Ketika Mereka Menolak Sifat ‘Uluw dan Istiwa’
Ketika Mereka Menolak Sifat ‘Uluw dan Istiwa’
Di manakah Allah?
Di antara masalah yang disepelekan dan diremehkan oleh kaum muslimin adalah jawaban dari sebuah pertanyaan yang sederhana yaitu, ”Di manakah Allah?” Buktinya, kalau kita sampaikan pertanyaan ini kepada mereka maka mungkin akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur. Pertama, mereka mengatakan bahwasanya Allah ada di mana-mana atau di segala tempat. Kedua, mereka mengatakan bahwasanya Allah ada dalam diri atau hati kita. Sedangkan yang lain mungkin akan menjawab, ”Saya tidak tahu.”
Padahal kalau mereka mau berfikir sejenak, orang yang yang mengatakan bahwasanya Allah Ta’ala berada di setiap tempat atau Allah Ta’ala berada di mana-mana, konsekuensinya adalah menetapkan keberadaan Allah di jalan-jalan, di pasar, bahkan di tempat-tempat kotor seperti di parit, WC, tempat sampah, dan lainnya. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka,
سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 91)
Kalau memang Allah Ta’ala itu berada di mana-mana, lalu buat apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas langit untuk menerima perintah shalat dalam peristiwa isra’ mi’raj? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup menemui Allah Ta’ala di pojok kamarnya atau di ruang tamu rumahnya, dan tidak perlu repot-repot menempuh perjalanan yang jauh (dan tidak masuk akal bagi kaum musyrikin ketika itu) untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dalam rangka menerima perintah shalat. Mengapa mereka tidak memperhatikan hal ini, padahal hampir setiap tahun mungkin mereka memperingati peristiwa isra’ mi’raj ini?
Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Allah Ta’ala ada dalam setiap diri kita, karena konsekuensinya Allah Ta’ala itu banyak, sebanyak bilangan makhluk. Kalau jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, maka sebanyak itu pula jumlah Allah di Indonesia, karena Allah berada dalam diri setiap hamba-Nya. Sehingga kalau kita cermati, aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidah kaum Nasrani yang “hanya” mengakui adanya tiga tuhan
(aqidah trinitas).
Kalau Allah Ta’ala itu ada dalam setiap diri kita dan menyatu dengan diri kita, maka konsekuensinya adalah “Allah adalah saya dan saya adalah Allah!” Kalau sudah begini, siapa memerintahkan siapa? Maka aqidah inilah yang menjadi senjata orang-orang Sufi untuk menolak menjalankan kewajiban yang dibebankan syari’at. Karena dia meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan dirinya, maka dia tidak perlu shalat, puasa, dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya, karena dialah Allah! Na’udzu billah min dzalika.
Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena konsekuensinya berarti Allah itu tidak ada (??). Maka siapa Tuhan yang mereka sembah selama ini?
Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Allah di atas ‘Arsy atau di bumi”, mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa Dia ber-istiwa’ (tinggi) di atas ‘arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Allah Ta’ala.
Yang mengherankan adalah, bagaimana mungkin kaum muslimin tidak mengetahui di mana Allah Ta’ala, padahal Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘arsy.” (QS. Thaha [20]: 5)
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan ketika menjelaskan ayat ini,
اسْتِوَاء يَلِيق بِهِ
“Istiwaa’ yang sesuai dengan (keagungan dan kebesaran) Allah Ta’ala.” (Tafsir Jalalain, 1/406)
Dan dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia ber-istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Al-A’raf [7]: 54)
’Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali.
Meyakini Sifat Allah Ta’ala: Al-‘Uluw dan Istiwa’
Keyakinan “di manakah Allah?” termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu sifat Al-‘Uluw (ketinggian Allah Ta’ala yang mutlak dari segala sisi dan bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha tinggi di atas seluruh mahluk-Nya) dan penetapan sifat istiwa’ (tinggi) di atas al-‘arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya.
Dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, akal, dan fitrah manusia. Sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki banyak metode untuk mengungkapkan ketinggian Allah Ta’ala di atas makhluk-Nya. Setiap metode ditunjukkan oleh banyak ayat. Di antara ayat yang menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala adalah firman-Nya,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al-A’laa [87]: 1)
Allah Ta’ala berfirman,
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah [32]: 5)
Allah Ta’ala berfirman,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 4)
Dalam bahasa apa pun, “naik” itu selalu dari bawah ke atas.
Dan sebaliknya, Allah Ta’ala juga menyebutkan turunnya Al-Qur’an dari sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)
“Turun” tentunya dari atas ke bawah.
Juga dalil tegas bahwa Allah Ta’ala di atas langit, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
”Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk [67]: 16)
Masih banyak dalil Al-Qur’an yang lainnya, namun kami mencukupkan dengan dalil-dalil yang kami sebutkan di atas.
Dalil-Dalil dari As-Sunnah
Sedangkan dalil dari As-Sunnah, maka jumlahnya tidak terhitung. Di antaranya adalah pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan sebagai ujian keimanan baginya sebelum dimerdekakan oleh tuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan itu,
أَيْنَ اللَّه ؟ قَالَتْ فِي السَّمَاء قَالَ : مَنْ أَنَا ؟ قَالَتْ : أَنْتَ رَسُول اللَّه قَالَ : أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَة
“Di manakah Allah?” Budak perempuan tersebut menjawab, ”Di atas langit.” Beliau bertanya lagi, ”Siapakah aku?” Jawab budak perempuan, ”Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mukminah (perempuan yang beriman).” (HR. Muslim no. 1227)
Juga isyarat dengan jari telunjuk yang mengarah ke atas, sebagaimana hadits yang panjang tentang haji Wada’ ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat,
قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Mereka (para sahabat) yang hadir berkata, ‘Kami benar-benar bersaksi bahwa Engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasihat.’ Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau mengarahkannya kepada manusia (di hadapannya), (seraya berkata) ‘Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).’” (HR. Muslim no. 1218)
Sungguh ajaib, ketika sebagian orang menolak bahwa Allah Ta’ala di atas langit dengan mulutnya, namun di kesempatan yang lain jarinya menunjuk ke atas ketika menyebut nama Allah Ta’ala.
Dalil Berdasarkan Ijma’ (Konsensus) para Sahabat
Adapun dalil berdasarkan ijma’ adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan seluruh tabi’in menyatakan bahwa Dzat Allah Ta’ala berada di atas segala sesuatu, tidak ada satu pun di antara mereka yang mengingkari hal itu.
Di antaranya perkataan salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab radhiyallahu ‘anha kepada istri-istri Nabi yang lainnya,
زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ
“Kalian semua dinikahkan oleh keluarga kalian. Sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang tujuh.” (HR. Bukhari no. 7420)
Demikian pula ketika Allah Ta’ala menurunkan surat An-Nuur ayat 11-26 sebagai pembelaan terhadap ‘Aisyah yang dituduh berzina, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
وَلَقَدْ نَزَلَ عُذْرِي مِنَ السَّمَاءِ، وَلَقَدْ خُلِقْتُ طَيِّبَةٌ وَعِنْدَ طَيِّبٍ، وَلَقَدْ وُعِدْتُ مَغْفِرَةً، وَرِزْقًا كَرِيمًا
“Pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilahirkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengan ampunan dan rizki yang mulia.” (Al-Hujjah fi Bayan Al-Mahajjah, 2/398)
Dalil Berdasarkan Akal dan Fitrah Manusia
Akal kita pun menyatakan ketinggian Dzat Allah Ta’ala. Karena kalau kita tanyakan kepada orang-orang yang berakal, apakah sifat Maha tinggi itu termasuk sifat kesempurnaan atau sifat tercela? Maka tidak ragu lagi bahwa mereka akan menjawab sifat kesempurnaan. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan seluruh sifat kesempurnaan bagi-Nya dalam firman-Nya,
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi. Dan Dia-lah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nahl [16]: 60)
Dan kalaulah mereka masih mengingkari dalil-dalil yang menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala, maka hendaklah mereka meminta fatwa kepada dirinya sendiri. Karena fitrah setiap manusia mengakui bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit, meskipun orang kafir. Seandainya orang kafir tersebut berdoa kepada Tuhannya, maka kita akan lihat bahwa mereka mengarahkan hatinya ke arah langit. Dan setiap manusia yang berdoa tentu akan mengarahkan hatinya ke langit. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُل يُطِيل السَّفَر أَشْعَث أَغْبَر يَمُدّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء يَا رَبّ يَا رَبّ
“Kemudian beliau (Rasulullah) menceritakan tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ’Ya Rabb, Ya Rabb!’” (HR. Muslim no. 2393)
Siapakah yang menuntunnya untuk berdoa seperti itu? Tidak lain adalah fitrah, meskipun dia belum pernah mempelajari kitab ‘Aqidah Wasithiyyah atau ‘Aqidah Thahawiyyah. Akan tetapi, ketika berdoa kepada Rabb-nya maka otomatis dia akan melihat ke arah langit. Maka ini adalah dalil fitrah yang tidak membutuhkan kajian dan penelitian terlebih dahulu.
Oleh karena itu, ketika Abul Ma’ali Al-Juwaini menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak berada tinggi di atas ‘Arsy (karena beliau adalah pengikut paham Asy’ariyyah), maka muridnya, Abu Ja’far Al-Hamzani, berkata kepadanya,
”Wahai ustadz, kita tidak perlu bicara tentang ‘arsy atau istiwa’ di atas ‘arsy. Bagaimana pendapatmu dengan fitrah ini, yaitu tidak ada satu pun hamba yang berdoa, ’Ya Allah!’ kecuali akan didapatkan hatinya otomatis akan mengarah ke atas?”
Maka Abul Ma’ali Al-Juwaini mengatakan bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena pertanyaan itu telah membuatnya bingung. [1]
Demikianlah aqidah yang dibangun di atas kebatilan, karena ujung-ujungnya hanya membuat orang menjadi bingung dan linglung karena tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Sebaliknya, aqidah ahlus sunnah adalah aqidah yang mudah dipahami, sangat jelas dan gamblang, dan sesuai dengan akal dan fitrah manusia, baik orang awam maupun ulama, baik anak kecil maupun orang dewsa.
Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu Ta’ala,
كما أخبرنا في محكم تنزيله وعلى لسان نبيه وكما هو مفهوم في فطرة المسلمين علمائهم وجهالهم أحرار هم ومماليكهم ذكراهم وإناثهم بالغيهم وأطفالهم كل من دعا الله جل وعلا فإنما يرفع رأسه إلى السماء ويمد يدية إلى الله إلى اعلاة لا إلى أسفل.
“Sebagaimana yang Allah kabarkan kepada kita di dalam Al-Qur’an dan melalui lisan (penjelasan) Nabi-Nya, dan sebagaimana hal ini telah dipahami oleh fitrah seluruh kaum muslimin, baik dari kalangan ulama ataupun orang awam (orang bodoh) di antara mereka, orang-orang merdeka ataupun budak, lelaki dan wanita, orang dewasa maupun anak kecil. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan ke arah bawah.” [2]
Pembelaan para Ulama terhadap Aqidah Ahlus Sunnah yang Meyakini Sifat Al-‘Uluw dan Istiwa’
Demikianlah, karena sangat banyaknya dalil-dalil tentang ketinggian Dzat Allah Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya, sampai-sampai banyak sekali di antara para ulama yang menulis tentang hal ini. Di antaranya adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah yang menulis kitab Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyyah (Bersatunya pasukan Islam untuk memerangi Sekte Mu’aththilah dan Jahmiyyah), sebagai bantahan atas kelompok (sekte) Mu’aththilah dan Jahmiyyah yang mengingkari ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas ‘arsy-Nya.
Sesuai dengan nama kitab yang beliau berikan, kitab ini berisi puluhan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala itu tinggi di atas ‘arsy. Beliau mengutip perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, ulama madzhab, ulama ahli hadits, dan para ulama lainnya, yang juga meyakini hal ini. Semuanya ini menunjukkan bersatunya aqidah mereka di atas aqidah yang lurus ini. Meskipun mereka hidup dalam zaman dan tempat yang berbeda, akan tetapi bersatunya dan persamaan aqidah mereka di atas aqidah yang lurus ini, seolah-olah menjadikan mereka semua sebagai sebuah pasukan Islam yang sangat kuat dan siap melawan dan memerangi siapa saja yang menyeleweng dari aqidah tersebut.
