Istri Bingung Harus Menaati Suami atau Orang Tua, Bagaimana Tuntunan Syariat?

Perbedaan taat dan bakti : 

Perbedaan utama antara taat dan bakti adalah taat lebih berfokus pada kepatuhan terhadap aturan, perintah, atau norma, sementara bakti adalah bentuk kepatuhan yang lebih mendalam, mencakup ketaatan, perbuatan baik, dan pengabdian, terutama kepada orang tua. Dengan kata lain, ketaatan adalah tindakan mematuhi, sedangkan bakti mencakup ketaatan dan tindakan aktif seperti berbuat baik dan mengabdi.  

Makna Bakti kepada Orang Tua 

Bakti kepada orang tua, atau sering disebut “berbakti kepada ibu dan bapak,” adalah bentuk penghargaan, rasa hormat, dan kasih sayang yang diwujudkan oleh anak-anak kepada kedua orang tuanya. Orang tua adalah sosok yang paling berjasa dalam kehidupan anak. Mereka tidak hanya melahirkan, membesarkan, dan mendidik, tetapi juga memberikan kasih sayang tanpa syarat. Hal ini juga ada dalam al qur’an yaitu dalam surat An Nisa : 36   

 وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا 

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” 

Dalam Islam, bakti kepada orang tua disebut sebagai birrul walidain, yang merupakan perintah dan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Quran, Allah SWT memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua setelah perintah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Isra’ ayat 23: 

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” 

Surat Luqman ayat 14: 

(14) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ 

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu."

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya bakti kepada orang tua dalam kehidupan manusia. Banyak hal bisa dilakukan oleh seorang anak sebagai perwujudan bakti kepada orang tua, diantaranya: 

Menghormati dan Menjaga Perasaan Orang tua

Sikap hormat dan menjaga perasaan orang tua adalah salah satu bentuk bakti yang paling sederhana namun bermakna. Ini bisa dilakukan dengan berbicara kepada mereka dengan lembut, mendengarkan nasihat mereka, dan tidak membantah perkataan mereka dengan nada yang kasar. 

Mendoakan Kebaikan untuk Orang Tua

Salah satu bentuk bakti yang sering dilupakan adalah mendoakan kebaikan bagi kedua orang tua, terutama setelah mereka tiada. Doa anak yang saleh dianggap sebagai amalan yang akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua meskipun mereka sudah meninggal. 

Merawat dan Memenuhi Kebutuhan Mereka

Seiring bertambahnya usia, orang tua mungkin memerlukan perhatian dan perawatan lebih. Merawat mereka ketika sakit, memenuhi kebutuhan finansial, serta memastikan mereka hidup dengan nyaman adalah bagian dari bakti yang sangat dihargai. 

Memohon Restu dan Menghargai Keputusan Mereka

Meminta restu orang tua sebelum mengambil keputusan besar dalam hidup, seperti menikah atau memilih karier, merupakan bentuk penghargaan atas peran mereka dalam kehidupan kita. Dengan memohon restu, kita menunjukkan rasa hormat kepada orang tua dan menghargai nasihat serta pengalaman hidup mereka. 

Mengunjungi dan Meluangkan Waktu untuk Mereka

Di tengah kesibukan, anak sering kali lupa meluangkan waktu untuk mengunjungi orang tua. Menghabiskan waktu bersama mereka, terutama ketika mereka sudah lanjut usia, adalah bentuk kasih sayang dan perhatian yang sangat berarti bagi mereka. 

Manfaat Berbakti kepada Orang Tua 

Bakti kepada orang tua, atau birrul walidain, memiliki dampak yang luas, tidak hanya bagi orang tua yang merasakan manfaatnya, tetapi juga bagi anak yang melakukannya. Dalam Islam, berbakti kepada orang tua adalah kunci untuk memperoleh berbagai kebaikan dalam hidup, seperti berkah yang melimpah, rezeki yang lancar, dan umur yang panjang. Kebaikan ini muncul karena keberkahan dari doa dan ridha orang tua yang selalu mengiringi langkah hidup anak. 

Di samping berkah materi dan kesehatan, berbakti kepada orang tua juga memperkuat hubungan keluarga. Ketika hubungan dengan orang tua harmonis, suasana dalam keluarga pun menjadi lebih tenang dan damai. Ketenangan batin ini penting untuk menciptakan suasana positif yang mendukung perkembangan kepribadian seorang anak. 

Berbakti kepada orang tua juga mengajarkan nilai-nilai luhur, seperti sikap rendah hati dan empati. Seorang anak yang terbiasa berbakti akan lebih mudah memahami perasaan orang lain dan cenderung bersikap penuh kasih sayang. Hal ini menjadikan mereka lebih bertanggung jawab dalam kehidupan sosial dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Pribadi yang penuh tanggung jawab dan kasih sayang merupakan ciri-ciri individu yang matang dan beretika, sehingga dapat diterima dengan baik dalam lingkungan masyarakat. 

Dengan kata lain, birrul walidain tidak hanya menjadi amal yang membawa kebaikan di dunia, tetapi juga menjadi bekal kebaikan di akhirat. Sebagaimana janji Allah SWT, ridha-Nya tergantung pada ridha orang tua, dan amal kebaikan kepada mereka dapat menghapuskan dosa-dosa serta mengangkat derajat seorang anak di sisi-Nya.

Istri Bingung Harus Menaati Suami atau Orang Tua, Bagaimana Tuntunan Syariat? 

Sesungguhnya pernikahan bukanlah  sekadar menyatukan dua anak manusia dalam sebuah ikatan atau perjanjian yang kuat (mitsaqon gholizhon). Menikah berarti menyatukan dua keluarga besar dengan berbagai latar belakang yang bisa jadi berbeda, bahkan tidak jarang saling berseberangan. Hanya dengan ikatan akidah Islam dan bekal pemahaman hukum-hukum syarak, hubungan dua keluarga besar ini akan terjalin baik, menjadi relasi yang harmonis, dan saling mendukung. 

Dengan pernikahan, akan terjalin silaturahmi yang makin luas antara keluarga kedua mempelai. Pengaruh hubungan ini akan sampai ke akhirat kelak ketika hamba dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Taala. Firman Allah Swt., “Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”  (QS An-Nisa: 1). 

Dalam perjalanannya, terkadang muncul dilema ketika seorang istri dihadapkan pada kondisi tertentu. Ia dituntut mengikuti perintah suaminya. Namun pada saat yang sama, ia pun dituntut menuruti keinginan orang tuanya. Jika tidak pandai menyikapinya, dapat berimbas pada keretakan rumah tangga. Oleh karena itu, seorang istri dituntut memahami aturan-aturan Allah tentang hal ini. 

Tuntunan Islam dalam Menjalankan Ketaatan 

Bermuamalah dengan sesama manusia, baik dengan orangtua, suami atau istri, bahkan dengan pemimpin negara, menuntut seseorang taat kepada mereka. Ada dua kaidah yang harus diperhatikan. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya paling besar dari cinta kepada yang lainnya. Kedua, sesungguhnya ketaatan hanya dalam perkara yang makruf. 

Betapa pun kita hormat, patuh, atau cinta kepada seseorang, tidak boleh melebihi cinta dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih besar dari yang lain. Ini adalah konsekuensi keimanan. Dalam hadis dari Anas bin Malik ra., Nabi saw. bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku (Rasulullah) menjadi yang paling dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari). 

Tiga jenis orang yang jika termasuk di dalamnya maka seseorang akan merasakan lezatnya iman, yakni orang yang mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya, kecuali karena Allah, orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai daripada selain keduanya, dan orang yang dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada ia kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran.” (HR Bukhari Muslim). 

Mana yang Harus Didahulukan, Taat kepada Suami atau Orang Tua? 

Allah Swt. dan Rasul-Nya telah menetapkan bahwa setelah menikah, seorang anak perempuan memasuki babak baru. Ia bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, terutama ayahnya, tetapi telah menjadi tanggung jawab suaminya. Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS An-Nisa: 34). 

Oleh karena itu, ketika perempuan telah menikah, maka ia harus mendahulukan ketaatannya kepada suami dibandingkan  kepada orang tua. Walau demikian, bukan berarti ia tidak menghormati orang tuanya. Ia pun tidak boleh memutus silaturahmi. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan ditashih oleh Al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri?” Rasulullah menjawab, “Hak suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, “Sedangkan bagi suami, hak siapakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Hak  ibunya.” 

At-Tirmidzi dari Ummu Salamah ra. juga berkata, “Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasannya sesuai hukum Allah Swt., dalam perkara ini istri wajib mendengarkan perintah suaminya. Jika seandainya ayah si istri melarang si istri tersebut menuruti perintah suami pindah ke tempat lain, maka si istri juga tetap wajib menaati suaminya, bukan kedua orang tuanya karena kedua orang tuanya telah berbuat zalim.” 

Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahmi kepada orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dengan keluarga bisa lewat telepon atau menggunakan transportasi yang lebih cepat sehingga jarak yang jauh tidak menghalangi silaturahmi.  

Ketaatan kepada Suami Tidak Menghalangi Kewajiban Berbuat Baik kepada Orang Tua 

Di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan utuh tanpa ada intervensi pihak luar, termasuk kedua orang tua, baik dari pihak istri maupun suami. Apabila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat dan mengganggu hubungan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah Swt. berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS Al-Furqan: 54). 

Sebaliknya, meskipun telah dewasa dan berkeluarga, seorang anak tetap wajib menyambung silaturahmi kepada orang tua. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ibuku pernah datang kepadaku dalam keadaan musyrik di masa ketika beliau mengadakan perjanjian (damai) dengan mereka, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku karena berharap (bertemu) denganku. Bolehkah aku sambung (hubungan) dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Ya. Sambunglah (hubungan) dengan ibumu.” (HR Muslim). 

Demikianlah Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita cara seorang anak bersikap terhadap kedua orang tuanya. Ibu adalah orang yang melahirkan, mengasuh, dan mendidik kita. Sedangkan ayah adalah orang yang mendidik dan menafkahi kita dengan segenap pengorbanannya. Sudah seharusnya kita menghormati, taat, dan memperlakukan mereka dengan baik. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika seorang suami tidak pernah menghalangi istrinya menjalin silaturahmi dengan keluarganya. 

Sementara itu, Islam tidak melarang istri taat kepada orang tuanya secara keseluruhan. Apabila orang tua memerintahkannya dalam perkara ketaatan kepada Allah Swt., misalnya perintah menjaga salat, menunaikan amanah, dan berhemat, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. 

Ketaatan kepada Suami Tidak Bersifat Mutlak 

Dalam hal ketaatan kepada manusia, siapa pun itu (selain Rasulullah) tidak bersifat mutlak dalam segala perkara dan setiap keadaan. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika sudah menikah, maka suami adalah pemimpin rumah tangga dan keluarga kita. Sudah seharusnya suami istri saling memahami peran masing-masing di dalam rumah tangga. Istri berkewajiban taat kepada suami selama bukan ketaatan dalam hal yang dilarang Allah Taala. Oleh sebab itu, ketaatan terhadap suami bukanlah sesuatu yang mutlak. Tidak boleh menaati suami dalam hal kemaksiatan. Tidak ada alasan ketaatan untuk kemaksiatan. 

إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ 

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khalik.” 

Walaupun keluarga dalam masalah, seperti impitan ekonomi atau persoalan kehidupan lainnya, seorang istri tetap tidak dibenarkan menuruti perintah suaminya untuk melanggar perintah-perintah Allah. Ketaatan kepada orang lain hanya dalam perkara yang makruf. Dari Ali bin Abi Thalib ra., Rasulullah saw. bersabda, 

ا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ 

“Tidak ada kewajiban taat jika diperintahkan untuk durhaka kepada Allah. Kewajiban taat hanya ada dalam kebajikan.” (HR Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840). 

Perkara yang makruf didefinisikan oleh Syekh As-Sa’di, “Al-ma’ruf artinya perbuatan kebaikan, perbuatan ketaatan, dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat.” (Tafsir As-Sa’di, 1/194-196). 

Dalam hadis yang lain dijelaskan, adanya larangan bagi suami mencegah istrinya mendatangi masjid atau majelis-majelis ilmu, tentu saja jika ia telah menunaikan seluruh kewajibannya. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian (para suami) melarang para perempuan bagiannya (istri-istrinya) ke masjid kalau mereka meminta izin kepadamu.” (HR Muslim). 

Khatimah 

Demikianlah, Islam telah mengatur dengan sempurna sikap seorang muslimah yang seharusnya. Bagi seorang perempuan yang belum menikah, maka orang tua lebih berhak ditaati. Namun, ketika ia telah menikah, maka taat kepada suami merupakan kewajiban yang lebih utama, melebihi kepada orang tuanya. Ketaatan yang dimaksud di sini tentu saja bukan hal yang berhubungan dengan perkara maksiat. 

Apabila ketaatan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang istri wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya. Imam Ahmad berkata tentang perempuan yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit, “Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya.” 

Ketaatan seorang istri harus dipahami sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah Taala. Ini karena ketaatan kepada suami tidak hanya akan memengaruhi kelanggengan dan keharmonisan hubungan keluarga, tetapi juga akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan akhirat. Islam pun memuji istri yang taat kepada suaminya 

sebagai perempuan terbaik.  Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya istri adalah jika kamu memandangnya kamu akan terhibur. Jika kamu menyuruhnya ia akan patuh. Jika kamu bersumpah agar ia melakukan sesuatu, ia akan memenuhinya dengan baik, dan jika kamu bepergian ia akan menjaga diri dan harta bendamu.” (HR Nasa’i). Wallahualam bissawab. 

Sumber : 

Komentar

Kajian Populer

Seputar amalan bid'ah yang di mabukkan oleh Ust. Abdul Somad

Inikah penyebab dendam tak berkesudahan NU pada Wahabi...?

Kedustaan Terhadap Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Rahimahullah