Perlukah Menggantikan GMT dengan Mecca Mean Time?
Sumber video : https://youtu.be/05kpolaDYtQ
19 April 2008 di Doha, Qatar, berlangsung konferensi ilmiah yang mendiskusikan kemungkinan mengalihkan perhitungan waktu yang sudah baku selama ini, dari mengacu pada Greenwich Meridian Time (GMT), berganti menjadikan Makkah sebagai awal mula perhitungan waktu. Konferensi ini dibuka oleh Dr Yusuf Qardhawi dengan tema “Makkah Sebagai Pusat Bumi, Antara Praktik dan Teori”, sebagai pembahas geolog Mesir, Dr Zaglur Najjar, dosen ilmu bumi di Wales University, Inggris; dan saintis yang memelopori jam Makkah, Ir Yaseen Shaok. Hasil konferensi itu mengimbau umat Islam sedunia menjadikan Makkah–Ka’bah berada di 21 derajat 25 menit 25 detik lintang utara dan 39 derajat 49 menit 39 detik bujur timur–sebagai titik awal perhitungan waktu. Alasannya sederhana, Makkah, menurut kajian ilmiah, adalah ‘pusat bumi’.
Perlukah Menggantikan GMT dengan Mecca Mean Time?
Peresmian jam raksasa Mekkah pada awal Ramadhan 1431 H, pada 11 Agustus 2010, membangkitkan kembali keinginan sebagian ulama Islam, terutama di negara-negara Arab, untuk menjadikan Mekkah sebagai pusat waktu. Beberapa argumentasi diajukan, antara lain bahwa Mekkah dianggap sebagai Pusat Dunia, setidaknya kalau dilihat dari distribusi sebaran benua.
Sebenarnya proyek tersebut cenderung bersifat ”mercusuar” dengan menjadikannya jam terbesar di dunia dengan beberapa keunggulan lainnya. Tetapi tidak memuat konsep waktu yang berbeda dari yang saat ini diterima secara internasional.
Benar Mekkah sebagai tempat Ka’bah menjadi pusat perhatian Ummat Islam karena menjadi kiblat saat shalat dan menjadi pusat ibadah haji. Tetapi, secara fisik geografis tidak ada keistimewaan yang mendukung untuk menjadikannya sebagai rujukan waktu atau sebagai meridian utama (Prime Meridian). Secara geografis, kalau Mekkah menjadi meridian utama (garis bujur 0), maka garis tanggal internasional pada garis bujur 180 derajat akan memotong Alaska dan terlalu jauh kalau harus dibelokkan ke Selat Bering. Itu berdampak kurang bagus, karena Kanada dan Alaska yang satu wilayah daratan terpaksa harus berbeda hari. Misalnya, di Alaska Senin sedangkan di Kanada masih Ahad. Sehingga untuk mewujudkannya jelas tidak mungkin akan mendapatkan persetujuan internasional. Masalah waktu tidak mungkin diatur secara sepihak, perlu konvensi internasional. Untuk memahaminya, kita harus melihat sejarah konvensi waktu internasional yang merujuk pada waktu rata-rata Greenwich.
Greenwich Mean Time (GMT, Waktu Rata-rata Greenwich) adalah rujukan waktu internasional yang pada mulanya didasarkan pada waktu matahari di Greenwich yang kemudian didasarkan pada jam atom. Sistem waktu yang mapan tersebut mempunyai sejarah panjang yang didukung konvensi internasional dan kajian ilmiah untuk penyempurnaannya. Sampai pertengahan abad 19, masing-masing negara menggunakan sistem jam matahari sendiri dengan menggunakan meridian masing-masing. Meridian adalah garis hubung utara-selatan yang melalui zenit yang dilintasi matahari saat tengah hari. Untuk jaringan transportasi kereta api jarak jauh yang mulai berkembang saat itu, pembuatan sistem waktu baku antarwilayah diperlukan. Tanpa sistem waktu yang baku, jadwal kereta api bisa kacau ketika memasuki wilayah yang menggunakan sistem waktu berbeda. Hal itu terutama dirasakan oleh jaringan kereta api di Kanada dan Amerika Serikat.