Ulama lainnya adalah Adz-Dzahabi rahimahullah dengan kitabnya yang berjudul Al-‘Uluww. Di dalam kitab tersebut beliau menyebutkan banyak dalil dari Al-Qur’an dan kurang lebih 200-an dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi, berada di atas ‘arsy, dan ‘arsy berada di atas langit.
Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala. Beliau secara khusus membantah aqidah orang-orang Jahmiyyah yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit dalam kitabnya, “Ar-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyyah” (Bantahan kepada orang-orang zindiq dan Jahmiyyah). Juga Imam Bukhari rahimahullah, mengkhususkan sebuah bab dalam kitab Shahih Bukhari, “Fi Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah” (Bab tentang bantahan kepada Jahmiyyah). Juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah mereka secara khusus dalam kitabnya, “Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah” (Penjelasan atas kerancuan paham Jahmiyyah). Demikian pula muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya, “Ash-Shawaiq Mursalah ‘alal Jahmiyyah wal Mu’aththilah” (Petir yang menyambar kepada Jahmiyyah dan Mu’aththilah).
Selain kitab-kitab tersebut, masih banyak lagi ulama yang menulis tentang hal ini, baik dengan menulis masalah ini secara khusus atau dengan menulis aqidah ahlus sunnah secara umum (seperti kitab ‘Aqidah Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah).
Oleh karena itu, orang-orang dewasa ini yang mengatakan atau berfatwa barangsiapa yang memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’ala di atas ‘arsy adalah orang yang sesat, maka pada hakikatnya orang tersebut telah berusaha menghidupkan kembali paham Jahmiyyah yang telah dibantah oleh para ulama sejak zaman dahulu kala. Karena fitnah Jahmiyyah ini telah muncul sejak zaman dahulu. Sehingga perjuangan para ulama saat ini untuk menjelaskan kepada umat tentang aqidah al-‘uluw dan al-istiwa’, pada hakikatnya adalah melanjutkan perjuangan para ulama terdahulu kala ketika mereka menghadapi fitnah Jahmiyyah di zamannya.
Pertanyaan “Di manakah Allah” adalah Pertanyaan yang Batil?
Akan tetapi, meskipun sudah sedemikian jelasnya dalil-dalil yang ada, tetap saja masih banyak di antara kaum muslimin yang kebingungan ketika mendapat pertanyaan seperti ini. Di antara mereka bahkan ada yang menganggap bahwa pertanyaan ini tidak perlu diungkapkan karena hanya akan menimbulkan kebingungan. Di antara mereka bahkan mengingkari pertanyaan seperti ini dan menganggap bahwa pertanyaan “di manakah Allah?” adalah pertanyaan yang tidak layak untuk ditanyakan.
Padahal bagaimana mungkin mereka mengingkari pertanyaan ini, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan pertanyaan ini sebagai ujian keimanan bagi seorang budak wanita sebelum dibebaskan? Oleh karena itu, setelah membawakan hadits budak perempuan yang telah kami sebutkan sebelumnya, Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,
وهكذا رأينا كل من يسأل أين الله يبادر بفطرته ويقول في السماء ففي الخبر مسألتان إحداهما شرعية قول المسلم أين الله وثانيهما قول المسؤول في السماء فمن أنكر هاتين المسألتين فإنما ينكر على المصطفى صلى الله عليه و سلم
“Demikianlah yang kami lihat bahwa setiap orang yang ditanya, ’Di manakah Allah?’ dia akan segera menjawab dengan fitrahnya, ’Di atas langit.’ Dan di dalam hadits ini terdapat dua hal. Yang pertama, disyariatkannya pertanyaan seorang muslim, ’Di manakah Allah?’ Yang ke dua, (disyariatkannya) jawaban orang yang ditanya, ’(Allah) di atas langit.’ Maka barangsiapa yang mengingkari dua hal ini, berarti dia telah mengingkari Al-Mushthafa (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-‘Uluw lil ‘Aliy Al-Ghaffar, 1/28)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan,
فإن هذا النص قاصمة ظهر المعطلين للصفات فإنك ما تكاد تسأل احدهم بسؤاله ( صلى الله عليه وسلم ) أين الله ؟ حتى يبادر إلى الإنكار عليك ! ولا يدري المسكين أنه ينكر على رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) أعاذنا الله من ذلك ومن علم الكلام
“Hadits ini (yaitu pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan di atas, pen.) telah menghancurkan orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah. Jika Engkau bertanya kepada salah seorang di antara mereka dengan pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, maka tentu mereka akan segera mengingkari pertanyaanmu itu! Orang-orang yang patut dikasihani itu (yaitu yang mengingkari pertanyaan tersebut, pen.) tidak mengetahui bahwa dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu dan dari ilmu kalam (ilmu filsafat, pen.).” (Al-Irwa’ Al-Ghalil, 2/113)
Allah Ta’ala Membutuhkan ‘Arsy?
Di antara dalih yang dilontarkan oleh mereka yang menolak sifat ‘uluw adalah perkataan mereka bahwa jika kita menetapkan Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘arsy, berarti Allah Ta’ala membutuhkan tempat, yaitu ‘arsy. Sebagai konsekuensinya, ‘arsy lebih besar daripada Dzat Allah Ta’ala.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil. Karena tidaklah sesuatu yang di atas itu pasti butuh kepada sesuatu yang di bawah dan lebih kecil daripada sesuatu yang di bawah. Misalnya, langit ada di atas bumi, dan keduanya sama-sama makhluk Allah Ta’ala. Tapi langit tidak butuh bumi sebagai penyangga. Langit juga lebih besar daripada bumi dan tidak menempel dengan bumi. Jika hal ini saja bisa kita saksikan dan terjadi di antara makhluk, tentu Allah Ta’ala sebagai Pencipta langit dan bumi, lebih layak lagi. Bahkan kita katakan, ‘arsy-lah yang butuh Allah Ta’ala, sebagaimana semua makhluk lainnya juga membutuhkan Allah Ta’ala.
Syubhat ini hanyalah muncul berdasarkan logika mereka semata. Sebelum mereka menolak sifat, yang ada di benak dan logika mereka adalah jika mereka menetapkan sifat istiwa’, maka hal ini berarti menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk. Di benak mereka, istiwa’ Allah Ta’ala itu sama
dengan istiwa’ makhluk, sehingga mereka pun akhirnya terjerumus dalam penolakan terhadap sifat istiwa’. Jadi, merekalah yang sebetulnya menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan,
كل معطل مشبه
“Setiap orang yang menolak sifat, pada hakikatnya mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.”
Adapun ahlus sunnah, mereka menetapkan sifat istiwa’ Allah Ta’ala, adapun hakikat bagaimanakah bentuk sebenarnya istiwa’ tersebut, hanya Allah Ta’ala yang mengetahui.
Menyelewengkan Makna Istiwa’
Perlu diketahui bahwa secara bahasa (lughoh), terdapat empat makna istiwa’ jika kata tersebut berdiri sendiri. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam risalah beliau, An-Nuniyyah. Ke empat makna tersebut adalah:
Salah satu cara dan metode yang digunakan oleh orang-orang yang menyimpang dari aqidah ahlus sunnah untuk menolak sifat al-‘uluw dan istiwa’ adalah dengan menyelewengkan firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia tinggi (istiwa’) di atas ´arsy” (QS. Al-Hadid [57]: 4).
Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “istawa” dalam ayat di atas adalah استولى (istaula), yang berarti “menguasai”. Maksud mereka dengan menyelewengkan makna ayat tersebut adalah untuk mengingkari sifat ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya. Dan telah berlalu dalil-dalil dari Al Qur’an, As-Sunnah, ijma’, akal, dan dalil fitrah yang menunjukkan hal tersebut.
Memaknai kata istiwa’ dengan istaula adalah penyelewengan makna yang batil. Pertama, istiwa’ dengan makna “istaula” tidaklah dikenal dalam Bahasa Arab. Kedua, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menggunakan kata “ ثم“ (kemudian) yang menunjukkan adanya urutan waktu. Jika istiwa’ dimaknai dengan istaula, maka konsekuensinya, sebelum penciptaan langit dan bumi, ‘arsy tidak dikuasai oleh Allah Ta’ala. Atau dengan kata lain, ‘arsy baru dikuasai oleh Allah Ta’ala setelah penciptaan langit dan bumi. Ini adalah konsekuensi yang batil, karena ada di antara makhluk-Nya yang tidak berada dalam kekuasaan Allah Ta’ala.
Penyelewengan makna seperti ini juga telah dibantah oleh Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah dalam kitab beliau, Al-Ibaanah. Beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية: إن معنى قول الله تعالى: (الرحمن على العرش استوى) أنه استولى وملك وقهر، وأن الله تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون الله عز وجل مستو على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الاستواء إلى القدرة.
“Orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah berkata bahwa makna firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘Arsy’ adalah menguasai dan memiliki ‘arsy, dan bahwasannya Allah Ta’ala ada di segala tempat. Mereka menolak bahwa Allah Ta’ala tinggi di atas ‘arsy, sebagaimana yang dikatakan oleh ahlul haq (ahlus sunnah). Mereka menyelewengkan makna istiwa’ (tinggi di atas) menjadi qudrah “kekuasaan”.
ولو كان هذا كما ذكروه كان لا فرق بين العرش والأرض السابعة؛ لأن الله تعالى قادر على كل شيء والأرض لله سبحانه قادر عليها، وعلى الحشوش، وعلى كل ما في العالم، فلو كان الله مستويا على العرش بمعنى الاستيلاء، وهو تعالى مستو على الأشياء كلها لكان مستويا على العرش، وعلى الأرض، وعلى السماء، وعلى الحشوش، والأقذار؛ لأنه قادر على الأشياء مستول عليها،
“Seandainya benar apa yang mereka katakan, maka tidak ada bedanya antara ‘arsy dan bumi yang tujuh. Karena Allah Ta’ala menguasai semua makhluk, Allah Ta’ala menguasai (memiliki) bumi, menguasai rerumputan, dan menguasai semua yang ada di alam semesta. Jika Allah istiwa’ di atas ‘arsy berarti istaula (menguasai), maka Allah Ta’ala menguasai semua makhluk, Allah Ta’ala menguasai ‘arsy, menguasai bumi, menguasai langit, menguasai rerumputan, menguasai kotoran, karena Allah Ta’ala berkuasa atas segala sesuatu.”
وإذا كان قادرا على الأشياء كلها لم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول إن الله تعالى مستو على الحشوش والأخلية، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، لم يجز أن يكون الاستواء على العرش الاستيلاء الذي هو عام في الأشياء كلها، ووجب أن يكون
معنى الاستواء يختص بالعرش دون الأشياء كلها.
“Meskipun Allah Ta’ala menguasai segala sesuatu, tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengatakan bahwa Allah Ta’ala istiwa’ di atas rumput dan tanah kosong, Maha Suci Allah atas semua itu. Oleh karena itu, tidak boleh memaknai istiwa’ di atas ‘arsy dengan makna istaula (menguasai) yang maknanya umum mencakup seluruh makhluk. Wajib untuk menetapkan makna istiwa’ dengan makna yang khusus berkaitan dengan ‘arsy, bukan seluruh makhluk.” [4]
Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah Ta’ala. Bahkan kita juga menetapkan sifat kekuasaan bagi Allah Ta’ala. Namun, bukan itu makna yang terkandung dalam sifat istiwa’.
Di antara masalah yang disepelekan dan diremehkan oleh kaum muslimin adalah jawaban dari sebuah pertanyaan yang sederhana yaitu, ”Di manakah Allah?” Buktinya, kalau kita sampaikan pertanyaan ini kepada mereka maka mungkin akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur. Pertama, mereka mengatakan bahwasanya Allah ada di mana-mana atau di segala tempat. Kedua, mereka mengatakan bahwasanya Allah ada dalam diri atau hati kita. Sedangkan yang lain mungkin akan menjawab, ”Saya tidak tahu.”
Padahal kalau mereka mau berfikir sejenak, orang yang yang mengatakan bahwasanya Allah Ta’ala berada di setiap tempat atau Allah Ta’ala berada di mana-mana, konsekuensinya adalah menetapkan keberadaan Allah di jalan-jalan, di pasar, bahkan di tempat-tempat kotor seperti di parit, WC, tempat sampah, dan lainnya. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka,
سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 91)
Kalau memang Allah Ta’ala itu berada di mana-mana, lalu buat apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas langit untuk menerima perintah shalat dalam peristiwa isra’ mi’raj? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup menemui Allah Ta’ala di pojok kamarnya atau di ruang tamu rumahnya, dan tidak perlu repot-repot menempuh perjalanan yang jauh (dan tidak masuk akal bagi kaum musyrikin ketika itu) untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dalam rangka menerima perintah shalat. Mengapa mereka tidak memperhatikan hal ini, padahal hampir setiap tahun mungkin mereka memperingati peristiwa isra’ mi’raj ini?
Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Allah Ta’ala ada dalam setiap diri kita, karena konsekuensinya Allah Ta’ala itu banyak, sebanyak bilangan makhluk. Kalau jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, maka sebanyak itu pula jumlah Allah di Indonesia, karena Allah berada dalam diri setiap hamba-Nya. Sehingga kalau kita cermati, aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidah kaum Nasrani yang “hanya” mengakui adanya tiga tuhan
(aqidah trinitas).
Kalau Allah Ta’ala itu ada dalam setiap diri kita dan menyatu dengan diri kita, maka konsekuensinya adalah “Allah adalah saya dan saya adalah Allah!” Kalau sudah begini, siapa memerintahkan siapa? Maka aqidah inilah yang menjadi senjata orang-orang Sufi untuk menolak menjalankan kewajiban yang dibebankan syari’at. Karena dia meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan dirinya, maka dia tidak perlu shalat, puasa, dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya, karena dialah Allah! Na’udzu billah min dzalika.
Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena konsekuensinya berarti Allah itu tidak ada (??). Maka siapa Tuhan yang mereka sembah selama ini?
Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Allah di atas ‘Arsy atau di bumi”, mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa Dia ber-istiwa’ (tinggi) di atas ‘arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Allah Ta’ala.
Yang mengherankan adalah, bagaimana mungkin kaum muslimin tidak mengetahui di mana Allah Ta’ala, padahal Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘arsy.” (QS. Thaha [20]: 5)
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan ketika menjelaskan ayat ini,
اسْتِوَاء يَلِيق بِهِ
“Istiwaa’ yang sesuai dengan (keagungan dan kebesaran) Allah Ta’ala.” (Tafsir Jalalain, 1/406)
Dan dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia ber-istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Al-A’raf [7]: 54)
’Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali.
Meyakini Sifat Allah Ta’ala: Al-‘Uluw dan Istiwa’
Keyakinan “di manakah Allah?” termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu sifat Al-‘Uluw (ketinggian Allah Ta’ala yang mutlak dari segala sisi dan bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha tinggi di atas seluruh mahluk-Nya) dan penetapan sifat istiwa’ (tinggi) di atas al-‘arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya.
Dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, akal, dan fitrah manusia. Sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki banyak metode untuk mengungkapkan ketinggian Allah Ta’ala di atas makhluk-Nya. Setiap metode ditunjukkan oleh banyak ayat. Di antara ayat yang menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala adalah firman-Nya,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al-A’laa [87]: 1)
Allah Ta’ala berfirman,
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah [32]: 5)
Allah Ta’ala berfirman,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 4)
Dalam bahasa apa pun, “naik” itu selalu dari bawah ke atas.
Dan sebaliknya, Allah Ta’ala juga menyebutkan turunnya Al-Qur’an dari sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)
“Turun” tentunya dari atas ke bawah.
Juga dalil tegas bahwa Allah Ta’ala di atas langit, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
”Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk [67]: 16)
Masih banyak dalil Al-Qur’an yang lainnya, namun kami mencukupkan dengan dalil-dalil yang kami sebutkan di atas.
Dalil-Dalil dari As-Sunnah
Sedangkan dalil dari As-Sunnah, maka jumlahnya tidak terhitung. Di antaranya adalah pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan sebagai ujian keimanan baginya sebelum dimerdekakan oleh tuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan itu,
أَيْنَ اللَّه ؟ قَالَتْ فِي السَّمَاء قَالَ : مَنْ أَنَا ؟ قَالَتْ : أَنْتَ رَسُول اللَّه قَالَ : أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَة
“Di manakah Allah?” Budak perempuan tersebut menjawab, ”Di atas langit.” Beliau bertanya lagi, ”Siapakah aku?” Jawab budak perempuan, ”Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mukminah (perempuan yang beriman).” (HR. Muslim no. 1227)
Juga isyarat dengan jari telunjuk yang mengarah ke atas, sebagaimana hadits yang panjang tentang haji Wada’ ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat,
قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Mereka (para sahabat) yang hadir berkata, ‘Kami benar-benar bersaksi bahwa Engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasihat.’ Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau mengarahkannya kepada manusia (di hadapannya), (seraya berkata) ‘Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).’” (HR. Muslim no. 1218)
Sungguh ajaib, ketika sebagian orang menolak bahwa Allah Ta’ala di atas langit dengan mulutnya, namun di kesempatan yang lain jarinya menunjuk ke atas ketika menyebut nama Allah Ta’ala.
Dalil Berdasarkan Ijma’ (Konsensus) para Sahabat
Adapun dalil berdasarkan ijma’ adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan seluruh tabi’in menyatakan bahwa Dzat Allah Ta’ala berada di atas segala sesuatu, tidak ada satu pun di antara mereka yang mengingkari hal itu.
Di antaranya perkataan salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab radhiyallahu ‘anha kepada istri-istri Nabi yang lainnya,
زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ
“Kalian semua dinikahkan oleh keluarga kalian. Sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang tujuh.” (HR. Bukhari no. 7420)
Demikian pula ketika Allah Ta’ala menurunkan surat An-Nuur ayat 11-26 sebagai pembelaan terhadap ‘Aisyah yang dituduh berzina, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
وَلَقَدْ نَزَلَ عُذْرِي مِنَ السَّمَاءِ، وَلَقَدْ خُلِقْتُ طَيِّبَةٌ وَعِنْدَ طَيِّبٍ، وَلَقَدْ وُعِدْتُ مَغْفِرَةً، وَرِزْقًا كَرِيمًا
“Pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilahirkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengan ampunan dan rizki yang mulia.” (Al-Hujjah fi Bayan Al-Mahajjah, 2/398)
Dalil Berdasarkan Akal dan Fitrah Manusia
Akal kita pun menyatakan ketinggian Dzat Allah Ta’ala. Karena kalau kita tanyakan kepada orang-orang yang berakal, apakah sifat Maha tinggi itu termasuk sifat kesempurnaan atau sifat tercela? Maka tidak ragu lagi bahwa mereka akan menjawab sifat kesempurnaan. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan seluruh sifat kesempurnaan bagi-Nya dalam firman-Nya,
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi. Dan Dia-lah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nahl [16]: 60)
Dan kalaulah mereka masih mengingkari dalil-dalil yang menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala, maka hendaklah mereka meminta fatwa kepada dirinya sendiri. Karena fitrah setiap manusia mengakui bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit, meskipun orang kafir. Seandainya orang kafir tersebut berdoa kepada Tuhannya, maka kita akan lihat bahwa mereka mengarahkan hatinya ke arah langit. Dan setiap manusia yang berdoa tentu akan mengarahkan hatinya ke langit. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُل يُطِيل السَّفَر أَشْعَث أَغْبَر يَمُدّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء يَا رَبّ يَا رَبّ
“Kemudian beliau (Rasulullah) menceritakan tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ’Ya Rabb, Ya Rabb!’” (HR. Muslim no. 2393)
Siapakah yang menuntunnya untuk berdoa seperti itu? Tidak lain adalah fitrah, meskipun dia belum pernah mempelajari kitab ‘Aqidah Wasithiyyah atau ‘Aqidah Thahawiyyah. Akan tetapi, ketika berdoa kepada Rabb-nya maka otomatis dia akan melihat ke arah langit. Maka ini adalah dalil fitrah yang tidak membutuhkan kajian dan penelitian terlebih dahulu.
Oleh karena itu, ketika Abul Ma’ali Al-Juwaini menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak berada tinggi di atas ‘Arsy (karena beliau adalah pengikut paham Asy’ariyyah), maka muridnya, Abu Ja’far Al-Hamzani, berkata kepadanya,
”Wahai ustadz, kita tidak perlu bicara tentang ‘arsy atau istiwa’ di atas ‘arsy. Bagaimana pendapatmu dengan fitrah ini, yaitu tidak ada satu pun hamba yang berdoa, ’Ya Allah!’ kecuali akan didapatkan hatinya otomatis akan mengarah ke atas?”
Maka Abul Ma’ali Al-Juwaini mengatakan bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena pertanyaan itu telah membuatnya bingung. [1]
Demikianlah aqidah yang dibangun di atas kebatilan, karena ujung-ujungnya hanya membuat orang menjadi bingung dan linglung karena tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Sebaliknya, aqidah ahlus sunnah adalah aqidah yang mudah dipahami, sangat jelas dan gamblang, dan sesuai dengan akal dan fitrah manusia, baik orang awam maupun ulama, baik anak kecil maupun orang dewsa.
Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu Ta’ala,
كما أخبرنا في محكم تنزيله وعلى لسان نبيه وكما هو مفهوم في فطرة المسلمين علمائهم وجهالهم أحرار هم ومماليكهم ذكراهم وإناثهم بالغيهم وأطفالهم كل من دعا الله جل وعلا فإنما يرفع رأسه إلى السماء ويمد يدية إلى الله إلى اعلاة لا إلى أسفل.
“Sebagaimana yang Allah kabarkan kepada kita di dalam Al-Qur’an dan melalui lisan (penjelasan) Nabi-Nya, dan sebagaimana hal ini telah dipahami oleh fitrah seluruh kaum muslimin, baik dari kalangan ulama ataupun orang awam (orang bodoh) di antara mereka, orang-orang merdeka ataupun budak, lelaki dan wanita, orang dewasa maupun anak kecil. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan ke arah bawah.” [2]
Pembelaan para Ulama terhadap Aqidah Ahlus Sunnah yang Meyakini Sifat Al-‘Uluw dan Istiwa’
Demikianlah, karena sangat banyaknya dalil-dalil tentang ketinggian Dzat Allah Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya, sampai-sampai banyak sekali di antara para ulama yang menulis tentang hal ini. Di antaranya adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah yang menulis kitab Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyyah (Bersatunya pasukan Islam untuk memerangi Sekte Mu’aththilah dan Jahmiyyah), sebagai bantahan atas kelompok (sekte) Mu’aththilah dan Jahmiyyah yang mengingkari ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas ‘arsy-Nya.
Sesuai dengan nama kitab yang beliau berikan, kitab ini berisi puluhan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala itu tinggi di atas ‘arsy. Beliau mengutip perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, ulama madzhab, ulama ahli hadits, dan para ulama lainnya, yang juga meyakini hal ini. Semuanya ini menunjukkan bersatunya aqidah mereka di atas aqidah yang lurus ini. Meskipun mereka hidup dalam zaman dan tempat yang berbeda, akan tetapi bersatunya dan persamaan aqidah mereka di atas aqidah yang lurus ini, seolah-olah menjadikan mereka semua sebagai sebuah pasukan Islam yang sangat kuat dan siap melawan dan memerangi siapa saja yang menyeleweng dari aqidah tersebut.
Ulama lainnya adalah Adz-Dzahabi rahimahullah dengan kitabnya yang berjudul Al-‘Uluww. Di dalam kitab tersebut beliau menyebutkan banyak dalil dari Al-Qur’an dan kurang lebih 200-an dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi, berada di atas ‘arsy, dan ‘arsy berada di atas langit.
Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala. Beliau secara khusus membantah aqidah orang-orang Jahmiyyah yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit dalam kitabnya, “Ar-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyyah” (Bantahan kepada orang-orang zindiq dan Jahmiyyah). Juga Imam Bukhari rahimahullah, mengkhususkan sebuah bab dalam kitab Shahih Bukhari, “Fi Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah” (Bab tentang bantahan kepada Jahmiyyah). Juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah mereka secara khusus dalam kitabnya, “Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah” (Penjelasan atas kerancuan paham Jahmiyyah). Demikian pula muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya, “Ash-Shawaiq Mursalah ‘alal Jahmiyyah wal Mu’aththilah” (Petir yang menyambar kepada Jahmiyyah dan Mu’aththilah).
Selain kitab-kitab tersebut, masih banyak lagi ulama yang menulis tentang hal ini, baik dengan menulis masalah ini secara khusus atau dengan menulis aqidah ahlus sunnah secara umum (seperti kitab ‘Aqidah Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah).
Oleh karena itu, orang-orang dewasa ini yang mengatakan atau berfatwa barangsiapa yang memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’ala di atas ‘arsy adalah orang yang sesat, maka pada hakikatnya orang tersebut telah berusaha menghidupkan kembali paham Jahmiyyah yang telah dibantah oleh para ulama sejak zaman dahulu kala. Karena fitnah Jahmiyyah ini telah muncul sejak zaman dahulu. Sehingga perjuangan para ulama saat ini untuk menjelaskan kepada umat tentang aqidah al-‘uluw dan al-istiwa’, pada hakikatnya adalah melanjutkan perjuangan para ulama terdahulu kala ketika mereka menghadapi fitnah Jahmiyyah di zamannya.
Pertanyaan “Di manakah Allah” adalah Pertanyaan yang Batil?
Akan tetapi, meskipun sudah sedemikian jelasnya dalil-dalil yang ada, tetap saja masih banyak di antara kaum muslimin yang kebingungan ketika mendapat pertanyaan seperti ini. Di antara mereka bahkan ada yang menganggap bahwa pertanyaan ini tidak perlu diungkapkan karena hanya akan menimbulkan kebingungan. Di antara mereka bahkan mengingkari pertanyaan seperti ini dan menganggap bahwa pertanyaan “di manakah Allah?” adalah pertanyaan yang tidak layak untuk ditanyakan.
Padahal bagaimana mungkin mereka mengingkari pertanyaan ini, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan pertanyaan ini sebagai ujian keimanan bagi seorang budak wanita sebelum dibebaskan? Oleh karena itu, setelah membawakan hadits budak perempuan yang telah kami sebutkan sebelumnya, Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,
وهكذا رأينا كل من يسأل أين الله يبادر بفطرته ويقول في السماء ففي الخبر مسألتان إحداهما شرعية قول المسلم أين الله وثانيهما قول المسؤول في السماء فمن أنكر هاتين المسألتين فإنما ينكر على المصطفى صلى الله عليه و سلم
“Demikianlah yang kami lihat bahwa setiap orang yang ditanya, ’Di manakah Allah?’ dia akan segera menjawab dengan fitrahnya, ’Di atas langit.’ Dan di dalam hadits ini terdapat dua hal. Yang pertama, disyariatkannya pertanyaan seorang muslim, ’Di manakah Allah?’ Yang ke dua, (disyariatkannya) jawaban orang yang ditanya, ’(Allah) di atas langit.’ Maka barangsiapa yang mengingkari dua hal ini, berarti dia telah mengingkari Al-Mushthafa (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-‘Uluw lil ‘Aliy Al-Ghaffar, 1/28)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan,
فإن هذا النص قاصمة ظهر المعطلين للصفات فإنك ما تكاد تسأل احدهم بسؤاله ( صلى الله عليه وسلم ) أين الله ؟ حتى يبادر إلى الإنكار عليك ! ولا يدري المسكين أنه ينكر على رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) أعاذنا الله من ذلك ومن علم الكلام
“Hadits ini (yaitu pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan di atas, pen.) telah menghancurkan orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah. Jika Engkau bertanya kepada salah seorang di antara mereka dengan pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, maka tentu mereka akan segera mengingkari pertanyaanmu itu! Orang-orang yang patut dikasihani itu (yaitu yang mengingkari pertanyaan tersebut, pen.) tidak mengetahui bahwa dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu dan dari ilmu kalam (ilmu filsafat, pen.).” (Al-Irwa’ Al-Ghalil, 2/113)
Allah Ta’ala Membutuhkan ‘Arsy?
Di antara dalih yang dilontarkan oleh mereka yang menolak sifat ‘uluw adalah perkataan mereka bahwa jika kita menetapkan Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘arsy, berarti Allah Ta’ala membutuhkan tempat, yaitu ‘arsy. Sebagai konsekuensinya, ‘arsy lebih besar daripada Dzat Allah Ta’ala.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil. Karena tidaklah sesuatu yang di atas itu pasti butuh kepada sesuatu yang di bawah dan lebih kecil daripada sesuatu yang di bawah. Misalnya, langit ada di atas bumi, dan keduanya sama-sama makhluk Allah Ta’ala. Tapi langit tidak butuh bumi sebagai penyangga. Langit juga lebih besar daripada bumi dan tidak menempel dengan bumi. Jika hal ini saja bisa kita saksikan dan terjadi di antara makhluk, tentu Allah Ta’ala sebagai Pencipta langit dan bumi, lebih layak lagi. Bahkan kita katakan, ‘arsy-lah yang butuh Allah Ta’ala, sebagaimana semua makhluk lainnya juga membutuhkan Allah Ta’ala.
Syubhat ini hanyalah muncul berdasarkan logika mereka semata. Sebelum mereka menolak sifat, yang ada di benak dan logika mereka adalah jika mereka menetapkan sifat istiwa’, maka hal ini berarti menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk. Di benak mereka, istiwa’ Allah Ta’ala itu sama
dengan istiwa’ makhluk, sehingga mereka pun akhirnya terjerumus dalam penolakan terhadap sifat istiwa’. Jadi, merekalah yang sebetulnya menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan,
كل معطل مشبه
“Setiap orang yang menolak sifat, pada hakikatnya mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.”
