KEYAKINAN YANG BENAR TERHADAP NAMA DAN SIFAT ALLAH

KEYAKINAN YANG BENAR TERHADAP NAMA DAN SIFAT ALLAH

Oleh : Ustadz Dr. Khalid Basalamah, MA Hafidzahullah

KEYAKINAN YANG BENAR TERHADAP NAMA DAN SIFAT ALLAH

Oleh : Ustadz Dr. Adika Mianoki, Sp.S

Urgensi mengenal nama dan sifatnya

Sesungguhnya mengenal Allah dan mengilmui tentang Allah akan menghantarkan hamba kepada kecintaan, penghormatan dan pengagungan, rasa takut dan harap, serta rasa ikhlas beramal untuk-Nya.Kebutuhan seorang hamba terhadap ilmu tersebut dan memperoleh buah dari lmu tersebut merupakan kebutuhan yang paling besar, paling utama, dan paling mulia. Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,Tidak ada kebutuhan bagi jiwa yang lebih besar daripada kebutuhan mengenal Sang Khaliq, kemudian untuk mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan merasa senang dengan pengenalannya tersebut, serta mencari wasilah terhadap-Nya dan kedekatan di sisi-Nya.Tidak ada jalan untuk mencapai hal itu kecuali *dengan mengenal sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya.* Semakin seorang hamba mengilmui tentang nama dan sifat Allah, dia akan lebih mengetahui tentang Allah dan semakin dekat dengan-Nya. Sebaliknya, semakin seorang hamba mengingkari nama dan sifat Allah, dia akan semakin bodoh terhadap Allah dan akan semakin benci dan jauh dari-Nya. Allah Ta’ala akan menempatkan (mengingat) seorang hamba di sisi-Nya tatkala seorang hamba memberi tempat bagi Allah dalam jiwanya. Tidak ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-Nya serta mempelajari dan memahami maknanya."[1]

SUMBER PENETAPAN NAMA DAN SIFAT ALLAH ADALAH AL-QUR'AN DAN HADITS

Dalam menetapkan nama dan sifat bagi Allah harus bersumberkan dari al Quran dan hadist, tidak boleh dengan selain keduanya. Tidak boleh menetapkan dan menolak nama dan sifat Allah berdasarkan akal dan logika semata.

Semua nama-nama yang ditetapkan bagi Allah Ta’ala bersumber dari Al Quran dan hadist yang shahih, bukan dengan akal dan hawa nafsu, karena akal tidak mampu mengetahui nama-nama yang pantas bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’:36)

YANG TERLARANG DALAM MEMAHAMI AYAT-AYAT SIFAT

Kewajiban kita adalah menetapkan nama dan sifat Allah yang telah Allah tetapkan dalam Al Quran dan disebutkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadist sesuai tekstual/ zhohirnya. Dalam memahami nash (ayat dan hadist) tentang sifat kita tidak boleh melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir (menginginkan kebaikan) atau mentahrif makna istiwa’ (menetap tinggi) menjadi istaula (berkuasa).

Ta’thil yaitu menolak nama dan sifat Allah baik secara total maupun sebagian. Seperti menolak sifat wajah dan tangan bagi Allah.

Takyif adalah menyebutkan hakekat sifat Allah tanpa menyamakannya dengan makhluk. Seperti menyatakan panjang tangan Allah adalah sekian meter. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.

Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan tangan Allah sama dengan tangan manusia."[2]

Keempat hal tersebut terlarang dalam memahami nash tentang nama dan sifat Allah.

SIKAP PERTENGAHAN DALAM MENGIMANI NAMA DAN SIFAT ALLAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Termasuk iman kepada Allah adalah beriman terhadap seluruh sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil, bahkan wajib beriman bahwa Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya). Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11)[3]

Inilah keyakinan Ahlus sunnah wal jama’ah. Keyakinan yang benar dalam mengimani nama dan sifat Allah. Mereka bersikap adil, berada pertengahan antara pelaku ta’thil (ahlu ta’thil) dan pelaku tamsil (ahlu tamsil). Ahlu ta’thil mengingkari seluruh nama dan sifat yang wajib bagi Allah. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menafikan (mengingkari) semuanya, seperti keyakinan Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Adapun kelompok yang kedua menafikan sebagiannya, seperti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Sedangkan ahlu tamtsil menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, seperti yang diyakini oleh kelompok Karomiyyah dan Hasyaamiyyah."[4]

Jadi, Ahlus sunnah dalam keimananan terhadap nama dan sifat Allah berada di antara dua kelompok yang menyimpang, kelompok yang yang ghuluw (bersikap berlebih-lebihan) dalam menyucikan dan menafikan sifat Allah yaitu ahlu ta’thil dan kelompok yang ghuluw dalam menetapkan sifat Allah yaitu ahlu tamsil. Ahlus sunnah tidak ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan dan menafikan, mereka menetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syuura’ di atas.

Dalam firman Allah (yang artinya).Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia merupakan penafian yang mengandung kesempurnaan. Ini merupakan sanggahan terhadap Ahlu tamsil. Sedangkan dalam firman Allah Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. merupakan penetapan nama dan sifat-Nya. Ini merupakan sanggahan terhadap Ahlu ta’thil.

NAMA ALLAH TIDAKLAH TERBATAS

Nama-nama Allah tidak dibatasi bilangan tertentu. Jumlahnya tidak terbatas dan Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.”[5]. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Allah dan menjadi perkara yang ghaib.

Adapun sabda beliau, Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya, niscaya masuk surga”[6], tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Allah dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Allah yang 99 itu mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menghafal dan memahaminya akan masuk surga. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “Saya punya uang 10.000 rupiah untuk disedekahkan. Ini tidaklah menafikan bahwa saya punya uang yang lain yang tidak saya sedekahkan."[7]

PENYIMPANGAN TERHADAP NAMA DAN SIFAT ALLAH

Terdapat beberapa praktek penyimpangan terhadap nama dan sifat Allah di masyarakat yang harus kita hindari. Allah mencela orang-orang yang melakukan penyimpangan terhadap nama dan sifat Allah. Allah berfirman (yang artinya): Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."(Al A’raf:108). Berikut adalah bentuk-bentuk penyimpangan terhadap nama dan sifat Allah:

1. Nama Allah digunakan untuk menamakan berhala, seperti Uzza diambil dari nama Allah Al Aziz.

2. Menamai Allah dengan sesuatu yang tidak layak, seperti kaum Nasrani menyebut Allah sebagai Tuhan Bapak.

3. Menyifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allah Ta’ala Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan, Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya.” (QS. Ali-‘Imraan: 181).

4. Menolak makna dari nama-nama Allah.

5. Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, seperti perkataan ahlu tamtsil."[8]

BUAH KEIMANAN TERHADAP NAMA DAN SIFAT ALLAH

Keimanan yang benar tentang nama dan sifat Allah akan memberikan buah yang manis bagi seorang mukmin. Hakekat iman yang sebenarnya adalah mengenal Rabb-Nya dan bersungguh-sungguh dalam mengenal nama dan sifat-Nya sampai mencapai derajat yakin. Sebatas pengenalan seorang hamba terhadap Allah maka sebatas itu pula keimanannya. Semakin bertambah pengenalan terhadap nama dan sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalan seorang hamba terhadap Rabb-Nya dan semakin bertambah pula imannya. Sebaliknya, semakin kurang pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat-nya semakin berkurang pula imannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama."(QS. Faathir:28).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Maksudnya yang takut dengan rasa takut yang sebenarnya adalah para ulama yang mengenal Allah. Karena semakin mengenal Allah Al ‘Adziim, Al Qadiir, Al Aliim yang disifati dengans sifat yang sempurna dan dengan nama yang indah dan mulia, maka semakin sempurnalah pengenalan terhadap Allah dan semakin sempurna pula ilmu tentang nama dan sifat-Nya, rasa takut yang timbul akan semakin besar dan semakin bertambah. Seorang ulama salaf mengungkapkan hal ini dalam perkatannya, Barangsiapa yang paling mengenal tentang Allah, maka dia yang paling takut kepada-Nya."[9]

Semoga dengan paparan singkat ini kita menjadi lebih termotivasi untuk lebih mengenal Allah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Wa shalallahu alaa Nabiyyina Muhammad. [Adika Mianoki]

_____________

[1] Dinukil dari Kitab Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar Bab “Ahammiyatul ‘ilmi bi asmaaillaahi wa shifaatihi” I/119, Syaikh ‘Abdurrozzaq al Badr, Daar Ibnu ‘Affaan

[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 13-14, Syaikh Shalih Fauzan.

[3] Matan al ‘Aqidah al Wasitihyah

[4] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49, Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Adwaus Salaf.

[5] Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam As Shahihah (199)

[6] HR. Bukhari (7392) dan Muslim (2677)

[7] Lihat al Qowaa’idul Mustla 15, Syaikh ‘Utsaimin, Daarul Wathon.

[8] Lihat Syarh al Aqidah Wasithiyah 24, Syaikh Khalid Mushlih, Daarul Ibnul Jauzi.

[9] Dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar I/120-121.

Sumber : https://buletin.muslim.or.id

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab