Cerita khurafat tarekat (sufi) : Surau Tuo dan Syekh Ibrahim Mufti (Keramat Taram atau Tuanku Taram)

Cerita khurafat tarekat (sufi) : Surau Tuo dan Syekh Ibrahim Mufti (Keramat Taram atau Tuanku Taram)

Surau Tuo Taram di Nagari Taram, Kabupaten Limapuluh Kota, terlihat masih berdiri kokoh dan sering didatangi peziarah.

Surau Tuo Taram 

Sumber video : https://youtu.be/

Surau Tuo Taram merupakan pusat peradaban Islam tertua di Luak Limopuluah (Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, Sumbar). Dibangun pada zaman Syekh Ibrahim Mufti, ulama keramat asal Timor Tengah, Surau Tuo Taram kini dikelola secara bergiliran.

Bersama surau ini, masyarakat Taram juga masih menyimpan Alquran tulisan tangan.
Surau Tuo Taram masih berdiri kokoh di Jorong Balaicubadak, Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota. Di bagian belakang surau ini, tepatnya arah ke samping kiri, Bukik Bulek (Bukit Bulat) yang sudah lama menjadi ’maskot’ Taram.

Konon, surau ini berdiri semasa seorang ulama besar bernama Syekh Ibrahim Mufti, mengembangkan Islam di wilayah Luak Limopuluah (Kabupaten Limapuluh dan Kota Payakumbuh, serta sebagian wilayah Kampar, Riau).

Syekh Ibrahim Mufti yang dikenal luas sebagai Beliau Keramat Taram atau Tuanku Taram adalah ulama kharismatik. Namanya, tidak hanya dikenal di Nagari Taram. Namun, juga melekat di hati jamaah seluruh cabang tarikat (baik naqsabandi ataupun syatariah) yang ada di Sumbar, Riau, bahkan Malaysia.

Meski berjuluk Beliau Keramat Taram atau Tuanku Tuo Taram, namun Syekh Ibrahim Mufti bukan asli warga Nagari Taram. Sufiullah ini berasal dari Timur Tengah.

Salah satu keturunannya yakni Ramli Datuak Marajo Basa, meyakini Syekh Ibrahim Mufti berasal dari Palestina.

”Menurut cerita yang diwarisi turun-temurun, Syekh Ibrahim Mufti ini bukan orang asli Taram, tapi orang dari Palestina (Timur Tengah). Beliau datang berdakwah ke Taram, bersamaan dengan kedatangan Syekh Abdurrauf Singkil ke Aceh,”

Jika keterangan yang diwarisi secara turun-temurun ini tidak meleset, maka dapat diperkirakan Syekh Ibrahim Mufti datang ke Taram pada tahun 1600-an atau abad 17. Sebab, Syekh Abdurrauf Singkil yang berasal dari Persia atau Arabia datang ke Aceh pada tahun 1663 Masehi atau 1024 Hijriah.

Dengan demikian, dapat diperkirakan, Syekh Ibrahim Mufti adalah ulama yang paling tua menyiarkan Islam di Luak Limopuluah. Surau Tuo Taram yang dibangun pada zaman Syekh Ibrahim Mufti, menjadi bukti pusat peradaban Islam tertua di Luak Limopuluah.

Menurut Dr Wannofri Samri, sejarawan dari Unand Padang "sayang sekali, belum ada yang tahu kapan Syekh Ibrahim Mufri lahir dan tahun berapa wafatnya. Sampai kini, tanggal dan tahun lahir Beliau Keramat Taram masih nisbih. Karena tidak ada dokumen khusus mencatat tentang itu. Walau begitu, diperkirakan, Syekh Ibrahim Mufti atau Beliau Keramat Taram hidup di atas abad ke-16. Sebab, Islam masuk ke Sumbar baru pada abad 16".

Menurut Ramli Datuak Marajo Basa yang mewarisi sejarah Syekh Ibrahim Mufti dari ayahnya Ramsyah Datuak Bagindo Simarajo Nan Panjang, Syekh Ibrahim Mufti begitu datang dari Timo Tengah, tidak langsung menuju Nagari Taram. Namun, sempat singgah dulu di wilayah Siak, Provinsi Riau.

”Sejarah yang saya terima dari orangtua, Syekh Ibrahim Mufti begitu datang dari Arab bersama Syekh Abdurrauf Singkil, tidak langsung ke Taram. Tapi, beliau pergi dulu ke Siak, Riau. Setelah itu, baru datang ke Taram. Awalnya, beliau berdagang. Kemudian, menyiarkan agama Islam,” kata Ramli.

Ramli menyebutkan, selama tinggal di Taram Syekh Ibrahim Mufti memiliki dua istri. Dengan istri pertamanya dari Suku Piliang Loweh, ia memiliki satu keturunan yakni Syekh Muhammad Nurdin yang makamnya juga berada di samping Surau Tuo Taram.

Sedangkan dengan istri keduanya dari Suku Bodi, Syekh Ibrahim Mufti juga punya satu keturunan, yakni Syekh Muhammad Jamil yang meninggal di Bengkalis, Riau, saat mencari ayahnya.

Konon, menurut cerita yang diyakini warga Nagari Taram, Syekh Ibrahim Mufti memang pernah menghilang tak tentu rimbanya. Sehingga, membuat anak dan murid-muridnya menjadi cemas. Saat itulah, salah satu anaknya yakni Syekh Muhammad Jamil mencari Syekh Ibrahim Mufti ke wilayah Bengkalis, Provinsi Riau. Sang anak, meninggal dalam pencarian tersebut.

”Adapun Syekh Ibrahim Mufti, setelah dicari-cari, tidak ketemu juga. Sampai akhirnya, salah satu muridnya bermimpi bertemu dengan Syekh Ibrahim Mufti. Dalam mimpi itu, Syekh Ibrahim Mufti berpesan kepada muridnya, jika ingin mencari saya, maka lihatlah cahaya pada malam 27 Rajab. Di mana ada cahaya itu, disitulah kubur saya,” kata Ramli.

Singkat cerita, pada malam 27 Rajab yang ditunggu-tunggu itu, salah seorang murid Syekh Ibrahim Mufti melihat ada cahaya dari bumi yang tembus ke atas langit. Begitu dilihat, ternyata cahaya itu bersumber dari sebuah tanah yang berada tidak jauh dari kaki Bukik Bulek (Bukit Bulat) Nagari Taram.

”Paginya, di dekat lokasi cahaya itu terlihat, sudah ditemukan saja ada kuburan baru. Sejak itu, murid-murid Syekh Ibrahim Mufti dan masyarakat yakin, kuburan tersebut adalah makam Syekh Ibrahim Mufti yang sebelunya menghilang. Maka di samping kuburan itu, akhirnya dibuatlah Surau Tuo Taram,” ujar Ramli.

Sarat Cerita Keramat

Cerita tentang Syekh Ibrahim Mufti yang makamnya hanya diketahui lewat cahaya ini, tidak mengherankan bagi masyarakat Taram. Apalagi bagi ulama tareqat di Minangkabau. Sebab, riwayat hidup Syekh Ibrahim Mufti, memang sarat dengan cerita keramat. Sudah tidak terhitung penulis yang mengabarkan soal keramatnya Syekh Ibrahim Mufti ini.

Bahkan, sastrawan nasional asal Nagari Taram Damhuri Muhammad sempat menulis cerita pendek (cerpen) tentang Syekh Ibrahim Mufti yang keramat. Meski cerpen yang dimuat Jawa Pos edisi Oktober 2005 itu karya fiksi, tapi jalan ceritanya, mirip sekali dengan kisah yang didengar banyak orang ketika berziarah ke makam Syekh Ibrahim Mufti di Taram.