Adapun ahlus sunnah, mereka menetapkan sifat istiwa’ Allah Ta’ala, adapun hakikat bagaimanakah bentuk sebenarnya istiwa’ tersebut, hanya Allah Ta’ala yang mengetahui.
Menyelewengkan Makna Istiwa’
Perlu diketahui bahwa secara bahasa (lughoh), terdapat empat makna istiwa’ jika kata tersebut berdiri sendiri. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam risalah beliau, An-Nuniyyah. Ke empat makna tersebut adalah:
- Istaqarra (menetap).
- Sha’uda (naik).
- Irtafa’a (tinggi atau terangkat).
- ‘Ala (tinggi).
Salah satu cara dan metode yang digunakan oleh orang-orang yang menyimpang dari aqidah ahlus sunnah untuk menolak sifat al-‘uluw dan istiwa’ adalah dengan menyelewengkan firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia tinggi (istiwa’) di atas ´arsy” (QS. Al-Hadid [57]: 4).
Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “istawa” dalam ayat di atas adalah استولى (istaula), yang berarti “menguasai”. Maksud mereka dengan menyelewengkan makna ayat tersebut adalah untuk mengingkari sifat ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya. Dan telah berlalu dalil-dalil dari Al Qur’an, As-Sunnah, ijma’, akal, dan dalil fitrah yang menunjukkan hal tersebut.
Memaknai kata istiwa’ dengan istaula adalah penyelewengan makna yang batil. Pertama, istiwa’ dengan makna “istaula” tidaklah dikenal dalam Bahasa Arab. Kedua, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menggunakan kata “ ثم“ (kemudian) yang menunjukkan adanya urutan waktu. Jika istiwa’ dimaknai dengan istaula, maka konsekuensinya, sebelum penciptaan langit dan bumi, ‘arsy tidak dikuasai oleh Allah Ta’ala. Atau dengan kata lain, ‘arsy baru dikuasai oleh Allah Ta’ala setelah penciptaan langit dan bumi. Ini adalah konsekuensi yang batil, karena ada di antara makhluk-Nya yang tidak berada dalam kekuasaan Allah Ta’ala.
Penyelewengan makna seperti ini juga telah dibantah oleh Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah dalam kitab beliau, Al-Ibaanah. Beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية: إن معنى قول الله تعالى: (الرحمن على العرش استوى) أنه استولى وملك وقهر، وأن الله تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون الله عز وجل مستو على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الاستواء إلى القدرة.
“Orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah berkata bahwa makna firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘Arsy’ adalah menguasai dan memiliki ‘arsy, dan bahwasannya Allah Ta’ala ada di segala tempat. Mereka menolak bahwa Allah Ta’ala tinggi di atas ‘arsy, sebagaimana yang dikatakan oleh ahlul haq (ahlus sunnah). Mereka menyelewengkan makna istiwa’ (tinggi di atas) menjadi qudrah “kekuasaan”.
ولو كان هذا كما ذكروه كان لا فرق بين العرش والأرض السابعة؛ لأن الله تعالى قادر على كل شيء والأرض لله سبحانه قادر عليها، وعلى الحشوش، وعلى كل ما في العالم، فلو كان الله مستويا على العرش بمعنى الاستيلاء، وهو تعالى مستو على الأشياء كلها لكان مستويا على العرش، وعلى الأرض، وعلى السماء، وعلى الحشوش، والأقذار؛ لأنه قادر على الأشياء مستول عليها،
“Seandainya benar apa yang mereka katakan, maka tidak ada bedanya antara ‘arsy dan bumi yang tujuh. Karena Allah Ta’ala menguasai semua makhluk, Allah Ta’ala menguasai (memiliki) bumi, menguasai rerumputan, dan menguasai semua yang ada di alam semesta. Jika Allah istiwa’ di atas ‘arsy berarti istaula (menguasai), maka Allah Ta’ala menguasai semua makhluk, Allah Ta’ala menguasai ‘arsy, menguasai bumi, menguasai langit, menguasai rerumputan, menguasai kotoran, karena Allah Ta’ala berkuasa atas segala sesuatu.”
وإذا كان قادرا على الأشياء كلها لم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول إن الله تعالى مستو على الحشوش والأخلية، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، لم يجز أن يكون الاستواء على العرش الاستيلاء الذي هو عام في الأشياء كلها، ووجب أن يكون
معنى الاستواء يختص بالعرش دون الأشياء كلها.
“Meskipun Allah Ta’ala menguasai segala sesuatu, tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengatakan bahwa Allah Ta’ala istiwa’ di atas rumput dan tanah kosong, Maha Suci Allah atas semua itu. Oleh karena itu, tidak boleh memaknai istiwa’ di atas ‘arsy dengan makna istaula (menguasai) yang maknanya umum mencakup seluruh makhluk. Wajib untuk menetapkan makna istiwa’ dengan makna yang khusus berkaitan dengan ‘arsy, bukan seluruh makhluk.” [4]
Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah Ta’ala. Bahkan kita juga menetapkan sifat kekuasaan bagi Allah Ta’ala. Namun, bukan itu makna yang terkandung dalam sifat istiwa’.
Simak video berikut :
Ust. Nur Hidayat Muhammad (Penulis Buku "Klaim Dusta Salafi Wahabi tentang Akidah Salaf") menguraikan sifat Allah berdasarkan "akal dan kalam ulama", bukan kalam Al-Qur an dan Hadist.
Sumber video : https://fb.watch/jma28ZG_Fs/
Catatan kaki:
[1] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/437-449; Syarh ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 50-55.
[2] Kitaabut Tauhiid 1/161, karya Ibnu Khuzaimah.
[3] Lihat An-Nuniyyah, 1/215.
[4] Lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, 1/108-109.
Sumber : https://muslim.or.id
[1] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/437-449; Syarh ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 50-55.
[2] Kitaabut Tauhiid 1/161, karya Ibnu Khuzaimah.
[3] Lihat An-Nuniyyah, 1/215.
[4] Lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, 1/108-109.
Sumber : https://muslim.or.id
Komentar
Posting Komentar