Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya

Simak video berikut :
Ciri-ciri Ahlus Sunnah (Aswaja) menurut
𝗞𝘆𝗮𝗶. 𝗜𝗱𝗿𝘂𝘀 𝗥𝗮𝗺𝗹𝗶 (𝗡𝗨) VS 𝗞𝘆𝗮𝗶 𝗠𝗮𝗿𝘇𝘂𝗸𝗶 (𝗡𝗨.Nahdatul Wathon).

Sumber video : https://fb.watch

Makna Ahlussunah Waljamaah dan Sekte-Sekte yang Menyelisihinya

Makna ahlussunah waljamaah

Ahlussunah waljamaah (diambil dari bahasa Arab) terdiri dari dua unsur kata, yaitu as-sunnah dan al-jama’ah. Secara etiomologi, as-sunnah artinya adalah jalan/cara, baik itu jalan yang baik atau buruk (Lisanul ‘Arab). Sedangkan menurut terminologi dalam pembahasan akidah, as-sunnah adalah petunjuk yang telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, baik berupa ilmu, keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Inilah makna as-sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, sedangkan orang yang menyelisihinya akan dicela. (Mabahits fi ‘Aqidah)

Adapun pengertian as-sunnah menurut Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, “As-sunnah adalah jalan beragama yang ditempuh oleh seseorang, yaitu berupa berpegang teguh dengan apa yang dilaksanakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafa’ur rasyidin berupa keyakinan, perkataan dan perbuatan. Inilah makna as-sunnah yang sempurna.“ (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam)

Sedangkan yang dimaksud dengan al-jama’ah adalah pendahulu umat ini, yaitu para sahabat, tabiin, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat nanti. Mereka bersatu di atas Al-Kitab dan as-sunnah dan bersatu bersama di bawah para imam/pemimpin. Mereka senantiasa berjalan di atas apa yang sudah ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. (Mabahits fi ‘Aqidah)

Syekh Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql juga menjelaskan bahwa disebut al-jama’ah karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam yang berpegang dengan al-haq, tidak mau keluar dari jemaah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan salaful ummah. (Mujmal Ushul)

Kesimpulannya, definisi ahlusunah waljamaah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Mereka menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Syekh Khalifah At-Tamimi rahimahullah menjelaskan, “Ahlusunah  waljamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiut tabi’in, dan siapapun dari umat ini yang  mengikuti jalan mereka. Maka, tidak termasuk dalam makna ini seluruh kelompok bid’ah dan pengikut hawa nafsu. As-sunnah di sini maksudnya adalah lawan dari bid’ah, sedangkan al-jama’ah adalah lawan dari al-firqah (berpecah belah/berkelompok-kelompok).” (Mu’taqad Ahlissunnah wal-Jama’ah)

Sekte-sekte yang menyelisihi ahlusunah waljamaah

Syekh Musthofa Al-‘Adawi menjelaskan bahwa ahlusunah waljamaah adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa berpegang teguh dengan akidah yang benar, yaitu akidah Rasulullah dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang terbebas dari kerusakan bid’ah dan khurafat. Mereka disebut ahlusunah karena mereka mengamalkan sunah Nabi yang merupakan penjelas dari Al-Qur’an, sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Maka, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah khulafa’ur rasyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, hasan sahih)

Mereka mengetahui bahwa petunjuk Nabi adalah petunjuk terbaik. Maka, mereka mendahulukan petunjuk Nabi daripada yang lainnya. Mereka disebut al-jama’ah karena mereka bersatu untuk mengikuti sunah Nabi. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas akidah Islam yang murni. (Tadzhib Tashil ‘Aqidah Al-Islamiyyah)

Penamaan ahlusunah waljamaah ini penting untuk membedakan antara akidah sahih yang mengikuti Nabi dengan kelompok lain yang menempuh jalan yang tidak sesuai dengan petunjuk Nabi. Ada di antara kelompok yang mengambil akidahnya dari sumber akal manusia dan ilmu kalam yang berasal dari warisan filsafat Yunani. Mereka lebih mendahulukannya daripada firman Allah dan petunjuk dari Nabi. Yang termasuk kelompok ini di antaranya adalah para ahli filsafat, Qadariyyah, Maturidiyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asya’irah yang mengikuti sebagian pemikiran Jahmiyyah.

Di antara kelompok tersebut ada pula yang mengambil akidahnya dari pemikiran gurunya yang dibangun di atas hawa nafsu seperti rafidhah dan yang lainnya. Di mana mereka lebih mendahulukan kalam para gurunya daripada firman Allah dan petunjuk Nabi.

Di antara kelompok tersebut ada juga yang dinisbatkan kepada pemikiran dan perbuatan mereka yang menyimpang dari petunjuk Nabi. Contohnya rafidhah, disebut demikian karena mereka rafadha (menolak) kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Demikian juga kelompok qadariyyah, disebut demikian karena mereka menolak qadar atau takdir Allah. Ada juga kelompok khawarij, disebut demikian karena mereka khuruj (keluar dan memberontak) dari kepemimpinan yang sah (Tadzhib Tashiil ‘Aqidah Al-Islamiyyah). Ini semua adalah kelompok yang menyimpang dari ahlusunah waljamaah.

6 Pilar Dakwah Ahlussunnah

Pertama; Memurnikan Agama Untuk Allah
Memurnikan agama untuk Allah (ikhlas) merupakan pokok agama. Inilah inti ajaran tauhid yang dibawa oleh para rasul dan menjadi muatan kitab-kitab.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya, ketahuilah bahwa agama yang murni adalah milik-Nya.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian itu yang diperintahkan kepada-Ku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri.” (QS. al-An’aam: 162-163)

Tauhid ibarat pondasi bagi sebuah bangunan. Siapa saja yang menginginkan bangunannya kokoh menjulang maka hendaknya dia mengokohkan pondasinya. Asas yang menjadi landasan agama seorang hamba mencakup 2 hal; mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan memurnikan ketundukan kepada Allah dan rasul-Nya. Ikhlas dan tauhid ibarat sebuah pohon di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amalan sedangkan buahnya adalah kehidupan yang baik dan membahagiakan di dunia dan di akhirat. Demikian pula syirik dan kedustaan ibarat sebuah pohon di dalam hati yang buahnya di dunia berupa rasa takut, kesedihan, kesempitan hati dan kegelapan yang menggelayuti, dan buahnya di akhirat adalah zaqqum dan pedihnya azab…!

Tauhid inilah perintah pertama yang disebutkan di dalam mushaf al-Qur’an apabila dibaca dari depan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21).

Allah tidak hanya memerintahkan beribadah, namun juga melarang dari perkara yang membatalkannya, yaitu syirik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum mu seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya; Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. al-Anbiya’: 25). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS. an-Nisaa’: 36)

Dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada tingkatan iman yang paling tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, dan yang tertinggi adalah ‘la ilaha illallah’, sedangkan yang peling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, bahkan rasa malu itu juga termasuk cabang keimanan.” (HR. Muslim)

Perbaikan tauhid bagi agama laksana perbaikan jantung bagi anggota badan. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah segenap anggota badan. Dan apabila dia rusak maka rusaklah segenap anggota badan. Ketahuilah, wahai itu adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal itu menunjukkan bahwa perbaikan tauhid merupakan pokok segala upaya perbaikan. Maka dakwah mana pun yang tidak menjadikan dakwah tauhid sebagai perhatian utamanya maka ia pasti mengalami penyimpangan seiring dengan jauhnya mereka dari pokok ajaran ini.

Tauhid merupakan prioritas pertama dan paling utama dalam dakwah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, apabila kamu menemui mereka ajaklah mereka kepada syahadat la ilaha illallah dan muhammad rasulullah -dalam riwayat lain disebutkan; hendaknya yang pertama kali kamu serukan adalah agar mereka beribadah kepada Allah, dalam riwayat lainnya dikatakan; supaya mereka mentauhidkan Allah- …” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah dakwah yang diserukan oleh segenap para rasul, seperti Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan para nabi yang lainnya. Bagaimana pun kondisi masyarakat yang mereka hadapi maka dakwah tauhid merupakan yang paling pokok. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja merasa takut terhadap bahaya syirik, maka bagaimana lagi dengan kita? Allahta’ala menceritakan dalam ayat (yang artinya), “(Ibrahim berdoa)… Wahai Tuhanku, jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala. Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menjauhkan menyesatkan banyak manusia.” (QS. Ibrahim: 35-36)

Kedua; Hanya ada satu jalan kebenaran
Sesungguhnya jalan yang menjamin nikmat Islam hanya satu, karena keberuntungan hanya Allah tetapkan untuk satu golongan saja. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itu sajalah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Mujadalah: 22). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang loyal kepada Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya golongan Allah itulah yang pasti akan menang.” (QS. al-Ma’idah: 56)

