Yasinan : Bid’ah yang Dianggap Sunnah

Video ilustrasi :
Trending Netizen Desak Petinggi NU Fatwakan Tahlil Tak Wajib, Ini Respons PBNU

Sumber video : https://youtu.be/

Yasinan : Bid’ah yang Dianggap Sunnah

“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” 

Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi, kan lebih baik digunakan untuk membaca Al-Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.

Al-Qur’an untuk Orang Hidup

Al-Qur’an diturunkan Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Naml: 80).

Allah Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang
memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70).

Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39).

Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

Biar Sederhana yang Penting Ada Tuntunannya

Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim).

Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia?

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis : Muhammad Ikrar Yamin
Sumber : https://muslim.or.id/

------

PEMBACAAN SURAT YASIN (YASINAN)

Yasinan (pembacaan surat Yasin) di tempat orang yang meninggal dunia, atau Yasinan (hafalan surat Yasin) setiap malam Jum’at. Hal itu dilakukan dengan berjama’ah dan suara keras.

Sepanjang pengetahuan kami, orang-orang yang melakukan amalan seperti itu menganggap hukumnya sebagai ibadah yang baik. Mereka menyebutkan berbagai alasan, diantaranya :

(1) Menurut mereka, hal itu termasuk ibadah membaca Al Qur’an. Mengapa membaca Al-Qur’an dilarang?

(2) Hal itu termasuk berjama’ah membaca Al Qur’an yang sangat utama sebagaimana disebutkan di dalam hadits.

(3) Daripada berkumpul di rumah orang kematian sekedar bermain kartu, catur, atau lainnya, apalagi berjudi, lebih baik untuk membaca Al Qur’an.

(4) Surat Yasin memiliki banyak keutamaan; antara lain merupakan jantung Al Qur’an, sehingga dipilih daripada surat-surat yang lain.

(5) Berkumpul membaca surat Yasin tidak ada jeleknya.

DALIL YANG MELARANG

Adapun orang-orang yang melarang perbuatan di atas, juga membawa berbagai dalil dan alasan. Mereka juga mendudukan perkara itu, dan sekaligus membantah alasan kelompok pertama. Kelompok yang tidak membolehkan acara di atas menyatakan:

1. Kitab suci Al Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan, berhukum dengannya, mendakwahkannya, dan lainnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَهَذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat. [Al An’am/6:155].

Oleh karena itulah Allah mendorong hamba-hambaNya untuk membacanya dan merenungkannya dalam banyak ayat-ayatNya. Dia berfirman:

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. [Shad/38:29]

Dan Allah mencela orang-orang yang berpaling dari Al Qur’an, tidak mau merenungkannya. Dia berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An Nisa’/4:82]

Inilah hikmah diturunkannya Al Qur’an, supaya ayat-ayatnya diperhatikan, diilmui, dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran, yaitu supaya diamalkan. Adapun membacanya di rumah orang kematian, atau ketika peringatan kematian, maka demikian itu merupakan perbuatan yang tidak pernah disyari’atkan oleh agama Islam, tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan tidak pernah diamalkan oleh para sahabat ataupun para ulama yang mengikuti jalan mereka.

Orang-orang yang tidak menyetujui acara tersebut, bukan melarang membaca Al Qur’annya, namun mereka melarang cara dan sifatnya yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga hal itu termasuk perkara baru dalam agama, yang disebut bid’ah, dan seluruh bid’ah itu sesat.

Memang membaca Al Qur’an merupakan ibadah mulia, memiliki berbagai keutamaan, sebagaimana disebutkan di dalam banyak nash-nash agama. Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk membaca Al Qur’an, karena Al Qur’an akan memohonkan syafa’at bagi shahibul Qur’an (orang yang memahami dan mengamalkan Al Qur’an).

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ قَالَ مُعَاوِيَةُ بَلَغَنِي أَنَّ الْبَطَلَةَ السَّحَرَةُ

Dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda,”Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemohon syafa’at bagi ash-habul Qur’an (orang yang mengamalkannya). Bacalah dua yang bercahaya, Al Baqarah dan surat Ali Imran; sesungguhnya keduanya akan datang pada hari kiamat, seolah-olah dua naungan atau seolah-olah keduanya dua kelompok burung yang berbaris. Keduanya akan membela ash-habnya. Bacalah surat Al Baqarah, karena sesungguhnya mengambilnya merupakan berkah, dan meninggalkannya merupakan penyesalan. Dan Al Bathalah tidak akan mampu (mengalahkan)nya.” Mu’awiyah berkata,”Sampai kepadaku, bahwa Al Bathalah adalah tukang-tukang sihir.” [HR Muslim, no. 804]

Membaca Al Qur’an juga memiliki pahala yang besar.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah bersabda,”Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” [HR Tirmidzi no, 2910, dishahihkan Syaikh Salim Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin 2/229].

