Awas! Kebohongan yang Terus Menerus Akan Dianggap Sebagai Kebenaran

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَفۡتَرِى ٱلۡكَذِبَ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ ۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang- orang pendusta.” (QS. An-Nahl : 105)

Awas! Kebohongan yang Terus Menerus Akan Dianggap Sebagai Kebenaran

Sebenarnya, kebohongan adalah sebuah tindakan yang umumnya dianggap tidak baik dan tidak jujur. Namun, terdapat ungkapan yang mengatakan, kebohongan yang dilakukan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran. Ungkapan ini seringkali dipahami sebagai peringatan terhadap bahaya dari kebohongan yang terus-menerus ditebarluaskan.

Ungkapan ini menyoroti konsep psikologis yang dikenal sebagai "efek pembenaran palsu" atau "efek kebohongan besar." Efek ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk percaya pada suatu informasi palsu atau kebohongan setelah mendengarnya berkali-kali, bahkan jika sebenarnya ia tahu bahwa informasi tersebut salah.

Ada beberapa alasan mengapa orang mungkin mulai percaya pada kebohongan yang terus-menerus diulang.

Pertama, paparan berulang-ulang terhadap kebohongan dapat menciptakan kesan bahwa informasi tersebut merupakan sesuatu yang umum diterima, meskipun sebenarnya tidak.

Kedua, ada teori psikologis yang menyatakan, bahwa ketika seseorang mendengar sesuatu secara konsisten, hal itu dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kebenaran.

Fenomena ini bisa terlihat dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam politik, seringkali terdapat pemalsuan fakta atau penyebaran informasi yang tidak benar yang jika diulang-ulang dapat membuat sebagian orang mulai mempercayainya.

Hal itu juga dapat terjadi dalam hubungan personal, di mana seseorang yang terus-menerus berbohong kepada pasangannya akhirnya membuat pasangannya percaya bahwa kebohongan tersebut adalah kenyataan.

Kebohongan yang dilakukan terus-menerus dan dianggap sebagai kebenaran dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Hal ini dapat merusak kepercayaan antar-individu, mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, serta mengganggu komunikasi yang sehat dan produktif.

Sumber video :

Apa itu Illusory Truth Effect?

Illusory truth effect atau disebut dengan efek kebenaran ilusi ini merupakan sebuah fenomena seperti kebohongan yang diungkapkan terus menerus atau disebarluaskan kepada seseorang, sehingga seseorang tersebut yakin oleh kebenaran tersebut. Hal ini merupakan pernyataan untuk meyakinkan kita tentang suatu hal. Pada tahun 1977 yang diteliti di Temple University oleh Dr. Lynn Hasher dan koleganya. Menyimpulkan, ketika seseorang mendapatkan sebuah isu, seseorang tersebut akan mempercayai informasi tersebut dengan cara yang paling sering dia percaya untuk mendapatkan sebuah keputusan isu tersebut. Mekanisme ini berfungsi karena adanya implicit memory yang mana seseorang tersebut menganggap pernyataan yang telah mereka lihat sebelumnya sebelumnya sebagai benar.

Efek kebenaran ilusi ini cenderung paling kuat ketika pernyataan terkait dengan subjek yang kita yakini sebagai pengetahuan kita, dan ketika pernyataan ambigu sehingga tidak jelas benar atau salah pada pandangan pertama. Hal ini juga dapat terjadi dengan pernyataan seperti headline surat kabar yang dibingkai sebagai pertanyaan. Singkatnya, penelitian psikologi telah menunjukkan bahwa setiap proses yang meningkatkan keakraban dengan informasi palsu melalui paparan berulang atau sebaliknya dapat meningkatkan persepsi kita bahwa informasi itu benar. Efek kebenaran ilusi ini dapat terjadi meskipun menyadari bahwa sumber pernyataan tidak dapat diandalkan, meskipun sebelumnya mengetahui bahwa informasi tersebut salah, dan meskipun bertentangan dengan afiliasi politik kita sendiri.

Faktor apa yang menimbulkan tersebut?

Faktor yang mempengaruhi pembentukan dari Illusory Truth Effect. Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa kemudahan dalam mendapatkan informasi menjadi dasar Illusory Truth Effect. Kemudahan itu didapat dengan repetisi karena memudahkan proses penerimaan daripada statement baru. Akhirnya akan memengaruhi orang untuk salah memberikan kesimpulan (Unkelbach, 2007; Unkelbach & Stahl, 2009 dalam Fazio, Brashier, Payne, And Marsh, 2015 ).

Ada juga pada suatu penelitian, partisipan secara akurat menilai fakta dengan pernyataan tahu dan tidak tahu, tapi tidak ada korelasi antara pengetahuan dan repetisi (Fazio, dkk 2015).

"One of the saddest lessons of history is this: If we’ve been bamboozled long enough, we tend to reject any evidence of the bamboozle. We’re no longer interested in finding out the truth. The bamboozle has captured us. It’s simply too painful to acknowledge, even to ourselves, that we’ve been taken. Once you give a charlatan power over you, you almost never get it back " (Carl Sagan)

Bagaimana cara untuk mendapatkan sebuah kebenaran tersebut?

Ada beberapa hal untuk mendapatkan sebuah kebenaran tersebut, di antaranya adalah :

• Sumber dapat dipercaya (jelas) dan pastikan sudah melakukan pengecekan kembali sebuah sumber informasi.

• Pintar dan bijak dalam memilih berbagai informasi yang kritis.

• Teliti sebuah sumber asing dan jangan langsung terlalu percaya dengan isu-isu.

• Tidak mengandalkan satu sumber informasi dan cari lagi sumber informasi yang lebih akurat.

• Pastikan informasi dengan kredibel dan akurat, agar tidak mudah terjerumus.

Dengan adanya sebuah pendekatan dengan sumber informasi kita harus berhati-hati atau melihat dalam menerima informasi tersebut. Hal ini tidak hanya berlaku untuk seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan informasi, Jika informasi tersebut tidak terdapat pada otak kita, kita harus bekerja lebih ekstra seperti contohnya mencari informasi tersebut secara online, untuk mencarinya pun merupakan sebuah tantangan baru (Marker, 2019).

Referensi

De keersmaecker et al. (2019). Investigating the robustness of the illusory truth effect across individual differences in cognitive ability, need for cognitive closure, and cognitive style. Personality and Social Psychology Bulletin. 46(2). 2-3. doi: 10.1177/0146167219853844

Parker Holly. (2019). Fake news and the illusory truth effect. Diambil dari Psychology today. https://www.psychologytoday.com/za/blog/your-future-self/201911/fake-news-and-the-illusory-truth-effect

Rachmawati Anggita. (2019). The illusionary of truth: Cara membuat kebohongan menjadi sebuah fakta. Gama cendekia UGM. https://gc.ukm.ugm.ac.id/2020/06/the-illusionary-of-truth-cara-membuat-kebohongan-menjadi-sebuah-fakta/

Sumber : https://kumparan.com/

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?