Perpecahan merupakan perkara yang dicela. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu termasuk golongan orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan, masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.” (QS. ar-Rum: 31-32)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka bergolong-golongan maka kamu sama sekali tidak menanggung urusan mereka, sesungguhnya urusan mereka kembali kepada Allah, kemudian Allah akan beritakan kepada mereka apa saja yang telah mereka lakukan.” (QS. al-An’aam: 159)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah berpecah menjadi 72 aliran, dan sesungguhnya agama ini akan berpecah menjadi 73 golongan, 72 di neraka dan satu di surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, sahih)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’aam: 153). Yang dimaksud dengan jalan yang benar itu adalah yang menjadi kandungan dari kalimat syahadat muhammad rasulullah. Karena amalan tidak akan diterima kecuali apabila terpenuhi dua hal; mengikhlaskan amalan karena Allah dan mengerjakannya dengan mengikuti ajaran Rasulullah hallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berpegang teguhlah dengan tali Allah secara bersama-sama dan janganlah kalian bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)

Tali Allah itu adalah al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat sesudahku selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.” (HR. Malik, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani). as-Sunnah merupakan penjelas terhadap al-Qur’an, Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Dan Kami telah menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) agar kamu menjelaskannya kepada manusia.” (QS. an-Nahl: 44)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat banyak perselisihan, maka pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang megikuti petunjuk dan lurus, berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan -dalam agama- adalah bid’ah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, sahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian ajaran yang putih bersih, malamnya bagaikan siangnya, tiada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, sahih). Hal ini menunjukkan bahwa agama ini dibangun di atas landasan ittiba’/mengikuti tuntunan dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama. Ibnu Mas’udradhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian membuat-buat bid’ah, karena sesungguhnya kalian ini telah dicukupkan. Hendaknya kalian mengikuti ajaran terdahulu.” Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Semua bid’ah itu sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”

Maka menjadi kewajiban siapa saja yang telah sampai kepadanya dalil dari Kitabullah maupun Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap pasrah dan tunduk serta mengamalkannya, meskipun dalam hal itu dia harus menyelisihi siapa pun. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian menjadikan selain-Nya sebagai penolong-penolong kalian, betapa sedikitnya kalian mau mengambil peringatan.” (QS. al-A’raf: 3)

Ketiga; Mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih
Inilah pilar pokok yang banyak dilalaikan oleh berbagai kelompok sehingga menyimpangkan mereka dari jalan yang benar. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang hendak mengikuti ajaran, maka ikutilah ajaran orang yang telah meninggal, karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah, mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah orang yang paling utama di antara umat ini dan paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menemani nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak-jejak mereka dan berpegag teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, sesungguhnya mereka itu berada di atas petunjuk yang lurus.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berusaha untuk meneladani mereka. ”Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 100)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian sesudah itu, kemudian yang sesudah itu lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

Keempat; Menggapai kemuliaan dengan ilmu
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan Kitab ini dan akan merendahkan dengannya pula sebagian yang lain.” (HR. Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan oleh Allah al-Kitab dan Hukum serta kenabian untuk berkata kepada orang-orang; Jadilah penyembahku sebagai sekutu bagi Allah, akan tetapi hendaknya jadilah kalian sebagai rabbani dengan sebab kalian mengajarkan al-Kitab dan dan dengan sebab apa yang kalian pelajari.” (QS. Ali Imran: 79)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan rasul ketika mereka menyerumu kepada sesuatu yang menghidupkan kalian.”(QS. al-Anfal: 24). Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan pasti aku kerjakan, karena sesungguhnya aku takut jika aku tinggalkan salah satu perintahnya maka aku akan menyimpang/tersesat.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya karena mereka itu akan tertimpa fitnah atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sesungguhnya mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas segala perselisihan yang terjadi di antara mereka.” (QS. an-Nisaa’: 65)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah apa adanya ajaran yang aku tinggalkan kepada kalian, karena sesungguhnya sebab yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah akibat terlalu banyak bertanya dan suka menyelisihi nabi-nabi mereka. Maka apabila aku melarang kalian dari sesuatu jauhilah dan apabila aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka lakukanlah sekuat kemampuan kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya mereka itulah orang-orang yang rendah.” (QS. al-Mujadilah: 20). Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menyelisihi perintah/urusanku.” (HR. Ahmad)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Taatilah Allah dan rasul-Nya, dan janganlah kalian bertikai karena hal itu akan melemahkan kalian dan menghilangkan kekuatan kalian.” (QS. al-Anfal: 46). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan.” (QS. Ali Imran: 105)

Kelima; Membantah orang yang menyimpang termasuk amar ma’ruf nahi munkar
Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Orang yang diam terhadap kebenaran adalah syaitan yang bisu, sedangkan orang yang berbicara dengan kebatilan adalah syaitan yang berbicara.”Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya ada di antara kalian orang-orang yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ibnu Taimiyah berkata, “Memerintahkan kepada Sunnah dan melarang bid’ah itu termasuk amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan hal itu termasuk amal salih yang paling utama.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala cemburu, dan seorang mukmin pun cemburu, dan kecemburuan Allah itu bangkit tatkala seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah! Orang ini kami tolong karena dia terzalimi, lalu bagaimana kami menolongnya sementara dia yang melakukan kezaliman?”. Beliau menjawab, “Kamu menghalangi atau mencegahnya dari kezaliman.” (HR. Bukhari)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah kepada mereka.” (QS. at-Taubah: 73). Ibnul Qayyim berkata, “Berjihad melawan orang munafik hanyalah dengan menyampaikan hujjah kepada mereka…” “…Maka berjihad melawan orang-orang munafik lebih sulit daripada berjihad melawan orang-orang kafir, dan itu merupakan jihadnya kalangan khusus dari umat ini serta pewaris para nabi. Orang-orang yang menegakkan urusan ini sedikit saja di dunia ini, orang-orang yang turut serta di dalamnya dan membantu mereka, meskipun mereka itu jumlahnya juga sedikit, maka mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan yang lebih agung di sisi Allah.”

Yahya bin Yahya berkata, “Membela Sunnah itu lebih utama daripada jihad.” Ibnul Qayyim berkata, “Berjihad dengan hujjah dan lisan itu lebih didahulukan daripada jihad dengan pedang dan persenjataan.”

Pada asalnya mengingkari kemungkaran adalah dengan cara lembut. Allah ta’ala berfirman kepada Musa dan Harun (yang artinya), “Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, katakanlah kepadanya perkataan yang lembut, mudah-mudahan dia mau mengambil pelajaran atau merasa takut.” (QS. Thaha: 43-44). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan pasti menghiasinya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya.” (HR. Muslim)

Meskipun demikian, terkadang menggunakan kekerasan adalah diperbolehkan. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Apabila ada dua kelompok di antara kaum muslimin berperang maka lakukanlah perdamaian antara keduanya, apabila salah satu di antara keduanya bertindak melampaui batas kepada yang lain maka perangilah kelompok yang memberontak itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat: 9)

Keenam; Tashfiyah dan Tarbiyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah berjual-beli dengan cara inah (riba), dan kalian memegang ekor-ekor sapi dan lebih puas dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut oleh Allah kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal salih bahwa Allah akan menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana Allah angkat orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa dan Allah akan kokohkan untuk mereka agama mereka yang Allah ridhai atas mereka dan Allah gantikan rasa takut mereka menjadi keamanan, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.”(QS. an-Nur: 55)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalaulah para penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa niscaya akan Kami bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.”(QS. al-A’raf: 96). Imam Malik berkata, “Tidak akan memperbaiki urusan umat terakhir ini kecuali dengan apa yang memperbaiki generasi awalnya.”

Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin

Referensi:

Mabahits fii ‘Aqidah Ahlissunnah wal-Jama’ah wa Mauqif Al-Harakat Al-Islamiyyah Al-Mu’asirah minha, karya Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql

Mujmal Ushul Ahlissunnah wal-Jamaa’ah fil ‘Aqidah, karya Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql

Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali

Tadzhib Tashil ‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz Al-Jibrin

Mu’taqad Ahlissunnah wal-Jama’ah fi Tauhid Al-Asma’ wa Shifat, karya Muhammad bin Khalifah At-Tamimi

Lisanul ‘Arab, karya Muhammad bin Mukrim bin Mandzur

* Diambil dan diringkas dari Sittu Duror Min Ushul Ahli al-Atsar, Syaikh Abdul Malik Ramadhani

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber : https://t.me/umfadhillah0124

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab