Pemalsuan Hadis Telah Terjadi Sejak Zaman Rasulullah ﷺ Masih Hidup, Kaum Syiah, Golongan Pemalsu Hadits Terdepan


Pemalsuan Hadis Telah Terjadi Sejak Zaman Rasulullah  Masih Hidup

Dalam sejarah perkembangan Islam, pemalsuan hadis merupakan suatu kenyataan. Di antara pakar hadis ada yang menyatakan bahwa pemalsuan hadis telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Hal ini berangkat dari riwayat ancaman Nabi  terhadap setiap orang yang berbohong dan melakukan pendustaan atas nama beliau, “Barang siapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, maka dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.

“Sebelum Hadis dikodifikasi, pemalsuan hadis telah terjadi. Ahmad Amin dalam kitab Fajr al-Islam menyatakan bahwa hadis palsu sudah muncul sejak Nabi  masih hidup. Karena ada hadis ancaman dari Rasulullah  ini mengindikasikan bahwa di zaman itu telah terjadi pemalsuan hadis,” Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam acara yang diselenggarakan Jabatan Mufti Negeri Perlis pada Senin (18/10).

Pada masa Nabi , pemalsuan hadis hanya berkisar dalam pusaran kepentingan muamalah antar individu masyarakat. Setelah Nabi  meninggal, khususnya ketika Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah, banyak motif yang melatarbelakangi seseorang memalsukan hadis. Puncaknya saat Umat Islam terpecah menjadi pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib, pendukung Gubernur Mu’awiyah dan yang anti terhadap keduanya (khawarij).

Bila di zaman Nabi  pemalsuan hadis dilakukan untuk kepentingan muamalah-individu, maka pada peristiwa perang Shiffin tahun 37 Hijriyah dan fitnah kubra sekitar tahun 40 Hijriyah, pemalsuan hadis dilakukan untuk kepentingan politik-kolektif guna melegitimasi hawa nafsu mereka. Karenanya, pada saat itu sulit membedakan antara hadis maudhu (palsu) dengan hadis otentik (sahih).

“Pemalsuan hadis ini banyak dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Tapi orang-orang yang pro terhadap Muawiyah maupun pro terhadap Ali bin Abi Thalib juga sama-sama melakukan pemalsuan hadis. Di samping itu juga memalsukan hadis dilakukan oleh orang-orang non-muslim,” ungkap Pria kelahiran Kulonprogo, 24 Januari 1968 ini.

Memasuki abad ke-3 Hijriyah, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Meski demikian, Agung menginginkan agar pemeriksaan terhadap otentisitas hadis tidak berhenti di kitab-kitab Mu’tabar melainkan harus terus diteliti guna menghindari hadis-hadis palsu atau riwayat-riwayat lain yang lemah.

Penyebab Pemalsuan Hadis

Hadis berarti setiap informasi yang disandarkan kepada Nabi . Informasi tersebut adakalanya benar. Tidak sedikit informasi itu bohong. Informasi yang benar disebut hadis shahih. Sementara informasi bohong disebut hadis palsu. Sebab itu, Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadis mendefinisikan hadis palsu (maudhu’) dengan kalimat berikut ini:

هو الكذب المختلق المصنوع المنسوب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Hadis maudhu’ adalah perkataan bohong dan mengada-ada yang disandarkan kepada Nabi Muhammad .”

Mayoritas ulama sepakat meriwayatkan hadis maudhu’, apalagi berkata bohong atas nama Nabi Muhammad, adalah dilarang. Rasulullah  berkata:

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Artinya, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah).

Tidak hanya pemalsu hadis yang diancam oleh Rasulullah, orang yang menyebarkan hadis palsu pun juga diancam oleh Rasulullah. Rasulullah bersabda:

من حدث عني بحديث يرى أنه كاذب فهو أحد الكاذبين

Artinya, “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal ia mengetahui informasi itu bohong, maka ia termasuk pembohong,” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis itu, para ulama memahami bahwa meriwayatkan hadis maudhu’ tidak boleh, begitu pula menyampaikan dan menyebarkan hadis maudhu’. Dibolehkan menyampaikannya

dengan syarat untuk memberi tahu kepada khalayak kalau hadis tersebut bukanlah hadis shahih, tetapi hadis maudhu’.

Dalam Taysiru Musthalahil Hadis, Mahmud Thahan memerinci ada lima hal yang mendorong orang untuk memalsukan hadis:

Pertama, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maksudnya, pemalsu hadis membuat hadis dan mengatasnamakan Rasulullah agar orang lain termotivasi untuk beribadah. Memang niatnya bagus, tetapi caranya tidak benar.

Salah satu pemalsu hadis yang melakukan cara ini adalah Maysarah bin Abdu Rabbihi. Ibnu Mahdi, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hibban, pernah bertanya kepada Maysarah:

من أين جئت بهذه الأحاديث، من قرأ كذا فله كذا؟ قال وضعتها أرغب الناس

Artinya, “’Dari mana kamu mendapatkan hadis ini, orang yang membaca ini mendapatkan ganjaran ini?’ Maysarah menjawab, ‘Saya memalsukannya supaya orang-orang termotivasi.’”

Kedua, untuk merusak Islam dari dalam. Sebagian musuh Islam membuat hadis palsu agar umat Islam terpecah belah dan salah memahami agamanya. Di antara orang yang pernah melakukan ini adalah Muhammad bin Sa’id As-Syami.

Ketiga, untuk mendekati penguasa. Sebagian pemalsu hadis membuat hadis palsu yang berkaitan dengan penguasa. Tujuannya untuk memuji dan mendekati penguasa. Misalnya, kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i yang memalsukan hadis supaya bisa dekat dengan Amirul Mukminin Al-Mahdi.

Keempat, untuk mencari rejeki. Biasanya hal ini dilakoni oleh orang-orang yang berprofesi sebagai pecerita atau pendongeng. Melalui cerita-cerita itu ia mendapatkan uang dari pendengarnya. Untuk menarik pendengar, sebagian mereka memalsukan hadis. Di antara yang melakukan ini adalah Abu Sa’id Al-Mada’ini.

Kelima, untuk mencari popularitas. Supaya orang yang meriwayatkan hadis ini semakin populer dan dikenal banyak orang, mereka membuat hadis yang tidak pernah diriwayatkan oleh orang lain. Melalui hadis palsu itu mereka semakin dikenal karena tidak ada yang meriwayatkan selain dia. Di antara yang memalsukan hadis demi popularitas adalah Ibnu Abi Dahiyyah.

Bolehkah Mengamalkan Hadis Dhaif dan Hadis Palsu?

Hadits dhaif (kalau merujuk pada ilmu Musthalah Hadits) merupakan tingkatan hadits paling rendah setelah hadits sahih dan hasan. Hadits ini dikatakan dhaif hanya karena penisbatannya yang tidak begitu meyakinkan kepada Rasulullah SAW.

Sebabnya antara lain adalah silsilah sanadnya yang terputus, rawinya yang kurang kuat ingatannya, dan lain sebagainya. Namun apakah hadits ini bisa sama dengan hadits maudhu (palsu)? Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan sederhana ini.

Syekh Khalil bin Ibrahim dalam sebuah karyanya Khuthuratu Musawatil haditsid Dhaif bil Maudhu menjelaskan secara panjang lebar terkait perbedaan itu. Ia mengecam sebagian kalangan yang menyamakan hadits dhaif dengan hadits palsu. Keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Menyamakan keduanya termasuk suatu kesalahan fatal dalam beragama.

Syekh Khalil menjelaskan, di antara perbedaan hadits dhaif dan maudhu adalah sebagai berikut.

إن الحديث الضعيف هو في الأصل منسوب إلى النبي المصطفى الكريم صلى الله عليه وسلم بخلاف الموضوع، فهو مكذوب مختلق مصنوع.

Artinya, “Hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan hadits maudhu yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi SAW).

Selain itu, penyebab dhaifnya sebuah hadits adalah keterputusan sanadnya, atau kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya seperti lemahnya daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan hadits maudhu adalah hadits yang tidak bersumber sama sekali dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian hadits dhaif boleh diriwayatkan secara ijmak, sedangkan hadits maudhu tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.

Selanjutnya, hadits dhaif tetap diamalkan berdasarkan ijmak ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan (fadhail), anjuran kebaikan, dan larangan keburukan. Sedangkan hadits maudhu haram diamalkan. Serta hadits dhaif akan naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi ketika ada sanad lain yang memperkuat kebenarannya. Sedangkan hadits palsu tidak akan mengalami kenaikan status sekalipun mempunyai puluhan ataupun bahkan ratusan hadits pendukung dari jalur yang berbeda-beda.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-Durrul Mandhud sebagaimana yang dikutip juga oleh Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’ban menyebutkan sebagai berikut.

وقد اتفق الأئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل والترغيب والترهيب، لا في الأحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف.

Artinya, “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan ancaman keburukan. Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.”

Melihat sejumlah perbedaan itu, maka sangat naif kalau ada seseorang yang begitu entengnya membuang hadits dhaif seolah-olah itu bukan (tidak tergolong) sebagai perkataan Nabi sama sekali. Sementara itu di sisi lain, tidak terhitung banyaknya ulama yang mengamalkan hadits-hadits dhaif selama kedhaifannya tidak terlalu parah dan tidak mempunyai hadits pendukung dari jalur atau sanad yang lain.

Berikut ini kutipan beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut.

Pertama, Imam Nawawi dalam Fatawa-nya menyebutkan adanya konsensus (ijmak) di kalangan ulama terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram.

Kedua, boleh mengamalkannya secara mutlak dalam persoalan hukum ketika tidak ditemukan lagi hadits sahih yang bisa dijadikan sebagai sandaran. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan Abu Daud. Selain itu Imam Abu Hanifah dan Ibnul Qayyimil Jauziyyah juga mengutip pendapat tersebut.

Ketiga, hadits dhaif boleh diamalkan jika ia tersebar secara luas dan masyarakat menerimanya secara umum tanpa adanya tolakan yang berarti (talaqqathul ummah bil qabul). Keempat, boleh mengamalkannya ketika hadits dhaif tersebut didukung oleh jalur periwayatan lain yang sama atau lebih kuat secara kualitas darinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At-Tirmidzi dalam karyanya.

Hadis Maudhu’ Inilah! Penyebab Muncul Hadis Palsu

Dalam ilmu hadis dan kitab hadis, banyak sekali kita jumpai pelbagai Hadis maudhu atau hadis palsu. Lantas apa latar belakang munculnya? Inilah  penyebab muncul hadis palsu. 

Dalam Islam, hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Hadits merupakan setiap perkara yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun berupa taqrir (penetapan).

Pada masa Nabi Muhammad SAW dan masa sahabat sebelum masa kekhalifahan Sayyidina Ali, semua Hadits adalah shohih. 

Selain karena belum banyaknya rantai sanad, kecerdasan dan ke-tsiqoh-an para sahabat juga sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi. Namun, seiring perkembangan zaman, para sahabat mulai berkurang dan rantai sanad terus bertambah.

Mengingat proses penyebaran islam yang terus dilakukan dan Hadits pun terus menerus disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.

Sebagaimana barang berharga yang selalu ada saja orang yang ingin meniru atau memalsukannya, begitupun dengan Hadis. Hadits Rasulullah SAW sebagai salah satu ‘barang berharga’ umat Islam, yang menjadi salah satu peninggalan Rasul SAW juga banyak yang memalsukannya.

Hadis tersebut kemudian dikenal dengan Hadits Maudhu’. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, salah seorang ahli Hadits dari Damaskus menegaskan bahwa Hadits Maudhu’ adalah “Hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya dibuat-buat dan diada-adakan, karena Rasulullah SAW
tidak mengatakannya, memperbuat, maupun menetapkannya”.

Awal Mula Munculnya Hadis Palsu

Lantas, kapan mulai terjadi pemalsuan Hadits? Dalam hal ini kebanyakan ulama Hadits berpendapat, bahwa pemalsuan Hadits pertama terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah tahun ke-40 Hijriyah. 

Sebagaimana kita ketahui, pada masa pemerintahan Sayyidina Ali terjadi perpecahan politik yang kemudian melahirkan tiga kelompok yang saling berselisih.

Yakni kelompok pendukung Sayyidina Ali (kelompok Syi’ah), kelompok pendukung Muawiyah, dan kelompok Khawarij, yakni kelompok yang pada mulanya merupakan pendukung Sayyidina Ali namun berpaling dan bahkan menentang setelah Ali menerima tahkim.

Masing-masing dari kelompok tersebut berusaha untuk mendukung kelompoknya sendiri dengan mencari argumen pendukung dari al-Qur’an dan Hadits. Nah, ketika mereka tidak menemukan argumen atau dalil yang sesuai dengan kebutuhan mereka, maka mereka pun mulai membuat Hadits-Hadits palsu. 

Dari sinilah awal mula marak terjadinya pemalsuan Hadits. ‘Ajjaj al-Khatib dalam kitabnya Ushul al-Hadits menjelaskan bahwa kelompok yang pertama dan paling banyak memalsukan Hadits adalah kelompok Syi’ah. Sementara kelompok Khawarij, mereka sedikit memalsukan Hadits. 

Hal ini karena di dalam keyakinan mereka bahwa melakukan dosa besar adalah kafir, dan berdusta adalah termasuk dosa besar. 

Penyebab Muncul Hadis Palsu

Dalam perkembangannya, terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya Hadits Maudhu’. Selain karena motif politik seperti yang telah disebutkan di atas, banyak faktor lain yang mendorong terjadinya pemalsuan Hadits. Diantaranya:

Usaha dari Musuh Islam (Kaum Zindiq). 

Kaum Zindiq adalah kelompok yang sangat membenci Islam. Mereka berpura-pura menampakkan keislamannya dengan berpenampilan layaknya seorang ulama dan menyembunyikan kekafirannya.

Mereka berusaha untuk merusak Islam dengan cara merusak agama dan menyesatkan umat dengan membuat Hadits-Hadits palsu di bidang akidah, ibadah, hukum, dan sebagainya. 

Salah satu tokoh pemalsu Hadits dari kalangan Kaum Zindiq adalah Abdul Karim al-Auja. Dia mengakui sendiri perbuatannya ketika hendak dibunuh, bahwa ia telah memalsukan Hadits sebanyak 4.000 Hadits. Di dalamnya dia banyak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Sikap Fanatik Buta Terhadap Bangsa, Suku, Bahasa, Negeri, atau Pemimpin

Ini sebagaimana terjadi pada bangsa Arab dan bangsa Persia. Dimana, karena kefanatikan mereka terhadap bangsanya, mereka membuat Hadits palsu yang menyatakan keutamaan bangsa mereka sendiri. Demikian juga yang terjadi pada sebagian orang yang fanatik terhadap pemimpinnya. Mereka membuat Hadits palsu yang menyatakan keutamaan pemimpin mereka dan merendahkan pemimpin yang lain.

Menarik Perhatian Orang Awam. 
Mereka melakukan pemalsuan Hadits untuk menarik simpati orang-orang. Pemalsuan Hadits semacam ini biasa dilakukan oleh para pembuat cerita atau kisah-kisah. Biasanya, mereka melebih-lebihkan cerita agar orang-orang kagum dan tertarik terhadap kisah yang disampaikan. 

Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Fiqh, atau Ilmu Kalam

Pemalsuan Hadits karena faktor ini umumnya dilakukan oleh para pengikut madzhab, baik dalam bidang Fiqh atau Ilmu Kalam. Mereka membuat Hadits palsu dengan tujuan untuk menguatkan pendapat yang disepakati oleh masing-masing madzhab yang mereka ikuti.

Semangat yang Berlebihan Dalam Beribadah Tanpa Didasari Ilmu Pengetahuan

Pada mulanya, niat mereka adalah baik, yakni untuk mendorong umat agar bersemangat dalam beribadah. Mereka beranggapan bahwa membuat Hadits palsu dengan maksud mendorong umat agar bersemangat dalam beribadah (targhib), atau yang mengancam agar takut melakukan hal yang tidak benar (tarhib) adalah diperbolehkan.

Padahal, jelas-jelas Rasulullah SAW mengancam bagi siapa saja yang berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah. (Baca: Hadis Palsu dan Shahih Berbahagia Menyambut Ramadhan)

Menjilat atau Mencari Muka Kepada Penguasa. 

Dalam kasus ini, mereka membuat Hadits-Hadits palsu untuk kepentingan duniawi, yakni untuk menarik perhatian dan mendekatkan diri kepada penguasa. Mereka membuat Hadits palsu yang berisi hal-hal yang dapat menyenangkan penguasa. Dengan begitu, mereka bisa dekat dengan penguasa mereka.

Itulah diantara faktor yang melatarbelakangi munculnya Hadits Maudhu’. Dilihat dari penjelasan di atas, ada yang menciptakannya dengan sengaja, ada pula yang tidak tau sama sekali bahwa perbuatannya tersebut adalah tidak diperbolehkan. 

Ada di antara mereka yang murni dengan tujuan negatif, dan ada pula yang memiliki tujuan positif, seperti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun bagaimanapun kondisinya, memalsukan Hadits tetaplah suatu perbuatan tercela dan Rasulullah SAW dengan tegas telah melarangnya. 

Sebagaimana Hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari nomor 1209, dari sahabat al-Mughirah radiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ 

“Sesungguhnya berdusta kepadaku tidak sama dengan orang yang berdusta kepada orang lain. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap (mendapat) tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari)

KAUM SYIAH, GOLONGAN PEMALSU HADITS TERDEPAN

Oleh
Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra

Kemunculan orang-orang yang berkepentingan duniawi dan dengki terhadap Islam, dan manusia-manusia yang masuk Islam dengan membawa kepentingan untuk merusaknya dari dalam menjadi penyebab tersulutnya fitnah besar di tengah umat Islam yang berujung pada terbunuhnya Khalifah ‘Utsmân Radhiyallahu anhu dan berkobarnya peperangan-peperangan yang memecah kesatuan umat.  Selanjutnya, timbullah golongan-golongan  (sesat) dalam Islam. Masing-masing golongan berupaya membenarkan pendapat (ideologi)nya dengan memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dari situlah, hadits-hadits palsu berkembang. Tema-temanya pun beragam, di antaranya berisi keutamaan seseorang, madzhab, wilayah tertentu atau sebaliknya menyerang orang-orang maupun kelompok tertentu.

Sebab Pemalsuan Hadits :

Usaha-usaha pemalsuan hadits atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam didorong oleh berbagai motivasi dan kepentingan. Di antaranya, bertujuan merusak aqidah Islam, mencari popularitas, fanatisme madzhab, mengais penghidupan seperti yang dilakukan oleh qushshâsh (para tukang cerita).

“Pemalsuan hadits yang terjadi, bukanlah fenomena kebetulan yang muncul tanpa direncanakan.  Akan tetapi, merupakan gerakan dengan orientasi tertentu dan perencanaan yang komprehensif. Gerakan ini memiliki bahaya dan dampak buruk besar. Di antara dampak buruknya yang langsung mengenai sekian banyak generasi Islam di banyak negeri, tersebarnya pendapat-pendapat yang aneh, kaedah-kaedah fiqih yang syadz, dan keyakinan menyimpang serta pandangan-pandangan yang lucu. Hal-hal yang menyimpang ini didukung dan dipropagandakan oleh golongan-golongan sesat dan kelompok-kelompok tertentu…Sering kali hadits-hadits palsu ini bertentangan dengan akhlak dan akal yang lurus, dan apalagi dengan Kitabullâh dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [1]

Kaum Kaum Syiah, Golongan terdepan yang Memalsukan Hadits

Salah satu langkah yang ditempuh golongan batil untuk mencari pengikut, yaitu melalui pengadaan hadits-hadits palsu dan menyebarluaskannya di tengah manusia.  Pasalnya, mereka tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat mencintai sunnah (hadits-hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin mengetahui lebih mendalam. Selanjutnya, mereka ini (golongan batil) mereka-reka hadits-hadits (palsu) dan menisbatkannya kepada Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika kaum Muslimin mendengarkannya, umat akan memahami itu merupakan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menganggapnya sebagai kebenaran. Padahal sejatinya itu adalah hadits palsu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan atau melakukannya sama sekali. !

Golongan batil ini tidak hanya berdusta atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi juga memalsukan riwayat-riwayat dengan mencatut nama-nama Ulama Islam yang menjadi teladan bagi umat agar kebatilan mereka lebih dikenal khalayak.

Kaum Syiah, inilah golongan terdepan yang memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang paling nekat dalam usaha ini. Mereka sudah terbiasa berdusta dan berbohong. Orang yang sudah terbiasa berdusta, tidak akan berpikir panjang saat akan berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi atas nama manusia biasa. Kedustaan-kedustaan itu sama saja dalam pandangan mereka. Terutama bila tujuan mereka ialah untuk menyesatkan dan mendangkalkan keyakinan orang di luar kaum Syiah. Apapun dipandang boleh, demi mencapai tujuan yang diinginkan. Persoalan moral tidak diperhatikan selama bertujuan mewujudkan langkah yang telah direncanakan. !!? Kaidah yang mereka tempuh ialah  ‘tujuan menghalalkan segala cara’. Setiap cara apapun –paling buruk sekalipun- akan dipandang boleh jika merealisasikan tujuan dan mengantarkan mereka menuju target yang diinginkan.           

Ushûl Kâfi, Kitab Rujukan Terpenting Kaum Syiah, Berisi Ribuan Hadits Palsu

Cukuplah Anda tahu bahwa kitab terpenting kaum Syiah, yaitu Ushûl Kâfi sebagai bukti kedustaan kaum Syiah. Mereka katakan sendiri bahwa kitab ini memuat ribuan hadits palsu.  Seorang Ulama kontemporer kaum Syiah, at-Tijâni ,mengakuinya sendiri dalam buku yang ia tulis dengan judul Fas alû Ahladz Dzkir[2]

Bila sedemikian banyak hadits palsu dalam satu kitab saja, berapa banyak lagi hadits-hadits yang mereka palsukan di dalam kitab-kitab mereka yang lain? Bagaimana mungkin buku-buku yang berisi kedustaan seperti ini dipercaya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan bahwa orang terdepan yang memalsukan hadits tentang disyariatkannya safar (bepergian jauh) untuk mengunjungi kubur-kubur wali adalah kaum Syiah. Mereka telah menyebabkan masjid-masjid kosong, dan  sebaliknya meramaikan kompleks makam. Mereka tinggalkan rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla (masjid-masjid) yang menjadi tempat dzikrullâh, sementara makam-makam wali yang  sering kali menjadi tempat praktek perbuatan syirik mereka agung-agungkan. Padahal al-Qur`an dan Hadits memerintahkan untuk mengagungkan masjid-masjid, bukan kuburan[3]

Andil Kaum Syiah Dalam Mencoreng Sejarah  Islam

Kaum Syiah berkepentingan untuk menyuguhkan sejarah Islam yang buruk di mata umatnya dan memalsukan hadits. Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkemuka, Abu Bakar Radhiyallahu anhu , ‘Umar Radhiyallahu anhu  dan ‘Utsmân, mereka bidik dengan berbagai cacian dan cercaan.

Apabila kita menelaah buku-buku sejarah yang berbicara tentang fitnah, ternyata riwayat-riwayat yang membekaskan keraguan-keraguan mendalam itu berpangkal dari empat orang saja: Abu Mikhnaf Lûth bin Yahya, al-Wâqidi, Muhammad bin Sâib al-Kalbi, putranya Hisyâm bin Muhammad bin Sâib al-Kalbi.  Empat orang ini merupakan tokoh-tokoh yang berjasa dalam pandangan kaum Syiah. Kitab-kitab kaum Syiah sarat dengan pujian bagi mereka berempat tersebut.

Dengan ini, dapat diketahui bahwa kaum Syiah termasuk  golongan paling berbahaya bagi Islam.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Muqoddimah muhaqqiq kitab al-Maudhû’ât karya Ibnul Jauzi
[2]  Hlm. 34
[3]  Iqtidhâ Shirâthal Mustaqîm hlm. 391
 
Sumber :

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi