Tahlilan dan Qunut Dalam Pandangan Resmi Majelis Tarjih Muhammadiyah


Tuntunan Tahlilan dalam Pandangan Muhammadiyah


Muhammadiyah tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil “La Ilaha Illallah” (tiada Tuhan selain Allah). Bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 152 dan QS. al-Ahzab ayat 41.

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan. Rasul saw besabda: “maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik).

Berdasarkan keterangan di atas, maka memperbanyak tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, bahkan dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian.

Meski demikian, jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Sebab tahlil harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang ialah ucapacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS. Al Baqarah ayat 208.

Fatwa Tarjih menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.

Sumber : https://muhammadiyah.or.id/

Fatwa Tarjih Muhammadiyah Tentang Qunut

Pengertian qunut adalah tunduk kepada Allah SWT dengan penuh kebaktian. Selain itu dari beberapa hadis, qunut juga bisa diartikan dengan thulul qiyam (طُولُ اْلقِيَامِ). Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwasanya yang dimaksud dengan thulul qiyam adalah berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Qunut yang seperti inilah yang disyariatkan (masyru’). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi Muhammad saw.:

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ اْلقُنُوتِ. [رواه مسلم وأحمد وابن ماجه والترمذى وصححه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: Shalat yang paling utama adalah berdiri lama (untuk membaca doa qunut).” [HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi].         

Dalam pembahasan fiqih ada beberapa jenis qunut. Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan tentang tiga praktek qunut yang biasa dikenal, yaitu Qunut Nazilah, Qunut Witir, dan Qunut yang dilaksanakan pada waktu shalat subuh. Qunut Nazilah adalah qunut yang dilakukan ketika tertimpa musibah, namun Rasulullah saw. tidak mengerjakan Qunut Nazilah setelah diturunkan QS. Ali-Imran (3) ayat 127.

لِيَقْطَعَ طَرَفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَوْ يَكْبِتَهُمْ فَيَنقَلِبُوا خَائِبِينَ.

Artinya: Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa. [QS. Ali Imran (3): 127]

Sedangkan untuk Qunut Subuh, Muhammadiyah berpendirian bahwa qunut yang dilakukan khusus pada saat shalat subuh tidak dibenarkan karena dalilnya lemah. Hadis-hadis yang mendukung pendirian Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut:

• Hadis riwayat Imam Ahmad (1)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قاَلَ, حَدَّثَنَا أَبُوْ جَعْفَرٍ يَعْنِى الرَّازِيَّ, عَنَ الرَّبِيْعِ ابْنِ أَنَسٍ, عَنْ  أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّي فَا رَقَ الدُّنْيَا. [رواه أحمد و الدارقطني والبيهقي]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abd ar-Razzaq (ia berkata): Telah mengabarkan kepadaku Abu Ja’far yaitu ar-Razi dari Ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw. terus melakukan qunut pada shalat subuh sampai ia meninggal dunia.” [H.R. Ahmad, ad-Daruqutni, dan al-Baihaqi]

Derajat hadis: Dha’if.

Dalam hadis ini terdapat perawi bernama ar-Rabi’ bin Anas. Dalam Tahdzib at-Tahdzib, an-Nasai mengatakannya sebagai perawi yang tidak ada masalah (la ba’sa bih). Ini adalah pernyataan ta’dil derajat keempat yaitu bahwasanya hadis dari perawi yang demikian tidak dapat dijadikan hujjah kecuali setelah diteliti dan terbukti dikuatkan oleh perawi-perawi yang terpercaya. Sedangkan Ibnu Hibban mengatakan: “Orang-orang menghindari hadis-hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far ar-Razi karena banyak mengandung kekacuan (al-ittirab).

Selain itu dalam sanad hadis tersebut terdapat perawi bernama Abu Ja’far ar-Razi. Nama aslinya adalah ‘Isa bin Mahan, merupakan seorang perawi yang ulama berbeda pendapat mengenai kredibilitasnya. Ibnu Sa’ad dan al-Hakim mengatakan sebagai perawi yang tsiqah (terpercaya). Sedangkan Ahmad, al-‘Ijli, dan an-Nasai mengatakan bahwa ia tidak kuat dalam hadis (laisa bi qawiyyin bal-hadis). ‘Amr bin Ali menyatakan sebagai perawi yang dhaif dan buruk hafalannya.

Ibnu Hajar menegaskan bahwa ia menemukan satu syahid bagi hadis ini yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. qunut hingga akhir hayatnya. Akan tetapi ia menyatakan bahwa dalam riwayat syahid itu terdapat perawi bernama ‘Amr bin Ubaid yang dhaif dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.

• Hadis riwayat Imam Ahmad (2)

حَدَّثَنَا مَحْبُوبُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ هِلَالِ بْنِ أَبِي زَيْنَبَ، عَنْ خَالِدٍ يَعْنِي الْحَذَّاءَ، عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ سِيرِينَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، هَلْ قَنَتَ عُمَرُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْ عُمَرَ، رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ الرُّكُوعِ. [رواه أحمد]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahbub bin al-Hasan bin Hilal bin Abu Zainab dari Khalid yaitu al-Hadza’ dari Muhammad dari yaitu Ibnu Sirin berkata, Aku bertanya kepada Anas bin Malik, Apakah Umar melakukan Qunut? (Anas bin Malik) ra. menjawab: Ya. Dan orang yang lebih baik dari ‘Umar yaitu Rasulullah saw.  juga melakukannya setelah ruku’.” [H.R. Ahmad]

Derajat hadis: dhaif.

