Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat
Setiap bidah adalah kemaksiatan. Namun, belum tentu maksiat itu bidah. Seorang pezina atau pemabuk tidaklah disebut dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’. Dengan kata lain, bidah itu lebih khusus daripada maksiat. Untuk lebih memahami hal ini, berikut kami uraikan perbedaan-perbedaan antara bidah dan maksiat.
Perbedaan pertama
Bidah itu adalah kesesatan, sehingga mubtadi’ (ahlul bid’ah) disebut dengan (ضال و مضل) “sesat dan menyesatkan”. Berbeda dengan maksiat lain (yang bukan bidah), pada umumnya tidak disifati dengan kesesatan. Demikian juga ketika seseorang melakukan kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja ketika melaksanakan suatu perintah agama, maka hal itu adalah perkara yang dimaafkan, dan pelakunya tidaklah disifati (disebut) dengan kesesatan. Sebagaimana label “kesesatan” itu juga tidak diberikan kepada orang yang bersengaja melakukan perkara maksiat.
Hal ini karena kesesatan itu adalah lawan dari al-huda (petunjuk dalam kebenaran). Ahlul bid’ah disebut tersesat karena mereka menyangka bahwa jalan yang dia tempuh itu adalah jalan yang lurus, padahal bukan. Sedangkan jalan yang lain (yaitu jalan yang ditempuh ahlus sunnah), dia sangka sebagai kesesatan. Dia sebenarnya menyimpang dari jalan yang lurus, namun dia menyangka sedang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah mengapa ahlul bid’ah disebut tersesat.
Selain itu, ahlul bid’ah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai penentu dalam menetapkan syariat, sedangkan dalil syar’i hanyalah sebagai pengikut dan penguat saja dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Jika hal itu ditambah lagi dengan kebodohan terhadap pokok-pokok syariat, maka akan lebih parah lagi dan pada akhirnya bisa terjerumus dalam tahrif (mengubah-ubah makna dalil seenaknya sendiri).
Sebagai bukti, kita tidak mendapati seorang ahlul bid’ah yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, kecuali dia akan menyebutkan dalil syar’i sebagai alasan untuk membenarkan bidahnya. Sehingga dia paksa dalil tersebut untuk mengikuti kehendak akal dan hawa nafsunya. Berbeda dengan pelaku maksiat pada umumnya yang tidak berbuat demikian, atau bahkan pelaku maksiat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan dalil (perintah) syar’i. Seorang pelaku maksiat, misalnya mencuri, tentu tidak akan mencari-cari dalil untuk membenarkan perbuatannya. Berbeda halnya dengan pelaku bidah, yang bisa jadi mencari-cari dalil untuk mendukung bidahnya.
Perbedaan kedua
Bidah itu memiliki kemiripan dengan syariat, berbeda dengan maksiat yang sama sekali berbeda dengan syariat. Ketika ada orang yang berbuat bidah, bisa jadi orang lain yang tidak tahu akan menyangka bahwa dia sedang berbuat ketaatan atau sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena perbuatan bidah itu memang mirip dengan ibadah syar’i.
Perbedaan ketiga
Ditinjau dari segi jenisnya, bidah itu lebih jelek daripada maksiat yang bukan bidah. Hal ini sebagaimana perkataan Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah,
“Bidah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertobat, sedangkan pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 7: 26 dan Al-Laalikai dalam Syarh Ushuul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 1885).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan di atas,
“Maksud perkataan beliau, ‘pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat’, bahwa pelaku bidah yang menjadikan perbuatan bidahnya itu sebagai bagian dari agama, -padahal tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya-, perbuatan bidah yang jelek tersebut dihias-hiasi sehingga dia melihatnya sebagai sebuah ibadah (ketaatan). Maka dia tidak mungkin ingin bertobat selama dia menganggap bahwa dia sedang berbuat kebaikan. Karena awal mula dari tobat adalah ilmu bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang jelek yang perlu ditobati, atau dia tahu bahwa dia meninggalkan kebaikan yang diperintahkan oleh syariat, baik perintah yang sifatnya wajib atau sunah [1], sehingga dia pun bertobat dan kemudian mengerjakan perintah syariat tersebut. Sehingga, selama dia menyangka bahwa perbuatan bidah tersebut adalah kebaikan, padahal perbuatan tersebut adalah kejelekan, maka tidak mungkin dia bertobat.
Akan tetapi, tobat dari bidah itu mungkin terjadi dan memang riil terjadi, yaitu dengan Allah Ta’ala memberikan hidayah dan petunjuk kepadanya, sehingga jelaslah baginya kebenaran. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada orang-orang kafir dan munafik dan sekelompok ahlul bid’ah dan orang-orang yang tersesat lainnya. Yaitu dengan mengikuti kebenaran yang telah dia ilmui.” (Majmu’ Fataawa, 10: 9).
Mengapa bidah lebih jelek daripada perbuatan maksiat?
Bidah itu lebih jelek daripada perbuatan maksiat berdasarkan sunah dan ijmak. Letak kesalahan (dosa) pelaku maksiat adalah mereka melakukan (menerjang) sebagian perkara yang dilarang oleh syariat, misalnya mencuri, zina, minum khamar, atau memakan harta orang lain secara batil. Sedangkan letak kesalahan ahlul bid’ah adalah meninggalkan perintah untuk mengikuti (ittiba’) dengan sunah dan jamaah (ijmak) kaum muslimin. (Lihat Majmu’ Fataawa, 20: 103) [2].
Di antara dalil yang menunjukkan bawa bidah itu lebih buruk daripada maksiat yang bukan bidah adalah hadis yang menceritakan salah seorang sahabat yang dijuluki dengan “Himaar” (keledai). Nama asli sahabat tersebut adalah Abdullah. Dia suka membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencambuknya karena dia mabuk. Suatu hari, dia ditangkap lagi dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar dia dicambuk. Lantas salah seorang sahabat berujar,
اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟
“Ya Allah, laknatlah dia, betapa sering dia tertangkap.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Janganlah kalian melaknat dia. Demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 6780).
Adapun berkaitan dengan ahlul bid’ah, misalnya hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan cikal bakal kelompok khawarij. Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang membagi-bagikan harta. Lalu datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah engkau berlaku adil.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ
“Celaka kamu! Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.”
Kemudian Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
دَعْهُ، فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh salatnya dibandingkan dengan salat mereka; (dan memandang remeh) puasanya dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063).
Hadis tentang Himaar, dia adalah seseorang yang suka berbuat maksiat dengan mabuk minum khamr. Akan tetapi, ketika akidahnya sahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang para sahabat untuk melaknatnya.
Namun, berbeda halnya dengan orang-orang khawarij. Meskipun salat, puasa, dan ibadah membaca Al-Quran mereka sangat banyak, bahkan para sahabat pun kalah dari sisi kuantitas ibadah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkan untuk memerangi kaum khawarij tersebut. Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan yang bersama beliau pun memerangi mereka. Hal ini karena mereka telah keluar dari sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (Lihat Majmu’ Fataawa, 11: 473).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa bidah yang berat itu lebih jelek daripada dosa (maksiat) yang pelakunya meyakini bahwa itu adalah perbuatan dosa. Demikianlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berjalan, ketika beliau memerintahkan untuk memerangi kelompk khawarij, namun (di sisi lain) memerintahkan untuk sabar atas kejahatan dan kezaliman penguasa (pemerintah), dan tetap salat di belakang mereka, meskipun penguasa tersebut berbuat dosa (dengan kezaliman mereka). Demikian juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan sebagian sahabat yang terus-menerus berbuat maksiat bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan melarang untuk melaknatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang khawarij, meskipun mereka sangat gemar beribadah dan wara’ (sangat hati-hati dari perkara yang syubhat atau haram, pent.), bahwa mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.
Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65).
Siapa saja yang keluar dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan syariatnya, maka Allah Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya yang suci, bahwa mereka tidaklah beriman sampai mereka rida dengan hukum Rasulullah dalam seluruh perkara yang mereka perselisihkan, baik perkara agama maupun dunia, dan sampai hati mereka tidak merasa berat terhadap hukum tersebut.” (Majmu’ Fataawa, 28: 470) [3].
Perbedaan Keempat
Ahlul bid’ah bisa jadi akan menghalangi manusia dari jalan syariat-Nya yang lurus. Sedangkan orang yang berbuat maksiat tidaklah demikian. Hal ini karena kerusakan ahlul bid’ah itu terjadi pada pokok agama, sedangkan kerusakan pelaku maksiat lebih terletak pada syahwatnya.
Perbedaan Kelima
Karena kerusakan ahlul bid’ah itu terletak pada pokok agama, maka dampaknya akan terjadi pada agama. Adapun pelaku maksiat, karena kerusakan terjadi karena syahwatnya, maka dampaknya lebih berdampak kepada dirinya sendiri.
Perbedaan Keenam
Bid’ah itu lebih khusus (lebih spesifik) daripada maksiat. Karena bid’ah adalah perbuatan maksiat dengan membuat-buat perkara baru untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Adapun istilah maksiat, ketika tidak ada keterangan tambahan, dimaksudkan untuk semua pelanggaran tanpa harus disertai dengan perbuatan membuat-buat perkara baru dalam agama.
Bantahan untuk yang mengatakan bahwa hadis tentang bid’ah dimaknai sebagai larangan bermaksiat secara umum
Berdasarkan penjelasan di atas, tidak benar anggapan sebagian orang bahwa hadis-hadis yang khusus menyebutkan bid’ah maknanya dibawa kepada makna maksiat secara umum. Misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)
Sebagian orang memaknai “bid’ah” dalam hadis tersebut sebagai perbuatan zina, riba, mencuri, suap menyuap, dan sejenisnya.
Hadis “setiap bid’ah adalah kesesatan” itu bersifat umum (mencakup semua jenis bid’ah) sejak pertama kali Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mengucapkan perkataan tersebut. Bukan hanya dimaksudkan untuk bid’ah yang terdapat dalil khusus (spesifik) pelarangannya saja. Sedangkan bid’ah yang tidak ada dalil larangan khususnya tidak tercakup dalam hadis tersebut. Ini adalah pemahaman yang keliru.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tidak boleh memaknai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan bid’ah yang ada dalil larangan lain secara khusus (spesifik). Karena pemaknaan semacam ini akan membatalkan faidah dari hadis tersebut. Karena perkara yang dilarang, misalnya kekafiran, kefasikan, dan berbagai jenis maksiat, telah diketahui bahwa perkara tersebut adalah perkara yang buruk dan diharamkan, baik termasuk (dalam definisi) bid’ah ataukah tidak.
Kalau tidak ada perkara munkar dalam agama kecuali perkara yang dilarang secara spesifik, baik itu yang dikerjakan semasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah tidak, dan perkara yang dilarang (secara spesifik tersebut) itulah (definisi) kemunkaran, baik itu (termasuk) bid’ah ataukah bukan bid’ah, maka istilah “bid’ah” tersebut menjadi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dampaknya, keberadaan suatu bid’ah tidaklah menunjukkan keburukan, sebagaimana tidak adanya bid’ah tidaklah menunjukkan kebaikan.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, itu semakna dengan perkataan (misalnya), “semua adat kebiasaan adalah kesesatan” atau “semua yang dilakukan oleh orang Arab dan non-Arab adalah kesesatan”. Sehingga yang dimaksud dengan perkataan beliau tersebut adalah bahwa perkara yang dilarang tersebut (yaitu semua bid’ah) adalah kesesatan.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, 2: 588)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian memberikan bantahan kepada orang-orang yang memaknai hadis, “setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan “bid’ah atau maksiat yang ada larangan spesifik” dalam beberapa poin bantahan berikut ini.
Pertama, kalau dimaknai seperti itu, hadis tersebut menjadi tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Karena untuk perkara yang ada larangan spesifik, sudah diketahui hukumnya dari dalil larangan yang bersifat spesifik tersebut. Sedangkan yang tidak ada dalil larangan secara spesifik, tidak tercakup dalam makna hadis ini. Sehingga kalau dimaknai seperti itu, hadis ini menjadi tidak ada faidahnya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas dan singkat, namun sarat dengan makna dan faidah).
Kedua, kalau dimaknai seperti itu, kata “bid’ah” menjadi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sehingga ketika kita mengaitkan suatu perkara dengan hukum bid’ah, itu juga menjadi tidak ada pengaruhnya. Hal ini karena perkara maksiat dan dosa itu sudah kita kenal nama atau bentuknya, seperti mencuri, berzina, dan minum khamr. Jika yang dimaksud dengan maksiat tersebut adalah sama dengan bid’ah, maka kata “bid’ah” tidak lagi memiliki keisitimewaan disebutkan secara khusus, karena tidak ada konsekuensi tambahan apapun.
Ketiga, jika perkataan dengan lafaz semacam ini (“semua bid’ah adalah kesesatan”), namun sebenarnya maksud pembicara adalah “bid’ah atau maksiat yang ada larangan spesifik”, ini adalah bentuk menyembunyikan maksud tertentu yang seharusnya wajib dijelaskan secara gamblang. Atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, namun yang beliau maksudkan bukanlah makna yang langsung tertangkap dalam benak orang yang mendengar. Karena antara bid’ah dan perkara yang dilarang (maksiat) itu ada sisi umum dan sisi khusus. Yaitu, tidak semua bid’ah itu ada dalil larangan yang bersifat spesifik. Dan tidak semua yang ada larangan spesifik itu berarti bid’ah, seperti larangan berbuat zina.
Oleh karena itu, jika seseorang mengucapkan perkataan di atas (“semua bid’ah adalah kesesatan”), namun yang dimaksudkan adalah makna yang lain, tentu saja hal ini merupakan perkataan yang rancu dan tidak jelas. Seperti ada orang yang mengatakan “hitam”, tapi yang dia maksudkan adalah “kuda”; atau sebaliknya, mengatakan “kuda”, tapi yang dia maksudkan adalah “hitam”. Dan mustahil bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal semacam ini.
Keempat, jika perkataan “semua bid’ah adalah kesesatan” dimaknai dengan perkara yang ada dalil larangan secara khusus, maka konsekuensinya, hadis ini sulit untuk diamalkan. Karena untuk mengamalkan hadis ini, berarti kita harus mengetahui semua dalil spesifik yang melarang suatu perkara. Atau, tidak mungkin mengetahui sebagian besar dalil spesifik tersebut kecuali hanya kaum muslimin tertentu saja, yaitu para ulama yang sangat dalam dan luas ilmunya.
Kelima, jika kita teliti, bid’ah yang ada dalil larangan yang bersifat spesifik itu jumlahnya lebih sedikit daripada bid’ah yang tidak ada dalil larangan yang bersifat spesifik. Sehingga, suatu lafaz (perkataan) yang bersifat umum, tidak boleh dimaknai kepada suatu makna (bentuk tertentu) yang jumlahnya hanya sedikit.
Berdasarkan penjelasan poin-poin bantahan di atas, jelaslah bahwa memaknai hadis tentang bid’ah dengan makna “bid’ah atau maksiat yang ada dalil larangan secara khusus” adalah pemaknaan (takwil) yang keliru.
Perbedaan-perbedaan antara bid’ah dengan maksiat yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya menunjukkan betapa besar bahaya bid’ah dan dampak jelek dari bid’ah tersebut. Demikian juga para ulama terdahulu yang bersikap keras agar tidak berteman akrab dengan ahlul bid’ah. Sampai-sampai Sa’id bin Jubair rahimahullah, salah seorang ulama tabi’in mengatakan,
“Ketika anakku bersahabat dengan orang fasik yang buruk, namun ahlus sunnah, itu lebih aku sukai daripada berteman dengan ahlul bid’ah yang gemar beribadah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Bathah rahimahullah dalam Al-Ibaanah Ash-Shughra, hal. 132)
Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat (Bag. 3)
Apakah maksiat bisa jadi lebih berbahaya daripada bid’ah?
Dalam serial sebelumnya telah kami paparkan bahwa ditinjau dari jenisnya, bid’ah itu lebih berbahaya daripada maksiat. Di antara sebabnya, karena fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan oleh bid’ah itu terkait dengan pokok agama, sedangkan kerusakan yang ditimbulkan oleh maksiat itu berkaitan dengan syahwat. Akan tetapi, kaidah ini berlaku jika tidak ada indikasi-indikasi lain yang bisa mengubah kondisi suatu maksiat dan bid’ah tersebut.
Di antara perkara yang bisa memperberat dosa maksiat atau bid’ah adalah jika pelakunya melakukannya secara terus-menerus atau bersikap meremehkan atau menganggap boleh (halal) perbuatan tersebut atau melakukannya secara terang-terangan atau mengajak orang lain dan mendakwahkannya. Sehingga, dengan faktor-faktor ini maksiat bisa menjadi lebih berbahaya dan lebih besar dosanya dari bid’ah.
Sebaliknya, di antara perkara yang bisa memperingan suatu maksiat atau bid’ah adalah ketika pelakunya mengerjakan perbuatan tersebut secara sembunyi-bunyi tidak terus-menerus melakukannya atau menyesal atau kemudian bertaubat darinya.
Demikian pula, berat ringannya suatu bid’ah atau maksiat tergantung dari dampak kerusakan yang ditimbulkan. Jika dampak suatu bid’ah itu pada mayoritas (atau bahkan keseluruhan) aspek agama, maka bid’ah tersebut lebih berat dosanya dibandingkan dengan bid’ah yang dampak kerusakan tidak meluas seperti itu. Misalnya, ada seseorang yang memiliki keyakinan bahwa semua hadits ahad itu tidak boleh dipakai dalam bab aqidah. Maka dampak dari bid’ah semacam ini sangat besar kerusakannya. Banyak bab dalam agama yang rusak jika aqidah yang menyimpang itu diterapkan. (Lihat Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 31-32)
Oleh karena itu, dalam membandingkan antara bid’ah dan maksiat, kita perlu melihat dan mengkaji kasus per kasus secara lebih dalam manakah yang lebih fatal dan lebih besar bahayanya. Tidak bisa digeneralisir bahwa semua bid’ah apapun itu lebih berat atau lebih besar dosanya dibandingkan maksiat apapun itu. Sehingga, ungkapan “Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat” adalah ungkapan yang bersifat umum (general), dan tidak bisa diterapkan untuk membandingkan secara langsung satu per satu bid’ah dan maksiat.
Contoh, seseorang berbuat zina dengan ibu kandungnya sendiri. Kemudian dibandingkan dengan bid’ah melafazkan niat (ushalli). Manakah yang lebih besar dosanya? Dalam kasus ini, kita tidak terburu-buru mengatakan bahwa bid’ah ushalli itu lebih besar dosanya dibandingkan dosa berzina dengan ibu kandung sendiri.
Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Manakah yang lebih besar dosanya, durhaka kepada kedua orang tua ataukah bid’ah?”
Maka, beliau hafizahullah menjawab bahwa durhaka kepada orangtua itu lebih besar dosanya daripada bid’ah. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutkan dosa durhaka kepada orang tua sebagai dosa besar setelah syirik. Juga dalam berbagai hadis disebutkan bahwa dosa besar yang paling besar setelah kesyirikan ialah durhaka kepada orangtua. (Sumber ada di sini)
Oleh karena itu, pernyataan ulama “Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat” adalah perkataan yang perlu diperinci. Perkataan ini tidak bisa dibawa secara mutlak ke dalam setiap contoh kasus maksiat dan bid’ah. Akan tetapi, semua tergantung pada kadar bid’ah atau maksiat tersebut dan juga indikasi (keadaan) yang menyertainya. Apalagi bid’ah juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ada bid’ah yang bisa menyebabkan pelakunya kafir, seperti bid’ah dalam masalah aqidah. Namun, ada bid’ah yang tidak sampai seperti itu, seperti bid’ah dalam amaliyah tertentu. Misalnya, membunuh seorang muslim, apalagi membunuh orang tua sendiri, zina dengan ibu kandung, atau bunuh diri, perkara ini jelas lebih besar dosanya dibandingkan dengan bid’ah bersalam-salaman selepas salat berjamaah.
Perbuatan bid’ah akan mengantarkan kepada maksiat, termasuk kekafiran dan kemusyrikan
Dari sisi yang lain, seandainya kita mencermati berbagai jenis bid’ah, kita bisa melihat bahwa bid’ah itu seperti penyakit yang merusak jasad seseorang. Bid’ah bisa merusak agama seseorang, bisa merusak akhlak, merusak harta dan kekayaan, dan juga bisa merusak kedudukan ilmiah dan martabat seseorang.
Contoh, salah satu jenis kebid’ahan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin adalah upacara peringatan tanggal kematian seorang wali (orang saleh) yang terkenal, yang disebut dengan acara haul. Meskipun wali tersebut sudah meninggal ratusan tahun yang lalu, sebagian orang masih rutin mengadakan acara haul untuk memperingati tanggal kematiannya. Kita bisa melihat bahwa acara-acara tersebut kemudian terdapat campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan ini adalah kemaksiatan. Juga bisa mengantarkan kepada maksiat yang lain berupa kemusyrikan yang bertentangan dengan tauhid.
Demikian pula, bid’ah berupa perayaan-perayaan yang tidak ada tuntunan dari agama. Kita bisa melihat dalam bid’ah tersebut kemudian terdapat kemaksiatan berupa musik, joget-jogetan, campur baur antara laki-laki dan perempuan, dan berbagai kemaksiatan yang lainnya.
Oleh karena itu, tidaklah heran jika sebagian ulama mengatakan,
البدع دهليز الكفر و النفاف
“Bid’ah itu gerbang atau pagar menuju kekafiran dan kemunafikan.” (Majmu’ Al-Fataawa, 3: 230) (Lihat Ilmu Ushuul Bida’, hal. 219-220)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والخلاصة: أن البدعة سبب للكفر ولا يرد على هذا قول بعض أهل العلم: إن المعاصي بريد الكفر; لأنه لا مانع من تعدد الأسباب.
“Ringkasnya, bid’ah adalah sebab menuju kekafiran. Dan hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan sebagian ulama bahwa sesungguhnya maksiat itu adalah pos menuju kekafiran. Hal ini karena boleh saja sebab kekafiran itu banyak (tidak hanya satu, pent.).” (Al-Qaulul Mufiid, 1: 385).
Kapan suatu maksiat dapat menjadi bid’ah?
Suatu maksiat bisa menjadi bid’ah ketika orang yang melakukan maksiat tersebut meyakini bahwa perbuatannya itu bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Contoh pertama, ada orang yang memiliki keyakinan bahwa merampok harta kaum muslimin yang lainnya adalah bagian dari jihad fii sabilillah, yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ditinjau dari asal perbuatannya, merampok adalah maksiat atau dosa besar. Karena dia merampas harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Namun, ditinjau dari keyakinan pelakunya bahwa dengan merampok itu lebih dekat kepada Allah Ta’ala, maka ini termasuk perbuatan bid’ah.
Contoh kedua, seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan mendengarkan atau memainkan alat-alat musik, atau menari-nari dan berjoget sambil mengiringi alat musik.
Contoh ketiga, seseorang yang beribadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
Contoh-contoh di atas termasuk maksiat sekaligus bid’ah, karena telah masuk ke dalam definisi bid’ah. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi, yaitu:
Pertama, perbuatan tersebut adalah bid’ah karena pelakunya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan tata cara yang tidak Allah Ta’ala syariatkan. Bahkan, dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan melakukan perbuatan yang Allah Ta’ala larang dalam syariat.
Kedua, dari sisi bahwa perbuatan tersebut keluar dari tata cara baku (nizom) dalam beragama.
Ketiga, dari sisi hal itu bisa menjadi sarana menuju keyakinan bahwa perbuatan tersebut termasuk bagian dari ajaran agama. Apalagi jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang tampak saleh atau orang yang ditokohkan dalam agama. Sehingga, orang-orang awam pun menjadi tertipu. (Lihat Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 111-112)
Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Setiap ibadah (perbuatan) yang dilarang, maka hal itu bukanlah ibadah. Karena, jika itu betul termasuk ibadah (yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, pent.), pasti tidak akan dilarang. Maka, orang yang melakukannya berarti mengamalkan sesuatu yang tidak disyariatkan. Jika dia meyakini hal itu sebagai bentuk ibadah, padahal perbuatan tersebut dilarang, maka dia adalah seorang mubtadi’.” (Al-I’tisham, 2: 34)
Syekh Muhammad bin Husain Al-Jizani hafizhahullah berkata, “Bid’ah berbeda dengan maksiat dari sisi (bahwa bid’ah itu) mirip atau menyerupai syariat. Karena, bid’ah itu disandarkan dan dilekatkan kepada agama. Hal ini berbeda dengan maksiat karena maksiat itu bertentangan dengan perkara yang disyariatkan. Sehingga, maksiat itu adalah keluar (dari aturan) agama dan tidak disandarkan kepada agama. Kecuali, jika perbuatan maksiat tersebut dilakukan dalam bentuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala). Maka, terkumpul di dalamnya -dari dua sisi yang berbeda- bid’ah dan maksiat dalam satu perbuatan yang sama.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 29)
Baca juga artikel terkait :
Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.
Catatan kaki:
[1] Dari perkataan ini bisa dipahami bahwa menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, meninggalkan ibadah sunah karena malas juga perlu tobat.
[2] Ibnul Qayyim Rahimahullah di kitab beliau, Al-Fawaaid, menyebutkan kurang lebih
Sumber : https://muslim.or.id/69784-perbedaan-bidah-dan-maksiat-bag-1.html
Catatan kaki:
[1] Dari perkataan ini bisa dipahami bahwa menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, meninggalkan ibadah sunah karena malas juga perlu tobat.
[2] Ibnul Qayyim Rahimahullah di kitab beliau, Al-Fawaaid, menyebutkan kurang lebih
Sumber : https://muslim.or.id/69784-perbedaan-bidah-dan-maksiat-bag-1.html
Komentar
Posting Komentar