Tidak Meyakini Allah Di Atas ‘Arsy, Apakah Keluar Dari Islam (Kafir) ?
Tidak Meyakini Allah Di Atas ‘Arsy, Apakah Keluar Dari Islam (Kafir) ?
Oleh : Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
1. Saudara Muslim Yang Berbeda Aqidah.
Seorang Muslim yang berbeda aqidah, termasuk masalah dalam asma wa sifat, tidak dapat dikatakan kafir kecuali di dalam perkara yang menjadikan kemurtadan atau keluar dari Islam.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullah berkata:
“Menghukumi dengan takfir dan tafsiq (menyatakan seseorang sebagai orang kafir dan orang fasiq) bukan diserahkan kepada kita, tetapi hal itu diserahkan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga hal itu termasuk hukum-hukum agama yang tempat kembalinya adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dalam hal ini wajib sangat berhati-hati.
Tidaklah dikafirkan dan difasiqkan kecuali orang yang ditunjukkan Al-Kitab dan As-Sunnah atas kekafirannya atau kefasiqannya. Dan hukum asal seorang muslim yang nyata (keislamannya), yang lurus, adalah tetap pada keislaman dan kelurusannya, sampai terbukti hilangnya hal itu darinya dengan kandungan dalil syar’i”.
(Lihat: Al-Qawaidul Husna, hal: 148, karya Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin, takhrij: Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud)
Dan untuk menghukumi seseorang yang lahiriyahnya seorang muslim, seperti dia melakukan sholat, maka harus terpenuhi dua perkara.
Pertama: Petunjuk dari Al-Kitab atau As-Sunnah bahwa suatu perkataan atau perbuatan menyebabkan kekafiran atau kefasiqan.
Kedua: Kesesuaian hukum tersebut terhadap orang tertentu yang mengatakannya atau yang melakukannya, yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat takfir atau tafsiq pada diri orang tersebut dan ketiadaan mawani’ (penghalang syar’i)”.
[Lihat: Al-Qawaidul Husna, hal: 148-149, karya Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin, takhrij: Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud]
2. Hukum Orang Yang Tidak Meyakini Allah Di Atas ‘Arsy.
Di antara aqidah besar di dalam agama Islam adalah meyakini sifat Maha Tinggi bagi Allah Ta’ala. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah, bahwa Allah berada di tempat yang tinggi, di atas langit, di atas ‘arsyNya. Dalil tentang sifat tinggi bagi Allah Ta’ala sangat banyak, sampai sebagian ulama mengatakan:
“Di dalam Al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih, yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhlukNya dan bahwa Dia berada di atas hamba-hambaNya”.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/121)
Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?
(QS. Al-Mulk/67: 16-17)
Allah memberitakan tentang diri-Nya, pada tujuh tempat di dalam Al-Qur’an, bahwa Dia istiwa’ (berada di atas) ‘arsy (singgasana) Nya. Dan siapakah yang lebih tahu tentang Allah, daripada Dia sendiri? Maka berita-Nya harus diimani.
Allah Ta’ala juga berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Tuhan yang Maha Pemurah berada di atas ‘Arsy. (QS. Thaaha/20: 5)
Adapun ayat-ayat yang lain adalah: surat Al-A’raaf, 54; surat Yunus, 3; surat Ar-Ra’du, 2; surat Al-Furqaan, 59; surat As-Sajdah, 4; Al-Hadid, 4.
‘Arsy secara bahasa artinya singgasana; kursi tempat duduk raja. Adapun ‘arsy Allah Ta’ala, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil, adalah tempat duduk yang memiliki kaki-kaki, dipikul oleh para malaikat, dan ‘arsy itu seperti kubah di atas alam, dan merupakan atap seluruh makhluk.
Imam Al-Auza’iy rahimahullah, seorang ‘alim di zaman tabi’in, berkata:
“Kami -waktu itu masih banyak ulama generasi tabi’in- mengatakan: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas ‘arsyNya, dan kami mengimani sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam Sunnah (Hadits) dan ilmuNya bersama mereka (manusia; makhluk) di mana saja mereka berada”.
(Riwayat Al-Baihaqi di dalam Al-Asma’ was Shifaat. Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 137, no. 121)
Mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy bisa mengkafirkan, jika hujjah sudah tegak kepada orangnya. Abu Muthii’ Al-Hakam bin ‘Abdullah Al-Balkhi rahimahullah, penyusun kitab Fiqhul Akbar, berkata:
“Aku bertanya kepada (imam) Abu Hanifah rahimahullah tentang orang yang mengatakan “Aku tidak tahu, Tuhanku berada di langit atau di bumi”. Beliau menjawab: “Dia telah kafir, karena Allah Ta’ala berfirman “Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. Thaaha/20: 5), sedangkan ‘arsyNya berada di atas semua langitNya.
Aku bertanya lagi: “Tetapi orang itu berkata “Aku mengatakan, “Allah bersemayam di atas ‘Arsy, namun aku tidak tahu, ‘arsy itu di langit atau di bumi”. Abu Hanifah berkata: “Jika dia mengingkari, ‘arsy itu berada di atas langit, dia telah kafir”.
(Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 136, no. 118)
Akan tetapi orang-orang Islam yang tidak meyakini keberadaan Allah di atas ‘arsy, kebanyakan memiliki syubhat. Maka orang yang demikian, tidak langsung dikafirkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
“Adapun pengkafiran, yang benar adalah bahwa: Barangsiapa di antara umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al-haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan, bahkan kesalahannya diampuni.
Dan barangsiapa yang telah jelas terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, lalu dia menentang Rasul setelah petunjuk jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan mukminin, maka dia kafir.
Dan barangsiapa yang mengikuti hawa-nafsunya, meremehkan di dalam mencari al-haq, dan dia berbicara tanpa ilmu, maka dia orang yang bermaksiat lagi berdosa”.
(Majmu’ Fatawa 12/180)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
“Demikian juga takfir merupakan hak Allah Ta’ala, sehingga tidak dikafirkan kecuali orang-orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-nya. Demikian juga mengkafirkan seseorang tertentu dan kebolehan membunuhnya terhenti pada (syarat) telah sampainya hujjah Nabi kepada orang tersebut, yang barangsiapa menyelisihinya menjadi kafir. Karena sesungguhnya tidak setiap orang yang bodoh terhadap sesuatu dari agama ini dia dikafirkan.”
[Ar-Raddu ‘alal Bakri, I/381, tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli]
3. Bagaimana shalat di belakang bermakmum padanya?
Hukum asalnya, seorang muslim boleh bermakmum kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Sebagaimana sebagian sahabat, seperti Ibnu Umar shalat di belakang pasukan Al-Hajjaj, dan sebagaimana sebagian tabi’in shalat di belakang Mukhtar bin Abi ‘Ubaid. Akan tetapi jika memungkinkan untuk sholat di belakang imam yang beraqidah lurus, maka itu tentu lebih utama.
Wallahu ta’ala a’lam
Sumber : https://bimbinganislam.com/
Komentar
Posting Komentar