskan kehidupan mereka untuk beribadah dengan berbagai macam laku yang biasa dikenal dengan istilah tarekat serta menjauhkan diri mereka dari gemerlap kehidupan Dunia. Sederhananya, kaum sufi adalah kaum yang hanya hidup untuk Akhirat saja. Mereka tidak peduli dengan kehidupan Dunia dan cenderung mengabaikannya.
Hal itu pulalah yang terlintas di benak saya ketika pertama kali mendapati buku dengan judul Tasawuf Modern ini. Awalnya kusangka buku ini adalah panduan bagi mereka yang ingin menjadi sosok seorang sufi di zaman modern. Persangkaanku ini sebenarnya tidak begitu salah juga. Hanya saja kurang tepat jika kita memandang buku Tasawuf Modern ini hanya sebatas itu.
Sejatinya, istilah Tasawuf Modern adalah nama rubrik pada majalah Pedoman Masyarakat. Majalah yang dipimpin oleh HAMKA dan terbit di Medan pada masa-masa lahirnya Republik. Rubrik itu pada dasarnya memuat nasehat-nasehat keagamaan mengenai kehidupan dan tulisan-tulisan HAMKA yang membahas mengenai kehidupan yang berbahagia itu seperti apa. Disebut Tasawuf karena memang rujukan HAMKA dan para pengisi rubrik tersebut adalah karangan-karangan kaum sufi yang sarat akan Hikmah dan pelajaran Kehidupan. Namun Hikmah dan pelajaran tersebut disampaikan dengan bahasa masyarakat umum dengan dibubuhi contoh-contoh dari kehidupan sehari-hari serta dipadu-padankan dengan penjelasan-penjelasan dari berbagai pakar disiplin ilmu. Sehingga predikat “modern” pun dipergunakan untuk mensifati Tasawuf yang dikemukakan itu. Kalau menurut HAMKA sendiri:
Jadi Tasawuf Modern itu, kita maksudkan ialah keterangan ilmu Tasawuf yang dipermodern.
Kata Tasawuf pada Tasawuf Modern lebih dimaksudkan sesuai dengan makna asalnya yang murni. Yakni suatu laku penyucian diri dari segala macam kotoran yang dapat merusak hati lalu kehidupan. Bukan maknanya yang sudah mulai bergeser dengan diartikan sebagai laku kerahiban yang secara total meninggalkan kehidupan dan kelezatan Dunia.
Lebih spesifik lagi, Tasawuf di sini adalah jalan menuju kebahagiaan. Jalan yang tidak mesti ditempuh dengan melepaskan segala macam ikatan alamiah dengan Dunia. Maka tulisan-tulisan HAMKA yang dimuat dalam rubrik Tasawuf Modern itu pada akhirnya adalah resep hidup bahagia ala HAMKA. Pengertian inilah yang disinyalir olehnya pada pengantar pertama buku ini;
Tulisan kita tentang “bahagia”, yang lebih terkenal dengan nama Tasawuf Modern ini, mulai kita susun pada pertengahan tahun 1937 di majalah kita tercinta, Pedoman Masyarakat, karena mengabulkan permintaan sahabat kita, Tuan Oei Ceng Hien, muballigh yang terkenal dari Bintuhan.
Tulisan-tulisan HAMKA pada rubrik tersebut itulah yang berkat permintaan dan desakan pembaca kemudian dibukukan sebagaimana yang ada di hadapan kita saat ini.
Tasawuf Modern merupakan salah satu karya HAMKA yang mengusung corak religius filosofis. Juga merupakan karyanya yang paling monumental selain Tafsir al-Azhar di bidang Kajian Keislaman dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick di bidang Kesusastraan.
Siapakah HAMKA?
Bagi kalangan Muhammadiyah, HAMKA adalah sosok yang sudah tidak asing lagi. Beliau adalah salah satu tokoh Muhammadiyah yang paling harum namanya. Bahkan tidak hanya sebatas itu, bagi kalangan aktivis dan akademisi muslim pada umumnya HAMKA adalah pribadi yang mendapatkan tempat terhormat. Beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian, alim, dan lembut jiwanya serta salah satu sastrawan berpengaruh di Indonesia. Beliau adalah ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Seorang Pahlawan Nasional yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan bukan hanya dengan pikiran melalui tulisan-tulisannya, melainkan juga dengan harta dan raga.
Bukan hal yang sulit menemukan informasi pribadi HAMKA. Nama beliau tercatat secara biografis di Wikipedia dan bisa kita akses kapan saja dengan dengan berbekal piranti dan koneksi internet.
Namun untuk membaca HAMKA secara lebih personal dan mendalam, buku Ayahku karya Rusydi HAMKA adalah bacaan yang kurekomendasikan. Pada buku tersebut kita dapat melihat sosok HAMKA bukan hanya sekadar sebagai ulama dan sastrawan, melainkan juga ayah dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan baik di lingkungannya.
Bahagia Itu Dekat Dengan Kita
Ada di Dalam Diri Kita
Siapa sih yang tidak ingin bahagia? Kebahagiaan merupakan tujuan hidup semua orang. Berbagai macam cara manusia tempuh demi kebahagiaan. Bagi kalangan yang religius, kebahagiaan yang ingin dicapai itu bukan hanya terbatas pada kehidupan dunia semata, melainkan juga kebahagiaan pada kehidupan setelah mati nanti. Yaitu kehidupan akhirat.
Oleh karena itu manusia berlomba-lomba mendatangi para ahli hikmah, para ahli ilmu, dan para pakar untuk dapat bertanya dan menemukan jawaban mengenai kebahagiaan itu dan bagaimana cara menggapainya. Para filsuf menghabiskan umur mereka untuk menggali dan menemukan resep yang pas untuknya.
HAMKA turut serta dalam penggalian makna Kebahagiaan itu dan bagaimana mencapainya. Melalui buku ini beliau menelusuri sumber-sumber otentik dalam khazanah Islam, terutama al-Quran, Hadits, dan Kisah Salafus Shalih, untuk mengemukakan bagaimana laku ideal yang mesti dijalani seorang muslim yang ingin mencapai kebahagiaan, di Dunia maupun di Akhirat.
Aspek inilah yang menarik untuk didiskusikan selepas membaca buku ini. Segala macam laku yang HAMKA tawarkan, mulai dari Qanaah hingga Tawakkal, sebagai anak tangga yang mengantarkan seorang muslim menuju kebahagiaan yang hakiki, apakah manjur? Ataukah hanya jargon-jargon yang membuai namun mustahil memberikan manfaat yang efektif? Untuk menemukan jawabannya tentu pertama-tama kita mesti membaca buku ini hingga selesai. Lantas kemudian mencernanya dengan pikiran serta mengaktualisasikan dalam perbuatan. Dari pikiran yang memahami maksud buku ini dengan baik, dan pengalaman dalam pengamalan isi kandungannya, kita akan menemukan jawaban mengenai efektivitas jalan penyucian diri yang HAMKA tawarkan itu.
Namun ada satu hal yang jelas; buku ini telah memberikan efek yang cukup luas pada para pembacanya. Cukuplah dicetak ulangnya buku ini sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 1939 sebagai bukti akan hal itu. Bahkan bagi diri HAMKA sendiri, buku ini memberikan efek yang kuat baginya dalam menjalani salah satu fragmen terpahit dalam hidupnya; saat-saat dia mendekam dalam penjara Orde Lama.
Buah tangannya sendiri memberikannya semacam kekuatan yang, dia mengakuinya sendiri pada pengantar cetakan ke-12 bukunya, telah menghalanginya dari kekalahan dalam mengahadapi cobaan dan penyerahan negatif di haribaan nasib.
Akankah efek yang sama berlaku pada kita? Hanya diri kita sendiri yang mampu menjawabnya. Tentu saja setelah membaca tuntas buku ini.
NB: catatan ini ditulis sebagai pengantar pada diskusi bedah buku Tasawuf Modern bersama beberapa kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam.
Sumber : romansarajiv.medium.com
Baca juga artikel terkait : "HAMKA Wahabi?"
Baca Artikel Terkait lainnya :
Komentar
Posting Komentar