Dalam ceritanya, Damhuri tidak hanya memaparkan kisah bagaimana warga Taram menemukan makam Syekh Ibrahim Mufti. Tapi juga menjelaskan dengan gamblang, bagaimana Syekh Ibrahim yang sedang mencukur rambut, tiba-tiba hilang dan pergi memadamkam api yang membakar Mekkah. Padahal, ketika itu rambutnya baru separoh yang dicukur.

Bukan itu saja, Damhuri menceritakan pula soal negeri Taram yang dulu bertanah gersang. Tak ada sumber air untuk mengairi sawah. Kalaupun ada sawah yang ditanami, itu hanya mengharapkan curah hujan. Tapi, sejak kedatangan Syekh Ibrahim Mufti, perlahan-lahan alam mulai bersahabat. Keadaan berubah menjadi lebih baik.

Waktu itu, Syekh Ibrahim Mufti menancapkan ujung tongkatnya ke dalam tanah, lalu dihelanya tongkat itu sambil berjalan ke arah timur. Tanah kering yang tergerus tongkat Syekh Ibrahim seketika lembab, basah dan dialiri air yang datang entah dari mana.

Sesampai di ujung paling Timur, Syekh berhenti. Dibiarkannya tongkat itu tertancap. Lebih dalam dari tancapan pertama. Kelak, titik tempat beliau berhenti ini dinamai: Kapalo Banda. Itulah mata air pertama di Taram yang kini menjadi objek wisata.

Quran Tulisan Tangan

Selain sarat dengan cerita ceramat, Syekh Ibrahim Mufti juga diyakini warga Nagari Taram, meninggalkan benda-benda yang pernah digunakannya. Seperti, sebilah tongkat dan sebuah bejana atau ember berbahan kuningan yang dapat ditemukan di rumah keluarga Ramli, sekitar satu kilometer dari Surau Tuo Taram.

Ramli menyebut, dia mendapatkan sebilah tongkat dan sebuah bejana yang diyakini peninggalan Syekh Ibrahim Mufti, dari ayahnya Ramsyah Datuak Bagindo Simarajo Nan Panjang. Selain menitipkan tongkat dan bejana, Ramsyah juga menitipkan setumpuk kitab (naskah) berbahasa Arab dan berbahasa Arab Melayu.

”Tongkat, ember dan kitab-kitab ini semua peninggalan Syekh Ibrahim Mufti. Semasa, hidupnya, beliau punya dua istri di Taram. Yakni, dari suku Bodi dan dari Suku Piliang Loweh. Di rumah suku Bodi, tersimpan Alquran tulisan tangan. Sedangkan di ruman suku Piliang Laweh atau kaum almarhum ayah saya, tersimpan tongkat, ember dan kitab,” ujar Ramli.

Saat ini, tongkat peninggalan Syekh Ibrahim Ibrahim Mufti (diyakini pernah digunakan untuk mencari sumber air di Nagari Taram), masih dalam kondisi kokoh. Ukuran panjang tongkat itu memang tidak lazim. Mencapai hampir dua meter. ”Bayangkan berapa tingginya Syekh Ibrahim Mufti itu dulu,” kata Ramli.

Sedangkan ember peninggalan Syekh Ibrahim Mufti yang terbuat dari kuningan, mulai keropos pada bagian bawahnya. ”Pernah ada yang menawari kami, untuk membantu mempati (memperbaiki) ulang ember ini. Tapi, setelah kami pikir-pikir, bisa hilang aslinya. Makanya, kami biarkan begini,” tukuk Ramli.

Untuk kitab-kitab atau naskah berbahasa Arab dan bahasa Arab Melayu peninggalan Syekh Ibrahim Mufti, kondisi tulisannya sebagian memang mulai ada yang memudar. Kertasnya juga mulai ada yang lusuh. Tapri, masih tetap bisa dibaca. 
---

Cerita khurafat yang sama juga terjadi di pulau Bima, simak dongengnya Kiyai Idrus Ramli berikut :


Baca juga artikel terkait :

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?