Tokoh : Syekh Jamil Jaho
Sang Pencipta Shalawat Talam
Syekh Jamil Jaho mendirikan cabang Muhammadiyah bersama Buya Hamka. Tak sepakat keputusan muktamar soal mazhab, ia pun keluar dan ikut mendirikan Perti.
Syekh Muhammad Jamil Jaho alias Angku Jaho adalah ulama tarekat dan pendiri Surau Jaho di Jaho, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Nagari Jaho dijuluki Serambi Mekah-nya Padang Panjang. Ia lahir tahun 1875 dari pasangan Tuanku Khadi Tambangan Qadhi Bandaharo dan Umbuik. Dalam 13 tahun, setelah menamatkan Alquran, barulah ia belajar mengaji ke Surau Gunung Rajo dengan Syekh Jafri. Sebelumnya ia hanya belajar dengan ayahnya.
Pada 1891, sekitar tiga tahun setelah mengaji di Surau Gunung Rajo, ia pindah ke Tanjung Bungo Padang Ganting, dekat Batu Sangkar, untuk berguru pada Syekh Ayub, seorang ulama fikih dan mursyid tarekat Naqsyabandiah. Di sinilah tempat bersejarah bagi Syekh Jamil Jaho dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli atau dikenal dengan “Inyiak Canduang”, karena di tempat inilah mereka berdua bertemu. Inyiak Canduang adalah senior Syekh Jamil, karena ia lebih dahulu datang dan belajar daripada Syekh Jamil.
Inyiak Candung dan Syekh Jaho menjadi teman yang akrab. Keduanya sama-sama pindah belajar mengaji ke Biaro Ampek Angkek, dekat Bukittinggi. Setahun kemudian, mereka berdua juga sama-sama pindah mengaji ke Halaban Payakumbuh kepada Beliau Halaban. Di sana, Inyiak Candung diangkat menjadi guru tua, kemudian Syekh Jamil juga menyusul diangkat menjadi guru tua.
Pada usia 23 tahun ia menunaikan haji sekaligus menimba ilmu di Mekah. Mula-mula ia mengikuti rombongan orang Kalimantan dan Madura mengaji di Masjidil Haram dengan sistem halaqah, yaitu duduk mengelilingi guru atau guru duduk bersandar di sebuah tonggak, murid menghadap kepada sang guru. Kemudian, Syekh Muhammad Jamil belajar kepada Syekh Ali Maliki, Syekh Mukhtar ‘A¯arid, dan kepada ulama besar, Syekh Ahmad Khatib yang merupakan Mufti Mazhab Syafi’i di zaman Kerajaan Syarif Husein. Ketika ia meminta Syekh Ahmad Khatib menerimanya menjadi murid, Syekh Ahmad Khatib menjawab dengan bahasa Minang: “Ikolah surau awak. Musajik urang banyak. Kok nan jadi urang bijak. Mandakeklah awak samo awak. (Inilah surau kita. Masjid orang banyak. Kalau mau jadi orang pintar, dekatlah dengan saya).” Syekh Jamil kemudian menikah dengan Siti Zalekha dan menetap di Mekah berkat perjodohan yang dilakukan Syekh Ahmad Khatib. Siti Zalekha sendiri yang meminta Syekh Ahmad Khatib untuk menyampaikan keinginannya.
Pada tahun 1911, ia kembali ke Tanah Air bersama istrinya. Ada juga yang menyebut ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1918 setelah 10 tahun belajar di Mekah dari tahun 1908 M. Ketika di pelayaran pulang, Syekh Jamil satu rombongan dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek. Setelah satu setengah bulan lamanya di pelayaran, sampailah mereka di pelabuhan Teluk Bayur.
Setelah kepulangannya di kampung Jaho dan Sicincin, hampir setiap malam ada saja acara dan upacara, banyak orang berkumpul untuk mendengar fatwa dan ceramah dari Syekh Jamil. Sejak saat itu, ia mendapat undangan dan jemputan dari berbagi kampung dan negeri untuk berdakwah dan memberi fatwa.
Masyarakat sangat simpati dan hormat kepada Siti Zalekaha, namun ia tidak dapat beradaptasi dengan kehidupan di kelahiran Syekh Jamil. Maka ia meminta kepada suaminya untuk kembali ke Mekah. Maka keduanya kembali ke Mekah dan meminta nasehat Syekh Ahmad Khatib. Maka tercapailah persetujuan keduanya untuk bercerai secara baik-baik. Pada 1912 Syekh Jamil kembali ke Tanah Air tanpa Siti Zalekha. Tiga tahun kemudian, 14 Maret 1916 Syekh Ahmad Khatib meninggal dunia
Pada 1922 didirikan Ittihad Ulama di Minangkabau, Syekh Sa’ad Munka terpilih sebagai ketua dan Syekh Jamil sebagai penasehat tinggi bersama H. Abdul Karim Amrullah, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman al-Rasuly, Syekh Muhammad Zein Simabur, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, Syekh Muhammad Thaib Sungayang, dan Syekh Abbas Ladang Laweh. Setelah itu, Syekh Jamil dipanggil Angku Jaho dan kemudian diangkat dengan panggilan Inyiak Jaho.
Pada tahun 1924 Inyiak Jaho mendirikan surau di Jaho. Beberapa saat setelah didirikan, berdatangan murid-muridnya dari dari Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Lampung, dan Bengkulu.
Inyiak Jaho mendirikan organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 1926. Ia menjadi ketua dan Buya Hamka menjadi wakilnya. Atas usaha mereka, berdirilah kompleks Muhammadiyah di Guguk Malintang yang semula berasal dari Hotel Merapi. Inyiak Jaho bersama-sama dengan tokoh agama dan politik di Padang Panjang juga mendirikan HIS Muhammadiyah.
Pada tahun 1927 bersama-sama Syekh Muhammad Zein Simabur dan S.Y. St. Mangkuto, ia pergi menghadiri kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Jawa Tengah. Namun usai muktamar, ia mengundurkan diri dari kepengurusan Muhammadiyah, karena salah satu keputusan muktamar tersebut tidak membolehkan mengikuti satu mazhab, sedangkan menurut dia dan Syekh Muhammad Zein, taqlid kepada ulama-ulama terdahulu masih perlu dipertahankan.
Pada tahun 1928 Angku Jaho bergabung dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) dan termasuk sebagai salah seorang pendiri organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Ia kemudian mengubah pesantrennya menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan disusul oleh ulama-ulama Perti yang lain.
Syekh Jaho juga termasuk ulama yang menentang Ordonantie Guru dan Kawin Bercatat. Selain itu, ia juga sebagai penggerak utama Sekolah Tinggi Kulliyah Syar’iyah yang mulai dirintis secara dari akhir tahun 1938 M di Bukittinggi, dan selesai di tahun 1942 ketika Jepang sudah mulai menjajah Nusantara.
Kulliyah Syar’iyah didirikan dengan tujuan agar murid-murid yang lepas kelas VII Tarbiyah dan yang sederajat, dapat belajar lebih tinggi dan juga membuka kesempatan bagi mahasiswanya untuk mempelajari mata pelajaran umum.
Semasa hidupnya Syekh Jamil yang juga produktif menulis ini juga seorang ulama yang menyukai kesenian yang bernafaskan Islam, seperti “Shalawat Talam”. Shalawat Talam adalah bacaan shalawat Nabi yang diamalkan dengan beberapa orang yang duduk bersela dengan talam (dulang besar). Talam itu diletakkan di atas lutut dan pahanya dan digunakan sebagaimana rebana. Ketika membaca kalimat-kalimat shalawat itu, talam diketok, dipukul dengan irama yang menarik, karena juga dilengkapi dengan gurindam membawa kisah Nabi, para sahabat, ulama dan masyarakat yang nadanya berdakwah. Inyiak Jaho salah seorang di antara sekian banyak ulama yang bisa menyusun syair, gurindam, yang dibawakan oleh para juru Shalawat Talam. Selain itu, ia juga dikenal dengan ulama yang suka dan jago silat.
Syekh Muhammad Jamil Jaho wafat pada 1941 dan dimakamkan di Kompleks Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho.
Sumber : https://panjimasyarakat.com
Syekh Jamil Jaho mendirikan cabang Muhammadiyah bersama Buya Hamka. Tak sepakat keputusan muktamar soal mazhab, ia pun keluar dan ikut mendirikan Perti.
Syekh Muhammad Jamil Jaho alias Angku Jaho adalah ulama tarekat dan pendiri Surau Jaho di Jaho, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Nagari Jaho dijuluki Serambi Mekah-nya Padang Panjang. Ia lahir tahun 1875 dari pasangan Tuanku Khadi Tambangan Qadhi Bandaharo dan Umbuik. Dalam 13 tahun, setelah menamatkan Alquran, barulah ia belajar mengaji ke Surau Gunung Rajo dengan Syekh Jafri. Sebelumnya ia hanya belajar dengan ayahnya.
Pada 1891, sekitar tiga tahun setelah mengaji di Surau Gunung Rajo, ia pindah ke Tanjung Bungo Padang Ganting, dekat Batu Sangkar, untuk berguru pada Syekh Ayub, seorang ulama fikih dan mursyid tarekat Naqsyabandiah. Di sinilah tempat bersejarah bagi Syekh Jamil Jaho dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli atau dikenal dengan “Inyiak Canduang”, karena di tempat inilah mereka berdua bertemu. Inyiak Canduang adalah senior Syekh Jamil, karena ia lebih dahulu datang dan belajar daripada Syekh Jamil.
Inyiak Candung dan Syekh Jaho menjadi teman yang akrab. Keduanya sama-sama pindah belajar mengaji ke Biaro Ampek Angkek, dekat Bukittinggi. Setahun kemudian, mereka berdua juga sama-sama pindah mengaji ke Halaban Payakumbuh kepada Beliau Halaban. Di sana, Inyiak Candung diangkat menjadi guru tua, kemudian Syekh Jamil juga menyusul diangkat menjadi guru tua.
Pada usia 23 tahun ia menunaikan haji sekaligus menimba ilmu di Mekah. Mula-mula ia mengikuti rombongan orang Kalimantan dan Madura mengaji di Masjidil Haram dengan sistem halaqah, yaitu duduk mengelilingi guru atau guru duduk bersandar di sebuah tonggak, murid menghadap kepada sang guru. Kemudian, Syekh Muhammad Jamil belajar kepada Syekh Ali Maliki, Syekh Mukhtar ‘A¯arid, dan kepada ulama besar, Syekh Ahmad Khatib yang merupakan Mufti Mazhab Syafi’i di zaman Kerajaan Syarif Husein. Ketika ia meminta Syekh Ahmad Khatib menerimanya menjadi murid, Syekh Ahmad Khatib menjawab dengan bahasa Minang: “Ikolah surau awak. Musajik urang banyak. Kok nan jadi urang bijak. Mandakeklah awak samo awak. (Inilah surau kita. Masjid orang banyak. Kalau mau jadi orang pintar, dekatlah dengan saya).” Syekh Jamil kemudian menikah dengan Siti Zalekha dan menetap di Mekah berkat perjodohan yang dilakukan Syekh Ahmad Khatib. Siti Zalekha sendiri yang meminta Syekh Ahmad Khatib untuk menyampaikan keinginannya.
Pada tahun 1911, ia kembali ke Tanah Air bersama istrinya. Ada juga yang menyebut ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1918 setelah 10 tahun belajar di Mekah dari tahun 1908 M. Ketika di pelayaran pulang, Syekh Jamil satu rombongan dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek. Setelah satu setengah bulan lamanya di pelayaran, sampailah mereka di pelabuhan Teluk Bayur.
Setelah kepulangannya di kampung Jaho dan Sicincin, hampir setiap malam ada saja acara dan upacara, banyak orang berkumpul untuk mendengar fatwa dan ceramah dari Syekh Jamil. Sejak saat itu, ia mendapat undangan dan jemputan dari berbagi kampung dan negeri untuk berdakwah dan memberi fatwa.
Masyarakat sangat simpati dan hormat kepada Siti Zalekaha, namun ia tidak dapat beradaptasi dengan kehidupan di kelahiran Syekh Jamil. Maka ia meminta kepada suaminya untuk kembali ke Mekah. Maka keduanya kembali ke Mekah dan meminta nasehat Syekh Ahmad Khatib. Maka tercapailah persetujuan keduanya untuk bercerai secara baik-baik. Pada 1912 Syekh Jamil kembali ke Tanah Air tanpa Siti Zalekha. Tiga tahun kemudian, 14 Maret 1916 Syekh Ahmad Khatib meninggal dunia
Pada 1922 didirikan Ittihad Ulama di Minangkabau, Syekh Sa’ad Munka terpilih sebagai ketua dan Syekh Jamil sebagai penasehat tinggi bersama H. Abdul Karim Amrullah, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman al-Rasuly, Syekh Muhammad Zein Simabur, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, Syekh Muhammad Thaib Sungayang, dan Syekh Abbas Ladang Laweh. Setelah itu, Syekh Jamil dipanggil Angku Jaho dan kemudian diangkat dengan panggilan Inyiak Jaho.
Pada tahun 1924 Inyiak Jaho mendirikan surau di Jaho. Beberapa saat setelah didirikan, berdatangan murid-muridnya dari dari Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Lampung, dan Bengkulu.
Inyiak Jaho mendirikan organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 1926. Ia menjadi ketua dan Buya Hamka menjadi wakilnya. Atas usaha mereka, berdirilah kompleks Muhammadiyah di Guguk Malintang yang semula berasal dari Hotel Merapi. Inyiak Jaho bersama-sama dengan tokoh agama dan politik di Padang Panjang juga mendirikan HIS Muhammadiyah.
Pada tahun 1927 bersama-sama Syekh Muhammad Zein Simabur dan S.Y. St. Mangkuto, ia pergi menghadiri kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Jawa Tengah. Namun usai muktamar, ia mengundurkan diri dari kepengurusan Muhammadiyah, karena salah satu keputusan muktamar tersebut tidak membolehkan mengikuti satu mazhab, sedangkan menurut dia dan Syekh Muhammad Zein, taqlid kepada ulama-ulama terdahulu masih perlu dipertahankan.
Pada tahun 1928 Angku Jaho bergabung dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) dan termasuk sebagai salah seorang pendiri organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Ia kemudian mengubah pesantrennya menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan disusul oleh ulama-ulama Perti yang lain.
Syekh Jaho juga termasuk ulama yang menentang Ordonantie Guru dan Kawin Bercatat. Selain itu, ia juga sebagai penggerak utama Sekolah Tinggi Kulliyah Syar’iyah yang mulai dirintis secara dari akhir tahun 1938 M di Bukittinggi, dan selesai di tahun 1942 ketika Jepang sudah mulai menjajah Nusantara.
Kulliyah Syar’iyah didirikan dengan tujuan agar murid-murid yang lepas kelas VII Tarbiyah dan yang sederajat, dapat belajar lebih tinggi dan juga membuka kesempatan bagi mahasiswanya untuk mempelajari mata pelajaran umum.
Semasa hidupnya Syekh Jamil yang juga produktif menulis ini juga seorang ulama yang menyukai kesenian yang bernafaskan Islam, seperti “Shalawat Talam”. Shalawat Talam adalah bacaan shalawat Nabi yang diamalkan dengan beberapa orang yang duduk bersela dengan talam (dulang besar). Talam itu diletakkan di atas lutut dan pahanya dan digunakan sebagaimana rebana. Ketika membaca kalimat-kalimat shalawat itu, talam diketok, dipukul dengan irama yang menarik, karena juga dilengkapi dengan gurindam membawa kisah Nabi, para sahabat, ulama dan masyarakat yang nadanya berdakwah. Inyiak Jaho salah seorang di antara sekian banyak ulama yang bisa menyusun syair, gurindam, yang dibawakan oleh para juru Shalawat Talam. Selain itu, ia juga dikenal dengan ulama yang suka dan jago silat.
Syekh Muhammad Jamil Jaho wafat pada 1941 dan dimakamkan di Kompleks Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho.
Sumber : https://panjimasyarakat.com
Komentar
Posting Komentar