Hukum Takbir Jama’I Sebelum Shalat Id
Takbir Hari Raya oleh Muadzin Masjidil Harram'Makkah Al Mukaramah dilaksanakan sendiri-sendiri
Hukum Takbir Jama’I Sebelum Shalat Id
Pertanyaan
Sebelum shalat id, orang-orang melakukan zikir jama’i, apakah ini bid’ah atau dianjurkan dalam shalat id? Kalau hal itu dianggap bid’ah, apa yang perlu dilakukan, apakah keluar dari tempat shalat hingga shalat dimulai?
Teks Jawaban
Alhamdulillah.
Takbir dalam shalat id, termasuk sunah yang dianjurkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam, ia termasuk salah satu ibadah dari seluruh ibadah-ibadah lainnya. Dimana cukup dengan apa yang ada, tidak diperbolehkan membuat yang baru dalam tata caranya. Akan tetapi cukup dengan apa yang ada dalam sunah dan atsar. Para ulama fikih kami telah menelaah dalam takbir jama’I sekarang, mereka tidak mendapatkan sandaran dari dalil-dalil sehingga mereka menfatwakan dengan bid’ah. Hal itu bahwa setiap yang baru dalam pokok ibadah atau dalam tata cara dan sifatnya termasuk bid’ah tercela. Hal itu mencakup sabda Nabi
sallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ( رواه مسلم، رقم 1718)
“Siapa yang membuat baru dalam urusan kami ini yang tidak ada (tuntunan) darinya, maka ia tertolak.” (HR. Muslim, 1718)
Syekh Muhammad bin Ibrohim rahimahullah mengatakan, “Takbir yang dilakukan di Masjidil Haram pada waktu hari raya, seseorang atau beberapa orang duduk di atap zam zam dan bertakbir, sementara orang-orang menjawab di dalam masjid. Maka Syekh Abdul Aziz bin Baz melakukan pengingkaran akan metode semacam ini seraya mengatakan, “Sesungguhnya ia adalah bid’ah. Maksud beliau adalah bahwa hal ini termasuk bid’ah nisbiyah dengan cara khusus seperti ini, tapi beliau tidak bermaksud mengatakan bahwa takbirnya itu bid’ah. Sehingga sebagian penduduk awam Mekkah memprotesnya, karena mereka telah terbiasa dengan hal itu. Dan inilah yang menjadi sebab adanya pengaduan tersebut. Tata cara seperti ini dalam takbir, saya tidak mengetahui landasannya. Yang menganggap dianjurkan (syariatkan) cara seperti ini, hendaknya dia mendatangkan dalil, padahal permasalahan ini sekedar juz’i (cabang) tidak layak sampai (terjadi) seperti yang terjadi sekarang.” (Majmu Fatawa Allamah Muhammad bin Ibrohim, 3/17, 128)
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Segala puji hanya milik Allah Tuhan seluruh alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat semuanya. Waba’du:
Saya telah menelaah apa yang disebarkan oleh Fadhilatus Al-Akh Syekh Ahmad bin Muhammad Jamal –semoga Allah memberi taufik dan keredoan-Nya- dalam sebagian surat kabar lokal keheranannya larangan takbir jama’i di masjid-masjid sebelum shalat id. Karena ia termasuk bid’ah dan harus dilarang. Syekh Ahmad berusaha dalam tulisan tersebut membuat dalil bahwa takbir jama’I bukan bid’ah dan tidak boleh dilarang. Beliau menguatkan pendapatnya dari sebagian Kitab. Khawatir masalah ini ada kerancuan bagi orang yang tidak mengetahui hakekat masalahnya, kami ingin menjelaskan bahwa asal dalam takbir waktu malam id dan sebelum shalat idul fitri di Ramadan, pada sepuluh Dzilhijjh dan hari-hari Tasyriq itu dianjurkan pada waktu-waktu yang agung ini. Di dalamnya ada keutamaannya yang besar, berdasarkan
Firman-Nya terkait takbir idul fitri:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (سورة البقرة: 185)
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” QS. Al-Baqarah: 185
Dan firman Ta’ala terkait sepuluh Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ (سورة الحج: 28)
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 28)
Dan firman-Nya:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ )سورة البقرة: 203)
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Diantara sejumlah zikir yang dianjurkan pada hari-hari tertentu ini adalah takbir mutlak dan muqoyyad. Sebagimana yang ditunjukkan hal itu dalam sunah suci dan amal ulama salaf. Sifat takbirnya adalah bahwa setiap muslim bertakbir sendiri untuk dirinya. Dengan mengeraskan suaranya sampai di dengar orang sehingga orang-orang mengikuti dan mengingatkan kepada mereka. Sementara takbir jama’i yang bid’ah adalah sekelompok –dua orang keatas- mengeraskan suara dengan takbir secara serentak. Mereka memulai dan mengakhiri secara bersama-sama dengan satu suara dan tata cara khusus.
Amalan ini tidak ada asalnya, tidak ada dalilnya. Ia termasuk bid’ah dalam tata cara bertakbir yang tidak Allah ajarkan. Siapa yang mengingkari takbir dengan sifat sepert ini, maka dia adalah benar. Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim) maksudnya tertolak tidak ada anjurannya. Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Jauhilah kamu semua dari suatu urusan yanag baru (dalam agama), karena semua yang baru (dalam agama) itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Takbir jama’i adalah perkara baru maka ia termasuk bid’ah. Prilaku manusia kalau berbeda dengan syariat yang suci, maka harus dicegah dan diingkari. Karena ibadah sifatnya tauqifi (paten), tidak disyariatkan kecuali ada dalil dari Kitab dan Sunah. Sementara perkataan manusian dan pendapat mereka, tidak bisa dijadikan dalil kalau menyalahi dalil syar’i. begitu juga kemaslahatan umum (maslahah mursalah) tidak dapat ditetapkan dalam peribadatan. Sesungguhnya ditetapkan ibadah dengan nash dari Kitab dan sunah serta Ijma’ qath’i.
Yang disyariatkan adalah seorang muslim bertakbir sesuai sifat yang disyariatkan yang ditetapkan dengan dalil syar’i yaitu takbir sendiri-sendiri.
Samahatus Syekh Muhammad bin Ibrohim mufti kerajaan Saudi mengingkari takbir jama’i dan melarangnya serta mengeluarkan fatwa tentang hal itu. Dari diriku juga dikeluarkan banyak fatwa. Begitu juga dalam Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta’ telah mengeluarkan fatwa melarangnya.
Fadhilatus Syekh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah menulis risalah berharga dalam mengingkari dan menolaknya, telah dicetak dan beredar, di dalamnya ada dalil-dalil yang melarang takbir jama’I, ini cukup dan memuaskan, alhamdulillah.
Adapun apa yang dibuat dalil oleh Akh Syekh Ahmad dari prilaku Umar radhiallahu anhu dan orang di Mina, tidak dapat dijadikan dalil di dalamnya. Karena prilaku beliau radhiallahu anhu dan orang-orang di Mina bukan termasuk takbir jama’i. akan tetapi takbir yang disyariatkan. Karena beliau radhiallahu anhu mengeraskan suaranya dengan takbir mengamalkan sunah dan mengingatkan orang-orang sehingga mereka pada bertakbir. Masing-masing bertakbir pada posisinya. Hal itu tidak ada kesepaktan di antara mereka dan antara Umar radhiallahu anhu agar meninggikan takbir dengan satu suara. Dari awal sampai akhir, sebagaimana yang dilakukan pelaku takbir jama’i sekarang. Dan begitulah semua yang diriwayatkan dari ulama salaf sholeh rahimahumullah dalam takbir semuanya sesuai dengan jalan sesuai syari’at. Siapa yang menganggap berbeda dengan hal itu, maka dia harus mendatangkan dalil. Begitu juga panggilan dalam shalat id, taroweh, qiyam atau witir semuanya bid’ah tidak ada asalnya.
Terdapat ketetapan dalam hadits yang shahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau biasanya shalat id tanpa azan dan iqomah. Dan tidak ada seorang pun dari ahli ilmu yang mengatakan hal itu sepengetahuan kami, disana ada panggilan dengan lafaz lain. Maka siapa yang menyangka hal itu, maka dia harus memberikan dalil. Karena asalnya tidak ada. Maka tidak diperbolehkan (maksudnya yang ada dalam sunah) seorang pun mensyariatkan ibadah ucapan atau perbuatan kecuali ada dalil dari Kitab Aziz atau Sunah Shahih atau Ijma’ Ahli ilmu –seperti tadi- keumumam dalam dalil syariat yang melarang bid’ah dan memperingatkannya. Di antaranya FirmanAllah Ta’ala:
أم لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ (سورة الشورى: 21)
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.” (QS. Syuro: 21)
Diantaranya dua hadits tadi di permulaan pembahasan. Diantaranya sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami, yang tidak bersumber dari kami, maka ia tertolak.” Muttaaq alaih.
Sabda beliau sallallahu alaihi wa sallam dalam khutbah Jum’ah:
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’du, sesugguuhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Dan seburuk buruk urusan adalah sesuatu yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dan hadits-hadits serta atsar semakna ini banyak sekali.
Kita memohon kepada Allah agar diberi taufik dan fadhilatus Syekh Ahmad serta seluruh saudara-saudara kami ulama fikih dalam beragama dan tetap didalamnya. Dan menjadikan kita semua menjadi para dai penyeruh hidayah dan penolong kebenaran. Dan kami serta seluruh umat Islam dilindungi dari semua yang menyalahi syari’at-Nya sesungguhnya Dia Maka Dermawan dan Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Majmu Fatawa Ibnu Baz, (13/20-23).
Terdapat dalam ‘Fatawa Lajnah Daimah, (8/310), “Bertakbir masing-masing secara keras. Sesungghnya tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam takbir jama’i. sementara beliau bersabda, “Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.”
Terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah juga , (8/311) dikatakan, “Takbir jama’i dengan satu suara tidak disyari’atkan bahkan ia adalah bid’ah. Sebagaiaman yang ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” Dan tidak dilakukan oleh ulama salaf, tidak juga para shahabat dan para tabiin dan tabiut tabiin. Mereka ada contoh yang wajib diikuti dan tidak membuat bid’ah dalam agama.” Selesai
Terdapat juga, (24/269) di dalamnya, “Takbir jama’I itu bid’ah, karena tidak ada dalilnya. Sementara Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” Sementara apa yang dilakkan oleh Umar radhiallahu anhu bukan sebagai dalil dalam takbir jama’i. akan tetapi Umar radhiallahu anhu bertakbir sendiri. Ketika orang-orang mendengarkan, mereka bertakbir. Masing-masing bertakbir sendiri-sendiri. Mereka tidak melakukan takbir secara berjamaah.” Selesai
Terdapat, 2/236 vol II dikatakan, “Takbir jama’I dengan satu suaru dari sekelompok orang setelah shalat atau diluar waktu shalat –tidak disyari’atkan bahkan ia termasuk bid’ah baru dalam agama. Yang disyari’atkan adalah memperbanyak zikir kepada Allah Azza Wajalla tanpa suara berjamaah dengan tahlil, tasbih, takbir, tilawah qur’an dan memperbanyak istigfar. Berdalil dengan firman Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Wahai orang yang beriman, ingatlah Allah dengan ingat yang banyak, bertashbihlah kepadaNya setiap pagi dan petang.”
Dan firman-Nya:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Ingatlah Aku, Aku akan mengingat kalian semua.”
Mengamalkan dengan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,
لأن أقول : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر ، أحب إلي مما طلعت عليه الشمس (رواه مسلم)
“Kalau saya mengucapkan subhanallah, wal ahmdulillah, lailaha illallahu, dan Allau akbar, itu lebih saya cintai dari terbitnya matahari.” (HR. Muslim)
Dan sabdanya,
من قال سبحان الله وبحمده مائة مرة غفرت له ذنوبه وإن كانت مثل زبد البحر (رواه مسلم والترمذي واللفظ له)
“Siapa yang mengucapkan subhanllah wabihamdihi seratus kali, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim dan Tirmizi serta redaksi darinya)
Serta mengikuti ulama salaf umat ini. Dimana tidak dinukil dari mereka takbir jama’i. akan tetapi hal itu dilakukan oleh pelaku bid’ah dan hawa nafsu. Dimana zikir adalah salah satu bentuk ibadah. Dan asalnya adalah tauqif (paten) sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam memperingatkan dari bid’ah dalam agama. Seeraya bersabda, “Siapa yang membuat baru dalam urusan kami yang tidak ada (perintah) dari kami, maka ia tertolak.”
