Keyakinan Kaum Sufi/Tashawwuf/Thariqah (Tarekat), Islam Liberal dan Filsafat (filusuf)
Keyakinan Kaum Sufi/Tashawwuf/Thariqah (Tarekat), Islam Liberal dan Filsafat (filusuf)
1. Keyakinan Kaum Sufi/Tashawwuf/Thariqah (Tarekat) :
Orang Sufi punya keyakinan, kalau seseorang itu sakti mandraguna, maka dia seorang Wali...
Orang Sufi juga punya keyakinan, kalau ada orang gila, maka dianggapnya seorang Wali...
Bahkan dalam dunia Sufi, ada istilah Wali majdub, jadzab, ghauts, kutub, kutub Utara, kutub Selatan dsb.
Sumber video : https://www.facebook
Sumber video : https://www.facebook.
Itulah diantara keyakinan kaum Tarekat Sufi.
Bahkan menurut keyakinan kaum Sufi, apabila seorang sudah sampai tingkatan ma'rifat, maka boleh meninggalkan Syari'at.
Saudara/i ku, seharusnya, jika seseorang itu semakin naik derajat ma'rifatnya, maka seharusnya semakin ketat dan disiplin syari'atnya. Sebab semakin mengenal Allah Ta'ala, semakin mengenal rahasia syari'at dan agungnya perintah Allah Ta'ala di balik syari'at, bukan malah seenak perutnya meninggalkan Syari'at.
Kalau ada yang ma’'rifat lalu meninggalkan Syari'at, pasti keblinger !
Mungkin mereka berpandangan bahwa syari'at adalah jalan menuju Hakikat, kalau sudah sampai Hakikat untuk apa bersyari'at...?
Nah, di sinilah keblingernya. Syari'at itu bukan jalan menuju Hakikat. Tetapi bersyari'at itu adalah menjalankan perintah dari Yang Maha Hakiki, Allah Rabbul 'Izzah. Jika ia ma'rifat lalu meninggalkan Syari'at, berarti ia tidak ma'rifat kepada Allah Ta'ala, tapi ma'rifat kepada Jin dan Syetan, serta hawa nafsunya sendiri.
Saudara/i ku, Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam dan para Sahabat yang dijamin masuk surga yang cintanya kepada Allah Ta'ala begitu besar. Apakah ada yang sampe seperti orang gila.....???. Apakah ada yang sampai maqom "Majdub"..? Apakah berani meninggalkan Syari'at..?
Saudara/i ku, Kalau ada orang hilang akal atau sudah tidak waras alias sudah gila tidak wajib shalat dan ibadah lainnya, maka itu betul.
Tapi kalau ada orang gila bukannya diobati malah dianggap Wali, ini sebenarnya yang gila siapa..?
Penganut Tasawuf hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.
Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.
“Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.
Mereka menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”
Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya.
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq, dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan rodja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah, dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri, namun siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”
Amalan mereka sarat akan kesyirikan dan bid ah karena merujuk kepada apa yang telah di ada-adakan oleh imam-imam mereka lewat tarekat-tarekat, atau zikir dan wirid-wirid yang tidak ada asalnya, dan mereka melakukan kesyirikan dengan bertawasul kepada mayit imamnya yang telah mereka anggap sebagai wali.
Mereka berdalil dengan kisah-kisah, mimpi-mimpi atau hadits-hadits palsu’ untuk membenarkan amalan sesat mereka, ketimbang berdalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah landasan yang dibangun di atasnya “agama” sufi, kaum zindiq.
2. Keyakinan kaum Islam Liberal
Menelusuri Akar Pemikiran Liberalisme :
Liberalisme telah masuk ke dalam semua kelompok masyarakat manusia. Tidak terkecuali kaum muslimin. Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam pun demikian. Pengaruh liberalisme telah merasuk ke dalam semua lini kehidupan banyak masyarakat kaum muslimin di negeri ini.