Baca Juga  Membaca Al-Qur'an Di Atas Kuburan
Karena membaca Al Qur’an termasuk ibadah, sehingga agar ibadah itu diterima oleh Allah dan berpahala, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: ikhlas dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kalaupun Yasinan (pembacaan surat Yasin) sebagaimana di atas dilakukan dengan ikhlas, tetapi karena tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salla dan tidak dilakukan para sahabatnya, maka perbuatan tersebut tertolak.

2. Berkumpul untuk membaca Al Qur’an memang sangat utama, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling belajar di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim no. 2699; Abu Dawud no. 3643; Tirmidzi no. 2646; Ibnu Majah no. 225 dan lainnya].

Hadits di atas nyata menunjukkan, bahwa berkumpul untuk membaca dan mempelajari Al Qur’an merupakan ibadah yang sangat mulia. Namun bagaimanakah bentuk atau cara yang sesuai dengan Sunnah Nabi? Karena, jika amalan itu tidak sesuai dengan Sunnah, ia akan tertolak.

Berikut ini kami jelaskan bentuk-bentuk berjama’ah dalam membaca Al Qur’an, sebagaimana disebutkan para ulama:

Satu orang membaca, yang lain mendengarkan.
Disebutkan dalam hadits di bawah ini:

عَنْ عَبْدِاللَّهِ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) قَالَ أَمْسِكْ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

Dari Abdullah, dia berkata, Nabi bersabda kepadaku,”Bacakanlah (Al Qur’an) kepadaku!” Aku menjawab,”Apakah aku akan membacakan kepada anda, sedangkan Al Qur’an diturunkan kepada anda?” Beliau menjawab,”Sesungguhnya, aku suka mendengarkannya dari selainku,” maka aku membacakan kepada beliau surat An Nisa’, sehingga aku sampai (pada ayat):

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدً

Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An Nisa’/4: 41). (Kemudian) Beliau bersabda,”Berhentilah!” Ternyata kedua mata beliau meneteskan air mata.” [HR Bukhari no. 4582; Muslim no. 800; dll]

Imam Malik berkata,”Seandainya seseorang membaca, yang lain menyimak, atau seseorang membaca setelah yang lain, aku tidak menganggapnya berbahaya (yakni terlarang).”[1].

Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr berkata, ”Berkumpul untuk membaca Al Qur’an yang sesuai dengan Sunnah Nabi dan perbuatan Salafush Shalih, adalah satu orang membaca dan yang lainnya mendengarkan. Barangsiapa mendapatkan keraguan pada makna ayat, dia meminta qari’ untuk berhenti, dan orang yang ahli berbicara (menjelaskan) tentang tafsirnya, sehingga tafsir ayat itu menjadi jelas dan terang bagi para hadirin… Kemudian, qari’ mulai membaca lagi.[2].

Membaca bergantian.
Imam Malik berkata,”Hendaklah orang itu membaca, dan (setelah selesai) yang lain (ganti) membaca. Allah berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأْنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat. [Al A’raf/7: 204].[3].”

Beliau juga berkata,”Seandainya seseorang dari mereka membaca beberapa ayat, kemudian orang lain membaca setelah temannya, berikutnya membaca setelah temannya; yang demikian itu tidak mengapa, mereka saling memperdengarkan kepada yang lain.”[4]

Dibuat beberapa kelompok, setiap kelompok dibimbing oleh qari’.
Imam Malik ditanya tentang para qari’ Mesir, yang orang banyak berkumpul kepada mereka, lalu tiap-tiap qari’ membacakan (Al Qur’an) kepada sekelompok orang dan membimbing mereka? Beliau menjawab,”Itu bagus, tidak mengapa.”[5].

Selain berjama’ah membaca Al Qur’an dengan cara yang benar sebagaimana di atas, juga ada cara yang tidak benar, seperti di bawah ini:

a). Imam Malik bin Anas berkata,”Tidak boleh sekelompok orang berkumpul membaca satu surat (bersama-sama), seperti yang dilakukan penduduk Iskandariyah. (Demikian)ini dibenci, tidak menyenangkan kami.”[6].

Beliau juga mengatakan,”(Yang seperti) ini bukan perbuatan orang-orang (Salaf).”[7].

Yang dikatakan oleh Imam Malik di atas, persis acara Yasinan yang banyak dilakukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia.

Adapun membaca Al Qur’an bersama-sama dengan satu suara secara keras, ini bertentangan dengan ayat 204 surat Al A’raf, sebagaimana di atas. Allah memerintahkan, jika Al Qur’an dibacakan, kita wajib diam dan mendengarkan, juga merenungkan apa yang dibaca. Jika semua yang hadir membaca bersama-sama, siapa yang akan mendengarkan? Bisakah orang merenungkan?

b). Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Walid Ath Thurthusi rahimahullah (wafat 530 H ) berkata,”Adapun sekelompok orang berkumpul di masjid atau lainnya, kemudian seseorang yang bersuara indah membaca (Al Qur’an) untuk mereka, maka ini terlarang! Hal itu dikatakan oleh Imam Malik. Karena membaca Al Qur’an disyari’atkan dalam bentuk ibadah, dan menyendiri dengannya lebih utama. Sesungguhnya, tujuan itu (yakni berkumpul dan mendengarkan bacaan indah seseorang) hanyalah mencari perhatian, (mencari) makan dengannya saja, dan termasuk satu jenis meminta-minta dengan Al Qur’an. Dan ini termasuk perkara yang Al Qur’an wajib disucikan darinya.”[8].

Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi menambahkan perkataan di atas dengan mengatakan, ”Sebagaimana terjadi pada acara-acara resmi dan keagamaan –menurut sangkaan mereka- di banyak masjid!”

3. Adapun perkataan mereka “Daripada berkumpul di rumah orang kematian sekedar bermain kartu, catur, atau lainnya, apalagi berjudi, lebih baik untuk membaca Al Qur’an”, maka ditinjau dari beberapa sisi, pendapat seperti ini tidak dapat diterima. Mengapa?

Baca Juga  Derajat Hadits Keutamaan Menghafal Al-Qur`ân

a). Berkumpul di rumah orang kematian setelah penguburan mayit, sebagaimana banyak dilakukan orang, termasuk perbuatan niyahah (meratapi mayit) yang terlarang, memperbarui kesedihan, dan membebani keluarga mayit.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata di dalam kitab Al Umm 1/248,”Aku membenci berkumpul dalam kesusahan, yaitu berjama’ah, walaupun mereka tidak menangis; karena hal itu akan memperbarui kesedihan, membebani biaya, bersamaan dengan riwayat yang telah lalu tentang hal ini.”

Kemungkinan, riwayat yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i tersebut ialah riwayat dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, dia berkata,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

Kami (para sahabat) memandang berkumpul kepada keluarga mayit dan pembuatan makanan setelah penguburannya termasuk meratap.[9].

Dan hal itu termasuk bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama.[10].

b). Sebagian ulama menyatakan, hukum bermain kartu dan catur, walaupun tanpa perjudian itu terlarang, sehingga termasuk maksiat. Adapun berkumpul di rumah orang kematian untuk membaca Al Qur’an hukumnya bid’ah.

Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,”Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada maksiat. Orang terkadang bertaubat dari maksiat, tetapi seseorang sulit bertaubat dari bid’ah.”[11].

Pelaku bid’ah menganggap bid’ahnya sebagai ibadah dan kebaikan. Maka, bagaimana dia diminta untuk bertaubat darinya?!

4. Alasan mereka “Surat Yasin memiliki banyak keutamaan, antara lain merupakan jantung Al Qur’an, sehingga dipilih daripada surat-surat yang lain”.

Jawaban kami: Banyak ulama menyatakan, bahwa hadits-hadits yang menyebutkan fadhilah-fadhilah surat Yasin tidak ada yang shahih. Seandainya hadits-hadits itu shahih, bukan berarti boleh mengkhususkannya untuk dibaca pada waktu tertentu (seperti setelah kematian atau setiap malam Jum’at). Karena mengkhususkan waktu-waktu ibadah, merupakan hak pembuat syari’at, yaitu merupakan hak Allah Ta’ala semata.

5. Adapun perkataan mereka, bahwa berkumpul membaca surat Yasin tidak ada jeleknya.
Jawaban kami: Kebiasaan berkumpul membaca surat Yasin berjama’ah dengan suara keras pada waktu-waktu tertentu, mengandung banyak kejelekan dan keburukan. Antara lain:

a). Membaca Al Qur’an berjama’ah dengan suara keras bertentangan dengan firman Allah:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأْنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. [Al A’raf/7: 204].

Sebagaimana penjelasan Imam Malik yang telah kami nukil di atas.

b). Hal itu juga bertentangan dengan metode Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ketika secara berjama’ah membaca Al Qur’an. Yaitu, satu orang membaca dan yang lainnya diam, mendengarkan dan merenungkan isinya, sebagaimana telah kami sebutkan di atas.

c). Mengkhususkan membaca surat Yasin, tanpa surat-surat yang lain juga merupakan bid’ah dhalalah (yang sesat). Hal ini termasuk bid’ah idhafiyah, yaitu bid’ah yang pada asalnya ada dalil, namun sifatnya tidak ada dalil. Membaca Al Qur’an ada dalilnya, tetapi mengkhususkan surat Yasin pada waktu-waktu tertentu tidak ada dalilnya.

Tentang seluruh bid’ah merupakan kesesatan, dan tidak ada bid’ah hasanah di dalam agama. Lihat Majalah As Sunnah, Edisi 02/Tahun V/1421H/2001M.

d). Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca surat Yasin, seperti setelah kematian atau setiap malam Jum’at, juga merupakan bid’ah dhalalah sebagaimana point sebelumnya.

e). Membaca Al Qur’an bersama-sama dengan satu suara dan keras, memiliki berbagai keburukan.

Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr menyatakan, membaca Al Qur’an dengan satu suara merupakan bid’ah yang buruk dan memuat banyak kerusakan:

Hal ini merupakan perkara baru.
Mereka tidak saling mendengarkan bacaan Al Qur’an, bahkan saling mengeraskan, sedangkan Nabi melarang dari hal ini.
Seorang qari’ terpaksa berhenti untuk bernafas, sedangkan orang-orang lain meneruskan bacaan, sehingga dia kehilangan beberapa kata saat bernafas, maka ini tidak diragukan lagi keharamannya.

Seseorang bernafas pada mad muttashil seperti: جَاءَ , شَاءَ , أَنْبِيَاءَ sehingga dia memutus satu kata menjadi dua bagian. Ini merupakan perkara yang haram dan keluar dari adab qira’ah.

Menyerupai ibadah Ahli Kitab ibadah di dalam gereja mereka.[12].

Kalau kita sudah mengetahui, bahwa hal itu termasuk bid’ah, maka sesungguhnya kejelekan bid’ah itu sangat banyak. Antara lain:

Seluruh bid’ah sesat.
Kesesatan itu membawa ke neraka.
Amalan bid’ah tertolak
Bid’ah termasuk perbuatan yang melewati batas.
Menganggap baik terhadap bid’ah, berarti menganggap agama Islam belum sempurna. Padahal Allah telah memberitakan kesempurnaan agama ini. apakah mereka mengingkarinya?
Bid’ah menyebabkan perpecahan.
Pelaku bid’ah, semakin lama kian jauh dari Allah.
Pelaku bid’ah menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya sampai kari kiamat.
Pelaku bid’ah menentang agama.
Pelaku bid’ah menempatkan dirinya sebagai “pembuat syari’at”.

Pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pelaku bid’ah dilaknat oleh Allah.[13]Dan kejelekan-kejelekan lainnya yang diketahui oleh Allah Ta’ala.
Inilah sedikit jawaban dari kami. Semoga dapat menghilangkan kebimbangan orang dalam masalah ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VII/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Fotenote
[1] Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162
[2] Kitab Al Bahts Wal Istiqra’ Fii Bida’il Qurra’, hlm. 50-51
[3] Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162
[4] Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162
[5] Al Muntaqa, 1/345 karya Al Baji, dinukil dari Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 161
[6] Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 161
[7] Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162
[8] Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 96
[9] HR Ahmad dan ini lafazhnya; dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh An Nawawi, Al Bushiri, dan Al Albani. Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 167
[10] Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 167
[11] Riwayat Al Lalikai, Al Baghawi, dan lainnya
[12] Kitab Al Bahts Wal Istiqra’ Fi Bida’il Qurra’, hlm. 51-52
[13] Lihat Mabhats Majalah As Sunnah, Edisi 02/Tahun V/1421H/2001M
 
Sumber : https://almanhaj.or.id

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab