KAIDAH HALAL DAN HARAM DALAM JUAL BELI
Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari'atNya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:
” … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…( Q.S. al-Baqarah: 275).
Simak video berikut :
Tanya jawab : TENTANG NABUNG DAN KERJA DI BANK ITU RIBA...?!
Bersama : dr. Richard Lee, MARS dan Ustadz Dr. Khalid Zeed Abdullah Basalamah, Lc., M.A.
Tanya jawab : TENTANG NABUNG DAN KERJA DI BANK ITU RIBA...?!
Bersama : dr. Richard Lee, MARS dan Ustadz Dr. Khalid Zeed Abdullah Basalamah, Lc., M.A.
KAIDAH HALAL DAN HARAM DALAM JUAL BELI
Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal ini merupakan salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak belakang dalam masalah hukum dan kaidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
“Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau” [Qaaf /50: 5]
Di antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal, sederhana tetapi padat dan jelas isi kandungannya.
Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan; bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [al A’raf /7: 157]
Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah boleh dan halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai didapatkan dalil dari syariat yang menetapkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba“. [al Baqarah/2 : 275].
Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses mu’amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu“. [an Nisa/4 : 29].
Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada pembahasan kali ini berhubungan dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya.
Kaidah pertama : Tentang Riba
Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu[1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi tiga, yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh.
Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut[2].
Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan berbagai tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka harus sama takaran (timbangannya).
Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum), sebagaimana illah yang terdapat dalam riba fadhl[3].
Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum, atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan kismis.
Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang yang tidak diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl (dengan berbeda selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma 2 kg dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan apabila diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan pembeli sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [al Baqarah/2:130]
Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo pembayaran hutang, orang yang menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang: “bayar sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi harus dengan tambahan dari jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan ataupun dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram.
Riba al-qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A.
Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya. Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo, riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan bersyarat.
Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal itu merupakan kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ.
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya“. [al Baqarah/2 : 279]
Bila ada yang mengatakan : “Bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman, padahal orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar dengan sejumlah kelebihan tertentu?”
Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi.
Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta dengan tanpa hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa membayar karena kesusahan, seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan dari jumlah yang semestinya ia ambil (nominal hutang, red) adalah kezhaliman. Selain itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat. Bila syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti.
Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya. Karena ia khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan ridha dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang tidak pernah ia manfaatkan.
Baca Juga Jual Beli yang Diharamkan
Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri, karena hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan azab akhirat, karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba nasi-ah.
Jenis Barang yang Masuk Dalam Kategori Riba
Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang dikatakan riba, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi). Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus diserahkan saat transaksi[4].
Keenam macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para ulama berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut apa tidak?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih al Fauzan dan as Sa’di.
Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang paling dekat (kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan perak karena dzat emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang atau bukan.[5]
Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang yang ditakar dan makanan (dikonsumsi)[6].
Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan keenam macam tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba.
Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya, semisal beras ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua syarat, yaitu sama ukurannya dan diberikan di tempat akad serta dalam satu waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang sedangkan barang lainnya diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2 kg beras. Walaupun berbeda kualitasnya.
Bila ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya penuh dengan segala kesigapan untuk menutup segala celah penipuan dan perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah yang lebih banyak dengan kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengembalikannya, seraya berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih dahulu kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham tersebut) kurma yang baik[7].
Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya salah satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan yang lebih rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’.
Bila berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka boleh berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat dan tempo ketika transaksi.
Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba atau hanya salah satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat dijual diluar waktu dan tempat transaksi tersebut.
Dr. Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,”Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya emas dengan gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan penyerahannya (nasi-ah)[8].
Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat macam.
Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah.
Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.
Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang yang sangat bernilai.
Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan pakaian, atau pakain dengan buku[9].
Kaidah kedua : Haramnya Mu’amalah yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya
Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam.
Pertama yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan Allah. Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah.
Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan. Karena bahaya dan kerugian yang dapat dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan barang harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi.
Misal dari praktek ini antara lain : jual beli janin yang masih di dalam perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli), munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan sebagainya.
Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif kecil atau samar, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya. Walaupun mereka sepakat dengan kaidah ini. Perbedaan yang terjadi dikarenakan berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Apakah ia masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan ataukah bukan? Contohnya, perkataan “aku menjual barang ini seharga para pedagang yang lain”, atau dalam jual beli kacang yang masih dalam tanah, dan sebagainya.
Karena itu, disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk menghadirkan barang kepada pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu daya yang mungkin dilakukan.
Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu dalam bentuk takaran yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan. Karena bisa jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit dari hak yang seharusnya diterima, atau bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya.
Hikmah yang terkandung dari haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ – اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)“.[al Maidah/5 : 90-91]
Kaidah ketiga : Jual Beli Berupa Penipuan
Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.”
Tipu muslihat yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara penyamaran atau dengan menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik dan bagus, padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat.
Kaidah keempat : Ridha Syar’i dari Kedua Belah Pihak
Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya.
Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan.
Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya.
Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia meridhainya.
Kaidah kelima : Akad Harus Berasal dari Pemilik Barang, Pemiliki Hak atau Wakilnya
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya.
Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya.
Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya.
Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain. Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik patungan dengan orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan barang tersebut.
Kaidah keenam dan ketujuh : Akad Yang Mengandung Unsur Meninggalkan Perkara Wajib atau Perbuatan Haram, Maka Transaksinya Menjadi Haram Dan Tidak Sah.
Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi” [al Munafiqun/63 : 9].
Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji` :
Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as Sa’di, Fatawa wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet. Adhwa-u as Salaf.
Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8, Cet. Muassasah Salam.
Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al Fauzan, Jilid 2, Cet. Daar Ibn al Jauzi.
Al Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim Badawy, Cet. Ibn Rajab.
Disusun oleh Ustadz Mu’tashim
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al Mulakhkhash al Fiqhi (2/28).
[2] Al Wajiz, hlm. 347
[3] Asy Syarhu al Mumti’ (8/328).
[4] Mukhtashar Shahih Muslim, 949.
[5] Asy Syarhu al Mumti’ (8/390).
[6] Al Mulakhkhas al Fiqhi (2/29).
[7] Muttafaqun ‘alaih
[8] Al Wajiz, 349.
[9] Asy Syarhu al Mumti’ (8/327-328).
Sumber artikel : https://almanhaj.or.id
Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal ini merupakan salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak belakang dalam masalah hukum dan kaidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
“Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau” [Qaaf /50: 5]
Di antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal, sederhana tetapi padat dan jelas isi kandungannya.
Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan; bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [al A’raf /7: 157]
Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah boleh dan halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai didapatkan dalil dari syariat yang menetapkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba“. [al Baqarah/2 : 275].
Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses mu’amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu“. [an Nisa/4 : 29].
Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada pembahasan kali ini berhubungan dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya.
Kaidah pertama : Tentang Riba
Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu[1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi tiga, yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh.
Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut[2].
Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan berbagai tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka harus sama takaran (timbangannya).
Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum), sebagaimana illah yang terdapat dalam riba fadhl[3].
Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum, atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan kismis.
Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang yang tidak diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl (dengan berbeda selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma 2 kg dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan apabila diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan pembeli sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [al Baqarah/2:130]
Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo pembayaran hutang, orang yang menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang: “bayar sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi harus dengan tambahan dari jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan ataupun dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram.
Riba al-qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A.
Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya. Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo, riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan bersyarat.
Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal itu merupakan kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ.
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya“. [al Baqarah/2 : 279]
Bila ada yang mengatakan : “Bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman, padahal orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar dengan sejumlah kelebihan tertentu?”
Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi.
Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta dengan tanpa hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa membayar karena kesusahan, seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan dari jumlah yang semestinya ia ambil (nominal hutang, red) adalah kezhaliman. Selain itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat. Bila syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti.
Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya. Karena ia khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan ridha dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang tidak pernah ia manfaatkan.
Baca Juga Jual Beli yang Diharamkan
Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri, karena hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan azab akhirat, karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba nasi-ah.
Jenis Barang yang Masuk Dalam Kategori Riba
Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang dikatakan riba, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi). Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus diserahkan saat transaksi[4].
Keenam macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para ulama berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut apa tidak?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih al Fauzan dan as Sa’di.
Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang paling dekat (kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan perak karena dzat emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang atau bukan.[5]
Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang yang ditakar dan makanan (dikonsumsi)[6].
Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan keenam macam tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba.
Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya, semisal beras ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua syarat, yaitu sama ukurannya dan diberikan di tempat akad serta dalam satu waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang sedangkan barang lainnya diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2 kg beras. Walaupun berbeda kualitasnya.
Bila ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya penuh dengan segala kesigapan untuk menutup segala celah penipuan dan perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah yang lebih banyak dengan kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengembalikannya, seraya berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih dahulu kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham tersebut) kurma yang baik[7].
Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya salah satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan yang lebih rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’.
Bila berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka boleh berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat dan tempo ketika transaksi.
Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba atau hanya salah satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat dijual diluar waktu dan tempat transaksi tersebut.
Dr. Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,”Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya emas dengan gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan penyerahannya (nasi-ah)[8].
Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat macam.
Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah.
Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.
Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang yang sangat bernilai.
Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan pakaian, atau pakain dengan buku[9].
Kaidah kedua : Haramnya Mu’amalah yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya
Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam.
Pertama yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan Allah. Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah.
Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan. Karena bahaya dan kerugian yang dapat dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan barang harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi.
Misal dari praktek ini antara lain : jual beli janin yang masih di dalam perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli), munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan sebagainya.
Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif kecil atau samar, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya. Walaupun mereka sepakat dengan kaidah ini. Perbedaan yang terjadi dikarenakan berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Apakah ia masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan ataukah bukan? Contohnya, perkataan “aku menjual barang ini seharga para pedagang yang lain”, atau dalam jual beli kacang yang masih dalam tanah, dan sebagainya.
Karena itu, disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk menghadirkan barang kepada pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu daya yang mungkin dilakukan.
Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu dalam bentuk takaran yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan. Karena bisa jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit dari hak yang seharusnya diterima, atau bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya.
Hikmah yang terkandung dari haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ – اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)“.[al Maidah/5 : 90-91]
Kaidah ketiga : Jual Beli Berupa Penipuan
Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.”
Tipu muslihat yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara penyamaran atau dengan menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik dan bagus, padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat.
Kaidah keempat : Ridha Syar’i dari Kedua Belah Pihak
Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya.
Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan.
Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya.
Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia meridhainya.
Kaidah kelima : Akad Harus Berasal dari Pemilik Barang, Pemiliki Hak atau Wakilnya
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya.
Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya.
Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya.
Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain. Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik patungan dengan orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan barang tersebut.
Kaidah keenam dan ketujuh : Akad Yang Mengandung Unsur Meninggalkan Perkara Wajib atau Perbuatan Haram, Maka Transaksinya Menjadi Haram Dan Tidak Sah.
Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi” [al Munafiqun/63 : 9].
Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji` :
Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as Sa’di, Fatawa wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet. Adhwa-u as Salaf.
Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8, Cet. Muassasah Salam.
Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al Fauzan, Jilid 2, Cet. Daar Ibn al Jauzi.
Al Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim Badawy, Cet. Ibn Rajab.
Disusun oleh Ustadz Mu’tashim
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al Mulakhkhash al Fiqhi (2/28).
[2] Al Wajiz, hlm. 347
[3] Asy Syarhu al Mumti’ (8/328).
[4] Mukhtashar Shahih Muslim, 949.
[5] Asy Syarhu al Mumti’ (8/390).
[6] Al Mulakhkhas al Fiqhi (2/29).
[7] Muttafaqun ‘alaih
[8] Al Wajiz, 349.
[9] Asy Syarhu al Mumti’ (8/327-328).
Sumber artikel : https://almanhaj.or.id
Komentar
Posting Komentar