Qiyâs Ala Iblis
QIYAS ALA IBLIS
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri, MA
Pendahuluan
Alhamdulillâh, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Akal sehat adalah diantara sekian nikmat terbesar yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada umat manusia. Dengannya kita bisa membedakan antara yang baik dari yang buruk, berguna dari yang berbahaya.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allâh telah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu, sedang kalian tidak mengetahui apa-apa, dan Allâh menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur. [an-Nahl/16:78]
Akan tetapi, sangat disayangkan, kenikmatan besar ini oleh sebagian orang tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Bahkan sebaliknya, mereka menggunakan akal pikirannya untuk mencampur adukkan kebaikan dengan keburukan serta mencampur adukkan suatu yang berguna dengan yang berbahaya. Mereka dengan sengaja dan penuh sadar menyamakan antara yang hina dengan yang mulia dan kebenaran dengan kebatilan. Dengan sikap mereka ini, akal sehat mereka menjadi mati dan tidak berguna, sehingga pembeda antara mereka dengan hewan ternak, yaitu akal sehat seakan telah sirna. Tidak heran bila mereka celaka di dunia dan sengsara di akhirat.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Sungguh telah Kami campakkan ke dalam neraka kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka memiliki hati akan tetapi mereka tidak berfikir dengannya, mereka memiliki mata, akan tetapi mereka tidak melihat denganya, dan mereka memiliki pendengaran, sedangkan mereka tidak mendengarkan dengannya. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [al- A’râf/7:179]
Melalui tulisan ini, saya mengajak Anda untuk mengenali beberapa bukti nyata dari penyalahgunaan akal, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sesat nan menyesatkan. Besar harapan saya, anda dapat mengambil pelajaran dari kesalahan mereka.
Qiyâs Ala Iblis Biang Kehancuran
Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan, ”Para Ulama’ telah menegaskan bahwa makhuk pertama yang berdalil dengan qiyâs ialah Iblis. Tidaklah matahari dan bulan disembah melainkan karena praktek qiyâs yang tidak pada tempatnya. qiyâs semacam inilah yang diakui oleh para penghuni neraka setelah mereka masuk ke dalamnya sebagai kesalahan. Mereka berkata :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ﴿٩٧﴾إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Sungguh kami dahulu bernar-benar dalam kesesatan yang nyata, karena kami telah menyamakan kalian dengan Rabb Penguasa semesta alam. [As-Syu’arâ’/26:97-98].
Dan Allâh Azza wa Jalla juga mencela pelakunya dengan berfirman :
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
… Lalu orang-orang kafir menyamakan Rabb mereka dengan selain-Nya. [al-An’âm/6:1].
Maksudnya mereka menganalogikan Rabb dengan yang lain, menyamakan-Nya dengan yang lain dalam hal peribadahan. ………“Tidaklah terjadi kerusakan dan kebinasaan di muka bumi, melainkan akibat dari penggunaan qiyâs (analogi) yang salah. Bahkan dosa pertama yang dilakukan kepada Allâh tak lain dan tak bukan kecuali hasil dari qiyâs yang salah. Penerapan qiyâs semacam ini dari iblis telah menyebabkan penderitaan bagi nabi Adam dan anak keturunannya. Pendek kata, biang dari seluruh kehancuran di dunia dan akhirat adalah penerapan qiyâs yang salah.”[1]
Berikut beberapa contoh nyata dari qiyâs ala iblis yang telah mendatangkan kesengsaraan bagi umat manusia, baik di dunia atau di akhirat:
Qiyâs Ala Iblis Pertama : Kemulian Dipandang Dari Asal Keturunan
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allâh berfirman, “Apa yang membuatmu enggan untuk sujud (kepada Adam) ketika Aku perintahkan engkau ?” Iblis menjawab, “Aku lebih baik darinya, Engkau menciptakan aku dari api sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah.” [al A’arâf/7:12]
