Ashabiyah: Haram dan Menjijikkan
Sumber video : https://youtube.com/shorts/nb1
Ashabiyah: Haram dan Menjijikkan
 الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبَةِ وَيُقَاتِلُ لِلْعَصَبَةِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أُمَّتِى يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لا يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلا يَفِى بِذِى عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي 
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukanlah bagian dari golonganku.” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasai) 
Dalam redaksi lainnya dari Abu Hurairah ra., Rasulullah ﷺ bersabda: 
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَخَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ فَمَاتَ فَمِيتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِى بِسَيْفِهِ يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لا يُحَاشِى مُؤْمِناً لإيمَانِهِ وَلا يَفِى لِذِى عَهْدٍ بِعَهْدِهِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ 
Siapa saja yang memecah-belah jamaah dan keluar dari ketaatan, lalu mati, maka dia mati jahiliah. Siapa saja yang keluar menyerang umatku dengan pedangnya, ia memerangi orang baik dan orang jahatnya, tidak takut akibat perbuatannya menimpa orang Mukmin karena keimanannya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang untuk ‘ashabiyah atau menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah (HR Ahmad). 
Imam al-Baihaqi mengeluarkan hadis ini dalam Syu’ab al-imân dari Abu Hurairah dengan redaksi: 
وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَنْصُرُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَدْعُوْ لِلْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ 
“ …siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, menolong karena ‘ashabiyah dan menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah.” 
Hadis di atas menjelaskan: 
Pertama, haramnya keluar dari ketaatan kepada imam/khalifah dan haramnya memecah-belah jamâ’ah al-muslimîn (jamaah kaum Muslim), yaitu jamaah kaum Muslim yang dipimpin oleh imam/khalifah. 
Kedua, haramnya sebagian kaum Muslim memerangi sebagian lainnya, yang tidak dibenarkan. Ini tidak mencakup perang yang dibenarkan, misalnya memerangi ‘khalifah kedua’ yang dibaiat, perang ta’dîb terhadap pelaku bughât, dsb. 
Ketiga, haramnya menyeru, membela dan berperang demi ‘ashabiyah. Hadis di atas, meski redaksinya berita, karena disertai celaan, maknanya adalah larangan. Qarînah yang ada menunjukkan ketegasan larangan itu, yaitu qarînah “falaysa min ummati” atau “faqitlatuhu jâhiliyyah” atau disebut sebagai râyah ‘ummiyah. 
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan, “Râyah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.” Ishaq bin Rahwaih berkata, “Ini seperti saling berperangnya kaum karena ‘ashabiyyah.” 
Mula Ali al-Qari di dalam Mirqah al-Mafâtîh mengatakan, “Di dalam kamus al-‘ummiyyah artinya kesombongan (al-kibru) dan kesesatan (adh-dhalâl).” Al-Qari melanjutkan, “Yaghdhabu yakni hâl (keterangan) kondisi dia marah karena ‘ashabiyah, yaitu kebiasaan yang dinisbatkan pada sifat ‘ashabiyah; artinya bukan untuk meninggikan kalimat thayyibah, “aw yad’û (menyeru)” yakni yang lain untuk ‘ashabiyah, “aw yanshuru (menolong)”, yakni dengan perbuatan, pukulan dan perang secara ‘ashabiyyah.” 
An-Nawawi berkata, “Maknanya berperang tanpa pandangan dan pengetahuan karena ta’ashub (fanatisme) seperti perang jahiliah dan tidak mengetahui yang benar dari yang batil, melainkan ia marah karena ‘ashabiyah bukan karena menolong agama, dan ‘ashabiyah adalah menolong kaumnya di atas kezaliman.” 
Ath-Thaibi berkata, “Sabda Rasul ﷺ ‘tahta râyah ‘ummiyyah’ merupakan kinâyah (kiasan) dari jamaah yang berkumpul/berhimpun di atas perkara yang tidak jelas benar atau batil.” 
‘Ashabiyah itu berasal dari ‘ushbah (kelompok) dan ‘ashabah (kerabat laki-laki). ‘Ashabiyah maknanya ikatan kelompok baik kelompok keturunan maupun yang lain. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jamaah, partai, kemadzhaban, dan lainnya termasuk dalam makna ‘ashabiyah. 
Hanya saja, larangan atau keharaman ikatan ‘ashabiyah itu bukan berarti tidak boleh mencintai suku, daerah, keluarga, jamaah, kelompok, golongan, atau mazhab. Akan tetapi, maknanya adalah tidak boleh atau haram menjadikan ikatan ‘ashabiyah itu di atas segalanya; di atas kebenaran dan di atas ikatan Islam dan keimanan. Di dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Fusailah binti Watsilah bin al-Asqa’ dari bapaknya dikatakan: Aku berkata, “Apakah ‘ashabiyah itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: 
أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ 
Engkau menolong kaummu di atas kezaliman. 
Oleh karena itu, dalam Islam tidak ada istilah right or wrong is my country, my nation, my madzhab, my party, my jamaah dan lainnya. Sikap ‘ashabiyah (fanatisme kelompok) itu harus ditinggalkan seperti yang diperintahkan Rasul ﷺ. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa dalam satu perang, seorang Muhajirin mendorong seorang Anshar, lalu orang Anshar itu berkata, “Tolonglah, hai Anshar.” Orang Muhajirin itu berkata, “Tolonglah, hai Muhajirin.” Nabi ﷺ. pun mendengar itu dan beliau bersabda: 
مَا بَالُ دَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ: كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلا مِنَ الأنْصَارِ. فَقَالَ: دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَة 
“Ada apa dengan seruan jahiliah itu?” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, seorang dari Muhajirin memukul punggung seorang dari Anshar.” Beliau bersabda: “tinggalkan itu, sebab hal itu muntinah (tercela, menjijikkan dan berbahaya).” 
Ciri-Ciri Fanatik Kelompok (Ashabiyah)
Bagaimana ciri-ciri ashabiyah atau fanatik berlebihan pada kelompok? Boleh jadi kita memilikinya, semoga bisa dijauhi. 
Jika ada dalil yang shahih … 
• dibantah dengan perkataan pemimpin atau kelompoknya. 
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2: 335) 
Jika mereka punya dalil … 
• dalilnya rapuh. 
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak mendalami Al Qur’an dan As Sunnah kecuali segilintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadit-hadits yang rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi keliru.” Fanatik madzhab yang ada dahulu sama dengan fanatik kelompok saat ini. 
Jika ada pendapat yang masih bisa ditolerir … 
• pendapat kelompoknya yang dianggap paling benar sendiri. 
Jika ada pendapat luar … 
• tidak diterima, karena bukan dari pimpinan atau kelompoknya.
Sama persis dengan kisah berikut. 
Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menceritakan, bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah menjadi imam shalat di Masjid Abdullah selama 60 puluh tahun lamanya. Beliau bermadzhab Syafi’i dan tentu melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam shalat diambil alih oleh seseorang yang bermadzhab Maliki dan tidak melakukan qunut shubuh. Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya berkomentar, “Shalat imam tersebut tidak becus!!!” 
Jika dinasihati dan dikritik … 
• sulit menerima, lebih-lebih nasihat dan kritikan yang menentang pendapat kelompoknya. 
Jika ada kekeliruan dalam kelompoknya … 
• anggotanya membela mati-matian tanpa berdalil, bisa jadi pula mengatakan ini kan khilafiyah. Intinya, kelompoknya tidak boleh disalahkan karena ‘so pasti benar‘. 
Jika pendukungnya ditanya … 
• lebih cenderung menjawab, kami kan kelompok ini, harus berpendapat seperti itu pula. 
Jika berdakwah … 
• yang ditekankan adalah ikuti kelompoknya, bukan ikuti Al-Qur’an dan Hadits, bukan dakwah ilallah yang diarahkan, bukan dakwah pada tauhid dan ikuti tuntunan Nabi. Pokoknya dakwah pada kelompoknya yang dipentingkan. 
Jika diperintah bersatu … 
• enggan dengan alasan ego dan kepentingan kelompok. 
Jika ada anggota yang keluar dari pendapat kelompoknya … 
• dianggap telah menyimpang dan membelot bahkan bisa dikenakan sanksi. 
Padahal dalam bermadzhab saja tidak sampai segitu banget. Imam Nawawi yang jadi ulama besar Syafi’iyah saja biasa menyelisihi pendapat imamnya, Imam Syafi’i. Bahkan dalam madzhab Syafi’i saja ada beberapa ‘wajh’ (pendapat), tak sekaku pendapat kelompok. Karena yang ingin diikuti oleh Imam Nawawi adalah dalil. 
"Jadi lebih enak bermadzhab, bebas berpendapat. Namun tentu saja berpendapat yang sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan Hadits. 
Ingat baik-baik perkataan Imam Syafi’i supaya menjauhi taqlid. 
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi tersebut lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. 
Ashabiyah Kaum Anshar dan Muhajirin 
Ketika ada sifat fanatik pada kaum Anshar dan Muhajirin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkannya. Ashabiyah seperti itu dianggap termasuk sifat jahiliyyah. Sifat ashabiyah yang terjadi karena tolong menolong yang terjadi pada kaum Anshar adalah pada kebatilan, begitu pula pada kaum Muhajirin. Sedangkan sifat orang mukmin adalah saling tolong menolong dalam kebenaran, baik kebenaran itu dari dalam atau luar kaumnya. 
Nasihat di atas berlaku untuk diri kami, pada setiap da’i dan pendakwah. Semoga kita terjauhkan dari sifat ashobiyah dan fanatik kelompok yang berlebihan dan melampaui batas. 
Referensi : 
Komentar
Posting Komentar