Mengingkari “Allah Bersemayam”, Hukumnya Kafir?
Mengingkari “Allah Bersemayam”, Hukumnya Kafir?
Pengantar Penerjemah:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du. Berikut ini adalah tanya-jawab yang dikutip dari Syarh Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad karya Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi.
Pertanyaan,
هل من أنكر صفة من صفات الله نكفره، أم يكتفى بالقول أنه مبتدع فقط مع دخولهم تحت مسمى الإسلام؟
Apakah orang yang mengingkari salah satu sifat Allah boleh dikafirkan? Atakah cukup kita sebut sebagai “ahli bid’ah yang masih muslim”?
Jawaban Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi,
هذا فيه تفصيل، وهو: أنه إذا أنكر الصفة وجحد الصفة بعد معرفتها مثل أن ينكر: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [يونس:3]، فينكر الاستواء
فهذا يكفر؛ لأنه أنكر أمراً معلوماً من الدين بالضرورة، ولأنه كذَّب الله.
“Dalam kasus ini perlu dirinci, bahwa apabila seseorang mengingkari sifat Allah dan menolaknya, setelah dia mengetahui bahwa itu sifat Allah, misalnya orang yang mengingkari pernyataan,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
‘Kemudian Dia beristiwa di atas Arsy.‘ (QS. Yunus: 3)
Kemudian dia mengingkari kata istiwa, maka semacam ini hukumnya kafir. Karena dia mengingkari masalah yang jelas-jelas itu bagian dari agama, di samping karena dia mendustakan Allah.”
Syaikh Ar-Rajihi melanjutkan,
وأما من أوّل الصفة بشبهة فهذا لا يكفر، فإن الذي يقول: أنا أثبت: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [يونس:3]، وأُثبت الاستواء، ولكن معناه: استولى، لشبهة حصلت له فهذا لا يكفر؛ لأنه متأول.
وأما الذي ينكر الاستواء، فهذا كذَّب الله، ومن كذَّب الله فقد كفر.
“Sementara orang yang mentakwil sifat Allah karena adanya syubhat, maka semacam ini tidak dihukumi kafir. Sehingga orang yang mengatakan, ‘Saya mengakui ayat ‘Kemudian Dia beristiwa di atas Arsy‘, saya menetapkan istiwa bagi Allah, namun makna istiwa di situ adalah istawla (menguasai),’ dan ini dia sampaikan karena syubhat dalam masalah aqidah, maka dia tidak dihukumi kafir, karena dia hanya mentakwil. Adapun orang yang mengingkari ‘istiwa’, berarti dia mendustakan Allah. Orang yang mendustakan Allah maka dia kafir.”
Lanjut Syaikh,
إذاً: هناك فرق بين الجاحد وبين المتأول. فالجاحد: أنكر، والمنكر يكفر، قال تعالى: {وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ} [الرعد:30]، فمن جحد اسماً من أسماء الله أو صفة من صفاته من غير تأويل فقد كفر، ومن تأولها بشبهة فلا يكفر؛ لأن له شبهة، فيعذر بها.
“Karena itu, perlu dibedakan antara orang yang menentang dan yang mentakwil. Orang yang menentang (tidak mau mengakui), artinya dia mengingkari. Orang yang mengingkari, statusnya kafir. Allah berfirman,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ
‘Mereka kufur kepada Allah Ar-Rahman.’ (QS. Ar-Ra’du: 30)
Oleh karena itu, orang yang mengingkari salah satu nama Allah atau salah satu sifat Allah, tanpa ada takwil, maka dia kafir.
Adapun orang yang mentakwil karena adanya syubhat, dia tidak dikafirkan. Sebabnya, dia memiliki syubhat, sehingga ini menjadi uzur baginya.”
Pengantar Penerjemah:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du. Berikut ini adalah tanya-jawab yang dikutip dari Syarh Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad karya Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi.
Pertanyaan,
هل من أنكر صفة من صفات الله نكفره، أم يكتفى بالقول أنه مبتدع فقط مع دخولهم تحت مسمى الإسلام؟
Apakah orang yang mengingkari salah satu sifat Allah boleh dikafirkan? Atakah cukup kita sebut sebagai “ahli bid’ah yang masih muslim”?
Jawaban Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi,
هذا فيه تفصيل، وهو: أنه إذا أنكر الصفة وجحد الصفة بعد معرفتها مثل أن ينكر: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [يونس:3]، فينكر الاستواء
فهذا يكفر؛ لأنه أنكر أمراً معلوماً من الدين بالضرورة، ولأنه كذَّب الله.
“Dalam kasus ini perlu dirinci, bahwa apabila seseorang mengingkari sifat Allah dan menolaknya, setelah dia mengetahui bahwa itu sifat Allah, misalnya orang yang mengingkari pernyataan,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
‘Kemudian Dia beristiwa di atas Arsy.‘ (QS. Yunus: 3)
Kemudian dia mengingkari kata istiwa, maka semacam ini hukumnya kafir. Karena dia mengingkari masalah yang jelas-jelas itu bagian dari agama, di samping karena dia mendustakan Allah.”
Syaikh Ar-Rajihi melanjutkan,
وأما من أوّل الصفة بشبهة فهذا لا يكفر، فإن الذي يقول: أنا أثبت: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [يونس:3]، وأُثبت الاستواء، ولكن معناه: استولى، لشبهة حصلت له فهذا لا يكفر؛ لأنه متأول.
وأما الذي ينكر الاستواء، فهذا كذَّب الله، ومن كذَّب الله فقد كفر.
“Sementara orang yang mentakwil sifat Allah karena adanya syubhat, maka semacam ini tidak dihukumi kafir. Sehingga orang yang mengatakan, ‘Saya mengakui ayat ‘Kemudian Dia beristiwa di atas Arsy‘, saya menetapkan istiwa bagi Allah, namun makna istiwa di situ adalah istawla (menguasai),’ dan ini dia sampaikan karena syubhat dalam masalah aqidah, maka dia tidak dihukumi kafir, karena dia hanya mentakwil. Adapun orang yang mengingkari ‘istiwa’, berarti dia mendustakan Allah. Orang yang mendustakan Allah maka dia kafir.”
Lanjut Syaikh,
إذاً: هناك فرق بين الجاحد وبين المتأول. فالجاحد: أنكر، والمنكر يكفر، قال تعالى: {وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ} [الرعد:30]، فمن جحد اسماً من أسماء الله أو صفة من صفاته من غير تأويل فقد كفر، ومن تأولها بشبهة فلا يكفر؛ لأن له شبهة، فيعذر بها.
“Karena itu, perlu dibedakan antara orang yang menentang dan yang mentakwil. Orang yang menentang (tidak mau mengakui), artinya dia mengingkari. Orang yang mengingkari, statusnya kafir. Allah berfirman,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ
‘Mereka kufur kepada Allah Ar-Rahman.’ (QS. Ar-Ra’du: 30)
Oleh karena itu, orang yang mengingkari salah satu nama Allah atau salah satu sifat Allah, tanpa ada takwil, maka dia kafir.
Adapun orang yang mentakwil karena adanya syubhat, dia tidak dikafirkan. Sebabnya, dia memiliki syubhat, sehingga ini menjadi uzur baginya.”
Sumber: Syarh Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, 2:15.
Penerjemah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id
Penerjemah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id
Komentar
Posting Komentar