Berjihatlah dengan teknologi informasi


Jihad Digital

Oleh Denny Hernawan, Drs., MA

Disampaikan pada Kajian  Majelis Tasbih Universitas Djuanda

Dalam rilis Hootsuit Indonesia Digital Landscape yang dirilis Januari 2022 lalu menempatkan Indonesia sebagai pengguna internet terbesar keempat di dunia, dengan populasi penduduk kurang lebih 265,4 juta jiwa, dengan pengguna aktif internet sebanyak 132,7 juta, pengguna aktif media sosial sebanyak 130,0 juta. Dari sebanyak itu, kurang lebih yang mengakses dari gadget sebesar 120,0 juta dengan rerata akses harian selama kurang lebih 8 jam 51 menit. Ini artinya tidak kurang dari 53,3% mengakses media online setiap hari. Indonesia juga pengguna sosial media terbesar di dunia, dimana medsos notabene didominasi pengguna aktif dari kelompok milenial.

Sisi lain, berdasarkan survei yang dilakukan
Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2022 disebutkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan. Marshall McLuhan (Sahrul Mauludi, 2018), “kita yang membentuk alat-alat dan setelah itu alat-alat yang membentuk kita”.

Dalam konteks ini perlu dilakukan “jihad”, terutama untuk melawan , setidaknya berupaya meminimalisasi dampak negative yang cenderung semakin meluas dari keberadaan dunia digital sekarang ini. Pada konteks sekarang jihad tidak boleh dilakukan secara tekstual yakni berperang melawan musuh Islam dengan senjata serba canggih, namun jihad di zaman digital ini harus diartikan dalam bentuk mewujudkan kebenaran, kebaikan dan keluhuran.

Dalam terminologi Islam, kata jihad diartikan sebagai perjuangan sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran. ‏

Jihad ada beberapa macam salah satunya adalah melawan hawa nafsu. “Mujahid itu adalah mereka yang berjihad melawan hawa nafsunya (HR. Tirmidzi no. 1621; dan beliau [Imam Tirmidzi] menilai hadis ini hasan sahih).”

Dikutip oleh Sahrul Mauludi dari Visser, Literasi Digital adalah kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, mengevaluasi, menciptakan, dan mengomunikasikan ulang informasi, di mana literasi digital memerlukan kemampuan teknis dan kecerdasan kognitif. 

Jihad Literasi Digital adalah adanya kesungguhan untuk mengambil peran maksimal memberikan bobot dan informasi berkualitas di dunia virtual dengan memanfaatkan teknologi digital secara massif bahkan terorganisir, dan kesadaran akan proses algoritmatik dan big data sebagai pilar daripada teknologi digital itu sendiri.

Etika Media Sosial

1. tulis status yang bermanfaat, baik itu bermanfaat bagi diri sendiri maupun audience yang membacanya, bermanfaat artinya menghindari perselisihan, informatif atau bisa juga sharing pengalaman. 

2. menghindari postingan yang mengandung unsur SARA atau konten pornografi, hal ini bukan berlaku hanya postingan, tetapi juga menahan jempol untuk membagikan. 

3. jika tidak yakin dengan apa yang akan anda tulis, akan lebih bijak jika anda tidak perlu mengatakan apa-apa ketimbang berpura-pura mengetahui segalanya akan tetapi justru menjadi bumerang yang bisa saja suatu saat justru menyerang diri anda sendiri. 

4. batasi informasi pribadi yang anda share di publik, karena tidak semua yang berteman dengan anda adalah orang baik-baik, termasuk mematikan fitur lokasi. 

5. tidak semua aktifitas yang anda lakukan perlu anda sampaikan di publik, akan sangat bijak ketika sebelum update status anda bertanya pada diri anda sendiri, jika saya posting ini, apa yang saya harapkan?

Fakta: Sisi Gelap Dunia Digital

1. Media Sosial, Hoax dan Ujaran Kebencian

- Bukti paling nyata adalah peningkatan kejadian intoleransi yang mana aktornya didominasi oleh masyarakat akar rumput. Pada penelitian Setara Institute for Democracy and Peace yang dirilis oleh Kompas.com beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa sepanjang pertengahan tahun 2018 terjadi peningkatan pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Jika dibandingkan sepanjang pertengahan tahun 2017 terdapat 80 peristiwa KBB dengan 99 tindakan pelanggaran, maka peningkatan pelanggaran KBB terjadi secara signifikan sepanjang pertengahan 2018 dengan 109 peristiwa pelanggaran KBB dengan 136 tindakan pelanggaran. 

Video ilustrasi : "provokasi dan ujar kebencian"

- Disamping itu eksklusivisme kelompok juga ditandai dengan peningkatan penyebaran ujaran kebencian, hoax kabar bohong, adu domba, fitnah dan provokasi yang disebarkan melalui jejaring sosial media. Dari berbagai sumber yang dirilis oleh beberapa media mainstream, tahun 2017 Polri menangani kasus ujaran kebencian sebanyak 3.325 kasus, yang mana angka ini meningkat 44,99% dibandingkan dengan tahun 2016, sebanyak 1.829 kasus. 

- Dari rilis Diskominfo Jabar menyebutkan bahwa kurang lebih 92,40% hoax tersebar melalui jejaring sosial Facebook, 62,80% melalui aplikasi chatting, 34,90% melalui situs web, selanjutnya sisanya tersebar melalui televisi, media cetak dan email.

2. Hoaks

Pada rilis pilot project MAFINDO tentang pemetaan hoax yang dirilis pada September 2018 lalu, mengkategorikan beberapa kategori hoak antara lain kategori : 

- hoax/misleading information, biasanya kategori ini merupakan informasi yang disebarkan didistorsi, bentuknya bisa berupa Fake News, berita yang berlandaskan fakta-fakta palsu atau Misinformation sumber informasinya keliru. 

- hoax yang berkaitan dengan jenis konten, mulai agama, politik, etnis, kesehatan, bisnis, penipuan, bencana alam, kriminalitas, lalu lintas, peristiwa ajaib, dan lain-lain. 

- alat yang dipakai dalam penyebaran hoax dapat berupa narasi, gambar, video, meme, media massa. 

- saluran yang digunakan untuk menyebar hoax antara lain Facebook, Whatsapp, Instagram, Line, Telegram, Open Source dan lain-lain (Youtube, Line dan lain-lain)

3. Hasutan Kebencian

Hasutan kebencian yang dirangkum dalam unsur-unsur sebagai berikut; 

- segala bentuk komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama dan kepercayaan, ras, warna kulit, etnis dan identitas lainnya; 

- ditujukan sebagai hasutan terhadap individu atau kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan konflik sosial; 

- dilakukan melalui berbagai sarana.

- Seringkali hoax dan hasutan kebencian muncul secara bersamaan, hasutan kebencian melibatkan produsen hasutan dengan narasi provokatif yang akan memprovokasi audience penerima pesan hasutan kebencian tersebut, untuk turut menyebarkannya. Tidak jarang ujaran kebencian ini muncul dari tokoh-tokoh yang berpengaruh sehingga semakin menimbulkan keresahan masyarakat. Tentu saja ujaran kebencian ini harus dilawan, karena hasutan kebencian merendahkan martabat manusia, karena tidak jarang hasutan kebencian ini ditujukan kepada kelompok-kelompok marginal yang terpinggirkan, menimbulkan konflik, menyuburkan prasangka dan diskriminasi dan dapat memicu kekerasan atau kejahatan kebencian.

Model dan dampak berinteraksi dan berkomunikasi di media sosial ,sebagai salah satu determinan teknologi digital, telah berkontribusi terhadap “matinya kepakaran”, dan yang terbaru bisa pula memicu “matinya sang ulama”. Bahkan ini membuat suatu kondisi kehidupan yang lebih parah tentang apa yang disebut dengan ”post truth” (pasca kebenaran), tempat hoax terus diproduksi dan direproduksi. Selain itu, dalam ruang post truth, hoax pun digunakan untuk menyalahkan emosi dan sentimen publik.

Dampak lainnya, melalui media sosial bukan hanya menghilangkan batas teritorial, sehingga “desa global” yang dipertegas oleh McLuhan telah terwujud. Batas-batas lainnya pun telah lenyap, seperti batas-batas sosial (contoh, sulit lagi membedakan antara mainan anak-anak dan orang dewasa), batas-batas politik (sulit membedakan antara pecundang dan negarawan), bahkan batas psiko-religiusitas (antara riya dan ikhlas). Dan ada satu dampak yang sangat saya khawatirkan dan ini relevan dengan apa yang dikutip oleh Yasraf dari Baudrillard tentang tahapan perkembangan nilai dalam masyarakat yang sudah sampai ke tahap keempat yaitu, “fraktal” (viral). Pada substansinya pada tahap ini manusia kehilangan titik referensi, tetapi merujuk — termasuk dalam persoalan kebenaran— pada apa yang viral.

STRATEGI BERJIHAD DI ERA DIGITAL

1. Tidak menyebarkan berita bohong di media sosial. 

Dalam Al-Qur’an Surat An Nur ayat 9 yang Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang sangat keji itu (berita hoax) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An Nur: 19) Dalam menyikapi adanya kabar hoaks, Allah SWT bahkan sudah menjelaskan dalam Al-Qur’an: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al Hujurat: 6)

2.  Tidak menghina , menjelekkan,  dan menyebarkan aib (keburukan) orang lain di medsos

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok  kaum yang lain, karena bisa jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-ngolok). Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (QS. Al Hujurat: 11)

Artinya: Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. (HR. At Tirmidzi) 

3. Mengajak kebaikan di media sosial, yakni berdakwah tidak harus menunggu kita menjadi sempurna kebaikannya, sebisa mungkin mengajak orang lain untuk lebih banyak berbuat baik sekalipun kita belum bisa melakukan semua yang kita sampaikan. Allah SWT berfirman:

Artinya: "Dan hendaklah ada diantara segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imron: 104)

4. Beberapa tips tambahan

- Jangan mudah share,

- Verifikasi fakta,

- Kenali situs palsu,

- Membandingkan dengan berbagai sumber,

- Hati-hati dengan judul provokatif,

- Jangan terkecoh viral.

Sumber : https://www.unida.ac.id

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?