Selain faktor internal kaum muslimin yang lemah dari sisi komitmen mereka terhadap agamanya, terutama persoalan yang berkaitan dengan akidah, tersebarnya aliran pemikiran liberalisme tidak lepas dari peran Barat yang sangat giat menyebarkannya melalui kekuatan politik, ekonomi dan teknologi informasi yang mereka miliki. Dan disinyalir, kaum muslimin adalah sasaran utama dari invansi pemikiran ini. Karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Clash Of Civilization” (Benturan Peradaban), setelah jatuhnya aliran Komunisme, maka tantangan Barat selanjutnya adalah Islam. Menurutnya, “bahaya Islam” lebih berat dari peradaban-peradaban yang lain seperti Cina, Jepang dan negeri-negeri Asia Utara yang lain.
Selain itu, keyakinan Barat terhadap konsep liberal di antaranya juga diinspirasi oleh tesis Francis Fukuyama dalam “The End Of History” (Akhir Sejarah) yang menyebutkan bahwa demokrasi liberal adalah titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk pemerintahan manusia.[1]
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak ingin peradaban Islam yang di bangun diatas akidah dan nilai-nilai agama Allah ini dirusak oleh orang-orang kafir dengan pemikiran-pemikiran luar itu. Islam adalah agama yang sempurna dengan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah, Pencipta yang Mahamengetahui segala kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Karenanya Islam tidak membutuhkan isme-isme dan ideologi dari luar. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5]: 3)
Sejarah Liberalisme :
Sejarah kemunculan liberalisme terbentang dari sejak abad ke-15, saat Eropa memulai era kebangkitan (Renaissance) mereka sampai sekitar abad ke-18 masehi, setelah sebelumnya dari sejak abad ke-5, orang-orang Eropa hidup dalam era kegelapan (Dark Ages).[2]
Dr. Abdurrahim Shamâyil mengatakan, “Liberalisme secara teori politik, ekonomi dan sosial tidak terbentuk dalam satu waktu dan oleh satu tokoh pemikir, akan tetapi ia dibentuk oleh sejumlah pemikir. Liberalisme bukan pemikiran John Luke (w 1704), bukan pemikiran Rousseau (1778), atau pemikiran John Stuart Mill (w 1873), akan tetapi setiap dari mereka memberikan konstribusi yang sangat berarti untuk ideologi liberalisme.”[3]
Sejarah liberalisme dimulai sebagai reaksi atas hegemoni kaum feodal pada abad pertengahan di Eropa. Sebagaimana diketahui, Kristen adalah agama yang telah mengalami perubahan dan penyimpangan ajaran. Pada tahun 325 M, Imperium Romawi mulai memeluk agama Kristen yang telah mengalami perubahan tersebut, yaitu setelah agama Kristen merubah keyakinan tauhid menjadi trinitas dan penyimpangan-penyimpangan yang lainnya.
Pada saat yang sama, sistem politik yang dianut oleh penguasa untuk memerintah rakyatnya ketika itu adalah feodalisme; sistem otoriter yang zalim, menekan dan memasung kebebasan masyarakat. Sistem feodal berada pada puncaknya di abad ke-9 Masehi ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan dan hilangnya pemerintahan pusat. Kaum feodal terbagi menjadi tiga unsur ketika itu; (1) intitusi gereja, (2) kaum bangsawan dan (3) para raja. Semuanya memperlakukan rakyat yang bermata pencaharian sebagai petani dengan otoriter, zalim dan sewenang-wenang.[4]
Kehidupan beragama dibawah institusi gereja juga sarat dengan penyimpangan. Tersebarnya peribadatan yang tidak memiliki landasan dalam kitab suci dan merebaknya surat pengampunan dosa adalah diantaranya. Paus Roma, ketika mereka membutuhkan dana untuk membiayai aktifitas Gereja, mereka menerbitkan surat pengampunan dosa dan menghimbau masyarakat untuk membelinya dengan iming-iming masuk surga. Pendapat-pendapat tokoh agama pun bersifat absolut dan tidak boleh digugat. Alquran juga menyebutkan di antara penyimpangan mereka:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah [9]: 34)
Penyimpangan keyakinan, ditambah dengan sistem politik otoriter inilah faktor utama yang kemudian melahirkan pemikiran liberal. Saat masyarakat tertekan dan hidup dalam kezaliman, muncullah reaksi yang bertujuan kepada kebebasan hidup. Hal yang telah menjadi sunnatullah.[5]
Kesadaran masyarakat Eropa yang ingin bebas dari segala bentuk tekanan itu mengharuskan mereka untuk melakukan tranformasi pemikiran. Diantara proses transformasi pemikiran ini adalah reformasi agama. Pada akhir abad ke-15, muncul seorang tokoh Gereja asal Jerman bernama Martin Luther (w 1546), kemudian diikuti oleh John Calvin (w 1564), lalu John Nouks (w 1572). Mereka melakukan perlawanan terhadap Gereja Katolik yang kemudian mereka beri nama Protestan.[6]
Gerakan reformasi agama yang dilakukan oleh Luther ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah liberalisme selanjutnya. Rumusan pemikiran Luther dapat disimpulkan menjadi beberapa poin berikut:
- Otoritas agama satu-satunya adalah teks-teks Bible dan bukan pendapat tokoh-tokoh agama.
- Pengingkaran terhadap sistem kepausan gereja yang berposisi sebagai khalifah almasih.
- Menegasikan keyakinan pengampunan atau tidak diampuni (dari institusi geraja).
- Ajakan kepada liberalisasi pemikiran, keluar dari tirani tokoh agama dan monopoli mereka dalam memahami kitab suci, klaim rahasia suci serta pengabaian peran akal atas nama agama.[7]
- Gerakan ini disebut sebagai gerakan liberal karena ia bersandar kepada kebebasan berfikir dan rasionalisme dalam menafsirkan teks-teks agama.[8]
Perlawanan terhadap gereja dan feodalisme terus berlanjut di Eropa. Runtuhnya feodalisme menutup abad pertengahan dan abad selanjutnya disebut dengan abad pencerahan (Enlightment). Beberapa tokoh pemikiran muncul. Di Perancis, Jean Jacues Rousseau (w 1778) dan Voltaire (w 1778) adalah diantara pemikir yang perannya sangat berpengaruh. Karya-karya mereka berdua menjadi inspirasi gerakan politik Revolusi Perancis pada tahun 1789, puncak dari perlawanan terhadap hegemoni feodal.
Namun, gerakan yang tadinya sebagai reformasi agama, pada perkembangan selanjutnya perlawanan terhadap gereja mengarah kepada atheisme. Para pemikir dan filusuf Perancis rata-rata adalah para atheis yang tidak mengakui keberadaan agama. Sejarah panjang agama Kristen dari sejak penyimpangan dan perubahan ajaran hingga perang agama yang meletus akibat reformasi Luther memunculkan kejenuhan yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap agama. Kebebasan rasional (akal) secara mutlak akhirnya menjadi ciri utama dari gerakan ini.[9]
Dr. Abdulaziz al Tharify mengatakan, “Pengagungan terhadap akal semakin nampak pada waktu-waktu revolusi. Mereka mengangkatnya dan mempertuhankannya. Sebagian mereka bahkan mengatakan bahwa ini adalah penyembahan terhadap akal. Para tokoh revolusi mengajak orang-orang untuk meninggalkan agama, terkhusus agama katolik, mereka memutuskan hubungan Perancis dengan Vatikan. Dan pada tanggal 24 November 1793 M, mereka menutup gereja-gereja di Paris, merubah sekitar 2400 fungsi gereja menjadi markaz-markaz rasionalisme dan untuk pertama kalinya digagas soal kebebasan kaum wanita.”[10]
Intinya, titik tolak liberalisme berangkat dari perlawanan terhadap penguasa absolut raja dan institusi gereja yang mengekang kebebasan masyarakat.[11]
Pengertian Liberalisme :
Secara etimologi, Liberalisme (dalam bahasa inggris Liberalism) adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa inggris) atau liberte (dalam bahasa Perancis) yang berarti “bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa Liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya dalam satu generasi, dengan tokoh pemikiran yang bermacam-macam dan orientasi yang berbeda-beda.
Dalam al Mawsû’ah al ‘Arabiyyah al Âlamiyyah dikatakan, “Liberalisme termasuk terminologi yang samar, karena makna dan penegasannya senantiasa berubah-ubah dalam bentuk yang berbeda dalam sepanjang sejarahnya.”[12]
Namun demikian, liberalisme memiliki esensi yang disepakati oleh seluruh pemikir liberal pada setiap zaman, dengan perbedaan-perbedaan trend pemikiran dan penerapannya, sebagai cara untuk melakukan reformasi dan menciptakan produktifitas. Esensi ini adalah, bahwa liberalisme meyakini kebebasan sebagai prinsip dan orientasi, motivasi dan tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan manusia. Ia adalah satu-satunya sistem pemikiran yang hanya menghendaki untuk mensifati kegiatan manusia yang bebas, menjelaskan dan mengomentarinya.[13]
Dr. Sulaiman al Khurasyi mengatakan, “Liberalisme adalah aliran pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan individu, berpandangan wajibnya menghormati kemerdekaan setiap orang, meyakini bahwa tugas pokok negara adalah melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan berfikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari kegiatan pasar. Aliran ini juga dibangun diatas prinsip sekuler yang mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia dapat dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.
Dalam Acodemik American Ensiclopedia dikatakan, “Sistem liberal yang baru (yang termanifestasi dalam pemikiran abad pencerahan) memposisikan manusia sebagai tuhan dalam segala hal. Ia memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala sesuatu. Mereka dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui kegiatan rasional dan bebas.”[14]
Karakteristik Liberalisme :
Walaupun liberalisme bukan terdiri dari satu trend pemikiran, namun kita dapat mengenali aliran ini dengan karakteristik khusus. Karakter paling kuat yang ada dalam aliran ini adalah:
● Kebebasan Individu
Setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara. Fungsi negara adalah melindungi dan menjamin kebebasan tersebut dari siapapun yang mencoba untuk merusaknya. Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan semua jenisnya. Kekebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan gagasan, berbuat dan bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan adalah tema yang mereka ingin wujudkan dalam kehidupan ini.
Kebebasan dalam pandangan mereka tidak berbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebebasan mereka berbunyi, “Kebebasan Anda berakhir pada permulaan kebebasaan orang lain.”[15]
● Rasionalisme
Penganut liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendaki. Standar kebenaran adalah akal atau rasio. Karakter ini sangat kentara dalam pemikiran liberal. Rasionalisme diantaranya nampak pada:
Pertama, keyakinan bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum alam. Sementara hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal melalui media indera/materi atau eksperimen. Dari sini kita mengenal aliran filsafat materialisme (aliran filsafat yang mengukur setiap kebenaran melalui materi) dan empirisme (aliran filsafat yang menguji setiap kebenaran melalui eksperimen).
Kedua, negara harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena tidak ada kebenaran yang bersifat yakin atau absolut, yang ada adalah kebenaran yang bersifat relatif. Ini yang dikenal dengan “relatifisme kebenaran”.
Ketiga, perundang-undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata hasil dari pemikiran manusia, bukan syariat agama.[16]
Perspektif Islam :
Dari latar belakang sejarah liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menilai bahwa liberalisme jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan problem teologi Kristen ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah mengalami problem sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh karena itu, tidak ada alasan mendasar bagi Islam untuk menerima konsep liberalisme dengan semua bentuknya.
