Bolehkan Berwasiat Untuk Ahli Waris?


Wasiat dalam istilah ilmu fiqih adalah pemberian harta berupa benda atau manfaatnya, bersifat sukarela (tabarru’), akadnya dilakukan selagi masih hidup, dan penerimaannya dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Kalau dalam bahasa Arabnya kira-kira seperti ini:

تَمْلِيكٌ مُضَافٌ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ بِطَرِيقِ التَّبَرُّعِ ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الأَعْيَانِ أَوْ فِي الْمَنَافِعِ[1

Definisi wasiat seperti di atas, nampaknya agak berbeda dengan pengertian wasiat dalam bahasa Indonesia. Kata wasiat yang sering digunakan orang Indonesia pada umumnya, mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan harta benda, melainkan semua yang berkaitan dengan pesan seseorang sebelum meninggal. Contohnya, pak Qosim berpesan kepada anaknya, “Nak, kalau bapak meninggal tolong kuburannya jangan ditembok ya.”

Secara bahasa, apa yang dikatakan Pak Qosim kepada anaknya itu bisa disebut sebagai wasiat. Tapi itu tidak termasuk dalam pengertian wasiat yang dibahas dalam ilmu fiqih, karena wasiat dalam istilah ilmu fiqih hanya berkaitan dengan penyerahan harta benda atau manfaatnya.

Contoh, Pak Ucup punya anak namanya Jajang, kemudian Pak Ucup berkata kepada Jajang, “Nak, kalau bapak mati, nanti rumah ini buat kamu ya.”

Rumah yang disebutkan Pak Ucup itu adalah harta wasiat yang diberikan untuk jajang dan akan menjadi miliknya setelah Pak Ucup meninggal. Selama Pak Ucup masih hidup, Jajang belum punya hak atas rumah tersebut.

Ilustrasi di atas hanya sekedar contoh, sebagai gambaran dasar tentang apa itu wasiat. Karena ada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berwasiat. Misalnya berapa jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan, kepada siapa saja wasiat itu boleh diberikan, bagaimana cara melakukan akad wasiat yang benar, dan lain-lain.

Tapi untuk membahas semua itu tentu saja tidak cukup ditulis dalam satu atau dua artikel saja, oleh karena itu kita tidak akan bahas semuanya disini.

Perbedaan Wasiat dan Waris

Sebagian kita mungkin masih bingung membedakan antara wasiat dan waris, karena dua-duanya memang punya persamaan, yaitu harta wasiat dan harta waris sama-sama boleh dimiliki jika pewasiat dan pewarisnya telah meninggal dunia.

Namun ada bebererapa hal mendasar yang membedakan antara wasiat dan waris, di antaranya:

1. Sukarela dan Ketetapan

Wasiat bersifat sukarela, artinya seseorang boleh berwasiat boleh tidak. Karena wasiat itu mirip dengan shadaqah yang mana keduanya bergantung pada kerelaan seseorang. Sedangkan waris mau tidak mau harus terjadi ketika seseorang meniggal dunia, artinya perpindahan harta dari tangan pewaris ke tangan ahli waris tidak tergantung pada kerelaan sang pewaris, tapi bersifat ketetapan yang memang harus dilaksanakan sesuai aturannya. Dengan kata lain, ketika seseorang meninggal dunia, hartanya akan otomatis menjadi hak milik ahli warisnya tanpa menunggu persetujuan dari siapapun, karena ketentuan waris, Allah sendiri yang menetapkan langsung dalam al-quran.

2. Akad dan Non akad

Ketika seseorang berwasiat ada akad yang terjadi antara dia sebagai pewasiat dan orang lain sebagai penerima wasiat. Karena akad wasiat itu dilakukan ketika pewasiat masih hidup. Tapi lain halnya dengan waris, tidak ada akad yang terjadi antara pewaris dengan ahli waris. Karena ketika pewaris meninggal dunia, hartanya akan pindah kepada ahli waris secara otomatis sesuai ketentuan pembagian yang ditetapkan dalam al-quran.

3. Berbeda dari sisi jumlah

dari sisi jumlah, wasiat boleh diberikan dengan ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Sedangkan waris, ketentuannya bervariasi tergantung siapa ahli warisnya, ada yang mendapat setengah, seperempat, sepertiga, dan lain-lain sebagaimana termaktub dalam al-quran surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176.

4. Berbeda dari sisi penerima

Penerima harta waris hanyalah dia yang ditetapkan bagiannya oleh syariat, tidak semua orang bisa menerima harta waris dari orang yang meninggal. Sebalikanya, wasiat justru tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya itu. Wasiat hanya boleh diberikan kepada orang yang tidak mendapatkan bagian waris.

Poin keempat di atas, adalah fokus kita kali ini. Yaitu apa hukumnya berwasiat kepada ahli waris menurut para ulama?

Hukum Berwasiat Kepada Ahli Waris

Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua kelompok:

1. Tidak boleh kecuali dengan izin dari ahli waris yang lain

Yang berpendapat demikian di antaranya ulama madzhab Hanafiyyah[2], sebagian Malikiyyah[3], sebagian Syafi’iyyah[4] dan sebagian Hanabilah[5]. Menurut pendapat pertama ini, jika seseorang berwasiat kepada seorang ahli warisnya, lalu kemudian ahli warisnya yang lain menyetujui maka wasiatnya boleh dan sah. Namun jika tidak disetujui oleh ahli waris yang lain maka wasiatnya tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan.

Pendapat pertama ini, berdasarkan kepada beberapa dalil, antara lain:

1. Surat Al-Nisa ayat 11:

مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ

“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”

ayat di atas secara dzhahir (tekstual) menunjukkaan kebolehan wasiat secara mutlak tanpa dibatasi siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh menerima wasiat.[6]

2. Hadits riwayat dari Ibnu Abbas:

لا تجوز لوارث وصية إلا أن يجيزه الورثة

“Tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, kecuali jika disetujui oleh ahli waris yang lain”

menutup kemungkinan setelah kita meninggal mereka berubah pikiran yang awalnya menyetujui akhrinya karena alasan tertentu tidak mengizinkan wasiat itu diberikan. Maka hasilnya akan sama saja, wasiat kita jadi percuma.

Padahal bisa jadi ada keluarga kita yang lain yang tidak mendapat jatah waris sedangkan dia sangat membutuhkan. Contohnya cucu yang orangtuanya sudah tiada sedangkan paman-pamannya masih hidup, maka ketika kita meninggal cucu tersebut tidak akan mendapatkan apa-apa karena terhalang oleh paman-pamannya.

Padahal cucu tersebut lebih membutuhkan karena orang tuanya sudah meninggal dan tidak ada yang memberi nafkah untuknya. Dan karena cucu tersebut tidak akan mendapatkan jatah dari waris, maka jalan satu-satunya adalah dengan jalan wasiat.

Di Mesir, bahkan wasiat dalam kasus seperti ini diwajibkan dan diatur dalam undang-undang sehingga dikenal dengan istilah al-washiyyah al-wajibah (wasiat wajib). Walaupun undang-undang tersebut banyak dikritik karena dianggap bertentangan dengan teks-teks al-quran dan as-sunnah karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkan wasiat tersebut.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Artikel ditulis oleh : Muhammad Abdul Wahab, Lc

Sumber : https://rumahfiqih.com

Footnote :

[1] Mughni al-Muhtaj, 38-39/3, Kasysyaf al-Qina’ 336/4

[2] Al-Kasani, Bada’i Al-Shana’i 380/7, Ibnu al-Humam, Fath Al-Qadir 382/9, Al-Marginani, Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi 233/4

[3] Al-Dasuqi, Hasyiah Al-Dasuqi 427-428/4, Al-Namari Al-Qurthubi, Al-Kafi Fi Fiqh Ahl Al- Madinah 219,221/2

[4] Al-Syairazi, Al-Muhadzdzab 71,712/3, Al-Nawawi, Raudhah Al-Thalibin 108-109/6, Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj 44/3

[5] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Syarh Al-Kabir 522-523/3, Al-Buhuthi, Kasysyaf Al-Qina’ 339-340/4

[6] Al-Jashshash, Ahkam Al-Quran 56/2

[7] Al-Maidani, al-Lubab 168/4, Rajab, Al-Washiyah Wa al-Waqfu 99

[8][8] Al-Dasuqi, Hasyiah Al-Dasuqi 427-428/4

[9] Al-Syairazi, Al-Muhadzdzab 712-713/3, Al-Nawawi, Raudhah Al-Thalibin, 108-109/6

[10] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Syarh Al-Kabir 522-524/3

[11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla 356/8

[12] Al-Kasani, Bada’i al-Shana’i 337-338/7

[13] http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3847

[14] http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=5606&languagename=

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?