Mengenal Pokok-Pokok Aqidah Kaum Khawarij

Simak video uraian "Inti Pemikiran Khawarij"
Oleh : Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.


Mengenal Pokok-Pokok Aqidah Kaum Khawarij
Oleh : dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. *)

Kelompok khawarij dikenal dengan ciri khas mereka, yaitu: (1) berlebih-lebihan dalam memvonis kafir sesama kaum muslimin; (2) keluar memberontak dari penguasa kaum muslimin yang sah; dan (3) menghalalkan tumpahnya darah kaum muslimin yang menyelisihi aqidah mereka.

Bibit-bibit kaum khawarij sudah muncul sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka benar-benar muncul dan eksis ketika zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu [1]Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal siapakah khawarij dan bagaimanakah aqidah mereka yang rusak, untuk kita jauhi sejauh-jauhnya.

Dalam tulisan ini, akan kami sebutkan pokok-pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij dan kami mulai dengan menyebutkan julukan-julukan bagi kaum khawarij yang secara sekilas sudah menggambarkan bagaimanakah ushul ‘aqidah mereka.

Julukan bagi Kaum Khawarij

Kelompok khawarij disebut oleh para ulama dengan banyak sebutan, di antaranya adalah berikut ini.

Khawarij

Disebut khawarij karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan,

يَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ

“Mereka keluar (khuruj) (muncul) ketika terjadi perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 3414, 5810, 6534 dan Muslim no. 1064)

Yaitu, ketika adanya perselisihan antara dua sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, karena adanya provokator yang sengaja ingin menciptakan kerusuhan. Pada awalnya, kelompok khawarij memihak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

Disebut khawarij karena mereka juga keluar (khuruj) dari pemimpin (pemerintah atau penguasa) kaum muslimin yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasanya (yaitu khalifah ‘Albi bin Abi Thalib). Mereka keluar (memberontak) dengan pedang didorong oleh aqidah mereka yang rusak dan batil.

Ini adalah ciri yang umum bagi siapa saja yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.

Al-Muhakkimah

Disebut al-muhakkimah karena mereka keluar dari kepemimpinan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan jamaah kaum muslimin di bawah kepemimpinan ‘Ali disebabkan karena masalah tahkim (usaha perdamaian). Ketika itu, mereka menuduh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu menyerahkan urusan perdamaian kepada utusan (negoisator), bukan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka pun meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Mereka pun memvonis kafir sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, dua orang negoisator dari dua belah pihak (yaitu Abu Musa Al-‘Asyari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu) dan memvonis kafir siapa saja yang menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib dan ridha dengannya.

Al-Muhakkimah adalah julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Al-Haruriyyah

Disebut Haruriyyah, karena ketika mereka keluar memberontak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, mereka berkumpul di suatu tempat (daerah) bernama Haruraa’, yang berada di Irak. Al-Haruriyyah juga merupakan julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.

Ahlu Nahrawan

Khawarij generasi awal juga disebut dengan “ahlu nahrawan”, merujuk pada suatu tempat (Nahrawan) dimana khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu akhirnya memerangi mereka (yaitu kaum khawarij al-muhakkimah) dalam suatu pertempuran yang sangat besar.

Asy-Syuraah

Khawarij disebut juga dengan asy-syuraah, karena mereka menganggap dan menyangka bahwa tindakan mereka membunuh kaum muslimin mereka tukar (شَرَى) dengan keridhaan Allah Ta’ala. Mereka menyangka bahwa pembunuhan kaum muslimin tersebut bisa membeli atau mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Sehingga julukan ini pun menjadi julukan yang disenangi oleh kaum khawarij.

Mereka menyangka bahwa tindakan mereka itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 111)

Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas diri dari tindakan keji yang mereka lakukan.

Al-Maariqah

Ini adalah penamaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mensifati khawarij dengan sebutan “al-maariqah”, yaitu orang yang keluar (memberontak). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari sasaran anak panah tersebut.“ (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)

Rasulullah gambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan sasaran panah karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat.

Al-Mukaffirah

Disebut al-mukaffirah karena mereka hobi mengkafirkan (mukaffir) sesama kaum muslimin yang terjatuh dalam dosa besar (yang bukan termasuk dosa kekafiran kufur akbar). Mereka juga memvonis kafir kaum muslimin yang menyelisihi keyakinan dan manhaj mereka.

As-Sabaiyyah

Disebut as-sabaiyyah karena awal kemunculan mereka berasal dari fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan oleh ide ‘Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. ‘Abdullah bin Saba’ memimpin orang-orang Kufah menuju Madinah dalam rangka membunuh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Akhirnya, khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu pun meninggal dunia di tangan kaum khawarij.

As-Sabaiyyah adalah nama (julukan) bagi generasi khawarij awal dan tokoh-tokoh pembesar mereka di kala itu.

An-Naashibah

Karena mereka memasang (naashaba) khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan keluarganya sebagai musuh yang harus diperangi, mereka terang-terangan membenci khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Ucapan (perkataan) khawarij tentang “vonis kafir bagi pelaku dosa besar” adalah ucapan mereka pertama kali yang memecah belah kaum muslimin. Ini adalah di antara pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij.

Semua ini kembali lagi ke syiar ‘aqidah kaum khawarij, yang dengannya mereka keluar memberontak dari jamaah kaum muslimin di bawah penguasa yang sah (khalifah’Ali bin Abi Thalib), dengan meneriakkan,

لاحكم الا لله

“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”

Dengan teriakan dan semboyan itu, kaum muslimin menurut pandangan mereka adalah sama dengan orang-orang kafir.

Oleh karena itu, kaum khawarij pun mengangkat pemimpin (khalifah) bagi kelompok mereka sendiri. Karena mereka menganggap bahwa kelompok merekalah yang masih beriman, sedangkan selain mereka (khalifah ‘Ali dan kaum muslimin yang bersamanya) adalah orang-orang kafir.

Orang yang mereka angkat dan mereka baiat sebagai khalifah adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi pada hari ke sepuluh bulan Syawwal tahun 37 hijriyah.

‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi adalah tokoh pembesar kaum khawarij, dia sesat dan menyesatkan.  ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi berasal dari kabilah (suku) Bani Rasib, sebuah suku yang terkenal. ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi memimpin pasukan khawarij ketika berperang melawan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu di perang Nahrawan. Dia pun berhasil dibunuh dalam peperangan tersebut oleh pasukan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.

Pokok-Pokok ‘Aqidah Kaum Khawarij

Di antara pokok ‘aqidah kelompok khawarij adalah sebagai berikut.

Pertama, mereka menilai dan memvonis para pelaku dosa besar dari kaum muslimin sebagai orang kafir, kekal di neraka, sehingga halal harta dan darahnya (hartanya boleh dirampas dan pemiliknya boleh dibunuh).

Ke dua, memvonis kafir sahabat (khalifah) ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, dua orang negoisator (utusan atau juru damai) dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib (Abu Musa Al-‘Asyari) dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (‘Amr bin Al-‘Ash), orang-orang yang ridha dengan terjadinya perdamaian (kesepakatan) antara ‘Ali dan Mu’awiyah atau membenarkan salah satu pihak. Semoga Allah Ta’ala meridhai para sahabat Rasulullah semuanya.

Adapun kekhilafahan sebelum terjadinya tahkim (perdamaian), mereka membenarkannya. Demikian pula khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiqq dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma tidak mereka vonis kafir.

Ke tiga, meyakini wajibnya memberontak kepada penguasa muslim yang dzalim. [3]

Ke empat, wajibnya keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasa mereka yang sah. Kaum khawarij bermuamalah dengan kaum muslimin sebagaimana bermuamalah dengan orang kafir. Kelompok khawarij berlepas diri dari kaum muslimin, menimpakan berbagai kesusahan dan bencana, serta menghalalkan darah kaum muslimin.

Ke lima, mereka tidak mau mengamalkan dan menolak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertentangan dengan pokok-pokok keyakinan mereka. Mereka menolah hadits ahad [4]jika hadits tersebut mengandung suatu hukum yang lebih dari apa yang yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti hadits tentang hukum rajam dan selainnya.

Ke enam, mereka menolak hadits-hadits yang diriwayatkan melalui jalur ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhum, dan semua orang yang mendukung ketiga sahabat tersebut.