Apalagi jika ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah, bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.
Begitu pun dengan otoritas akal sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam ‘ajaran’ liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme berarti menolak Islam, dan tunduk kepada Islam berkonsekwensi menanggalkan faham liberal.
3. Keyakinan kaum Filsafat [filusuf]
Ilmu logika, mantik, dan filsafat dikenal masuk ke dalam tubuh kaum Muslimin di zaman dinasti Abassiyyah. Yaitu di saat Yahya bin Khalid bin Barmak, salah seorang menteri Harun Ar-Rasyid, meminta buku-buku Yunani dari raja Romawi. Waktu itu, buku-buku tersebut disimpan dan tidak ditampakkan kepada orang-orang Nashara secara umum.
Karena dikhawatirkan akan membawa kepada kesesatan. Tetapi dengan permintaan dari kaum Muslimin tersebut, dengan segera raja Romawi mengirimkan buku-buku Yunani itu kepada sang mentri. Dengan keinginan mereka dapat terlepas dari bahaya buku-buku tersebut, dan dengan harapan agar kandungan buku-buku itu merusak keadaan kaum Muslimin! Sehingga salah seorang mereka mengatakan: “Tidaklah ilmu-ilmu ini masuk ke suatu negara kecuali akan merusakkannya dan memecah-belah Ulama’nya!!”
Dari sana tersebarlah ilmu filsafat pada sebagian kaum Muslimin. Kemudian pada zaman Tatar menguasai daerah Islam, Nashiruddin Ath-Thusi mendirikan perguruan Dar Hikmah. Para pelajar (santri) yang mempelajari filsafat mendapatkan gaji 3 dirham setiap hari. Dia juga mendirikan Dar Thib, orang yang belajar kedokteran di sana mendapatkan gaji 2 dirham setiap hari. Begitu pula dia mendirikan Dar Hadits, orang yang belajar hadits di sana mendapatkan gaji 1/2 dirham setiap hari. Hal ini juga memacu berkembangnya filsafat di kalangan kaum Muslimin.
Tetapi bagaimana sebenarnya sikap Islam terhadap ilmu-ilmu baru ini?
Kita telah tahu, agama Islam telah lengkap dan sempurna, sehingga tidak membutuhkan tambahan apapun, termasuk ilmu filsafat ini!
Kita telah tahu, generasi Sahabat adalah generasi terbaik dan mereka tidak mengenal filsafat!
Kita telah tahu, ilmu filsafat ini muncul dari orang-orang mulhid dan musyrik, mengapa umat Islam harus mengambilnya?!
Kita telah tahu, filsafat ternyata tidak membawa kepada keyakinan, bahkan menjerumuskan kepada keraguan dan kegoncangan.
Kita telah tahu, filsafat ternyata menyebabkan perselisihan dan perpecahan serta kemunduran kaum muslimin.
Dan kita harus tahu, para ulama Muslimin sepakat membantah ilmu ini.
Ketika ditanya tentang permasalahan filsafat, Abu Hanifah menjawab: “Itu adalah perkataan-perkataan ahli filsafat, hendaklah kamu berpegang dengan atsar (sunnah) dan jalan As-Salaf. Dan jauhilah setiap yang baru, karena hal itu bid’ah!”.
