JADILAH PEMAAF JANGAN PENDENDAM
JADILAH PEMAAF JANGAN PENDENDAM
Oleh : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA.
Abu Bakr as-Shiddiq pernah sangat marah dan hendak memutuskan pemberian bantuan kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah. Sebelumnya, sudah menjadi kebiasaan Abu Bakr memberi nafkah kepada Misthah yang miskin. Namun, suatu ketika pada saat tersebar berita dusta (fitnah) tentang ‘Aisyah – putri beliau- Misthah punya andil dalam menukil kabar dusta tersebut.
Ketika Abu Bakr sempat bersumpah untuk tidak akan memberi bantuan lagi kepada Misthah tersebut, turun firman Allah:
"Janganlah seseorang yang memiliki kelebihan dan kelapangan rezeki bersumpah untuk tidak memberi karib kerabat dan orang miskin serta muhajirin di jalan Allah…. Hendaknya kalian memaafkan dan melupakan kesalahannya. Tidakkah kalian ingin Allah mengampuni kalian? Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nur: 22)
Ketika dibacakan ayat itu Abu Bakr as-Shiddiq kemudian berkata: Demi Allah aku sangat berharap Allah mengampuniku. Karena itu, Abu Bakr memaafkan Misthah dan terus melanjutkan pemberian bantuan kepada sepupunya yang miskin sekaligus termasuk dari kalangan Muhajirin tersebut
Tidak selalu pemberian maaf adalah terpuji. Pemberian maaf yang menghasilkan perbaikanlah yang terpuji. Yaitu, jika diberi maaf, orang tersebut akan berubah menjadi baik dan meninggalkan keburukannya. Allah berfirman:
"Barangsiapa yang memaafkan dan menghasilkan perbaikan, maka pahalanya di sisi Allah ….(QS. Asy-Syuro: 40)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menyatakan: Allah mempersyaratkan dalam pemaafan itu adalah adanya perbaikan. Hal itu menunjukkan bahwa jika sang pelaku tidak layak dimaafkan, dan maslahat syar’i mengharuskan pemberian hukuman, maka dalam hal semacam itu tidak diperintah untuk dimaafkan (Tafsir as-Sa’di 1/760)
Orang yang pemaaf penghuni surga :
Memaafkan adalah perkara yang mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Berapa banyak kata maaf yang diterima tapi tidak mampu melupakan. Hati masih saja terasa sakit bila mengingatnya.
Ada sebuah nasihat yang bisa kita renungkan. Orang pertama yang meminta maaf lebih dahulu, dialah si pemberani. Orang pertama yang memaafkan lebih dahulu, dialah yang terkuat. Namun orang pertama yang melupakan lebih dahulu, dialah yang paling bahagia.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid. Saat itu Rasulullah mengatakan bahwa akan ada ahli surga yang datang. Dan datanglah seorang Arab Badui yang masuk ke dalam masjid. Dan kejadian seperti itu berulang beberapa kali.
Sahabat-sahabat Nabi yang hadir merasa bingung mengapa orang Badui tersebut dikatakan sebagai ahli surga. Karena penasaran, salah satu sahabat Rasulullah yaitu Abdullah bin Amru bin Ash berinisiatif mencari tahu amalan yang dilakukan oleh orang Badui tersebut.
Setelah mengetahui rumahnya, Amr bin ash meminta izin untuk menginap selama beberapa hari di rumah orang Badui tersebut. Setelah menginap selama tiga hari, dia tidak menemukan amalan istimewa yang sekiranya membuat orang Badui tersebut tergolong ahli surga. Karena masih penasaran, Dia pun bertanya kepada orang Badui tesebut mengapa ia disebut ahli surga oleh Rasulullah.
Sempat bingung dengan pertanyaanya, akhirnya orang Badui itu menjawabnya dengan mengingat apa yang ia lakukan. Ia berkata:
“Sebenarnya setiap malam sebelum aku tidur, aku selalu mendoakan orang-orang dan memaafkan semua kesalahan (mereka) dan mengikhlaskan semua, lalu aku berdoa untuk mereka dan juga aku tidak iri dan dengki terhadap mereka.”
Mendengar jawaban orang Badui tersebut, Abdullah pun yakin dengan ucapan Rasulullah dan berkata: “Ya Paman, sekarang aku percaya bahwa kau calon penghuni surga. Dengan amalan itu kau akan dimasukkan ke dalam surga.”
Melupakan kesalahan orang lainnya artinya kita mengikhlaskan semua. Kita lebih memilih untuk move on dan tidak menjerat diri dengan persoalan yang sudah terjadi. Jika kita menyimpannya, khawatir dia akan berubah menjadi dengki. Dan pada akhirnya kita tidak lebih baik dari orang yang melakukan kesalahan kepada kita.
Memberi maaf bermakna; sebenarnya kita mempunyai hak untuk membalasnya tapi kita memilih untuk melepaskannya, tidak menuntut qishash atau denda. Sikap seperti ini tidak sama dengan santun atau menahan amarah.
“Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy Syura:40)
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Shadaqah tidak mengurangi sebagian dari harta, dan Allah tidak menambah kepada seorang hamba karena maaf melainkan kemuliaan, dan seseorang tidak bertawadhu karena Allah, melainkan Allah meninggikannya.
Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Rasulullah Saw. Bersabda, “Wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzhalimimu.” (HR. Ahmad, Al Hakim dan Al Baghawi)
Memaafkan pada dasarnya adalah berdamai dengan diri sendiri, menciptakan damai di dalam diri kita. Memaafkan membuat hati kita lembut sehingga memudahkannya menerima segala kebaikan.
“Siapa yang tidak mendapatkan kelemahlembutan, tidak mendapat kebaikan.” (HR. Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Belajar dari para orang shalih terdahulu, memaafkan orang lain sebelum berganti hari. Inilah pentingnya segala amalan sebelum tidur. Selain berdoa dan berdzikir, kita perlu memaafkan kesalahan orang lain sebelum tidur. Terlelap dengan perasaan yang bersih dari marah dan rasa dengki dan terbangun dengan jiwa yang baru. In syaa Allah.
Komentar
Posting Komentar