Tokoh : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Imam Masjidil Haram yang pertama non Arab, mengajar di Makkah dan melahirkan ulama-ulama yang berbeda pendapat dan aliran.
Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Dia memiliki peranan penting di Mekkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah merupakan tokoh yang memiliki darah Koto Gadang, sebuah desa yang memiliki keunikan intelektualitas di Minangkabau Pada Masa Kolonialisme
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin ‘Abd Al-Lathif Al-Minangkabawi asy-Syafi’i adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda.
Ia dilahirkan di Kota Gadang Bukittinggi, Sumatra Barat pada hari Senin 6 Dzulhijjah tahun 1276 H oleh ibu bernama Limbak Urai. Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung.
Ayahnya adalah Abdul Latief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek.
Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh Al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafii’ di Masjidil Haram, di Mekah.
Semasa hidupnya, Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar Al-Naqiyah fi Al-A’mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih.
Karyanya yang membahas ilmu matematika dan Al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab yang selesai dirilis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah.
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat.
Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar.
Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H. Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah yang harus dimaksimalkan.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Murid-murid Syekh Ahmad Khatib
1. Karim Amarullah
Haji Abdul Karim Amrullah, disebut pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil Muhammad Rasul.
Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya bernama Andung Tarawas. Pada tahun 1894 beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram.
Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang organisasi Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung halamannya.
Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada tanggal 2 Juni 1945.Salah satu puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
2. Muhammad Jamil Jambek
Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka.
Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan.
Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru.
Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
Ketika itu, dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan.
Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah.
Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah.
Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat.
Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat.
Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid.
Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naqsabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India.
Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau.
Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempa.
Walaupun beliau pada awal-awalnya sebagai guru tarekat akhirnya termasuk salah satu ulama yang membebaskan masyarakat dari kemusyrikan.
3. Sulaiman Arrasuli
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli Al-Minankabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minankabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho Al-Minankabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minankabawi dll. Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.
Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli Al-Minankabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif Al-Minankabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu dari pada ulama Kelantan dan Patani.
Antaranya, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani.
Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Kemudian persatuan tersebut menjadi sebuah partai politik yang mempunyai singkatan nama PERTI.
Baik dalam sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam partai politik, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yaitu Mazhab Syafie.
Beberapa orang ahli sejarah telah mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan.
Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang menziarahi beliau. Demikian juga pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan Indonesia.
Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa memang sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Pada hari pengkebumian beliau, dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
4. KH. Hasyim Asy’ari
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari (bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947, dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya:
Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang).
KH. Hasyim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekkah, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad ke 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul ‘Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib Al-minangkabawi KH hasyim asy'ri juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiya, walaupun demikian mereka tetap saling menghargai satu sama lain.
5. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH. Abu Bakar.
KH. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy.
Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Walaupun pernah satu guru tapi tak selamanya cara padang orang tersebut sama.
Ini terbukti dengan perbedaan yang terjadi antra pendiri NU hasyim Asyari dan ahmad dahlan pendiri muhamadiyah.
Pengaruh Syekh Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi ini, boleh dikatakan menjadi tiang tengah dari Madzhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV.
Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
Al Minhajul Masyru, soal faraidh (harta pusaka).
Ad Dalilul Masmu, soal hukum pembagian harta pusaka.
An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.
Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah, akhirnya Al-Minangkabawi semakin terkenal.
Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara.
Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekkah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.
Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.
Sejak berangkat ke tanah suci mekah Ahmad Khatib tidak pernah kembali ke tanah air, tetapi pengaruhnya cukup besar di Minangkabau, tanah asalnya pengaruh Ahmad Khatib di di indonesia agak terbatas.
Tetapi pengaruh Ahmad Khatib terhadap murid-muridnya yang berasal dari daerah Minangkabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad Khatib menolak hukum waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan.
Khusus dikalangan pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat naqsybandiah di teruskan oleh murid-muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga berjasa dalam mendidik murid-murid yang datang dari Indonesia yang belajar kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan tokoh dakwah terkemuka di Indonesia.
Penolakan Ahmad Khatib terhadap hukum waris adat di Minangkabau di perjuangkan dengan sangat gigih oleh muridnya yahya, yang terkenal dengan Tuanku Simabur berasal dari Tanah Datar sekarang kabupaten, dalam tulisan, khutbah, dan pengajian karang kabupaten, Simabur mengumumkan perang kepada kaum adat serta ulama ikut membantu menegakkan hukum adat mengenai waris.
Penolakan terhadap tarekat naqsyabandiah di suarakan oleh muridnya Dr. H. Abdul Karim Amarullah, Dr. Haji Abdullah Ahmad, dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek. Dr. H. Karim Amarullah dan Dr. H. Abdullah Ahmad bersama dua orang muridnya pernah terlibat perdebatan dengan tokoh tarekat naqsyabandiah dipadang pada tahun 1906.
Tokoh naqsyabandiah tersebut adalah itu adalah Syeikh Khatib Ali, salah seorang murid Ahmad Khatib penentang adat, Khatib Sayidina, Tuanku Syeikh Buyung, dan Tuanku Syeikh Seberang Pandang, imam mesjid ganting dalam perdebatan ini, pihak pembela tarekat naqsyabandi kewalahan menghadap ulama muda yang didik oleh Ahmad Khatib, mereka dapat mengemukakan keterangan dan dasar-dasar yang kuat dalam menentang tarekat.
Sejak peritiwa itu timbullah sebutan “kaum muda” dan “kaum tua”golongan yang disebut pertama adalah mereka yang terdiri ulama yang setuju dengan pendapat Ahmad Khatib dalam menolak tarekat, walaupun di pihak pembela tarekat juga ada murid Ahmad Khatib, namun beliau tidak dapat mematahkan mematahkan argumentasi kawan-kawan seperguruannya.
Polemik Murid-Murid dan Murakazah Syekh Khatib Al-Minangkabawi
Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang yang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.
Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berkontroversi dengan sayid utsman (mufti betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari Palembang dan ulama-ulama yang lainya.
Polemik yang paling hebat adalah pandangan tentang tarekat naqsyabandiyah. Syekh Khatib Al-Minangkabawi telah disanggah ramai ulama ulama Minangkabau sendiri terutama oleh ulama besar, sahabatnya, beliau adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungkar yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka.
Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau.
Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,
Syeikh Khatib Al-Minangkabawi juga mendapatkan terhadap kesuksesannya sebagai guru, Muhammad Sa’id Babsil, seorang ulama Arab dan mufti mazhab Syafi’i yang juga guru Masjidil Haram merasa iri terhadap kemajuan yang dicapai oleh Ahmad Khatib di negeri Arab.
Ia merasa tidak senang melihat non Arab memperoleh tempat mengajar di pusat pengajaran kota Mekah. Maka atas hasutannya, ketika Ahmad Khatib baru mengajar di Masjidil Haram, beliau di lempari batu, mufti ini tidak dapat berbuat lain, karena Ahmad Khatib mendapat ijin Syarief awn Al-Rafiq untuk mengajar di situ.
Peristiwa yang sama juga dialami oleh muridnya haji Abdul Karim Amarullah di tempat yang sama. Karena gagal mematahkan semangat dan membatasi Ahmad Khatib di Mekah, ia lalu bertindak sesuka hatinya kepada haji Abdul Karim Amarullah murid kesayangan Ahmad Khatib.
Ketika Abdul Karim Amarullah datang kedua kalinya ke Mekkah beliau lebih banyak mengajar dari pada belajar. Setelah tempatnya mengajar penuh oleh murid, beliu disuruh Ahmad Khatib mengajar di Masjidil Haram.
Beberapa hari haji Abdul Karim Amarullah datanglah mufti itu mengusirnya, ia jengkel sekali bahwa yang meyuruh mengajar di Masjidil Haram adalah Syeikh Ahmad Khatib.
Rasa tidak senang Syeikh Muhammad Sa’id Babsil Kepada Ahmad Khatib bermula dari dari permusuhannya dengan guru Syeikh Ahmad Khatib yaitu Syeikh Bakr Al-Syatta.
Kemudian ditambah lagi dengan iri hati atas sukses ulama asal Indonesia itu di kota Mekkah dan tanah Hijaz.
Sifat Ahmad Khatib dalam menentang adat juga mendapat tantangan dari banyak guru agama diatara yang mengemukakan tanggapannya kepada Ahmad Khatib adalah Syeikh Sa’ad muka dalam tulisannya Tabih Al-Awam, dalam buku itu ia menyinggung hal ini, sambil lalu dengan nada sinis ia mengatakan :
“Jika harta orang Minang dianggap haram maka haram pulalah juga pemberian yang berasal dari suku bangsa ini”.
Ucapan diatas tidak lebih pelampiasan rasa benci belaka kepada ulama penentang tarekat itu.
Semua tantangan yang di hadapi oleh Ahmad Khatib tersebut tidak megurangi kharismannya, bahkan sebaliknya menambah popularitasnya dan menambah penghormatan kaum pembaharu/kaum muda di Minang Kabau kepadanya.
Karya Kitab An-Nafahat Syarhu Waraqat Shulh Al-Jum’atain dan Raf’ al-Iltibas. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Mekkah pada tahun 1334 H. (*)
(Sumber : Tanamonews dot com)
Komentar
Posting Komentar