Sejarah : Islam Syiah di Indonesia
Islam Syiah di Indonesia
Islam Syiah di Indonesia mewakili minoritas kecil di negara mayoritas Muslim Sunni. Sekitar satu juta orang Indonesia adalah Syiah, yang terkonsentrasi di sekitaran Jakarta.
Sejarah
Ada yang menduga Syiah datang pada abad ke-12 Masehi, ada yang percaya bahwa orang-orang Syiah sudah datang ke Kepulauan Nusantara jauh sebelum abad ke-12 itu. Ada yang meyakini ajaran Syiah dibawa oleh orang-orang Persia, namun ada juga yang meyakini Syiah diperkenalkan oleh orang-orang Arab langsung.
Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafi’i. Namun, karena melakukan taqiyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura menjalankan praktik-praktik Islam berdasarkan mazhab Syafi'i sampai akhirnya mazhab Syafi’i-lah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang berkembang di Indonesia. Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara yang bernama Sultan Malik ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafi’i.
Keyakinan itu, ternyata didasarkan pada catatan perjalanan Ibnu Batutah, seorang pelancong dari Maroko yang pernah singgah di Aceh pada tahun 1345—1346 M. Ia menulis, “Sultan Jawa bernama Sultan Malik azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia termasuk penganut mazhab Syafi’i. Ia juga sangat mencintai para fuqaha yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan kaki.
Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafi’i. Mereka senang berjihad bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir. Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk perdamaian.” Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya? Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya. Amat disayangkan, klaim orang-orang Syiah itu diperkuat oleh pendapat kalangan pemerhati sejarah Islam di Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus Sunyoto, adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara.
Keluar dari berbagai dugaan dan klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga. Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi orang-orang dengan tipikal tertentu.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama terjadi sebelum Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiah—dai atau bukan dai—terbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka menjalankan taqiyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka. Karena itu, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar. Alih-alih berdakwah secara terang-terangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri. Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga. Jelas saja, karena laku taqiyah khas Syiah itu, memperkirakan sedikit atau banyak orang yang memeluk Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan.
Kendati demikian, salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, al-Shi’a fi al-Mizan, bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang. Yang juga patut dicatat, sebelum Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar. Di Qum, para pemuda yang dimaksud memperdalam ajaran Syiah di hawzah-hawzah ilmiyah, semacam lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya untuk itu lewat uang zakat dan khumus.
Di Indonesia sendiri, pada tanggal 21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein al-Habsyi (1921—1994) yang pernah belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir al-Haddad, dan Muhammad Muntasir al-Kattani di Malaysia. Pesantren YAPI Bangil pun kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak Husein al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.
Gelombang Kedua
Gelombang kedua penyebaran Syiah di Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini, banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen. Salah seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiran-pemikiran Syiah.
Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis. Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut, Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu. Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Segera setelah Revolusi Iran diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di Indonesia.
Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia. Di Bandung, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2.000—3.000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syi’ah: Surat-Menyurat antara asy-Syaikh al-Mishri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang banyak perhatian waktu itu. Buku tersebut sejatinya adalah terjemahan al-Muraja’at yang disusun oleh Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili. Penerjemahnya adalah Muhammad al- Bagir al-Habsyi, ayah Haidar Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak menerjemahkan buku-buku untuk Mizan. Mizan akhirnya banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan 1990-an.
Karena itu, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini. Pada saat bersamaan, di Bandung, Jalaluddin Rakhmat “tiba-tiba” tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein al-Habsyi. Dari yang semula aktif berbicara tentang pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat.
Tidak “jera” dengan larangan itu, Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota kembang. Tidak lama dari berdirinya Yayasan Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong oleh rasa prihatin mereka atas pandangan yang berkembang di masyarakat terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren al-Hadi disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di hawzah-hawzah ilmiyah.
Gelombang Ketiga
Islam Syiah di Indonesia mewakili minoritas kecil di negara mayoritas Muslim Sunni. Sekitar satu juta orang Indonesia adalah Syiah, yang terkonsentrasi di sekitaran Jakarta.
Syiah Indonesia ditemukan di kawasan Jawa, Madura dan Sumatra.
Sumber video : https://youtu.be/wIP3
Ada yang menduga Syiah datang pada abad ke-12 Masehi, ada yang percaya bahwa orang-orang Syiah sudah datang ke Kepulauan Nusantara jauh sebelum abad ke-12 itu. Ada yang meyakini ajaran Syiah dibawa oleh orang-orang Persia, namun ada juga yang meyakini Syiah diperkenalkan oleh orang-orang Arab langsung.
Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafi’i. Namun, karena melakukan taqiyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura menjalankan praktik-praktik Islam berdasarkan mazhab Syafi'i sampai akhirnya mazhab Syafi’i-lah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang berkembang di Indonesia. Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara yang bernama Sultan Malik ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafi’i.
Keyakinan itu, ternyata didasarkan pada catatan perjalanan Ibnu Batutah, seorang pelancong dari Maroko yang pernah singgah di Aceh pada tahun 1345—1346 M. Ia menulis, “Sultan Jawa bernama Sultan Malik azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia termasuk penganut mazhab Syafi’i. Ia juga sangat mencintai para fuqaha yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan kaki.
Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafi’i. Mereka senang berjihad bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir. Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk perdamaian.” Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya? Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya. Amat disayangkan, klaim orang-orang Syiah itu diperkuat oleh pendapat kalangan pemerhati sejarah Islam di Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus Sunyoto, adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara.
Keluar dari berbagai dugaan dan klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga. Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi orang-orang dengan tipikal tertentu.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama terjadi sebelum Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiah—dai atau bukan dai—terbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka menjalankan taqiyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka. Karena itu, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar. Alih-alih berdakwah secara terang-terangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri. Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga. Jelas saja, karena laku taqiyah khas Syiah itu, memperkirakan sedikit atau banyak orang yang memeluk Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan.
Kendati demikian, salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, al-Shi’a fi al-Mizan, bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang. Yang juga patut dicatat, sebelum Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar. Di Qum, para pemuda yang dimaksud memperdalam ajaran Syiah di hawzah-hawzah ilmiyah, semacam lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya untuk itu lewat uang zakat dan khumus.
Di Indonesia sendiri, pada tanggal 21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein al-Habsyi (1921—1994) yang pernah belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir al-Haddad, dan Muhammad Muntasir al-Kattani di Malaysia. Pesantren YAPI Bangil pun kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak Husein al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.
Gelombang Kedua
Gelombang kedua penyebaran Syiah di Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini, banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen. Salah seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiran-pemikiran Syiah.
Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis. Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut, Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu. Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Segera setelah Revolusi Iran diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di Indonesia.
Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia. Di Bandung, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2.000—3.000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syi’ah: Surat-Menyurat antara asy-Syaikh al-Mishri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang banyak perhatian waktu itu. Buku tersebut sejatinya adalah terjemahan al-Muraja’at yang disusun oleh Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili. Penerjemahnya adalah Muhammad al- Bagir al-Habsyi, ayah Haidar Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak menerjemahkan buku-buku untuk Mizan. Mizan akhirnya banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan 1990-an.
Karena itu, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini. Pada saat bersamaan, di Bandung, Jalaluddin Rakhmat “tiba-tiba” tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein al-Habsyi. Dari yang semula aktif berbicara tentang pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat.
Tidak “jera” dengan larangan itu, Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota kembang. Tidak lama dari berdirinya Yayasan Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong oleh rasa prihatin mereka atas pandangan yang berkembang di masyarakat terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren al-Hadi disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di hawzah-hawzah ilmiyah.
Gelombang Ketiga
Vedeo lengkap (Klik Disini)
Awal gelombang ketiga penyebaran Syiah tidak dapat dipastikan waktu tepatnya. Meski demikian, gelombang ketiga itu muncul ketika kebutuhan akan fikih Syiah makin mendesak. Hal ini wajar, sebab merebaknya pemikiran-pemikiran Syiah di kalangan mahasiswa dan di kota-kota besar di Indonesia tidak diimbangi oleh menyebarnya tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang fikih Syiah. Ketika muncul serangan-serangan mendiskreditkan Syiah karena memiliki praktik-praktik ibadah yang berbeda dengan Islam, mereka tidak siap menerimanya. Pada saat bersamaan, alumni-alumni Qumdar I Indonesia mulai kembali ke tanah air dan mendakwahkan Syiah.
Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam menghadapi serangan-serangan kepada mereka. Gelombang ketiga terasa dengan banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang “berbau” fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokoh-tokoh Syiah.
Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari kalangan terbatas seperti mahasiswa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, “tidak begitu terpelajar.” Kemunculan alumni-alumni Qum juga diimbangi oleh berdirinya yayasan-yayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada 1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 20 .000 orang yang menjalani ajaran Syiah secara total. Turunnya Soeharto dari jabatan Presiden RI pada Mei 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya, komunitas Syiah berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan.
Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia (IJABI). IJABI didirikan di Bandung pada tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat Keterangan No. 127 Tahun 2000/ D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI, dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah. Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Meski terkadang muncul penolakan dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua itu dengan baik.
Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI memprakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20 Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan Syiah. Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung, Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung. Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.
Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam menghadapi serangan-serangan kepada mereka. Gelombang ketiga terasa dengan banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang “berbau” fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokoh-tokoh Syiah.
Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari kalangan terbatas seperti mahasiswa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, “tidak begitu terpelajar.” Kemunculan alumni-alumni Qum juga diimbangi oleh berdirinya yayasan-yayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada 1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 20 .000 orang yang menjalani ajaran Syiah secara total. Turunnya Soeharto dari jabatan Presiden RI pada Mei 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya, komunitas Syiah berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan.
Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia (IJABI). IJABI didirikan di Bandung pada tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat Keterangan No. 127 Tahun 2000/ D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI, dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah. Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Meski terkadang muncul penolakan dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua itu dengan baik.
Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI memprakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20 Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan Syiah. Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung, Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung. Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.
Sumber video : https://www.facebook.com
Baca juga :
Perpecahan Komunitas Syiah di Indonesia
Meski telah memiliki ormas seperti itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada pertengahan 1990-an. Jalaluddin Rakhmat waktu itu mengakui adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga.
Komunitas
Di antara komunitas Indonesia yang mempraktikkan Syi'ah adalah segmen minoritas Hadhrami, orang Indonesia keturunan Arab, yang memiliki "pengikut Syiah yang kecil, tetapi terus meningkat,"
Meski telah memiliki ormas seperti itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada pertengahan 1990-an. Jalaluddin Rakhmat waktu itu mengakui adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga.
Komunitas
Di antara komunitas Indonesia yang mempraktikkan Syi'ah adalah segmen minoritas Hadhrami, orang Indonesia keturunan Arab, yang memiliki "pengikut Syiah yang kecil, tetapi terus meningkat,"
Kelompok lain adalah Syiah di Pariaman dan Bengkulu di Sumatra, dan Sigli di Aceh, yang mengaku keturunan Sepoy India, dan dikenal sebagai orang sipahi atau orang Kling. Orang sipahi secara tradisional mempraktikkan ritual Syiah tabut, meski di Aceh sudah dilarang sejak 1953. Kowal (Kuala) memiliki populasi Syiah yang besar: pada tanggal 2 September 1960, lima belas tahun setelah Indonesia merdeka, pemerintah mendirikan sebuah universitas di Kowal dengan nama Universitas Syiah Kowal (atau dikenal sebagai Universitas Syiah Kuala).
Persekusi
Laporan tahun 2010 kepada Kongres Amerika Serikat oleh Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional mencatat serangan terhadap komunitas Syiah di Indonesia, khususnya di Jawa Timur dan Madura pada tahun 2008. Dalam satu insiden di Madura, penduduk desa mengepung rumah-rumah Syiah dan menuntut mereka menghentikan kegiatan keagamaan, tetapi massa dibubarkan oleh pemimpin dan ulama setempat.
Persekusi
Laporan tahun 2010 kepada Kongres Amerika Serikat oleh Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional mencatat serangan terhadap komunitas Syiah di Indonesia, khususnya di Jawa Timur dan Madura pada tahun 2008. Dalam satu insiden di Madura, penduduk desa mengepung rumah-rumah Syiah dan menuntut mereka menghentikan kegiatan keagamaan, tetapi massa dibubarkan oleh pemimpin dan ulama setempat.
Referensi
• Reza, Imam. "Shia Muslims Around the World". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-22. Diakses tanggal 29 January 2014.
• Frode Jacobsen (13 January 2009). Hadrami Arabs in Present-day Indonesia. Taylor & Francis US. hlm. 19–. ISBN 978-0-415-48092-5. Diakses tanggal 24 October 2012.
• Margaret Kartomi (15 June 2012). Musical Journeys in Sumatra. University of Illinois Press. hlm. 75–. ISBN 978-0-252-03671-2. Diakses tanggal 24 October 2012.
• Leonard Leo. International Religious Freedom (2010): Annual Report to Congress. DIANE Publishing. hlm. 261–. ISBN 978-1-4379-4439-6. Diakses tanggal 24 October 2012.
Sumber : https://profilbaru.com
Pranala luar
• Reza, Imam. "Shia Muslims Around the World". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-22. Diakses tanggal 29 January 2014.
• Frode Jacobsen (13 January 2009). Hadrami Arabs in Present-day Indonesia. Taylor & Francis US. hlm. 19–. ISBN 978-0-415-48092-5. Diakses tanggal 24 October 2012.
• Margaret Kartomi (15 June 2012). Musical Journeys in Sumatra. University of Illinois Press. hlm. 75–. ISBN 978-0-252-03671-2. Diakses tanggal 24 October 2012.
• Leonard Leo. International Religious Freedom (2010): Annual Report to Congress. DIANE Publishing. hlm. 261–. ISBN 978-1-4379-4439-6. Diakses tanggal 24 October 2012.
Sumber : https://profilbaru.com
Pranala luar
Komentar
Posting Komentar