Pendidikan Karakter Dalam Tasawuf Modern Hamka dan Tasawuf Transformatif Kontemporer
Pendidikan Karakter Dalam Tasawuf Modern Hamka dan Tasawuf Transformatif Kontemporer
PENDAHULUAN
Sufistik, sebagai pola hidup pada sebagian masyarakat di kota-kota besar sekarang ini, bahkan mereka mulai tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan pola hidup sufistik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya buku-buku tasawuf, kajian-kajian tasawuf dan maraknya kelompok-kelompok sufistik di berbagai tempat.
Fenomena tersebut di atas, menunjukkan bahwa agama telah dibawa ke wilayah industri dan digitalisasi. Kitab suci masuk ruang internet, diolah ke dalam MP3, pesantren virtual, dan lain-lain. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji mengingat betapa pongahnya masyarakat modern ketika puncak kehidupannya yang rasional, empiris telah membawa mereka ke puncak peradaban. Tulisan ini mencoba menguraikan konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Hamka dalam tasawuf modernnya dan pendekatan tasawuf transformatif kontemporer.
Pendidikan Karakter Dalam Pendekatan Tasawuf Modern Hamka
Pengertian Tasawuf dan Modern :
Hamka menyebutkan tasawuf sebagai “shifa’ul qalbi”, yaitu upaya sesorang untuk membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias dirinya dengan perangai atau karakter terpuji Hamka (1992). Pendefinisian tasawuf tersebut, memiliki kesamaan istilah dalam literatur tasawuf, yaitu tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Titik kesamaan dapat ditinjau dari perbuatannya, yaitu pembersihan karakter dari perangai atau karakter tercela.
Pemikiran tasawuf Hamka di atas, bisa dilihat ketika menafsirkan QS. asy-Syams: 9-10 dalam kitabnya “Tafsir al-Azhar”. Hamka menjelaskan bahwa penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa adalah syirik, mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw., sifat hasud, dengki, benci, dendam, sombong, dan angkuh. Penyakit penyakit tersebut merupakan pintu pembuka berbagai kejahatan besar Hamka (1992).
Hamka dalam pendekatan tasawufnya yang memiliki basis pada koridor syari’at agama (tasawwûf masyru’). Hal ini, dibuktikan bahwa konsep tasawufnya memiliki kerangka agama di bawah pondasi akidah yang bersih dari praktik-praktik kesyirikan, dan amalan amalan lain yang bertenangan dengan syari’at.
Pendidikan karakter dalam pendekatan tasawuf modern, menawarkan trilogi konsep tasawuf, yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli, adalah pembebasan diri dari sifat sifat tercela. Tahalli, adalah tahapan mengisi dan berhias diri dengan sikap-sikap terpuji. Tajalli merupakan penghayatan rasa ke- Allahan atau dalam istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati” Hamka (1992).
Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata “modern”, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kedekatan Hamka dengan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan. Damami (2000), mendudukan kepentingan Hamka dalam mengetengahkan konsep tasawuf modern Hamka, merupakan lawan terhadap istilah “tasawuf tradisional.” Tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan berupa pengamalan takwa, bukan keinginan untuk bersatu dengan Allah. Refleksi tasawuf modern Hamka, berupa nilai kepekaan sosial religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, dan metafisis Hamka (1990b)
Keberadaan tasawuf modern adalah semata mata hendak menegakkan karakter manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang dalam istilah Hamka “i’tidal”, yaitu manusia dalam kehidupan sebagai proses terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari budi pekerti kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin Hamka (1995).
Budi pekerti kejahatan yang dimaksud adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan Hamka (1992) .
Jalan tasawuf modern Hamka adalah upaya manusia merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riadhatun nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang Hamka (1992). Hamka juga menekankan bahwa kehidupan rohani, yaitu keinsyafan, bahwa alam ini bukanlah semata-mata terdiri dari benda. Pendirian keroha- nian tersebut sebagai bentuk pengakuan manusia yang tulus tentang kuasa Ilahi sehingga menumbuhkan semangat yang dinamis dan berapi-api dan menyebabkan timbulnya ikhlas dan jujur pada diri manusia.
Konsep Pendidikan Karakter dalam Tasawuf Modern Hamka
Beberapa konsep pendidikan karakter yang ditawarkan Hamka, diantaranya adalah ikhlas, khauf, zuhud, dan tawakkal.
Konsep Ikhlas
Ikhlas diartikan sebagai sesuatu yang bersih, tidak ada campuran, dan ibarat emas asli Hamka (1992) . Hamka mencontohkan, bahwa pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu dinamakan al-ikhlash. Oleh karenanya, seseorang yang mengerjakan sesuatu perkerjaan semata-mata kerena mengharap puji orang lain, maka keikhlasan amalannya itu karena majikan dan untuk majikan tersebut. Begitu pula, seseorang yang memburu harta dari pagi hingga sore, karena semata-mata memikirkan perut, maka ikhlasnya itu ditujukan kepada perutnya.
Hamka membentangkan lawan ikhlas adalah syirik. Keduanya, antara ikhlas dan syirik ini menurut Hamka tidaklah dapat disatukan, sebagaimana tidak dapat dipertemukannya antara gerak dan diam. Hamka menjelaskan bahwa keikhlasan tidak dapat tegak tanpa adanya shiddiq (sifat benar). Demikian itu dikarenakan kebenaran dalam diri seseorang menjauhkan dirinya dari keadaan hipokrit (munafik). Argumentasi Hamka tersebut, diperkuat dengan keyakinannya bahwa, ikhlas tidak dapat dipisahkan dengan shiddiq (benar).
Konsep Khauf
Hamka diartikan sebagai rasa takut yang timbul karena adanya azab, siksa dan kemurkaan dari Allah. Hamka meletakkan posisi rasa takut yang ada pada diri manusia, hanya kepada Allah sebagaimana dalam al Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 175.
Hamka juga mengakui bahwa rasa takut manusia, terdapat rasa takut yang berkonotasi negatif. Rasa takut negatif tersebut dilahirkan dari sifat Jubn (kemarahan yang telah dingin membeku), yaitu rasa takut karena menyangka, adanya bahaya atau perkara yang tidak diinginkan. Hamka kemudian mencontohkan seseorang yang membayangkan terjadinya sesuatu yang belum pasti terjadi baik perkara besar maupun kecil. Rasa takut yang berkonotasi negatif di atas, menjadi sebab hilangnya rasa kebahagiaan. Hamka menjelaskan bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang mempunyai perasangka dan pengharapan yang baik, cita-cita yang kuat, angan-angan yang teguh, dan tidak memikirkan sesuatu yang belum tentu ter- jadi. Hamka mencontohkan seseorang yang enggan berniaga karena takut rugi, enggan menyewa toko besar takut tidak ter- bayar sewanya, enggan beristri takut tidak terbelanjai nafkahnya.
Beberapa penjelasan di atas, menunjukkan Hamka secara lebih khusus menyoroti sikap takut terhadap sesuatu yang disebut “kematian”. Seseorang takut mati, menurut Hamka disebabkan oleh enam hal; (1) tidak tahu hakikat mati, (2) tidak insaf kemana kita pergi sesudah mati, (3) takut kena siksa, (4) tidak tahu kemana diri sesudah mati, (5) takut sedih akan meninggalkan harta, (6) takut sedih karena meninggalkan anak. Hamka juga memberikan solusi, bahwa rasa takut tersebut harus dilawan dengan pemahaman yang benar terhadap hakikat kematian secara menyeluruh. Artinya, seseorang mesti memiliki ilmu yang benar mengenai proses kematian dan akhir dari perjalanannya Hamka (1984) .
Konsep Zuhud
Hamka menegaskan kondisi zuhud pada seorang hamba itu muncul atas manifestasi dari keimanan. Zuhud yang benar menurutnya adalah tidak perhatian kepada yang lain kecuali kepada Allah. Hamka menggambarkan bahwa orang yang.zuhud bukanlah mereka yang tidak mempunyai apa-apa, akan tetapi memiliki apa saja namun tidak dimiliki oleh apa-apa.
Konsep Zuhud tersebut di atas, Hamka mengutip al-Qur’an surah at-Takaatsur ayat 1-2. Berdasarkan ayat tersebut, bahwa tujuan dari segala yang ada di dunia ini, baik itu kekayaan ataupun kehormatan, merupakan penghubung seseorang yang memilikinya dengan Allah-nya. Sebab, bagaimanapun segala urusan kehidupan orang yang zuhud itu, akan kembali kepadaNya kelak di akhirat.
Kemudian Hamka menjelaskan hakikat kekayaan. Kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang mencukupkan terhadap pemiliknya sebagai nikmat Allah dan tidak akan mengecewakan pemiliknya. Arguementasi Hamka, bahwa kekayaan itu datang dari pemiliknya yaitu Allah, dan akan kembali kepada pemiliknya Hamka (1990a) .
Oleh karenanya, seorang pelaku zuhud (zahid) bukannya menolak harta benda dan kekayaan serta isi dunia yang dapat menjadikan ia memudahkan melakukan amal perbuatan, sebagaimana ungkapannya bahwa orang yang zahid, adalah orang yang tidak dipengaruhi harta, walaupun seluas isi dunia ini dia yang punya.
Konsep Tawakkal
Hamka mengartikan tawakkal dengan arti penyerahan keputusan setiap sesuatu perkara atau urusan hidup manusia, berupa ikhtiar dan usahanya hanya kepada Allah pemilik sekalian alam Hamka (1990a) .
Makna tawakkal yanhg dimaksudkan adalahsebagaimana kisah perjalanan Hijrahnya Rasulullah bersama Abu Bakar atas perintah Allah ke negeri Madinah. Di dalam perjalanannya
Rasulullah berusaha sekuat tenaga dan dengan daya serta cara untuk lepas dari kejaran orang-orang kafir hingga ke bukit Tsur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia setinggi derajatnya seperti Rasulullah saja masih membutuhkan ikhtiar dan usaha.
Melalui pelajaran dari shirah nabawi tersebut di atas, Hamka menegaskan bahwa manusia tidak boleh langsung lari kepada takdir kalau ikhtiar belum sempurna, melainkan dengan izin Allah. Prinsip tawakkal yang dibangun Hamka, bukanlah tawakkal yang fatalistik. Dalam hal ini, Hamka tidak mengenyampingkan peran ikhtiar, tetapi ia juga menekankan bahwa ikhtiar juga bukan segala-galanya. Tanpa seizin Allah, tidak ada ikhtiar yang sanggup mencapai kesuksesan. Artinya, Hamka membangun pengertian tawakkal melalui prinsip ketauhidan yang sempurna.
Tasawuf Transformatif Kontemporer
Penamaan tasawuf transformatif kontemporer pada dasarnya berakar dan berada pada barisan Neo-sufisme pertama diusung Fazlur Rahman, yang memiliki arti sufism baru. Kebalikan dari sufism terdahulu, yang mengedepankan individualistik dan ukhrawi yang bersifat eksatis-metafisis dan kandungan mistiko-filosofis. Sedangkan tasawuf modern, yang diusung Hamka adalah penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (‘uzlah). Neosufism menekankan perlunya keter- libatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada sufisme terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi dan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan Madjid (1995).
Fenomena di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf transformatif kontemporer menunjukkan semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama. Tasawuf transformatif kontemporer mengalihkan model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu adalah masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi informasi. Melihat coraknya, tasawuf transformatif kontemporer mengarah kepada tumbuhnya tasawuf akhlaqi dengan mengedepankan sikap kesederhanaan, kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Allah melalui beberapa tahap pensucian diri (tazkiyat al-Nafs), yaitu: penyucian hati, konsentrasi dalam berdzikir, dan fana‘ fillah atau mukasyafah Simuh (1997) . Tasawuf transformatif kontemporer masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru yangsesuai pada selera zamannya. Tasawuf transformatif kontemporer lebih cenderung menggabarkan bentuk aktual corak beragama masyarakat kota. Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf transformatif kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik), diantaranya: kedekatan (qurb) dengan Allah, kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari (muroqobah), dan menjadi al-Insan al-Kamil.
KESIMPULAN
Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor syari’at agama. Hamka menawarkan trilogi konsep tasawuf, yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli, adalah pembebasan diri dari sifat-sifat tercela. Tahalli, adalah tahapan mengisi dan berhias diri dengan sikap- sikap terpuji. Tajalli merupakan penghayatan rasa ke-Allahan atau dalam istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati.
Perbedaan konsep tasawuf modern Hamka dengan tasawuf tradisional adalah tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan takwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Allah, dan refleksi tasawufnya berupa nilai kepekaan sosial-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya. Beberapa konsep pendidikan karakter yang ditawarkan Hamka, diantaranya: ikhlas, khauf, zuhud, dan tawakkal.
Tasawuf transformatif kontemporer merupakan bentuk aktual corak beragama masyarakat kota yang memiliki seman- gat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama. Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf transformatif kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik), diantaranya: kedekatan (qurb) dengan Allah, kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari (muroqobah), dan menjadi al Insan al-Kamil.
Coraknya tasawuf transformatif kontemporer mengarah kepada tumbuhnya tasawuf akhlaqi, yang lebih mengedepankan sikap kesahajaan dan ibadah untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Allah, yang dilalui dari tahap pensucian diri (tazkiyat al-Nafs), melalui penyucian hati, konsentrasi dalam berdzikir, dan fana‘ fillah.
Sumber : https://online.fliphtml5.
Komentar
Posting Komentar