Beliau juga menyatakan: “Aku dapati ahli kalam, mereka memiliki hati yang keras dan kasar. Mereka tidak peduli bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka tidak memiliki sikap wara’ dan taqwa.” (Siyaru A’lamin Nubala 6/399)
Imam Syafi’i berkata: “Tidaklah manusia menjadi bodoh, dan berselisih, kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ulama kaum Muslimin dan imam-imam agama terus-menerus mencelanya (ilmu kalam/filsafat) dan mencela orang-orangnya. Mereka melarangnya dan melarang (mendekati) orang-orangnya. Sampai aku melihat fatwa para ulama muta-akhirin yang di sana terdapat tulisan tokoh-tokoh di zaman mereka, dari kalangan Imam-Imam Syafi’iyyah, Hanafiyah, dan lainnya. Di dalam fatwa itu terdapat perkataan agung tentang pengharamannya dan hukuman orang-orangnya.” (Naqdhul Manthiq, hal:156)
Demikian juga fatwa Ibnu Shalah tentang pengharaman ilmu filsafat/kalam sangat masyhur. Beliau menyatakan: “...Adapun ilmu mantiq merupakan pengantar ilmu filsafat. Sedangkan pengantar keburukan adalah keburukan. Menyibukkan diri dengan mempelajarinya dan mengajarkannya tidaklah dibolehkan oleh Syari’ (Pembuat agama). Dan tidak ada seorangpun dari kalangan Sahabat, tabi’in, Imam-Imam mujtahidin, Salaf yang shalih dan orang-orang yang menjadi panutan dari tokoh-tokoh umat ini yang membolehkannya.” (Fatawa Ibnu Shalah, hal: 34-35).
Setelah semua hal ini jelas, maka alangkah mengherankan munculnya kelompok-kelompok kaum Muslimin yang menyerukan untuk mengusung filsafat melebihi ilmu lainnya! Bahkan memberikan label mentereng dengan istilah filsafat Islam. Menyerukan Islam yang terbuka, Islam Liberal, dan istilah-istilah lainnya yang tidak dikenal oleh agama yang lurus ini! Maukah mereka kembali? Semoga.
[Tajuk Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M ]
Wallâhu ‘alam wa shallallâhu ‘ala nabiyyinâ Muhammad.
Riyâdh, KSA 11 Rajab 1433 H/2 Juni 2012 M
—
Catatan Kaki :
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim ,or ,id.
[1] al Librâliyyah, Nasy`atuhâ wa Majallâtuhâ, Dr. Abdurrahim Shamâyil al Sulami
[2] Usus al Nahdhah al Râsyidah, hal. 9, Ahmad al Qashash.
[3] al Librâliyyah Nasy`atuhâ wa Majallâtuhâ
[4] Haqîqatu al Librâliyyah wa Mawqiful Islâm minhâ, hal. 29, Dr Sulaiman al Khurasyi
[5] Idem, hal 30.
[6] Al ‘Aqliyyah al Librâliyyah, Dr. Abdul aziz al Tharify.
[7] Lihat Muhâdharât fî al Nashrâniyyah, hal. 224 [Haqîqatu al Librâliyyah wa Mawqiful Islâm minhâ, hal. 34]
[8] Haqîqatu al Librâliyyah wa Mawqiful Islâm minhâ
[9] Lihat al Nidzâm al Siyâsy al Islâmy wa al Fikri al Librâly, hal. 39-47, Dr. Muhammad al Jauhay Hamad al Jauhary.
[10] Al ‘Aqliyyah al Librâliyyah, hal. 70, Dr. Abdul aziz al Tharify
[11] Artikel “Melacak Akar dan Manifesto Liberalisme”
[12] Al Mawsû’ah al ‘Ârabiyyah al Âlamiyyah, 21/247 [al Librâliyyah Nasy`atuhâ wa Majallâtuhâ]
[13] Mafhûm al Hurriyyah, hal. 39, Abdullah al ‘Arawi [al Librâliyyah Nasy`atuhâ wa Majallâtuhâ]
[14] Haqîqatu al Librâliyyah wa Mawqiful Islâm minhâ, hal. 12-13.
[15] al Librâliyyah Nasy`atuhâ wa Majallâtuhâ
[16] Haqîqatu al Librâliyyah wa Mawqiful Islâm minhâ, hal. 24-25 dengan penyesuaian.
Baarakallah fikum, semoga bermanfaat..
Sumber : https://m.facebook.com/story
Komentar
Posting Komentar