Hukum Syair dalam Islam


Hukum Syair dalam Islam

Oleh : dr. Adika Mianoki, Sp.S.*)

Syair merupakan karya sastra yang telah lama dikenal oleh bangsa Arab. Di zaman Islam, pengaruh syair pun juga tidak lepas dari kehidupan kaum muslimin. Di zaman Nabi masih hidup, beliau pernah melarang dan mencela syair. Namun, beliau pun pada kesempatan lain tidak melarang syair, bahkan beliau pun pernah melantunkan syair. Kedua hal yang tampaknya bertentangan ini akan mudah dipahami apabila kita bisa menempatkan dalil-dalil yang ada sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Dengan memahami penjelasan masing-masing dalil, maka adanya dalil-dalil yang tampaknya saling bertentangan tersebut dapat dikompromikan dan digunakan sebagaimana mestinya.

Tafsir firman Allah surah Asy-Syu’ara’ ayat 244

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 244,

وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.“ (QS. Asy-Syu’ara’: 244)

Mengenai ayat ini, ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang kafir yang diikuti oleh golongan yang sesat dari manusia dan jin.” Demikian pula, yang dikatakan oleh Mujahid dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ulama salaf yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Syekh ‘Abdurrahman Nashir As-Sa’di menjelaskan yang dimaksud  (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang sesat dari jalan petunjuk, yang menelusuri jalan menuju kesesatan dan kebinasaan. Para penyair sendiri adalah orang-orang yang sesat, dan Anda akan menemukan para pengikutnya adalah setiap orang sesat lagi celaka. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Manan)

Imam Ath-Thabary menjelaskan mengenai ayat ini bahwa yang dimaksud adalah para penyair musyrikin. Para penyair musyrikin yang mengikutinya adalah orang-orang sesat dan setan, serta para jin yang durhaka. Oleh karena itu, Allah menyebutkan secara umum keadaan mereka dan tidak mengkhususkan mengenai kesesatan tertentu. Dengan demikian, maka seluruh golongan yang sesat tercakup dalam keumuman ayat ini. (Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an)

Imam Al-Qurtuby menambahkan penjelasan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang berpaling dari jalan kebenaran. (Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an.)

Sementara Syekh Abu Bakar Al-Jaza’iriy menyatakan bahwa (ٱلْغَاوُۥنَ) adalah orang yang tersesat dari petunjuk dan memiliki hati dan niat yang rusak. (Aisarut Tafasir li Kalami Al-‘Aliy Al-Kabir)

Namun, tidak semua yang mengikuti para penyair itu sesat. Dalam lanjutan ayat, Allah mengecualikan hal ini dalam firman-Nya,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا

Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247)

Ada di antara sahabat Nabi yang merupakan penyair yang membela Islam dan membela Rasul serta membantah kejelekan musyrikin, seperti sahabat Hasan bin Sabit, ‘Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, dan sahabat yang lainnya. (Lihat At-Tashil li Ta’wilit Tanziil Tafsir Asy-Syu’ara’ fi Sual wal Jawab karya Syekh Musthofa Al-‘Adawy)

Imam Ath-Thabary meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Abdurrahaman bin Zaid  bahwa ada seseorang yang berkata kepada ayahku, “Wahai Abu Usamah, tidakkah engkau mengetahui firman Allah,

وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?’ (QS. Asy-Syu’ara’: 244-246)”

Maka, bapakku berkata kepada orang tersebut, “Itu adalah syairnya orang musyrikin, bukan syairnya orang mukmin. Tidakkah Engkau mendengar Allah juga berfirman,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ

Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.’ (QS. Asy-Syu’ara’ 247)”

Orang itu kemudian berkata, “Engkau telah membuatku lega dan tenang, wahai Abu Usamah. Semoga Allah memberikan ketenangan untukmu.“ (Lihat Jami’u Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an)

Kesimpulannya, celaan terhadap para penyair dan pengikutnya dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 224 adalah berlaku untuk kaum musyrikin. Dengan demikian, tidak semua syair tercela secara mutlak; karena dalam lanjutan ayat, Allah menyebutkan ada pengecualian, yaitu syairnya orang-orang mukmin.

Dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya syair

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Bukhari no. 6155)

Dalam hadis di atas, terdapat celaan terhadap syair. Syair dilarang jika berisi ajakan keburukan atau berisikan hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Hajar rahimahulah menjelaskan kandungan hadis di atas bahwa faktor munculnya celaan yang cukup keras terhadap syair dalam hadis ini karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk syair. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al-Bukhari)

Sebagian ulama melarang syair dibaca di masjid berdasarkan hadis,

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Amru Bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan)

Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair

Terdapat pula beberapa dalil yang menunjukkan dibolehkannya syair. Di antaranya adalah hadis dalam riwayat Muslim.

Diceritakan dari Sufyan, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin Asy-Syarid, dari ayahnya, ia berkata, “Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abis As-Shalthi?‘ Aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lantunkanlah!’ Maka, aku melakukan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau kemudian bersabda, ‘Teruskanlah!’ Maka, aku melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau bersabda hal yang sama, ‘Teruskanlah!’ Hingga aku melantunkan seratus bait syair.” (HR. Muslim no. 2255)

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه

Maksud hadis di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan banyak membacanya karena di dalamnya terdapat penetapan tentang ketauhidan dan hari kebangkitan. Maka, di sini menunjukkan bolehnya membacakan syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh dan mendengarkannya. Hal ini berlaku baik itu merupakan syair jahiliah atau selainnya. Yang tercela dari syair yang tidak mengandung hal-hal yang tidak senonoh adalah terlalu berlebihan, di mana hal ini merupakan kebanyakan keadaan manusia. Adapun syair yang sedikit, maka tidak mengapa melantunkan, mendengarkan, dan menghafalnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melewati Hassan yang tengah bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya (sebagai bentuk pengingkaran). Maka, Hassan berkata,

قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ

Aku juga pernah bersyair dan di dalamnya ada seorang yang lebih utama darimu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485)

Syekh Abdullah Al-Fauzan menjelaskan bahwa hadis ini sebagai dalil bolehnya bersyair di dalam masjid jika syair itu sifatnya mubah. Jika syair itu untuk membela sunah Nabi, maka hal ini termasuk disyariatkan. Jika syair itu berisi ilmu yang bermanfaat atau nasihat, maka boleh dilantunkan di masjid. Bahkan, keadaan ini berpahala bagi yang mengucapkan dan membacanya. Adapun hadis yang melarang bersyair di masjid adalah jika syair itu berisi kebatilan. Seperti yang terdapat dalam hadis dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid.“ (HR. Tirmidzi no. 296, hasan)

Namun demikian, jangan sampai jemaah di dalam masjid menjadikan hal ini sebagai aktivitas rutin yang berlebihan karena akan menghilangkan ketenangan dan kemuliaan masjid. (Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughi Al-Maram)

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan terdapat hikmah di balik bait-bait syair.

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً

Dari Ubai bin Ka’ab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) syair.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, sahih)

Kompromi dalil yang seolah kontradiksi

Pada dasarnya, bersyair diperbolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis-hadis di atas. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu, hal ini diperlukan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam atau menumbuhkan semangat jihad. Seperti gambaran pada zaman dahulu ketika perang dimulai, akan diawali dengan pembacaan syair sebagai wujud untuk menumbuhkan semangat para mujahidin. Namun, jika dilakukan secara berlebihan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi, maka hal itu adalah tercela.

‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam menyimpulkan bahwa para ulama mengkompromikan antara dua jenis hadis yang tampaknya bertentangan bahwasanya bersyair di dalam masjid apabila berisi perkataan yang jelek, maka ini adalah kebatilan. Adapun jika berisi pembelaan terhadap agama Allah dan bantahan terhadap kebatilan dengan ucapan yang benar, syair yang mengandung hikmah dan nasihat, maka yang demikian ini tidak terlarang. Syair tidak ubahnya seperti ucapan; jika berisi kejelekan, maka menjadi syair yang jelek. Dan jika berisi kebaikan, maka menjadi syair yang baik. (Taudihul Ahkam min Bulughi Al-Maram)

Ketika ditanya tentang hukum syair, Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan bahwasanya dalam hal ini perlu perincian, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, “Apa yang baik itu baik, dan apa yang jelek itu jelek.” Syair yang mendukung kebenaran, dan membinasakan kebatilan dan para pelaku kebatilan, maka ini  wajib, ini sah, dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin Malik, dan para penyair lainnya yang berada pada zamannya. Namun, jika syairnya mengecam kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini murni kekejian dan tidak diperbolehkan. Syair pun berbeda-beda menurut tujuan dan keinginan pengarangnya. Jika ia menginginkan kebenaran dan kebaikan, dan makna syairnya menunjukkan hal itu, maka tidak ada yang salah dengan hal itu, dan ini termasuk bagian menyerukan kebaikan dan kebenaran. Namun, jika syairnya menyerukan kebatilan dan kerusakan, maka ini menjadi tercela dan harus dilarang.

Kesimpulan

Terdapat dalil-dalil yang melarang untuk melantunkan syair dan terdapat pula dalil-dalil yang membolehkannya. Hal ini sekilas tampak kontradiktif dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Namun, apabila kita kaji dengan lebih seksama, hal ini sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Para ulama sudah menjelaskan dan menjabarkan perincian dari hukum syair ditinjau dari konten yang ada dalam syair tersebut. Ada konten-konten syair yang terlarang, sehingga Islam melarang untuk melantunkan dan memperdengarkannya. Adapun apabila konten syair tidak melanggar syariat, maka ini dibolehkan dan tidak terlarang dalam Islam. Berdasarkan penjelasan yang sudah dijabarkan di atas, disimpulkan bahwa pada asalnya hukum melantunkan dan memperdengarkan syair adalah perkara yang mubah dalam Islam. Namun, hal ini bisa menjadi terlarang apabila syair itu mengandung kejelekan, keharaman, dan menyerukan kebatilan serta kerusakan. Selain itu, melantunkan syair bisa menjadi perbuatan yang terlarang apabila dalam melantunkan syair tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat diri kita jadi lalai dari Al-Qur’an dan beribadah kepada Allah.

-----
Simak video berikut ;
Syubhat Ustadz Adi Hidayat yang menafsirkan Surah Asy Syu'ara, Syair = Musik?
Padahal ulama-ulama terdahulu maupun Sekarang Sepakat diartikan sebagai "Penyair" 

Lalu Ustadz Adi Hidayat ini dasar tafsirnya dari mana ?? 

Berikut bantahan dari Ust. Abdurahman Al Amiry, Ustadz Mujiman, dan Ustadz Firanda Andirja :

Sumber video : https://youtu.be/a1FdV

Sumber video : https://www.facebook.com



Baca juga: Hukum Mendengarkan Nyanyian Tanpa Musik

*) dr. Adika Mianoki, Sp.S.

Alumni dan pengajar Ma'had Al Ilmi, S1 Kedokteran Umum UGM, penulis buku "Jawaban 3 Pertanyaan Kubur"


Sumber : https://muslim.or.id/

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab