Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ulama Pewaris Para Nabi

Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ulama Pewaris Para Nabi 

Allah ta’ala berfirman : 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا 

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ : 59). 

Disebutkan di dalam kitab Fathul Bayan : 

والرد إلى الله هو الردّ إلى كتابه العزيز، والردّ إلى الرسول: هو الردّ إلى سنته المطهرة بعد موته، وأما في حياته فالردّ إليه سؤاله 

“Mengembalikan kepada Allah yaitu mengembalikan kepada kitab yang mulia (Al-qur’an), dan mengembalikan kepada Rasul maknanya mengembalikan kepada sunnah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang suci setelah beliau wafat. Dan bertanya kepada beliau tatkala beliau masih hidup.”
(Fathul Bayan Fi Maqashidil Qur’an : 2/101 karya Imam Sidiq Hasan Khan rahimahullahu ta’ala). 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pula menyatakan : 

ومَن أحالك على غيرِ «أخبرنا» و«حدَّثنا» فقد أحالك: إمَّا على خيالٍ صوفيٍّ، أو قياسٍ فلسفيٍّ، أو رأيٍ نفسيٍّ. فليس بعد القرآن و«أخبرنا» و«حدَّثنا» إلَّا شبهاتُ المتكلِّمين، وآراءُ المنحرفين، وخيالاتُ المتصوِّفين، وقياسُ المتفلسفين. ومَن فارق الدليلَ ضلَّ عن سواء السبيل، ولا دليل إلى الله والجنَّة سوى الكتاب والسنَّة. وكلُّ طريقٍ لم يصحبها دليلُ القرآن والسنَّة فهي مِن طرق الجحيم والشيطان الرجيم 

“Dan barangsiapa mengajakmu kepada selain “Akhbarona” dan “Ahdatsana” maka orang tadi telah mengajakmu kepada khayalan kaum sufi, atau analoginya kaum filosof atau pendapat pribadi. 

Tidaklah tersisa setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Akhbarona, Ahdatsana kecuali hanya pendapat orang-orang yang menyimpang, khayalan kaum sufi, dan analogi para filosof. 

Barangsiapa menyelisihi dalil maka akan tersesat dari jalan yang lurus. Tidak ada jalan menuju Allah dan surga-Nya melainkan Al-Kitab dan As-Sunnah. 

Setiap jalan yang tidak dibarengi adanya dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah maka ia adalah termasuk diantara jalan menuju neraka dan jalannya syaithan yang terlaknat.”
(Madarijus Salikin : 2/468-469). 

Meski demikian masih banyak sekali sebagian kaum muslimin yang lebih suka memilih cerita-cerita dusta yang diada-adakan, atau kisah palsu atau lebih suka mengikuti pendapat seseorang kemudian meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. kembali kepada al-qur’an
Sikap-sikap tersebut muncul karena beberapa sebab. Karena fanatisme terhadap kelompok atau guru, kejahilan, memperturutkan hawa nafsu dan faktor lainnya. 

Bahkan ada yang mengikat standar kebenaran dengan mampunya seseorang mempertontonkan keajaiban, atau hal-hal aneh yang tak mampu dilakukan manusia biasa. Imam Ibnu Qudamah menyatakan : 

إذا ريت من يطير في الهواء أو يمشي على الماء ونحوه فاعرض أفعاله وأقواله على الكتاب والسنة فإن وافقها وإلا فرم به وانبذه فلا خير فيه قال تبارك وتعالى : قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

“Apabila kalian melihat seseorang terbang di udara atau berjalan di atas air maka timbanglah perbuatan dan ucapan orang tadi dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Apabila mencocoki keduanya bagus. Jika tidak mencocoki keduanya maka tolaklah ia, dan tidak ada kebaikannya sama sekali. 

Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Sebagian lagi menolak Al-Qur’an dan As-Sunnah karena menganggap ada beberapa kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah yan bertentangan dengan akal. Tidak mencocoki akal dan penalaran manusia 

Padahal apa yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran menurut versi akal mereka hakikat nya adalah was-was syaithan. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I menyatakan : 

الذين يعارضون الأدلة بالمعقولات يرد عليهم بما كان عليه النبي – صلى الله عليه وعلى آله وسلم – والصحابة
ثم ينبغي أن يُعلم أنهم يتوهمون أنها معقولات ، وفي الحقيقة هي وساوس وليست بمعقولات ، لأن العقل الصحيح لا يخالف النقل الصريح 

“Orang-orang yang menentang dalil dengan akal, mereka ini dibantah dengan apa yang nabi dan para sahabat ada di atasnya. 

Kemudian hendaknya diketahui pula bahwa mereka menyangka apa yang mereka miliki itu adalah kebenaran akal, padahal hakikatnya hanya was-was syaithan dan bukan kebenaran akal sama sekali. Karena akal yang shahih yang benar tidak akan bertentangan dengan dalil yang sharih.”
(Ijabatus Sa’il : 367 Oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i). 

Dan tidaklah manusia menolak dalil karena menganggap dalil itu bertentangan dengan akal, melainkan ia akan ditimpa oleh kebinasaan dan kehancuran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : 

﴾ َونَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ ﴿ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الكَافِرِينَ ﻗَﺎﻝَ ﺳَﺂﻭِﻱ ﺇِﻟَﻰٰ ﺟَﺒَﻞٍ ﻳَﻌْﺼِﻤُﻨِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ
[ ‏ﻫــﺬﺍ ﻋﻘــﻞ ] 

﴾ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎﻋَﺎﺻِﻢَ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦ ﺭَّﺣِيم﴿
[ ﻫـــﺬﺍ وحي ‏] 

﴾ ﻭَﺣَﺎﻝَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺍﻟْﻤَﻮْﺝُ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻐْﺮَﻗِﻴﻦَ ﴿
[ ﻫـــﺬﻩ ﺍلنتيجـة ] 

فكل ﻣـﻦ ﻗـﺪّﻡ ﻋﻘﻠـﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺼـﻮﺹ ﺍﻟﻜﺘـﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨـﺔ الصحيحة ﻏـﺮِﻕ ﻓﻲ ﻇﻠﻤـﺎﺕ ﺑﺤﺎﺭ ﺍﻷﻫـﻮﺍﺀ ﻭﺍﻟﺒﺪﻉ 

“Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. 

Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”
Ini adalah akal. 

Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”.
Ini adalah wahyu 

Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
Ini adalah hasil akhirnya. 

Maka setiap orang yang mendahulukan akalnya atas dalil al-Quran dan As Sunnah yang shahih niscaya ia akan tenggelam dalam kegelapan lautan hawa nafsu dan bid’ah. Barangsiapa yang terbiasa membenturkan syariat dengan akalnya, sungguh keimanan tidak akan tertancap dalam hatinya.”
(Dar’ut Ta’arudl Al-Aql Wan Naql : 1/187). 


Ulama Pewaris Para Nabi 

Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. 

حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا 

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673) 

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.” 

Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60) 

Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Terlebih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya: 

مَفاَتِيْحُ لِلِخَيْرِ وَمَغاَلِيْقُ لِلشَّرِّ 

“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.” 

Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu. 

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16) 

Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ 

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32) 

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577) 

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418) 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا 

وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ 

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” 

(Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68) 

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15) 

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140) 

---ooOoo---

Simak video :
Dialog 
Ustadz Prof. H. Abdul Somad Batubara, Lc., D.E.S.A., Ph.D.
dengan
Abdul Somad masih di SD.


---ooOoo---

Wallahu a’lam. 

Sumber : 

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Kedustaan Terhadap Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Rahimahullah