Islam di Minangkabau pada Awal Abad Ke-20
Ranah Minang, di samping salah satu daerah yang mengalami proses Islamisasi sangat dalam, wilayah ini juga terkenal mempunyai adat istiadat yang kuat. Banyak teori mengenai kapan masuknya Islam di Minangkabau[1], meskipun demikian raja Islam Pertama di Kerajaan Minangkabau (Pagaruyung) adalah Raja Alam Alif (1600 M). Adanya seorang raja Islam di Minangkabau, dapat diperkirakan Islam juga telah menyebar di wilayah tersebut.
Seperti halnya di wilayah Nusantara lainnya, Islam masuk ke wilayah Minangkabau secara damai. Sama halnya dengan wilayah Nusantara lainnya, para penyebar Islam di Minangkabau, menggunakan pendekatan persuasif dan cenderung toleran terhadap tradisi lokal. Sikap toleran terebut memberi kesempatan tumbuhnya akidah masyarakat Minangkabau secara perlahan-lahan.
Berkat metode itu, pada akhir abad ke-18, Islam telah banyak dianut oleh masyarakat Minangkabau. Benyak dari mereka yang tergabung ke dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Pasca-Perang Paderi, tarekat tersebut semakin berkembang di Minangkabau.
Sumber video : https://youtu.be
Pada awal adab ke-20, terdapat dua golongan di Minangkabau.
Golongan pertama adalah kaum tua.
Mereka adalah kelompok kaum muslim Minangkabau yang dalam bidang akidah mengikatkan diri kepada pamahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ajaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Muslim al-Maturidi, sedangkan dalam bidang ibadah berpatokan kepada mazhab Syaf’i. Di tengah gencarnya pembaharuan yang dilakukan kaum muda, golongan tua pun juga ikut tergerak mempertahankan aliran dan mazhab yang mereka amalkan.
Golongan kedua adalah kaum muda.
Kaum muda adalah mereka yang gencar melakukan usaha pemurnian kembali ajaran Islam, mereka banyak dipengaruhi oleh ulama besar Minangkabau seperti Haji Miskin, Haji Somanik, Haji Piobang, dan Ahmad Khatib, Mereka menginginkan agama ini bersih dari unsur-unsur yang tidak termasuk dalam ajaran Islam.
Perbedaan cara pandang di antara kedua kelompok tersebut, menyebabkan pertetangan tidak dapat terhindarkan. Sekitar tahun 1906 M, pembicaraan tentang tarekat menjadi isu hangat di Minangkabau. Pada masa tersebut tarekat telah menyebar luas Minangkabau, dan banyak anggota masyarakat merasa tenang mempraktikannya. Oleh karena itu, ulama tua merasa perlu mempertahankan suasana tersebut. Mereka tidak ingin masyarakat resah, jika praktik-praktik keagamaan mereka dikecam.
Di sisi lain, ulama-ulama muda seperti Djamil Djambek dan kawan-kawannya tidak menginginkan pakem tersebut dipertahankan. Menurut mereka, praktik-praktik tarekat membuat umat Islam beku, stagnan, dan kehilangan dinamika. Di samping itu, mereka melihat amalan-amalan tarekat sebagai bid’ah yang perlu diberantas. Selanjutnya, para kaum muda mulai secara gencar menyerang kaum ulama tua, dengan menggunakan jalur media massa, tabligh, dan bahkan debat.
Dalam perkembangannya, pertentangan antara Kaum Tua dan Muda berikutnya, tidak hanya mencangkup masalah tarekat, tetapi merambat ke praktik keagamaan lain yang umumnya diamalkan oleh masyarakat Minangkabau, seperti masalah-masalah tentang ushalli, taqlid, ijtihad, bid’ah dan sebagainya. Polemik yang terjadi antara kedua kelompok ini berlangsung dalam masa cukup panjang melibatkan banyak tokoh, dan menggunakan banyak dalil.
Pada tahun 1909, Haji Abdullah Ahmad dari kalangan muda melakukan terobosan dengan membuka sekolah Adabiyah di Padang. Sekolah dasar ini memiliki sistem yang sama dengan Hollads Inladse School, kecuali bahwa di dalamnya agama dan al-Qur’an diajarkan secara wajib. Selanjutnya, pada tahun 1911 dan 1913, ia menerbitkan majalah al-Manar, dan al-Akbar di kota yang sama. Terbitnya dua majalah tersebut, diikuti terbitnya majalah suara pembaharuan lainnya yang tersebar di beberapa daerah Minangkabau, seperti al-Ittiqan di Maninjau, al-Bayan di Parabek, al-Basur di Sungayang, al-Imam di Padang Japang, dan al-Munirulmanar di Padang Panjang.
Selain media cetak, kaum muda juga mendirikan beberapa lembaga-lembaga pendidikan. Salah satu lembaga pendidikannya yang paling berpengaruh adalah Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Sekolah ini mempunyai karekteristik tersendiri dibanding sekolah tradisional, di sekolah Thawalib lebih ditekankan pada upaya untuk memahami Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Sementara di sekolah kaum tradisional pada umumnya lebih menekankan pelajaran fikih dengan bermacam fatwa dari berbagai mazhab.
Segala sarana yang dimiliki oleh Kaum Muda Minangkabau semakin mengobarkan semangat pembaharuan. Setelah masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925, gerakan kaum muda semakin bertambah besar dan menekan kaum tua.
Di lain pihak, posisi Kaum Tua semakin tersudut dengan segala upaya yang dilakukan kaum muda. Meskipun demikian, Kaum Tua tidak lantas menyerah, mereka balasan dengan cara yang sama. Untuk itu, mereka menerbitkan majalah Suluh Melayu, sebagai tandingan majalah al-Munir. Suluh Melayu digunakan Kaum Tua untuk mempertahankan paham mereka, dan menangkis semua serangan yang dilakukan Kaum Muda melalu media massa.
Kehadiran dua majalah itu menjadikan Minangkabau semakin terpecah. Majalah al-Munir dengan tokoh-tokoh utamanya Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Djamil Djambek melawan Suluh Melayu dengan tokoh-tokohnya seperti Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Saad Mungka, dan Syekh Bayang. Puncak konflik dua kelompok itu mencapai puncaknya antara tahun 1914 sampai tahun 1918.
----
Pertentangan yang terjadi antara Kaum Tua dan Kaum Muda, ternyata mempunyai sisi positif bagi perkembangan pendidikan Minangkabau. Walaupun banyak perbedaan pandangan antara keduanya, ternyata tidak semua ide pembaharuan Kaum Muda ditolak oleh Kaum Tua.
Langkah Kaum Muda yang mengubah sistem pendidikan surau menjadi madrasah ternyata diserap oleh salah satu tokoh Kaum Tua, yakni Syekh Abbas. Pada tahun 1918, ia mendirikan sekolah Arabiyah School di Ladang Lawas, Bukittinggi, dan enam tahun kemudian, ia mendrikan Islamiyah School di Alur Tajungkang, Bukittinggi.
Ketika Syekh Abbas mendirikan sekolah-sekolah tersebut, golongan tua tidak langsung memberikan respon. Mereka tetap berpegang pada pendirian mereka sebelumnya, yakni mempertahankan sistem pendidikan berhalaqah. Akan tetapi, dengan semakin gencarnya gerakan Kaum Muda, langkah Abbas juga diikut oleh para ulama Kaum Tua. Secara berangsur-angsur mereka mulai melakukan perubahan, perubahan baik sistem maupun sarana dan prasaran lembaga pendidikan mereka.
Tokoh lain yang menonjol dalam memodernisasi lembaga pendidikan adalah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (1878-1970). Pada tahun 1926 M, ia mulai memodernisasi Surau Baru Candung yang telah didirikan sejak tahun 1908 M. Ia merubah cara berhalaqah di surau menjadi berkelas madrasah. Selain itu, ia juga melengkapi madrasahnya dengan berbagai sarana pendidikan modern.
Dalam waktu relatif singkat, langkah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli diikuti pula oleh kawan-kawannya sesama Kaum Tua, seperti Syekh A. Wahid Tabek Gadang di Payakumbuh, Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh Arifin di Batu Hampar, dan lain-lain. Lembaga Pendidikan Madrasah akhirnya meluas di wilayah Minangkabau.
Pertumbuhan pesat Madrasah Tarbiyah di Minangkabau, memunculkan keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk menyatukan ulama-ulama Kaum Tua, dalam wadah organisasi. Untuk itu, ia memprakarsai sebuah pertemuan besar di Candung pada tanggal 5 Mei 1928.
Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah organisasi yakni Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Organisasi ini bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan madrasah-madrasah tarbiyah di Minangkabau. Selain itu, pertemuan di Candung juga merumuskan kesatuan pola dari madrasah-madrasah yang ada, baik nama, sistem pengajaran dan kurikulum.
Meskipun organisasi tersebut belum diresmikan secara formal, tetapi organisasi ini telah mampu mengilhami lahirnya banyak madrasah tarbiyah Islamiyah dan mengembangkan gerakan Kaum Tua di Minangkabau.
Dengan realitas sedemikian rupa, maka muncullah keinginan Kaum Tua untuk semakin mengembangkan oranisasi persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Mereka berharap organisasi tidak hanya sekedar mengurusi sekolah, melainkan juga sebagai pemersatu segenap ulama tradisional di ranah Minang. Keinginan itu akhirnya terwujud, dengan diresmikannya organisasi bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat PTI dalam sebuah rapat di Candung pada tanggal 20 Mei 1930 M, dengan Sulta’in sebagai ketua pertama.
----
Pada tahun 1931 M, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli memperoleh penghargaan Grote Zilveren Ster (Bintang Perak Besar) dari pemerintah Hindia Belanda. Pengghargaan ini diperoleh, berkat jasa Syekh Sulaiman dalam mewujudkan kerjasama yang harmonis antara ulama dan kaum adat.
Penghargaan yang diterima Syekh Sulaiman dirayakan dengan penuh suka cita oleh anggota lain Perti di suatu pertemuan besar di Batu Hampar. Pertemuan tersebut tidak hanya sebagai ungkapan rasa syukur, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk membenahi organisasi. Salah satu pembenahan adalah perubahan struktur, jabatan ketua beralih dari Sulta’in kepada Syekh Abdul Madjid Koto Nan Gadang, dan jabatan sekretaris dari Gazali P. Tanjung kepada Syahruddin Marajo Dunia.
Satu tahun kemudian atau tahun 1932 M, Persatuan Tarbiyah Islamiyah melaksanakan kongres yang pertama di Koto Nan Ampek Pakayumbuh. Dalam kongres ini tercetus lah gagasan untuk mengganti nama organisasi menjadi Persatuan Islam Indonesia. Gagasan yang diprakarsai oleh angkatan muda Perti itu bahkan telah tertuang dalam keputusan kongres.
Pada awalnya, para ulama tua Perti tidak keberatan dengan perubahan nama organisai. Namun, setelah melakukan pertimbangan, mereka khawatir jika nama yang menonjolkan nasionalisme, justru akan memancing kecurigaan pemerintah kolonial. Akhirnya mereka mengusulkan agar keputusan tersebut dibatalkan.
Usulan itu pun ditolak angkatan muda yang mendominasi jumlah peserta kongres. Mereka berpendapat keputusan kongres tidak dapat dibatalkan begitu saja, dan harus tetap dihormati. Para ulama tua menganggap sikap generasi muda tersebut keras kepala. Mereka lantas menyampingkan hasil kongres, dan menguasai organisasi sepenuhnya. Para generasi muda yang segan terhadap generasi tua, terpaksa menerima keputusan sepihak dari generasi tua.
Selanjutnya, ketidaksepakatan dalam kongres pertama menyebaban disharmoniasai antara golongan muda dan tua. Disharmoniasai ini lah yang menjadi faktor utama stagnisasi dalam kehidupan dan aktivitas organisasi.
Meskipun stagnisasi tidak merambah ke dalam aktivitas belajar mengajar di madrasah dan tabligh di kelompok-kelompok pengajian, akan tetapi stagnasi tetap menghambat perkembangan Perti secara organisasi. Kasus ini sekaligus memberi kesan dominasi generasi tua dalam tubuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
BIBLIOGRAFI
Koto, Alaiddin. 2012. Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Sejarah, Paham Keagamaan, dan Pemikiran Politik 1945-1970. Jakarta: Rajawali.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Noer, Deliar. 1990. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
[1] Beberapa Sejarawan mengatakan Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-7, ke-12 M, ke-14 M, dan ke-16 M.
Sumber : https://wawasansejarah.com
Golongan pertama adalah kaum tua.
Mereka adalah kelompok kaum muslim Minangkabau yang dalam bidang akidah mengikatkan diri kepada pamahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ajaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Muslim al-Maturidi, sedangkan dalam bidang ibadah berpatokan kepada mazhab Syaf’i. Di tengah gencarnya pembaharuan yang dilakukan kaum muda, golongan tua pun juga ikut tergerak mempertahankan aliran dan mazhab yang mereka amalkan.
Golongan kedua adalah kaum muda.
Kaum muda adalah mereka yang gencar melakukan usaha pemurnian kembali ajaran Islam, mereka banyak dipengaruhi oleh ulama besar Minangkabau seperti Haji Miskin, Haji Somanik, Haji Piobang, dan Ahmad Khatib, Mereka menginginkan agama ini bersih dari unsur-unsur yang tidak termasuk dalam ajaran Islam.
Perbedaan cara pandang di antara kedua kelompok tersebut, menyebabkan pertetangan tidak dapat terhindarkan. Sekitar tahun 1906 M, pembicaraan tentang tarekat menjadi isu hangat di Minangkabau. Pada masa tersebut tarekat telah menyebar luas Minangkabau, dan banyak anggota masyarakat merasa tenang mempraktikannya. Oleh karena itu, ulama tua merasa perlu mempertahankan suasana tersebut. Mereka tidak ingin masyarakat resah, jika praktik-praktik keagamaan mereka dikecam.
Di sisi lain, ulama-ulama muda seperti Djamil Djambek dan kawan-kawannya tidak menginginkan pakem tersebut dipertahankan. Menurut mereka, praktik-praktik tarekat membuat umat Islam beku, stagnan, dan kehilangan dinamika. Di samping itu, mereka melihat amalan-amalan tarekat sebagai bid’ah yang perlu diberantas. Selanjutnya, para kaum muda mulai secara gencar menyerang kaum ulama tua, dengan menggunakan jalur media massa, tabligh, dan bahkan debat.
Dalam perkembangannya, pertentangan antara Kaum Tua dan Muda berikutnya, tidak hanya mencangkup masalah tarekat, tetapi merambat ke praktik keagamaan lain yang umumnya diamalkan oleh masyarakat Minangkabau, seperti masalah-masalah tentang ushalli, taqlid, ijtihad, bid’ah dan sebagainya. Polemik yang terjadi antara kedua kelompok ini berlangsung dalam masa cukup panjang melibatkan banyak tokoh, dan menggunakan banyak dalil.
Pada tahun 1909, Haji Abdullah Ahmad dari kalangan muda melakukan terobosan dengan membuka sekolah Adabiyah di Padang. Sekolah dasar ini memiliki sistem yang sama dengan Hollads Inladse School, kecuali bahwa di dalamnya agama dan al-Qur’an diajarkan secara wajib. Selanjutnya, pada tahun 1911 dan 1913, ia menerbitkan majalah al-Manar, dan al-Akbar di kota yang sama. Terbitnya dua majalah tersebut, diikuti terbitnya majalah suara pembaharuan lainnya yang tersebar di beberapa daerah Minangkabau, seperti al-Ittiqan di Maninjau, al-Bayan di Parabek, al-Basur di Sungayang, al-Imam di Padang Japang, dan al-Munirulmanar di Padang Panjang.
Selain media cetak, kaum muda juga mendirikan beberapa lembaga-lembaga pendidikan. Salah satu lembaga pendidikannya yang paling berpengaruh adalah Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Sekolah ini mempunyai karekteristik tersendiri dibanding sekolah tradisional, di sekolah Thawalib lebih ditekankan pada upaya untuk memahami Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Sementara di sekolah kaum tradisional pada umumnya lebih menekankan pelajaran fikih dengan bermacam fatwa dari berbagai mazhab.
Segala sarana yang dimiliki oleh Kaum Muda Minangkabau semakin mengobarkan semangat pembaharuan. Setelah masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925, gerakan kaum muda semakin bertambah besar dan menekan kaum tua.
Di lain pihak, posisi Kaum Tua semakin tersudut dengan segala upaya yang dilakukan kaum muda. Meskipun demikian, Kaum Tua tidak lantas menyerah, mereka balasan dengan cara yang sama. Untuk itu, mereka menerbitkan majalah Suluh Melayu, sebagai tandingan majalah al-Munir. Suluh Melayu digunakan Kaum Tua untuk mempertahankan paham mereka, dan menangkis semua serangan yang dilakukan Kaum Muda melalu media massa.
Kehadiran dua majalah itu menjadikan Minangkabau semakin terpecah. Majalah al-Munir dengan tokoh-tokoh utamanya Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Djamil Djambek melawan Suluh Melayu dengan tokoh-tokohnya seperti Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Saad Mungka, dan Syekh Bayang. Puncak konflik dua kelompok itu mencapai puncaknya antara tahun 1914 sampai tahun 1918.
----
Pertentangan yang terjadi antara Kaum Tua dan Kaum Muda, ternyata mempunyai sisi positif bagi perkembangan pendidikan Minangkabau. Walaupun banyak perbedaan pandangan antara keduanya, ternyata tidak semua ide pembaharuan Kaum Muda ditolak oleh Kaum Tua.
Langkah Kaum Muda yang mengubah sistem pendidikan surau menjadi madrasah ternyata diserap oleh salah satu tokoh Kaum Tua, yakni Syekh Abbas. Pada tahun 1918, ia mendirikan sekolah Arabiyah School di Ladang Lawas, Bukittinggi, dan enam tahun kemudian, ia mendrikan Islamiyah School di Alur Tajungkang, Bukittinggi.
Ketika Syekh Abbas mendirikan sekolah-sekolah tersebut, golongan tua tidak langsung memberikan respon. Mereka tetap berpegang pada pendirian mereka sebelumnya, yakni mempertahankan sistem pendidikan berhalaqah. Akan tetapi, dengan semakin gencarnya gerakan Kaum Muda, langkah Abbas juga diikut oleh para ulama Kaum Tua. Secara berangsur-angsur mereka mulai melakukan perubahan, perubahan baik sistem maupun sarana dan prasaran lembaga pendidikan mereka.
Tokoh lain yang menonjol dalam memodernisasi lembaga pendidikan adalah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (1878-1970). Pada tahun 1926 M, ia mulai memodernisasi Surau Baru Candung yang telah didirikan sejak tahun 1908 M. Ia merubah cara berhalaqah di surau menjadi berkelas madrasah. Selain itu, ia juga melengkapi madrasahnya dengan berbagai sarana pendidikan modern.
Dalam waktu relatif singkat, langkah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli diikuti pula oleh kawan-kawannya sesama Kaum Tua, seperti Syekh A. Wahid Tabek Gadang di Payakumbuh, Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh Arifin di Batu Hampar, dan lain-lain. Lembaga Pendidikan Madrasah akhirnya meluas di wilayah Minangkabau.
Pertumbuhan pesat Madrasah Tarbiyah di Minangkabau, memunculkan keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk menyatukan ulama-ulama Kaum Tua, dalam wadah organisasi. Untuk itu, ia memprakarsai sebuah pertemuan besar di Candung pada tanggal 5 Mei 1928.
Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah organisasi yakni Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Organisasi ini bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan madrasah-madrasah tarbiyah di Minangkabau. Selain itu, pertemuan di Candung juga merumuskan kesatuan pola dari madrasah-madrasah yang ada, baik nama, sistem pengajaran dan kurikulum.
Meskipun organisasi tersebut belum diresmikan secara formal, tetapi organisasi ini telah mampu mengilhami lahirnya banyak madrasah tarbiyah Islamiyah dan mengembangkan gerakan Kaum Tua di Minangkabau.
Dengan realitas sedemikian rupa, maka muncullah keinginan Kaum Tua untuk semakin mengembangkan oranisasi persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Mereka berharap organisasi tidak hanya sekedar mengurusi sekolah, melainkan juga sebagai pemersatu segenap ulama tradisional di ranah Minang. Keinginan itu akhirnya terwujud, dengan diresmikannya organisasi bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat PTI dalam sebuah rapat di Candung pada tanggal 20 Mei 1930 M, dengan Sulta’in sebagai ketua pertama.
----
Pada tahun 1931 M, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli memperoleh penghargaan Grote Zilveren Ster (Bintang Perak Besar) dari pemerintah Hindia Belanda. Pengghargaan ini diperoleh, berkat jasa Syekh Sulaiman dalam mewujudkan kerjasama yang harmonis antara ulama dan kaum adat.
Penghargaan yang diterima Syekh Sulaiman dirayakan dengan penuh suka cita oleh anggota lain Perti di suatu pertemuan besar di Batu Hampar. Pertemuan tersebut tidak hanya sebagai ungkapan rasa syukur, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk membenahi organisasi. Salah satu pembenahan adalah perubahan struktur, jabatan ketua beralih dari Sulta’in kepada Syekh Abdul Madjid Koto Nan Gadang, dan jabatan sekretaris dari Gazali P. Tanjung kepada Syahruddin Marajo Dunia.
Satu tahun kemudian atau tahun 1932 M, Persatuan Tarbiyah Islamiyah melaksanakan kongres yang pertama di Koto Nan Ampek Pakayumbuh. Dalam kongres ini tercetus lah gagasan untuk mengganti nama organisasi menjadi Persatuan Islam Indonesia. Gagasan yang diprakarsai oleh angkatan muda Perti itu bahkan telah tertuang dalam keputusan kongres.
Pada awalnya, para ulama tua Perti tidak keberatan dengan perubahan nama organisai. Namun, setelah melakukan pertimbangan, mereka khawatir jika nama yang menonjolkan nasionalisme, justru akan memancing kecurigaan pemerintah kolonial. Akhirnya mereka mengusulkan agar keputusan tersebut dibatalkan.
Usulan itu pun ditolak angkatan muda yang mendominasi jumlah peserta kongres. Mereka berpendapat keputusan kongres tidak dapat dibatalkan begitu saja, dan harus tetap dihormati. Para ulama tua menganggap sikap generasi muda tersebut keras kepala. Mereka lantas menyampingkan hasil kongres, dan menguasai organisasi sepenuhnya. Para generasi muda yang segan terhadap generasi tua, terpaksa menerima keputusan sepihak dari generasi tua.
Selanjutnya, ketidaksepakatan dalam kongres pertama menyebaban disharmoniasai antara golongan muda dan tua. Disharmoniasai ini lah yang menjadi faktor utama stagnisasi dalam kehidupan dan aktivitas organisasi.
Meskipun stagnisasi tidak merambah ke dalam aktivitas belajar mengajar di madrasah dan tabligh di kelompok-kelompok pengajian, akan tetapi stagnasi tetap menghambat perkembangan Perti secara organisasi. Kasus ini sekaligus memberi kesan dominasi generasi tua dalam tubuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
BIBLIOGRAFI
Koto, Alaiddin. 2012. Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Sejarah, Paham Keagamaan, dan Pemikiran Politik 1945-1970. Jakarta: Rajawali.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Noer, Deliar. 1990. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
[1] Beberapa Sejarawan mengatakan Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-7, ke-12 M, ke-14 M, dan ke-16 M.
Sumber : https://wawasansejarah.com
Baca Artikel Terkait :
Komentar
Posting Komentar