Hadis ini dhaif karena terdapat perawi bernama Mahbub bin Hasan. Mengenai Mahbub, az-Zahabi dalam Tahdzib at-Tahdzib menyatakan bahwa menurut Ibnu Ma’in ia tidak apa-apa (laisa bihi ba’s). Menurut Abi Hatim ia tidak kuat, menurut an-Nasai ia dhaif.

Selanjutnya adalah hadis-hadis lain yang berkaitan dengan qunut, di antaranya:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ القُنُوتِ، فَقَالَ: قَدْ كَانَ القُنُوتُ, قُلْتُ: قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: قَبْلَهُ، قَالَ: فَإِنَّ فُلاَنًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ، فَقَالَ: كَذَبَ. إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا، أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمْ القُرَّاءُ، زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا، إِلَى قَوْمٍ مِنَ المُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ، وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ، فَقَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ. [رواه البخاري]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad, dia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahid bin Ziyad, dia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim, dia berkata: Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut. Lalu dia menjawab: Qunut itu benar adanya. Aku bertanya lagi: Apakah pelaksanaannya sebelum atau sesudah ruku’? Dia menjawab: Sebelum ruku’. Ashim berkata: Ada orang yang mengabarkan kepadaku bahwa engkau mengatakan bahwa pelaksanaannya setelah ruku’? Anas bin Malik menjawab: Orang itu dusta. Rasulullah saw. pernah melaksanakannya setelah ruku’ selama satu bulan. Hal itu beliau lakukan karena beliau pernah mengutus sekelompok orang (ahli Al-Quran) yang berjumlah sekitar tujuh puluh orang kepada kaum musyrikin selain mereka. Saat itu antara Rasulullah saw. dan kaum musyrikin ada perjanjian. Kemudian Rasulullah saw. melaksanakan doa qunut selama satu bulan untuk berdoa atas mereka (karena telah membunuh para utusannya). [H.R. al-Bukhari]

Hadis di atas menjelaskan dua model qunut yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., yaitu sebelum ruku’ dan setelah ruku’. Jadi bisa diketahui bahwasanya qunut yang disyariatkan adalah qunut dalam pengertian melamakan berdiri untuk berdoa dalam shalat. Sedangkan pelaksanaan Qunut Subuh yang saat ini banyak diamalkan (qunut setelah ruku’) adalah tidak disyariatkan, karena Rasulullah saw. melakukan qunut yang demikian itu hanya selama satu bulan dan itu merupakan qunut nazilah. Dalam pada itu, Rasulullah saw. melakukan Qunut Nazilah tidak hanya pada waktu shalat subuh saja, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْجُمَحِيُّ، حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ هِلَالِ بْنِ خَبَّابٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ. [رواه أبو داود و أحمد و ابن خزيمة والحاكم وصححه]

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu’awiyah al-Jumahi, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Tsabit bin Yazid, dari Hilal bin Khabbab, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, ia berkata, Rasulullah saw melakukan qunut selama satu bulan terus menerus dalam shalat dhuhur, asar, maghrib, isya, dan shalat shubuh pada akhir setiap shalat sesudah mengucapkan sami’allahu liman hamidah pada rakaat terakhir di mana ia mendoakan keburukan untuk beberapa kabilah Bani Sulaim, yaitu Ri’l, Dzakwan, dan Usayyah, dan para ma’mum di belakangnya mengamininya.” [H.R. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah]. Hadis ini sahih menurut al-Hakim dan al-‘Arnaut dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي: يَا أَبَةِ، إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، هَاهُنَا بِالكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟ قَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ. [رواه الترمذي والنسائى وابن مجاجه و أحمد]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’i, ia berkata, aku bertanya kepada ayahku: Wahai ayah, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Usman, dan juga di belakang Ali di Kufah selama sekitar lima tahun, apakah mereka itu melakukan qunut? Ayahku menjawab: Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang diadakan kemudian (bid’ah).” [H.R. al-Bukhari]

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَأُقَرِّبَنَّ صَلاَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ، وَصَلاَةِ العِشَاءِ، وَصَلاَةِ الصُّبْحِ، بَعْدَ مَا يَقُولُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الكُفَّارَ. [رواه البخاري و مسلم]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Fadlalah, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata: Sungguh akan aku contohkan shalatnya Nabi saw.. Abu Hurairah ra. membaca doa qunut pada rakaat terakhir dalam shalat zhuhur, shalat ‘isya dan shalat subuh setelah mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Lalu ia mendoakan kaum mukminin dan melaknat orang-orang kafir. [H.R. al-Bukhari dan Muslim]

Hadis-hadis di atas adalah sahih. Adapun hadis yang menyatakan bahwasanya Rasulullah saw. melaksanakan qunut subuh sampai beliau meninggal statusnya adalah dha’if, sebagaimana hadis riwayat Ahmad sebelumnya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi disebutkan bahwasanya qunut yang dimaksud adalah thulul qiyam (lama berdiri ketika shalat), kemudian pada hadis dari Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh al-Bukhari memberitahukan kepada kita bahwa Nabi saw. telah menjalankan qunut selama satu bulan dan tidak ada penjelasan bahwasanya itu adalah qunut yang hanya terbatas pada shalat shubuh. Bahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah lebih jelas bahwa Nabi saw. tidak melaksanakan qunut hanya pada Salat Subuh tetapi juga pada Salat Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya.

Wallaahu a’lam bish-shawab.

Sumber : https://web.suaramuhammadiyah.id/

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?