Ibnu Katsir menjelaskan qiyâs yang dilakukan iblis ini dengan mengatakan, “Ucapan Iblis terkutuk “aku lebih baik darinya” adalah alasan yang lebih buruk dibanding kesalahannya ….. Iblis terkutuk memandang asal usul penciptaan dan melalaikan penghargaan besar yang diterima oleh Adam. Allâh Azza wa Jalla menciptakan Adam langsung dengan tangan-Nya dan meniupkan ruh ke jasadnya. Iblis telah salah dalam menerapkan qiyâs , karena ia menggunakan qiyâs guna menentang dalil.”[2]
Syaikh Muhammad bin Amin as-Syinqithi rahimahullah berkata, “Iblis menganalogikan dirinya dan asal usul ciptaannya, yaitu api, serta ia juga menganalogikan Adam dengan asal usul ciptaannya, yaitu tanah. Dari analogi (qiyas) ini, Iblis menarik kesimpulan bahwa dirinya lebih mulia dibanding Adam Alaihissallam , sehingga tidak layak bila ia yang lebih mulia diperintah untuk sujud kepada Adam Alaihissallam . Iblis bersandarkan kepada qiyâs padahal ia dapat dalil tegas yang memerintahkannya untuk sujud kepada Adam Alaihissallam. Menurut ulama’ ahli ushul fiqih, qiyâs semacam ini disebut dengan qiyâs fasid i’itibâr (tidak pada tempatnya).[3]
Demikianlah pola pikir Iblis, kemuliaan dan harga diri selalu dikaitkan dengan asal usul keturunan atau nasab. Padahal kemulian yang sejati hanyalah terletak pada kedekatan hamba kepada pemilik segala kemuliaan yaitu Allâh. Allâh Azza wa Jalla berfirman ;
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang paling mulia dari kalian ialah orang yang paling bertaqwa dari kalian. [al-Hujurat/49:13]
Bila demikian, relakah anda untuk meneruskan pola pikir Iblis terkutuk ini, yaitu dengan beranggapan bahwa kemulian bersumber dari suku, bangsa dan nasab ? Masihkah Anda beranggapan bahwa “darah biru” lebih tinggi kedudukannya dan lebih terhormat daripada yang “berdarah merah”? Simaklah petuah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Barang siapa yang amalannya tidak menyegerakannya (masuk surga) niscaya nasab keturunannya tidak dapat menyegerakannya. [Riwayat Muslim, no. 2699]
Imam Nawawi rahimahullah ketika menerangkan hadits ini, beliau rahimahullah mengatakan, “Orang yang amalannya hanya sedikit, ia tidak dapat mencapai kedudukan orang-orang yang banyak beramal. Oleh karena itu, tidak sepantasnya ia hanya mengandalkan kemuliaan nasab, dan nama harum orang tua, sedangkan ia tetap bermalas-malasan untuk beramal.[4]
Qiyâs Ala Iblis Kedua: Kebebasan Memberi Pembelaan
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قَالُوا وَهُمْ فِيهَا يَخْتَصِمُونَ ﴿٩٦﴾ تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ﴿٩٧﴾ إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Mereka berkata -sambil bertengkar di dalam neraka-, “Sungguh demi Allâh, kami dahulu semasa hidup di dunia dalam kesesatan yang nyata, karena kami menyamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” [as- Syu’arâ’/26:96-98]
Dasar pemikiran orang-orang musyrikin dalam menyamakan Allâh dengan selain-Nya ialah dalam hal syafa’at atau pembelaan. Mereka beranggapan bahwa sesembahan mereka memiliki keleluasaan dalam memberikan pembelaan kepada mereka di hadapan Allâh Azza wa Jalla.
هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Mereka adalah para pembela kami kelak di sisi Allâh. [Yûnus/10:18]
Mereka mengira bahwa para pemberi syafa’at (pembelaan) dapat memberikan pembelaan sesuka hatinya di hadapan Allâh, sebagaimana yang biasa mereka lakukan di hadapan para penguasa dunia. Tidak diragukan, bahwa analisa mereka ini salah total. Akibat dari analisa salah ini tentu akan menghasilkan qiyâs atau analogi yang salah pula. Karena para pemberi syafa’at di hadapan Allâh Azza wa Jalla hanya berani dan kuasa memberikan syafaat bila mendapatkan izin dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ
Tiada pemberi syafa’at kecuali setelah mendapat izin dari-Nya. [Yûnus/10:3]
Sebagaimana para pemberi syafa’at di sisi Allâh hanya berani dan bisa memberi syafa’at kepada orang yang Allâh Azza wa Jalla ridhai saja.
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَىٰ
Tidaklah mereka memberi syafa’at kecuali kepada orang yang Allâh ridhai. [al-Anbiyâ/21:28]
Karenanya kelak di hari Kiamat, orang-orang musyrik akan menyesali qiyâs sesat mereka ini.