Wallahu a’lam .
Sumber : https://islamqa.info/id/answers/
Alhamdulillah.
Takbir dalam shalat id, termasuk sunah yang dianjurkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam, ia termasuk salah satu ibadah dari seluruh ibadah-ibadah lainnya. Dimana cukup dengan apa yang ada, tidak diperbolehkan membuat yang baru dalam tata caranya. Akan tetapi cukup dengan apa yang ada dalam sunah dan atsar. Para ulama fikih kami telah menelaah dalam takbir jama’I sekarang, mereka tidak mendapatkan sandaran dari dalil-dalil sehingga mereka menfatwakan dengan bid’ah. Hal itu bahwa setiap yang baru dalam pokok ibadah atau dalam tata cara dan sifatnya termasuk bid’ah tercela. Hal itu mencakup sabda Nabi
sallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ( رواه مسلم، رقم 1718)
“Siapa yang membuat baru dalam urusan kami ini yang tidak ada (tuntunan) darinya, maka ia tertolak.” (HR. Muslim, 1718)
Syekh Muhammad bin Ibrohim rahimahullah mengatakan, “Takbir yang dilakukan di Masjidil Haram pada waktu hari raya, seseorang atau beberapa orang duduk di atap zam zam dan bertakbir, sementara orang-orang menjawab di dalam masjid. Maka Syekh Abdul Aziz bin Baz melakukan pengingkaran akan metode semacam ini seraya mengatakan, “Sesungguhnya ia adalah bid’ah. Maksud beliau adalah bahwa hal ini termasuk bid’ah nisbiyah dengan cara khusus seperti ini, tapi beliau tidak bermaksud mengatakan bahwa takbirnya itu bid’ah. Sehingga sebagian penduduk awam Mekkah memprotesnya, karena mereka telah terbiasa dengan hal itu. Dan inilah yang menjadi sebab adanya pengaduan tersebut. Tata cara seperti ini dalam takbir, saya tidak mengetahui landasannya. Yang menganggap dianjurkan (syariatkan) cara seperti ini, hendaknya dia mendatangkan dalil, padahal permasalahan ini sekedar juz’i (cabang) tidak layak sampai (terjadi) seperti yang terjadi sekarang.” (Majmu Fatawa Allamah Muhammad bin Ibrohim, 3/17, 128)
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Segala puji hanya milik Allah Tuhan seluruh alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat semuanya. Waba’du:
Saya telah menelaah apa yang disebarkan oleh Fadhilatus Al-Akh Syekh Ahmad bin Muhammad Jamal –semoga Allah memberi taufik dan keredoan-Nya- dalam sebagian surat kabar lokal keheranannya larangan takbir jama’i di masjid-masjid sebelum shalat id. Karena ia termasuk bid’ah dan harus dilarang. Syekh Ahmad berusaha dalam tulisan tersebut membuat dalil bahwa takbir jama’I bukan bid’ah dan tidak boleh dilarang. Beliau menguatkan pendapatnya dari sebagian Kitab. Khawatir masalah ini ada kerancuan bagi orang yang tidak mengetahui hakekat masalahnya, kami ingin menjelaskan bahwa asal dalam takbir waktu malam id dan sebelum shalat idul fitri di Ramadan, pada sepuluh Dzilhijjh dan hari-hari Tasyriq itu dianjurkan pada waktu-waktu yang agung ini. Di dalamnya ada keutamaannya yang besar, berdasarkan
Firman-Nya terkait takbir idul fitri:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (سورة البقرة: 185)
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” QS. Al-Baqarah: 185
Dan firman Ta’ala terkait sepuluh Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ (سورة الحج: 28)
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 28)
Dan firman-Nya:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ )سورة البقرة: 203)
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Diantara sejumlah zikir yang dianjurkan pada hari-hari tertentu ini adalah takbir mutlak dan muqoyyad. Sebagimana yang ditunjukkan hal itu dalam sunah suci dan amal ulama salaf. Sifat takbirnya adalah bahwa setiap muslim bertakbir sendiri untuk dirinya. Dengan mengeraskan suaranya sampai di dengar orang sehingga orang-orang mengikuti dan mengingatkan kepada mereka. Sementara takbir jama’i yang bid’ah adalah sekelompok –dua orang keatas- mengeraskan suara dengan takbir secara serentak. Mereka memulai dan mengakhiri secara bersama-sama dengan satu suara dan tata cara khusus.
Amalan ini tidak ada asalnya, tidak ada dalilnya. Ia termasuk bid’ah dalam tata cara bertakbir yang tidak Allah ajarkan. Siapa yang mengingkari takbir dengan sifat sepert ini, maka dia adalah benar. Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim) maksudnya tertolak tidak ada anjurannya. Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Jauhilah kamu semua dari suatu urusan yanag baru (dalam agama), karena semua yang baru (dalam agama) itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Takbir jama’i adalah perkara baru maka ia termasuk bid’ah. Prilaku manusia kalau berbeda dengan syariat yang suci, maka harus dicegah dan diingkari. Karena ibadah sifatnya tauqifi (paten), tidak disyariatkan kecuali ada dalil dari Kitab dan Sunah. Sementara perkataan manusian dan pendapat mereka, tidak bisa dijadikan dalil kalau menyalahi dalil syar’i. begitu juga kemaslahatan umum (maslahah mursalah) tidak dapat ditetapkan dalam peribadatan. Sesungguhnya ditetapkan ibadah dengan nash dari Kitab dan sunah serta Ijma’ qath’i.
Yang disyariatkan adalah seorang muslim bertakbir sesuai sifat yang disyariatkan yang ditetapkan dengan dalil syar’i yaitu takbir sendiri-sendiri.
Samahatus Syekh Muhammad bin Ibrohim mufti kerajaan Saudi mengingkari takbir jama’i dan melarangnya serta mengeluarkan fatwa tentang hal itu. Dari diriku juga dikeluarkan banyak fatwa. Begitu juga dalam Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta’ telah mengeluarkan fatwa melarangnya.
Fadhilatus Syekh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah menulis risalah berharga dalam mengingkari dan menolaknya, telah dicetak dan beredar, di dalamnya ada dalil-dalil yang melarang takbir jama’I, ini cukup dan memuaskan, alhamdulillah.
Adapun apa yang dibuat dalil oleh Akh Syekh Ahmad dari prilaku Umar radhiallahu anhu dan orang di Mina, tidak dapat dijadikan dalil di dalamnya. Karena prilaku beliau radhiallahu anhu dan orang-orang di Mina bukan termasuk takbir jama’i. akan tetapi takbir yang disyariatkan. Karena beliau radhiallahu anhu mengeraskan suaranya dengan takbir mengamalkan sunah dan mengingatkan orang-orang sehingga mereka pada bertakbir. Masing-masing bertakbir pada posisinya. Hal itu tidak ada kesepaktan di antara mereka dan antara Umar radhiallahu anhu agar meninggikan takbir dengan satu suara. Dari awal sampai akhir, sebagaimana yang dilakukan pelaku takbir jama’i sekarang. Dan begitulah semua yang diriwayatkan dari ulama salaf sholeh rahimahumullah dalam takbir semuanya sesuai dengan jalan sesuai syari’at. Siapa yang menganggap berbeda dengan hal itu, maka dia harus mendatangkan dalil. Begitu juga panggilan dalam shalat id, taroweh, qiyam atau witir semuanya bid’ah tidak ada asalnya.
Terdapat ketetapan dalam hadits yang shahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau biasanya shalat id tanpa azan dan iqomah. Dan tidak ada seorang pun dari ahli ilmu yang mengatakan hal itu sepengetahuan kami, disana ada panggilan dengan lafaz lain. Maka siapa yang menyangka hal itu, maka dia harus memberikan dalil. Karena asalnya tidak ada. Maka tidak diperbolehkan (maksudnya yang ada dalam sunah) seorang pun mensyariatkan ibadah ucapan atau perbuatan kecuali ada dalil dari Kitab Aziz atau Sunah Shahih atau Ijma’ Ahli ilmu –seperti tadi- keumumam dalam dalil syariat yang melarang bid’ah dan memperingatkannya. Di antaranya FirmanAllah Ta’ala:
أم لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ (سورة الشورى: 21)
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.” (QS. Syuro: 21)
Diantaranya dua hadits tadi di permulaan pembahasan. Diantaranya sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami, yang tidak bersumber dari kami, maka ia tertolak.” Muttaaq alaih.
Sabda beliau sallallahu alaihi wa sallam dalam khutbah Jum’ah:
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’du, sesugguuhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Dan seburuk buruk urusan adalah sesuatu yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dan hadits-hadits serta atsar semakna ini banyak sekali.
Kita memohon kepada Allah agar diberi taufik dan fadhilatus Syekh Ahmad serta seluruh saudara-saudara kami ulama fikih dalam beragama dan tetap didalamnya. Dan menjadikan kita semua menjadi para dai penyeruh hidayah dan penolong kebenaran. Dan kami serta seluruh umat Islam dilindungi dari semua yang menyalahi syari’at-Nya sesungguhnya Dia Maka Dermawan dan Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Majmu Fatawa Ibnu Baz, (13/20-23).
Terdapat dalam ‘Fatawa Lajnah Daimah, (8/310), “Bertakbir masing-masing secara keras. Sesungghnya tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam takbir jama’i. sementara beliau bersabda, “Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.”
Terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah juga , (8/311) dikatakan, “Takbir jama’i dengan satu suara tidak disyari’atkan bahkan ia adalah bid’ah. Sebagaiaman yang ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” Dan tidak dilakukan oleh ulama salaf, tidak juga para shahabat dan para tabiin dan tabiut tabiin. Mereka ada contoh yang wajib diikuti dan tidak membuat bid’ah dalam agama.” Selesai
Terdapat juga, (24/269) di dalamnya, “Takbir jama’I itu bid’ah, karena tidak ada dalilnya. Sementara Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” Sementara apa yang dilakkan oleh Umar radhiallahu anhu bukan sebagai dalil dalam takbir jama’i. akan tetapi Umar radhiallahu anhu bertakbir sendiri. Ketika orang-orang mendengarkan, mereka bertakbir. Masing-masing bertakbir sendiri-sendiri. Mereka tidak melakukan takbir secara berjamaah.” Selesai
Terdapat, 2/236 vol II dikatakan, “Takbir jama’I dengan satu suaru dari sekelompok orang setelah shalat atau diluar waktu shalat –tidak disyari’atkan bahkan ia termasuk bid’ah baru dalam agama. Yang disyari’atkan adalah memperbanyak zikir kepada Allah Azza Wajalla tanpa suara berjamaah dengan tahlil, tasbih, takbir, tilawah qur’an dan memperbanyak istigfar. Berdalil dengan firman Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Wahai orang yang beriman, ingatlah Allah dengan ingat yang banyak, bertashbihlah kepadaNya setiap pagi dan petang.”
Dan firman-Nya:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Ingatlah Aku, Aku akan mengingat kalian semua.”
Mengamalkan dengan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,
لأن أقول : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر ، أحب إلي مما طلعت عليه الشمس (رواه مسلم)
“Kalau saya mengucapkan subhanallah, wal ahmdulillah, lailaha illallahu, dan Allau akbar, itu lebih saya cintai dari terbitnya matahari.” (HR. Muslim)
Dan sabdanya,
من قال سبحان الله وبحمده مائة مرة غفرت له ذنوبه وإن كانت مثل زبد البحر (رواه مسلم والترمذي واللفظ له)
“Siapa yang mengucapkan subhanllah wabihamdihi seratus kali, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim dan Tirmizi serta redaksi darinya)
Serta mengikuti ulama salaf umat ini. Dimana tidak dinukil dari mereka takbir jama’i. akan tetapi hal itu dilakukan oleh pelaku bid’ah dan hawa nafsu. Dimana zikir adalah salah satu bentuk ibadah. Dan asalnya adalah tauqif (paten) sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam memperingatkan dari bid’ah dalam agama. Seeraya bersabda, “Siapa yang membuat baru dalam urusan kami yang tidak ada (perintah) dari kami, maka ia tertolak.”
Wallahu a’lam .
Sumber : https://islamqa.info/id/answers/
Komentar
Posting Komentar