Semua yang tidak sejalan dengan NU dicap Wahabi
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.”
(HR. Al-Bukhari).
---oOo---
Ulil Abshar dan wahabi lingkungan: Rasionalisasi atau pembenaran tambang?
● Pernyataan Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla yang menyebut para penolak tambang sebagai wahabi lingkungan, menuai kontroversi.
● Ulil berusaha membenarkan pengelolaan pertambangan dengan berbagai dalil.
● PBNU semestinya mendengarkan suara akar rumput nahdliyin yang khawatir akan mudarat tambang.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla atau yang akrab disapa Gus Ulil tengah menjadi sorotan karena pernyataannya yang menyebut para penolak industri ekstraktif, termasuk pertambangan, sebagai “wahabi lingkungan"— label yang menyiratkan konservatisme ekstrem.
Bagi Ulil, pertambangan adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Ia meyakini bahwa tambang yang dikelola dengan baik bisa membawa manfaat besar, termasuk jika NU mengurusnya.
Pandangan ini ia sebut sebagai ”reasonable environmentalism“ atau pendekatan yang menggunakan pertimbangan rasional dalam membahas isu lingkungan. Menurut Ulil, mayoritas aktivis lingkungan cenderung "alarmis” atau menggunakan narasi yang menakut-nakuti masyarakat soal perubahan iklim, pemanasan global, atau tambang batu bara.
Sumber : https://x.com/MurtadhoRoy/status/
Sikap PBNU memang berubah drastis sejak pemerintah menjanjikan pemberian tambang batu bara pada tahun lalu. Padahal, PBNU sempat mengeluarkan fatwa haram eksploitasi sumber daya alam yang merusakan lingkungan. NU juga pernah merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap dan mengurangi produksi batu bara mulai 2022.
Namun kini, PBNU malah menerima jatah mengelola tambang batu bara bekas PT Kaltim Prima Coal Tbk seluas 26 ribu hektare di Kalimantan Timur. Perubahan sikap ini memunculkan gelombang kritik, baik dari masyarakat umum maupun dari internal NU, terutama para tokoh muda yang terang-terangan menyatakan kekecewaan atas sikap PBNU yang dinilai tidak mewakili kaum nahdliyin.
Memoles citra yang sudah tercoreng
Sekilas, pertentangan sikap di tubuh NU ini tampak seperti drama. Meminjam teori Dramaturgi Erving Goffman, dalam sebuah ‘lakon’, ada panggung depan (front stage)—tempat aktor mempertontonkan citra ideal—dan panggung belakang (back stage)—tempat mereka menjadi diri sebenarnya.
Namun, kasus ini agaknya berbeda. Sebab, apa yang menjadi ‘rahasia’ di belakang sudah diketahui publik: ada alasan ekonomi di balik sikap PBNU menerima konsesi. Oleh karenanya, tugas aktor di panggung depan sini adalah membingkai ulang kenyataan yang sudah telanjur terungkap.
Sebagai salah satu aktor di panggung depan, Ulil berusaha membasuh wajah organisasinya lewat berbagai medium. Misalnya tulisannya di Harian Kompas pada 20 Juni 2024 berjudul ‘Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih’. Ia juga bersuara dalam talkshow: ‘Cabut Izin Tambang Nikel, Sementara atau Selamanya?’ di Kompas TV, 14 Juni lalu.
Dengan membingkai isu-isu tersebut dalam konteks fiqih (yurisprudensi Islam) dan climate change versi Bjørn Lomborg-kritikus lingkungan, Ulil berusaha membenarkan pengelolaan pertambangan. Namun, langkahnya ini justru memperkuat kesan bahwa PBNU lebih sibuk memoles wajahnya di depan publik ketimbang merespons krisis kepercayaan dari dalam.
Rasionalitas atau pembenaran?
Jika benar mengusung pendekatan “reasonable environmentalism”, Ulil semestinya memahami bahwa pertambangan di Indonesia selama ini lebih banyak membawa kerusakan alam, memperparah ketimpangan sosial, dan membuka ruang bagi praktik-praktik oligarki. Kita tidak bisa terus-terusan mengeruk perut Bumi, apalagi dengan yang sudah terjadi.
Keuntungan jangka pendek dari hasil tambang tidak sebanding dengan potensi kerusakan jangka panjang yang bakal ditimbulkan. Di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, misalnya, tambang nikel menyebabkan air keruh dan terkontaminasi zat beracun. Pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan juga mencemari laut dengan logam berat.
Belum lagi, jika kita bicara banyaknya kasus konflik lahan, kriminalisasi warga, hingga korban jiwa akibat lubang tambang yang tidak dipulihkan seperti sedia kala.
Dengan menerima konsesi tambang, PBNU sedang melanggengkan praktik-praktik bisnis yang mengeksploitasi alam atas nama maslahat umat.
Sikap PBNU untuk mengelola tambang seolah mengingkari prinsip dasar mereka yang menjunjung tinggi fatwa dan keputusan ulama yang telah dibuat. Alih-alih mengawal fatwa yang mengharamkan tambang, para elite PBNU seperti Ulil justru membangun pembenaran dengan embel-embel agama.
Sebagai ormas keagamaan, semestinya PBNU menyadari bahwa mereka tak berpengalaman mengelola tambang. Lantas bagaimana bisa mereka mengklaim “mengelola dengan baik”? Kekhawatiran di kalangan warga NU sendiri berisiko memuncak jika ujung-ujungnya NU bermitra dengan korporasi dan terjebak dalam cengkeraman oligarki.
Konsesi tambang untuk siapa?
Perdebatan terkait pernyataan Ulil dan keterlibatan PBNU dalam pengelolaan tambang bukan hanya soal keputusan politik, tapi menyentuh hal yang lebih mendasar: legitimasi moral. Apakah keduanya benar-benar mewakili semangat dan nilai warga nahdliyin? Atau sekadar cerminan dari pragmatisme elite yang kini merangkul kekuasaan?
Apa yang kita saksikan bukanlah sekadar perbedaan pendapat, tetapi pertarungan nilai di tubuh NU sendiri. Di satu sisi, elite berusaha membasuh wajah organisasi lewat bingkai narasi-narasi yang ‘seolah logis’. Di sisi lain, suara-suara kritis dari dalam—para kader muda—terus menyerukan pentingnya menjaga integritas moral dan ekologis NU.
Pertanyaannya kini, bukan lagi siapa yang tampil di panggung depan, tapi siapa yang masih bersuara jujur dari belakang. Apakah para elite masih mau mendengarnya dan ‘mewakili’ kaum nahdliyin?
Sumber : https://theconversation.com/


Komentar
Posting Komentar