Qiyâs Ala Iblis Ketiga : Menyamakan Sifat Allâh Dengan Sifat Makhluk
Sahabat Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma mengisahkan, bahwa Ada tiga orang; dua orang berasal dari Quraisy dan seorang dari Tsaqif, atau sebaliknya dua orang Tsaqif dan seorang Quraisy. Pemahaman mereka dangkal, sedangkan lemak perut mereka tebal (gendut). Salah seorang dari mereka berkata, “Menurut pendapat kalian, apakah Allâh Azza wa Jalla mendengar ucapan kita ?” Orang kedua menjawab, “Allâh Azza wa Jalla mendengar bila kita bersuara keras dan tidak mendengar bila kita berkata lirih.” Orang ketiga mengatakan, “Jikalau Allâh mendengar kita bila kita bersuara keras, maka Ia juga mendengar bila kita bersuara lirih.” Mengganggapi kejadian ini, Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kamu terhadap dirimu sendiri. Akan tetapi kamu menduga Allâh tidak mengetahui banyak hal dari apa yang kamu kerjakan. [Fusshilat/41:22][5]
Ibnu Hajar as-Asqalâni rahimahullah menjelaskan, “Ibnu Batthal rahimahullah mengatakan, ‘Dalam hadits ini terdapat pengakuan terhadap qiyâs yang benar dan pengingkaran terhadap qiyâs yang salah. Karena orang yang berkata “Allâh mendengar bila kita bersuara keras dan tidak mendengar bila kita berkata lirih” telah salah dalam menerapkan qiyâs. Ia menyerupakan pendengaran Allâh dengan pendengaran makhluk yang hanya bisa mendengar suara keras dan tidak bisa mendengar suara lirih. Sedangkan yang berkata, “Jikalau Allâh mendengar kita bila bersuara keras, maka Ia juga mendengar bila kita bersuara lirih”, qiyâsnya benar, karena ia tidak menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya dan ia mensucikan Allâh dari menyerupai mereka. Hanya saja ia tetap dianggap dangkal pemahamannya, karena orang yang benar dalam menerapkan qiyâs ini tidak beriman dengan kandungan ucapannya, akan tetapi ia masih ragu, karenanya ia berkata, “Jikalau..”[6].
Inilah dasar pemikiran setiap orang yang mengingkari seluruh atau sebagian dari nama dan sifat Allâh. Mereka mengira bahwa penetapan nama-nama dan sifat- sifat tersebut untuk Allâh Azza wa Jalla berarti menyerupakan Allâh dengan makhluk-Nya. Padahal tidak demikian, nama dan sifat Allâh sesuai dengan keagungan Diri-Nya, karena sifat segala sesuatu sesuai dengan diri (dzat) sesuatu tersebut. Karenanya para Ulama’ menegaskan bahwa pembahasan tentang sifat adalah cabang atau bagian dari pembahasan tentang dzat. Bila Dzat Allâh tidak menyerupai dzat makhluk-Nya, maka demikian pula dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya.
Penutup
Demikianlah saudara, tiga contoh qiyâs atau analogi Iblis yang terbukti telah menyengsarakannya dan juga para pengikutnya. Sudah sepantasnya bagi Anda untuk bersikap ekstra hati-hati dalam menggunakan qiyâs dalam berdalil. Yakinkanlah terlebih dahulu bahwa Anda telah layak untuk berdalil dengan qiyâs, dan selanjutnya cermatilah qiyâs Anda. Sudahkan qiyâs yang Anda terapkan benar-benar memenuhi persyaratannya dan sesuai pada tempatnya? Jangan sampai qiyâs Anda serupa dengan qiyâs Iblis, sehingga anda terjerumus dalam sengsara. Semoga penjelasan singkat ini membangkitkan kewaspadaan pada diri anda, sehingga tidak gegabah dalam berdalilkan dengan qiyâs.
Wallahu Ta’ala a’alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] I’ilâmul Muwaqqi’în, 2/29
[2] Tafsir Ibnu Katsîr, 2/248
[3] Adhwa’ul Bayân, 1/33
[4] Syarh Shahih Muslim, Imam nawawi, 17/22
[5] Riwayat Bukhâri, no. 4539 dan Muslim, no. 2775
[6] Fathul Bâri, Ibnu Hajar, 13/496
Sumber : https://almanhaj.or.id
Komentar
Posting Komentar