Kebutuhan sistem waktu baku tersebut yang mendorong Sir Sandford Fleming, seorang teknisi dan perencana perjalanan kereta api Kanada mengusulkan waktu baku internasional pada akhir 1870-an. Gagasan itu kemudian dimatangkan dalam Konferensi Meridian Internasional di Washington DC pada Oktober 1884 yang dihadiri perwakilan 25 negara (Austria-Hungaria, Brazil, Chile, Kolombia, Costa Rica, Perancis, Jerman, Inggris, Guatemala, Hawii, Italia, Jepang, Liberia, Meksiko, Belanda, Paraguay, Rusia, San Domingo, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Amerika Serikat, Venezuela, dan Salvador).
Kesepakatan pokok (konvensi) pada konferensi tersebut adalah sebagai berikut:
- Bersepakat menggunakan meridian dunia yang tunggal untuk menggantikan banyak meridian yang telah ada.
- Meridian yang melalui teropong transit di Observatorium Greenwich ditetapkan sebagai meridian nol.
- Semua garis bujur dihitung ke Timur dan ke Barat dari meridian tersebut sampai 180 derajat.
- Semua negara menerapkan hari universal.
- Hari universal adalah hari matahari rata-rata, mulai dari tengah malam di Greenwich dan dihitung 24 jam.
- Hari nautika dan astronomi di mana pun mulai dari tengah malam.
- Semua kajian teknis untuk mengatur dan menerapkan sistem desimal pembagian waktu dan ruang akan dilakukan.
Butir ke-2 tidak mendapat kesepakatan bulat. San Dominggo menentang. Perancis dan Brazil abstain.
Saat ini sistem waktu telah ditetapkan dengan 24 waktu baku, secara umum setiap perbedaan 15 derajat garis bujur, waktunya berbeda 1 jam. Dalam pelaksanaannya, waktu baku tersebut disesuaikan dengan batas wilayah agar tidak memecah waktu di suatu wilayah. Pada 1928, dalam konferensi astronomi internasional, berdasarkan kajian soal waktu, maka penamaan GMT diubah menjadi Universal Time (UT). Rujukan waktunya tetap jam matahari, sehingga tergantung rotasi bumi yang sebenarnya tidak konstan. Pada 1955 ditemukan jam atom Caesium yang lebih stabil, sehingga selalu ada perbedaan dengan UT, walau dalam skala yang sangat kecil dalam orde milisecond (seperseribu detik). Pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an banyak dilakukan kajian soal waktu yang sinkron antara UT dan jam atom. Saat ini UT bukan lagi murni didasarkan pada jam matahari, tetapi berdasarkan jam atom yang disinkronkan dengan konsep jam matahari. Namanya menjadi UTC (Universal Time, Coordinated), nama kompromi dari usulan dua bahasa: bahasa Inggris “CUT” untuk “coordinated universal time” dan bahasa Perancis “TUC” untuk “temps universel coordonné”.
Dari sejarah panjang GMT tersebut, kita bisa faham bahwa konvensi waktu baku internasional didasarkan pada kebutuhan untuk mensinkronkan jadwal aktivitas manusia yang bersifat lintas negara. Apalagi saat ini, jadwal penerbangan memerlukan pengaturan waktu yang sangat akurat. Sistem waktu GMT atau UTC yang sudah mapan saat ini tidak mungkin lagi diubah, misalnya dengan MMT (Mecca Mean Time). Tidak ada alasan fisis – teknis yang mendasarinya, selain ghirah (semangat) keagamaan. Juga tidak ada alasan yang mendukung penyatuan waktu ibadah ummat Islam, karena pada dasarnya waktu ibadah bersifat lokal dan sudah tercukupi dengan menggunakan sistem waktu internasional yang telah ada.
Batas Penanggalan Internasional GMT yang zig zag terhadap garis bujur 180 derajat GMT (sumber gambar: https://www.baishavaad.org/on-the-edge-the-international-date-line-in-halacha/)
Meca Mean Time (MMT) adalah gagasan untuk menjadikan kota Makkah sebagai acuan garis bujur 0 derajat menggantikan Greenwich Mean Time (GMT).
Saat ini kota Makkah berada di 39,49 derajat Bujur Timur (BT) GMT, sehingga MMT akan membuat garis bujur 180 derajat berada di antara 140–141 derajat Bujur Barat (BB) GMT. Garis bujur 180 derajat inilah yang menjadi awal permulaan tanggal atau Batas Penanggalan Internasional.
Kota Makkah sebagai garis bujur 0 derajat MMT tidak bisa dijadikan Batas Penanggalan Internasional, sebagaimana kota Greenwich yang merupakan bujur 0 derajat GMT.
Hal ini karena Batas Penanggalan Internasional harus berada di daerah yang jarang penduduk, utamanya lautan, agar pergantian tanggal tidak terlalu berdampak pada wilayah berjarak dekat di sisi barat dan timur dari batas penanggalan tersebut.
Contohnya jika batas penanggalan berada pada MMT 0 derajat, maka Riyadh dan Jeddah akan memiliki hari yang berbeda. Padahal jarak 2 kota tersebut hanya selisih 7 derajat, artinya jika dipisahkan hanya selisih waktu kurang dari setengah jam.
Namun beda waktu kurang dari setengah jam tersebut sudah dihitung berada pada hari yang berbeda karena Riyadh berada di sebelah timur Makkah, dan Jeddah berada di sebelah barat Makkah.
Hal ini akan menyulitkan sistem administrasi, baik bisnis maupun non bisnis, pada wilayah tersebut. Dan kasus tersebut akan berdampak pada banyak kota, karena MMT 0 derajat melintasi daratan dengan banyak wilayah berpenduduk padat.
Karena itulah batas penanggalan tetap berada di MMT 180 derajat, yaitu di antara 140–141 derajat Bujur Barat (BB) GMT, yang berlokasi di Lautan Pasifik.
Di antara penentang gagasan MMT adalah Thomas Djamaluddin dari LAPAN. Alasannya karena garis bujur 180 derajat MMT akan memotong Alaska, sehingga Kanada dan Alaska yang satu wilayah daratan terpaksa harus berbeda hari. Misalnya di Alaska hari Senin sedangkan di Kanada masih Ahad.
Namun alasan tersebut sangat lemah, karena garis bujur 180 derajat GMT memotong lebih banyak daratan daripada garis bujur 180 derajat MMT, yaitu daratan Rusia dan beberapa pulau di Republik Fiji.
Pada kasus Republik Kiribati, negara kepulauan di Pasifik yang berpenduduk 110.000 jiwa, selisih waktu antara wilayah timur dan barat negara tersebut hanya sekira 2 jam. Namun karena garis bujur 180 derajat GMT memotong negara tersebut, maka wilayah timur dan barat negara tersebut berada pada 2 hari yang berbeda.
Karena itu pada tahun 1995, Kiribati memutuskan untuk mengubah zona waktunya agar seluruh wilayah negaranya berada pada 1 hari yang sama.
Begitu pula Samoa yang pada 2011 mengubah zona waktunya agar proses bisnis Samoa berada pada hari yang sama dengan Selandia Baru dan Australia.
Karena itulah garis Batas Penanggalan Internasional GMT terlihat memiliki banyak zig zag di peta. Sementara Batas Penanggalan Internasional (garis bujur 180 derajat) MMT, jika disepakati, hanya memiliki lebih sedikit zig zag yaitu di Alaska di mana Batas Penanggalan Internasional dimajukan ke arah barat di Selat Bering.
Penggunaan MMT akan tetap membuat Indonesia dan Arab Saudi berada pada hari yang sama, sama seperti GMT, di mana Indonesia lebih awal 4 jam dari Arab Saudi.
Awal permulaan tanggal akan tetap bermula dari timur, yaitu Lautan Pasifik, hanya “lebih maju” 3 jam dari GMT.
MMT akan membantu usaha penyatuan Kalender Muslim, sekaligus menyelaraskan perayaan hari-hari besar Islam. Sehingga MMT merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya mewujudkan Kalender Hijriyah yang mandiri, tanpa bergantung pada Kalender Masehi.
Saat ini kota Makkah berada di 39,49 derajat Bujur Timur (BT) GMT, sehingga MMT akan membuat garis bujur 180 derajat berada di antara 140–141 derajat Bujur Barat (BB) GMT. Garis bujur 180 derajat inilah yang menjadi awal permulaan tanggal atau Batas Penanggalan Internasional.
Kota Makkah sebagai garis bujur 0 derajat MMT tidak bisa dijadikan Batas Penanggalan Internasional, sebagaimana kota Greenwich yang merupakan bujur 0 derajat GMT.
Hal ini karena Batas Penanggalan Internasional harus berada di daerah yang jarang penduduk, utamanya lautan, agar pergantian tanggal tidak terlalu berdampak pada wilayah berjarak dekat di sisi barat dan timur dari batas penanggalan tersebut.
Contohnya jika batas penanggalan berada pada MMT 0 derajat, maka Riyadh dan Jeddah akan memiliki hari yang berbeda. Padahal jarak 2 kota tersebut hanya selisih 7 derajat, artinya jika dipisahkan hanya selisih waktu kurang dari setengah jam.
Namun beda waktu kurang dari setengah jam tersebut sudah dihitung berada pada hari yang berbeda karena Riyadh berada di sebelah timur Makkah, dan Jeddah berada di sebelah barat Makkah.
Hal ini akan menyulitkan sistem administrasi, baik bisnis maupun non bisnis, pada wilayah tersebut. Dan kasus tersebut akan berdampak pada banyak kota, karena MMT 0 derajat melintasi daratan dengan banyak wilayah berpenduduk padat.
Karena itulah batas penanggalan tetap berada di MMT 180 derajat, yaitu di antara 140–141 derajat Bujur Barat (BB) GMT, yang berlokasi di Lautan Pasifik.
Di antara penentang gagasan MMT adalah Thomas Djamaluddin dari LAPAN. Alasannya karena garis bujur 180 derajat MMT akan memotong Alaska, sehingga Kanada dan Alaska yang satu wilayah daratan terpaksa harus berbeda hari. Misalnya di Alaska hari Senin sedangkan di Kanada masih Ahad.
Namun alasan tersebut sangat lemah, karena garis bujur 180 derajat GMT memotong lebih banyak daratan daripada garis bujur 180 derajat MMT, yaitu daratan Rusia dan beberapa pulau di Republik Fiji.
Pada kasus Republik Kiribati, negara kepulauan di Pasifik yang berpenduduk 110.000 jiwa, selisih waktu antara wilayah timur dan barat negara tersebut hanya sekira 2 jam. Namun karena garis bujur 180 derajat GMT memotong negara tersebut, maka wilayah timur dan barat negara tersebut berada pada 2 hari yang berbeda.
Karena itu pada tahun 1995, Kiribati memutuskan untuk mengubah zona waktunya agar seluruh wilayah negaranya berada pada 1 hari yang sama.
Begitu pula Samoa yang pada 2011 mengubah zona waktunya agar proses bisnis Samoa berada pada hari yang sama dengan Selandia Baru dan Australia.
Karena itulah garis Batas Penanggalan Internasional GMT terlihat memiliki banyak zig zag di peta. Sementara Batas Penanggalan Internasional (garis bujur 180 derajat) MMT, jika disepakati, hanya memiliki lebih sedikit zig zag yaitu di Alaska di mana Batas Penanggalan Internasional dimajukan ke arah barat di Selat Bering.
Penggunaan MMT akan tetap membuat Indonesia dan Arab Saudi berada pada hari yang sama, sama seperti GMT, di mana Indonesia lebih awal 4 jam dari Arab Saudi.
Awal permulaan tanggal akan tetap bermula dari timur, yaitu Lautan Pasifik, hanya “lebih maju” 3 jam dari GMT.
MMT akan membantu usaha penyatuan Kalender Muslim, sekaligus menyelaraskan perayaan hari-hari besar Islam. Sehingga MMT merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya mewujudkan Kalender Hijriyah yang mandiri, tanpa bergantung pada Kalender Masehi.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar