Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

"Suatu ketika, Nurcholis Madjid pernah melontarkan gagasan untuk memaknai kalimat Laa ilaha illallah dengan ‘tidak ada tuhan selain Tuhan’. Sontak ide itu membuat geger muslimin Indonesia. Betapa tidak. Dengan idenya itu, dia telah memasukkan orang-orang kafir yang percaya dengan keberadaan Tuhan sebagai seorang muslim. Ini hanya satu contoh dari berbagai gagasan kontroversial para pemuja akal di Indonesia. Mereka tak lebih dari para pengekor ajaran Mu’tazilah, yang sudah muncul di masa al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah"
 

Baca juga : Kedudukan Akal Dalam Islam (Klik Disini)

Sejarah Munculnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriah, antara tahun 105—110 H, tepatnya di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah, mantan murid al-Hasan al-Bashri rahimahullah yang bernama Washil bin Atha’ al-Makhzumi al-Ghazzal. Ia lahir di kota Madinah pada 80 H d9an mati pada 131 H. Dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari takdir dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam an-Nubala, karya adz-Dzahabi, 5/464—465, dan al-Milal wan-Nihal, karya asy-Syihristani hlm. 46—48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Sampai akhirnya para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar pada masa Khalifah al-Makmun. Sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, –pen.). (al-Milal wan-Nihal, hlm. 29)

Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila kaidah nomor satu mereka berbunyi, “Akal lebih didahulukan daripada syariat (al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, –pen.) dan akallah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Apabila syariat bertentangan dengan akal—menurut persangkaan mereka—, sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.” (Lihat kata pengantar kitab al-Intishar fir Raddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyah al-Asyrar, 1/65

Mengapa Disebut Mu’tazilah?

Mu’tazilah, secara etimologis bermakna orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok al-Hasan al-Bashri rahimahullah, salah seorang imam di kalangan tabi’in.

Asy-Syihristani rahimahullah bertutur, (suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada al-Hasan al-Bashri rahimahullah seraya berkata,

“Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Mereka adalah kaum Khawarij.

Adapun kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam mazhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”

Al-Hasan al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh, “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir. Ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.”

Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid al-Hasan al-Bashri lainnya. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah lantas berkata,

        اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلُ

“Washil telah memisahkan diri dari kita.” Disebutlah dia dan para pengikutnya dengan Mu’tazilah. (al-Milal wan-Nihal hlm. 47—48 )

Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh al-Hasan al-Bashri dengan jawaban Ahlus Sunnah wal Jamaah, “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin. Karena dosa besarnya, ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq adh-Dhallah, karya asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 42)

Asas dan Landasan Mu’tazilah

Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnyalah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan al-Ushulul Khamsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut.

Baca selanjutnya, ( KLIK DISINI )

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?