Berkembangnya Paham dan ‘Aqidah Khawarij

Berdasarkan pokok-pokok keyakinan mereka tersebut, mereka membangun ‘aqidah dan manhaj mereka di atasnya. Mereka pun berkumpul menuju di suatu tempat bernama Nahrawan. Di tengah perjalanan menuju Nahrawan, mereka bertemu dengan tabi’in yang mulia, ‘Abdullah bin Khabbab Al-Aratti Al-Madani rahimahullahu Ta’ala, dan mereka pun membunuh beliau. Lebih dari itu, mereka pun dengan bengisnya membunuh budak perempuan [5] ‘Abdullah bin Khabbab yang ketika itu sedang hamil. Khawarij pun membunuh dua-duanya (sang ibu dan anak yang dikandungnya). Pembunuhan ini terjadi pada tahun 38 hijriyah.

Khawarij akhirnya sampai dan berkumpul di Nahrawan. Kabar ini diketahui oleh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Khalifah Ali pun mengirim empat ribu orang pasukan menuju Nahrawan. Ketika pasukan khalifah ‘Ali sudah berada di dekat Nahrawan, dikirimlah utusan kepada kaum khawarij untuk menyerahkan pembunuh ‘Abdullah bin Khabbab. Kaum khawarij pun mengirim utusan bahwa mereka semua-lah yang bertanggung jawab membunuh ‘Abdullah bin Khabbab. Ini merupakan bentuk perlawanan kaum khawarij kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib pun mendakwahi mereka agar mereka bertaubat. Sebagian di antara mereka bertaubat, namun sebagian yang lainnya tetap pada pendiriannya.

Sehingga pada akhirnya, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib memerangi mereka di suatu peperangan yang sangat hebat di daerah Nahrawan. Tidak ada yang tersisa dari kelompok khawarij kecuali sekitar sembilan orang saja. Sedangkan jumlah yang terbunuh dari pasukan ‘Ali kurang dari sepuluh orang saja.

Dari kurang lebih sembilan orang yang tersisa, dua orang melarikan diri ke daerah Sijistan. Di sanalah mereka memiliki pengikut-pengikut baru menjadi khawarij Sijistan. Dua orang lainnya melarikan diri menuju Yaman, dan lahirlah pengikut-pengikut baru mereka dari kelompok khawarij Ibadhiyyah Yaman. Dua orang lainnya melarikan diri ke negeri Oman, dari sana lahirlah khawarij Oman. Dua orang lainnya melarikan diri menuju Jazirah, suatu daerah antara Dijlah dan sungai Efrat di dekat negeri Syam. Dari sana, lahirlah khawarij Jazirah. Satu orang sisanya melarikan diri ke suatu daerah bernama Tallu Muuzan.

Inilah di antara sebab berkembang dan meluasnya pengikut khawarij, menjadi banyak sekte dengan berbagai macam ideologinya, hingga saat ini. Namun semua mereka tidak lepas dari tiga ciri khas yang telah kami sebutkan sebelumnya di awal tulisan ini. [6]




Semoga Allah Ta’ala menjaga negeri-negeri kaum muslimin dari bahaya ‘aqidah dan pemahaman khawarij.

Catatan kaki:

[1] Sejarah kemunculan kaum khawarij secara lebih detil akan kami sampaikan dalam tulisan tersendiri.

[2] Disarikan dari kitab Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’id Raslan, penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436, hal. 147-149

[3] Hal ini bertentangan dengan ‘aqidah ahlus sunnah dalam menyikapi pemimpin muslim yang dzalim. Silakan disimak tulisan kami sebelumnya (total ada enam seri tulisan):

https://muslim.or.id/38935-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-penguasa-muslim-yang-dzalim-01.html

[4]  Yaitu hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir (tidak memenuhi syarat hadits mutawatir).

[5]  Yang statusnya adalah ummu walad, yaitu budak perempuan yang disetubuhi oleh tuannya dan melahirkan anak darinya. Dalam syariat Islam, hal ini diperbolehkan.

[6] Disarikan dari kitab Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’id Raslan, penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436, hal. 149-152.

*) dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Alumni Ma'had Al-'Ilmi Yogyakarta (2003-2005). Pendidikan Dokter FK UGM (2003-2009). S2 (MSc) dan S3 (PhD) Erasmus University Medical Center Rotterdam dalam bidang Virologi dan Imunologi (2011-2013 dan 2014-2018).

Sumber : https://muslim.or.id

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab