Istri Bingung Harus Menaati Suami atau Orang Tua, Bagaimana Tuntunan Syariat?
Perbedaan taat dan bakti :
Istri Bingung Harus Menaati Suami atau Orang Tua, Bagaimana Tuntunan Syariat?
Sesungguhnya pernikahan bukanlah sekadar menyatukan dua anak manusia dalam sebuah ikatan atau perjanjian yang kuat (mitsaqon gholizhon). Menikah berarti menyatukan dua keluarga besar dengan berbagai latar belakang yang bisa jadi berbeda, bahkan tidak jarang saling berseberangan. Hanya dengan ikatan akidah Islam dan bekal pemahaman hukum-hukum syarak, hubungan dua keluarga besar ini akan terjalin baik, menjadi relasi yang harmonis, dan saling mendukung.
Dengan pernikahan, akan terjalin silaturahmi yang makin luas antara keluarga kedua mempelai. Pengaruh hubungan ini akan sampai ke akhirat kelak ketika hamba dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Taala. Firman Allah Swt., “Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa: 1).
Dalam perjalanannya, terkadang muncul dilema ketika seorang istri dihadapkan pada kondisi tertentu. Ia dituntut mengikuti perintah suaminya. Namun pada saat yang sama, ia pun dituntut menuruti keinginan orang tuanya. Jika tidak pandai menyikapinya, dapat berimbas pada keretakan rumah tangga. Oleh karena itu, seorang istri dituntut memahami aturan-aturan Allah tentang hal ini.
Tuntunan Islam dalam Menjalankan Ketaatan
Bermuamalah dengan sesama manusia, baik dengan orangtua, suami atau istri, bahkan dengan pemimpin negara, menuntut seseorang taat kepada mereka. Ada dua kaidah yang harus diperhatikan. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya paling besar dari cinta kepada yang lainnya. Kedua, sesungguhnya ketaatan hanya dalam perkara yang makruf.
Betapa pun kita hormat, patuh, atau cinta kepada seseorang, tidak boleh melebihi cinta dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih besar dari yang lain. Ini adalah konsekuensi keimanan. Dalam hadis dari Anas bin Malik ra., Nabi saw. bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku (Rasulullah) menjadi yang paling dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari).
“Tiga jenis orang yang jika termasuk di dalamnya maka seseorang akan merasakan lezatnya iman, yakni orang yang mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya, kecuali karena Allah, orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai daripada selain keduanya, dan orang yang dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada ia kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran.” (HR Bukhari Muslim).
Mana yang Harus Didahulukan, Taat kepada Suami atau Orang Tua?
Allah Swt. dan Rasul-Nya telah menetapkan bahwa setelah menikah, seorang anak perempuan memasuki babak baru. Ia bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, terutama ayahnya, tetapi telah menjadi tanggung jawab suaminya. Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS An-Nisa: 34).
Oleh karena itu, ketika perempuan telah menikah, maka ia harus mendahulukan ketaatannya kepada suami dibandingkan kepada orang tua. Walau demikian, bukan berarti ia tidak menghormati orang tuanya. Ia pun tidak boleh memutus silaturahmi. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan ditashih oleh Al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri?” Rasulullah menjawab, “Hak suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, “Sedangkan bagi suami, hak siapakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Hak ibunya.”
At-Tirmidzi dari Ummu Salamah ra. juga berkata, “Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasannya sesuai hukum Allah Swt., dalam perkara ini istri wajib mendengarkan perintah suaminya. Jika seandainya ayah si istri melarang si istri tersebut menuruti perintah suami pindah ke tempat lain, maka si istri juga tetap wajib menaati suaminya, bukan kedua orang tuanya karena kedua orang tuanya telah berbuat zalim.”
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahmi kepada orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dengan keluarga bisa lewat telepon atau menggunakan transportasi yang lebih cepat sehingga jarak yang jauh tidak menghalangi silaturahmi.
Ketaatan kepada Suami Tidak Menghalangi Kewajiban Berbuat Baik kepada Orang Tua
Di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan utuh tanpa ada intervensi pihak luar, termasuk kedua orang tua, baik dari pihak istri maupun suami. Apabila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat dan mengganggu hubungan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah Swt. berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS Al-Furqan: 54).
Sebaliknya, meskipun telah dewasa dan berkeluarga, seorang anak tetap wajib menyambung silaturahmi kepada orang tua. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ibuku pernah datang kepadaku dalam keadaan musyrik di masa ketika beliau mengadakan perjanjian (damai) dengan mereka, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku karena berharap (bertemu) denganku. Bolehkah aku sambung (hubungan) dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Ya. Sambunglah (hubungan) dengan ibumu.” (HR Muslim).
Demikianlah Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita cara seorang anak bersikap terhadap kedua orang tuanya. Ibu adalah orang yang melahirkan, mengasuh, dan mendidik kita. Sedangkan ayah adalah orang yang mendidik dan menafkahi kita dengan segenap pengorbanannya. Sudah seharusnya kita menghormati, taat, dan memperlakukan mereka dengan baik. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika seorang suami tidak pernah menghalangi istrinya menjalin silaturahmi dengan keluarganya.
Sementara itu, Islam tidak melarang istri taat kepada orang tuanya secara keseluruhan. Apabila orang tua memerintahkannya dalam perkara ketaatan kepada Allah Swt., misalnya perintah menjaga salat, menunaikan amanah, dan berhemat, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut.
Ketaatan kepada Suami Tidak Bersifat Mutlak
Dalam hal ketaatan kepada manusia, siapa pun itu (selain Rasulullah) tidak bersifat mutlak dalam segala perkara dan setiap keadaan. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika sudah menikah, maka suami adalah pemimpin rumah tangga dan keluarga kita. Sudah seharusnya suami istri saling memahami peran masing-masing di dalam rumah tangga. Istri berkewajiban taat kepada suami selama bukan ketaatan dalam hal yang dilarang Allah Taala. Oleh sebab itu, ketaatan terhadap suami bukanlah sesuatu yang mutlak. Tidak boleh menaati suami dalam hal kemaksiatan. Tidak ada alasan ketaatan untuk kemaksiatan.
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khalik.”
Walaupun keluarga dalam masalah, seperti impitan ekonomi atau persoalan kehidupan lainnya, seorang istri tetap tidak dibenarkan menuruti perintah suaminya untuk melanggar perintah-perintah Allah. Ketaatan kepada orang lain hanya dalam perkara yang makruf. Dari Ali bin Abi Thalib ra., Rasulullah saw. bersabda,
ا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban taat jika diperintahkan untuk durhaka kepada Allah. Kewajiban taat hanya ada dalam kebajikan.” (HR Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840).
Perkara yang makruf didefinisikan oleh Syekh As-Sa’di, “Al-ma’ruf artinya perbuatan kebaikan, perbuatan ketaatan, dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat.” (Tafsir As-Sa’di, 1/194-196).
Dalam hadis yang lain dijelaskan, adanya larangan bagi suami mencegah istrinya mendatangi masjid atau majelis-majelis ilmu, tentu saja jika ia telah menunaikan seluruh kewajibannya. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian (para suami) melarang para perempuan bagiannya (istri-istrinya) ke masjid kalau mereka meminta izin kepadamu.” (HR Muslim).
Khatimah
Demikianlah, Islam telah mengatur dengan sempurna sikap seorang muslimah yang seharusnya. Bagi seorang perempuan yang belum menikah, maka orang tua lebih berhak ditaati. Namun, ketika ia telah menikah, maka taat kepada suami merupakan kewajiban yang lebih utama, melebihi kepada orang tuanya. Ketaatan yang dimaksud di sini tentu saja bukan hal yang berhubungan dengan perkara maksiat.
Apabila ketaatan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang istri wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya. Imam Ahmad berkata tentang perempuan yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit, “Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya.”
Ketaatan seorang istri harus dipahami sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah Taala. Ini karena ketaatan kepada suami tidak hanya akan memengaruhi kelanggengan dan keharmonisan hubungan keluarga, tetapi juga akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan akhirat. Islam pun memuji istri yang taat kepada suaminya
sebagai perempuan terbaik. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya istri adalah jika kamu memandangnya kamu akan terhibur. Jika kamu menyuruhnya ia akan patuh. Jika kamu bersumpah agar ia melakukan sesuatu, ia akan memenuhinya dengan baik, dan jika kamu bepergian ia akan menjaga diri dan harta bendamu.” (HR Nasa’i). Wallahualam bissawab.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar