Bekerja Tanda Bersyukur…
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih”. (QS 34 : 13)
Baca tafsir ayat diatas @ https://tafsirq.com/34-saba/ayat-13
Muqaddimah
Di antara para nabi, Daud Alaihisalam termasuk seorang utusan Allah yang kerap mendapat pujian langsung dari Sang Khaliq. Sebut saja misalnya, dalam surah Shad [38], Nabi Daud secara berulang-ulang disebut sebagai hamba yang suka kembali atau bertobat. Termasuk pada ayat di atas, Allah menjadikan Nabi Daud sebagai simbol hamba-hamba-Nya yang suka bersyukur.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa Haditsnya tidak segan turut memuji Nabi Daud. Abdullah bin Amru bin al-Ash Radhiyallahu anhuma menceritakan, Nabi SAW pernah mengajariku, “Sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud, ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Sedang shalat yang paling baik di sisi Allah adalah Shalat Nabi Daud. Ia tidur pada pertengahan malam, bangun pada sepertiga malam terakhir, dan istirahat kembali di seperenam malam terakhir.” (Riwayat Bukhari).
Ibnu Katsir Rahimahullahu juga mengutip yang diceritakan oleh Ibnu Abi Hatim, seorang murid dari Imam Muslim, Nabi Daud membagi seluruh waktu yang ada kepada istri, anak, dan seluruh anggota keluarganya. Sehingga tak ada masa dalam sehari semalam kecuali ada di antara mereka yang terjaga dan tetap menunaikan ibadah shalat.
Hakikat Syukur
Mufassir Imam al-Qurthubi merangkum beberapa pendapat tentang kriteria dan definisi tentang syukur. Salah satunya apa yang disampaikan oleh Muhammad bin Ka’ab, syukur yaitu menanamkan nilai takwa dalam diri lalu menjabarkannya berupa amalan dan ketaatan. Sedang menurut Sufyan bin Uyainah, tolok ukur dari seorang Muslim yang bersyukur dilihat dari ibadah shalat. Sufyan lalu mengaitkan pendapatnya dengan kisah Aisyah yang mempertanyakan upaya gigih Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan shalat hingga kedua kakinya mengalami bengkak-bengkak. “Untuk apa ibadah yang demikian wahai Rasulullah? Bukankah dosa dan kesalahanmu telah diampuni Allah baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Nabi SAW lalu menepis keheranan Aisyah, ”Apakah (dengannya) aku tidak menjadi hamba yang bersyukur?” (Riwayat Muslim).
Dengan adanya ragam syukur, seorang Muslim boleh saja bersyukur dengan berbagai cara. Cara yang paling mudah tentunya memperbanyak kalimat syukur dan hamdalah (pujian) setiap waktu. Ia bisa juga bersyukur dengan cara tekun beribadah atau berupaya tampil dengan akhlak yang baik. Sebab syukur adalah sebuah perbuatan bermakna umum. Yaitu adanya pengakuan hati akan nikmat Allah yang diikuti dengan amal saleh dan menahan diri dari berbuat maksiat. Pendek kata, selama ia berbentuk kebaikan dan ketaatan, niscaya ia bagian daripada kesyukuran itu sendiri. Baik secara lisan ataupun perbuatan anggota tubuh lainnya. Demikian al-Qurthubi menyimpulkan. (Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an).
Etos Kerja yang Kuat
Bagi orang beriman, etos kerja adalah hal yang tak boleh lepas dalam hidupnya. Sebab, hakikat kehidupan dunia ini fana dan bersifat sementara. Sedang tujuan akhir dan utama tetaplah kehidupan akhirat. Oleh karenanya, setiap Muslim senantiasa dituntut untuk terus bekerja mendulang pahala kebaikan sebagai bekal menyongsong kehidupan yang abadi di hari Akhirat.
Ayat di atas juga senada dengan sejumlah ayat lain dalam al-Qur`an, sebagai bahasa penegas bahwa orang-orang beriman tak mengenal kata “zona aman” atau “zona nyaman” dalam hidupnya. Umat Islam dituntut terus bermujahadah dan beramal saleh, sedang hasilnya berpulang pada ketetapan Allah Ta’ala semata. Layaknya kumpulan air yang dituntut untuk terus mengalir bahkan memiliki arus. Diamnya air justru awal petaka dan menjadi sumber penyakit atau masalah.
Ketika seseorang tak lagi mau beramal, maka yang tampak adalah “aktivitas” lain alias hanya berpangku tangan. Saat itu, ia lalu berubah menjadi penonton yang asyik menilai pekerjaan orang lain. Alih-alih memberi dukungan dan motivasi, yang jamak terjadi ia justru menyalahkan dan menyoraki. Padahal tidak ada jaminan jika pekerjaan itu dipikulkan kepadanya lantas dia sanggup berbuat lebih baik dari saudaranya tadi. Persis penonton sepakbola. Ia hanya sanggup mencak-mencak dan berteriak memaki para pemain yang telah berjibaku di tengah lapangan. Padahal ia sendiri tak becus sekadar menendang bola sekalipun.
Hanya Sedikit yang Bersyukur
Meski perbuatan ini disanjung oleh Allah, namun ironisnya jumlah peminatnya justru tidak sebanding dengan banyaknya “hadiah” yang ditawarkan atas perbuatan tersebut. Hal ini terbukti dengan penyampaian Allah yang sejak awal mensinyalir prosentase kuantitas hamba yang bersyukur. Imam al-Qurthubi lalu menerangkan rahasia di atas yang berujung kepada hukum alam dalam kehidupan ini. Tak lain kemaksiatan itu rupanya memang lebih digandrungi oleh nafsu manusia daripada ketaatan. Sebagaimana area kebaikan selalu lebih sedikit dibanding dengan ladang keburukan yang tak terbatas wilayahnya.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW tercinta jauh-jauh hari telah mengingatkan umatnya, “Sesungguhnya surga itu dipagari dengan hal-hal yang dibenci oleh (nafsu) manusia, sedang neraka itu diliputi oleh perkara yang menggoda manusia.” (Riwayat Muslim).
Oleh karena itu, tak heran terkadang jiwa ini harus rela berpahit-pahit demi menunaikan suatu amalan kebaikan. Ia butuh pengorbanan untuk menerobos bahkan mendobrak pagar hawa nafsu yang sekali waktu bergejolak meronta, namun di saat yang lain ia juga bisa datang dengan bisikan halus nan menggoda.
Melengkapi hal di atas, Ibnu Katsir mengutip kisah Umar bin Khaththab yang merasa heran ketika mendapati seorang lelaki sedang berdoa di dalam masjid. Ia berucap, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang sedikit.” Didorong oleh rasa heran, Umar kemudian bertanya, “Apa maksud Anda dengan sedikit?” Orang itu menjawab, “Saya hanya berharap bisa dimasukkan dalam orang-orang yang sedikit yang bersyukur itu. Sebab Allah menyatakan hanya sedikit yang mampu bersyukur dalam hidupnya.” Mendengar penuturan itu, Umar langsung berlalu seraya berucap lirih, ”Alangkah bodohnya engkau wahai Umar, sungguh semua manusia lebih paham tentang ayat ini darimu.”
Lebih jauh Imam al-Qurthubi kembali menerangkan, saat itu Nabi Daud juga tak luput dari kekhawatiran dengan perintah bersyukur. Benarkah ia sanggup menunaikannya? Untuk itu, Nabi Daud lalu bertanya, “Ya Rabb, apa gerangan yang bisa saya lakukan untuk bersyukur kepada-Mu? Sebab kemampuan bersyukur itu juga bagian dari nikmat yang Engkau berikan.” Allah lalu menjawab, “Dengan kesadaran demikian, sejatinya kamu telah bersyukur kepada-Ku. Ketika kalian menyadari bahwa segala yang ada dalam kehidupan dunia ini tak terlepas dari nikmat dan kasih sayang-Ku.” (Riwayat at-Tirmidzi).
Sumber : https://sejutaquran.org/125.html
Komentar
Posting Komentar