Qiyas dalam Syariat Islam
Sumber video : https://youtu.be/nrFzcZc5rcc
Qiyas dalam Syariat Islam : Rukun, Macam dan Contohnya
Ada empat sumber hukum dalam Islam yang disepakati para ulama adalah Al-Qur'an yaitu hadits, ijma', dan qiyas. Dari keempatnya, ada satu yang banyak umat Islam masih belum mengenal dan memahaminya, yaitu qiyas.
Qiyas menduduki posisi keempat dalam hal penentuan hukum syariat Islam. Maksudnya, ada urutan prioritas ketika menggunakan empat sumber dalam menetapkan suatu hukum agama dalam Islam, dan qiyas menempati deretan keempat setelah Al-Qur'an, hadits, dan ijma'.
Dijelaskan dalam buku Ushul Fiqh oleh Sapiudin Shidiq, penggunaan sumber hukum Islam haruslah secara tertib, serta tidak boleh melompat. Apabila terjadi suatu peristiwa, dan perlu adanya penetapan hukum atas kejadian tersebut, maka terlebih dahulu perlu melihat hukumnya di dalam al-Qur'an.
Jika tidak ditemukan, maka dilihat hukumnya dalam hadits nabi. Bila tidak menemukan juga, maka lihat pada ijma' (kesepakatan ulama). Dan jika masih tidak ditemukan, maka diperlukan ijtihad untuk mendapatkan hukum hal tersebut dengan memakai cara qiyas.
Pengertian Qiyas
Dalam buku Qiyas Sumber Hukum Syariah Keempat oleh Ahmad Sarwat, qiyas berasal dari kata qaasa - yaqiisu - qiyasan, yang artinya pengukuran.
Ulama ushul fiqih mendefinisikan qiyas adalah penjelasan status hukum syariat pada suatu masalah yang tidak disebutkan nash nya, dengan melakukan pengukuran pada masalah lain yang sebanding.
Ensiklopedia Imam Syafi'i oleh Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi menyebutkan bahwa Imam Syafi'i memberikan pengertian untuk qiyas adalah suatu upaya pencarian ketetapan hukum dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam al-Quran dan hadits. Qiyas hanya boleh diterapkan menyangkut sesuatu yang tidak ada nash dari Al-Quran, hadits, atau ijma'.
Rukun Qiyas
Mengutip buku Ushul Fiqh oleh Amrullah Hayatudin, qiyas dianggap lengkap apabila memenuhi rukun-rukunnya, dan para ulama menyetujui empat rukun qiyas.
1. Ashl
Ashl merupakan kasus lama yang dijadikan objek perumpamaan atau kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya secara tekstual dalam nash maupun ijma'.
Ashl disebut musyabbah bih yakni yang diserupai, juga maqis 'alaih yaitu tempat mengqiyaskan. Maksudnya, ashl adalah kasus yang dijadikan sebagai ukuran, pembanding atau disamai.
2. Far'u
Far'u disebut musyabbah yang diserupakan, dan maqis (yang diqiyaskan).
Dalam konteks qiyas, far'u diartikan sebagai kasus yang ingin disamakan kepada ashl karena tidak adanya nash yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Far'u diproses untuk disamakan dengan ashl dalam penerapan hukumnya.
Far'u yang belum jelas status hukumnya dianggap memiliki kesamaan dengan ashl. Kesamaan atau titik temu di antara far'u dan ashl ini disebut dengan illat.
3. Hukum ashl
Hukum ashl adalah hukum syariat yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum terhadap far'u (kasus yang ingin disamakan dengan ashl).
4. Illat
Arti illat sebagai hujjah atau alasan. Definisi lain dari illat yaitu kemaslahatan yang diperhatikan oleh syariat. Rukun keempat ini yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.
Macam-macam Qiyas
Imam Syafi'i membagi qiyas menjadi tiga macam sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Imam Syafi'i.
1. Qiyas Aqwa
Qiyas jenis ini memiliki illat yang lebih kuat di far'u nya daripada ashl nya. Maksudnya, qiyas aqwa adalah menyamakan sesuatu yang memiliki kuantitas kecil atau sedikit dengan yang lebih banyak.
Misal, Allah melalui Al-Qur'an atau Rasul-Nya telah mengharamkan suatu hal yang jumlahnya sedikit. Apabila jumlah sedikit saja diharamkan, maka yang kuantitasnya banyak lebih diharamkan lagi.
Begitu juga dengan pujian yang Allah beri kepada hamba yang sedikit ketaatannya, maka seorang hamba yang melakukan lebih banyak taat maka akan lebih terpuji lagi.
Sebagai contoh, firman Allah dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7-8.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ
Arab Latin: fa may ya'mal miṡqāla żarratin khairay yarah wa may ya'mal miṡqāla żarratin syarray yarah
Artinya: Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.
Dijelaskan bahwa jika manusia melaksanakan kebaikan meskipun sedikit, maka ia akan mendapat balasan. Terlebih jika ia melakukan amal kebaikan yang besar, maka balasan atas amalnya itu juga pasti ada dan banyak pula.
Demikian dengan keburukan, walaupun mengerjakan sedikit, manusia akan mendapat dosa. Apalagi ia melaksanakan keburukan yang lebih besar, maka dosanya pasti lebih banyak.
2. Qiyas Musawi
Qiyas musawi memiliki kekuatan illat yang sama pada far'u dan ashl nya.
Ada ulama yang menyatakan bahwa apa pun yang berstatus halal, maka halal baginya. Begitu juga sesuatu yang haram, maka baginya diharamkan.
Disebutkan juga contoh dari sabda Rasulullah, "Barangsiapa yang menjual hamba sahaya laki-laki yang memiliki harta, maka harta yang dimiliki hamba sahaya itu menjadi milik pembelinya, kecuali apabila penjual mensyaratkan hal lain."
Pada contoh di atas, Nabi SAW hanya mengatakan hamba sahaya laki-laki, tetapi ketentuan yang dijelaskan oleh Rasulullah tersebut juga berlaku untuk hamba sahaya perempuan.
3. Qiyas Adh'af
Qiyas ini memiliki illat pada far'u nya lebih lemah dari ashl nya. Misal, firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 233
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا
Arab Latin: wa 'alal-maulụdi lahụ rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma'rụf, lā tukallafu nafsun illā wus'ahā
Artinya: Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian anak-anaknya dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Dikatakan bahwa tugas ayah adalah menafkahi anak-anaknya, dan illat hukum pada ayat ini adalah hubungan darah anak dan ayahnya.
Maka apabila kondisi bapaknya sudah tidak sanggup memberi nafkah anaknya, sementara anak-anaknya sudah mapan, maka anak berkewajiban merawat dan menafkahi ayahnya.
Kondisi tersebut yakni kewajiban anak menafkahi orang tuanya apabila sudah mapan didasarkan pada qiyas.
Untuk lebih jelas tentang qiyas simak video berikut :
Baca juga artikel terkait berikut :
Sumber : https://www.detik.com/hikmah/
Komentar
Posting Komentar