Terorisme bukan ajaran Islam


Terorisme bukan ajaran Islam

TIGA SIFAT KHAWARIJ (TERORIS) DI ZAMAN INI

Al-Allamah Shalih Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan :

تكفير المسلمين هذا مذهب الخوارج، وأشد من ذلك قتل المسلمين والاعتداء عليهم هذا مذهب الخوارج، الخروج على ولي الأمر

Mengkafirkan kaum muslimin, ini adalah mazhabnya khawarij. Lebih ekstrim dari itu ialah pembunuhan kaum muslimin dan memeranginya. Ini adalah mazhab khawarij. (Mazhab khawarij di antaranya adalah) memberontak kepada penguasa.

Tiga di antara sifat mereka:

أولا تكفير المسلمين هذا من مذهب الخوارج

Pertama, mengkafirkan muslimin. Ini merupakan mazhab khawarij.

ثانيا الخروج عن طاعة ولي الأمر هذا من مذهب الخوارج

Kedua, keluar dari ketaatan kepada penguasa. Ini merupakan mazhab khawarij.

ثالثا استباحة دماء المسلمين هذا من مذهب الخوارج، هذه  مذاهب الخوارج حتى لو اعتقد بقلبه ولا تكلم ولا عمل شيء

Ketiga, menghalalkan darah kaum muslimin. Ini merupakan madzhab khawarij. Meskipun dia hanya meyakininya dalam hati, tidak pernah melafazkan, dan tidak pula merealisasikannya.

لو اعتقد بقلبه صحة مذهب الخوارج صار خارجيا صار من الخوارج بعقيدته ورأيه الذي ما أفصح عنه.

Andaikan dia hanya sekedar meyakini kebenaran mazhab khawarij, maka ia telah menjadi seorang khawarij. Ia adalah khawarij akibat keyakinan dan pemikirannya, walaupun ia tidak menyatakannya (secara terang-terangan).

SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP PEMIMPIN

Setelah usai dari perhelatan pesta demokrasi untuk memilih presiden, ada hal-hal yang perlu bahkan wajib kita perhatikan mengenai bagaimana pandangan syariat Islam dan sikap yang harus kita jalani terhadap pemimpin yang terpilih secara sah dan demokratis di negara kita tercinta, Indonesia. Diantaranya adalah :

KEWAJIBAN MENTAATI PEMIMPIN DALAM KEBAJIKAN

Ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan Hadits sangat banyak sekali. Dalil di dalam Al Quran diantaranya adalah firman Allah ta'ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh perintah "ta’atilah" karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan ta’at kepada mereka

Dalil-dalil ketaatan kepada pemimpin meskipun mereka zhalim di dalam al hadits:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

”Abu Hunaidah (Wail) bin Hudjur RA berkata : Salamah binti Yazid Al Ju’fi bertanya pada Rasulullah SAW : Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah anda memerintahkan pada kami ? Pada mulanya beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya, maka Rasulullah SAW menarik Al Asy’ats bin Qois dan bersabda : Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya diatas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri.” (H.R. Muslim)

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

"Sepeninggalku nanti ada pemimpin2 yg akan memimpin kalian,pemimpin yg baik akan memimpin dg kebaikannya dan pemimpin yg fajir akan memimpin kalian dengan kefajirannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara2 yg sesuai dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu(untuk tetap berbuat baik)dan bagi mereka (keburukan mereka)." (H.R. Bukhori Muslim)

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

"Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim)

Padahal sudah maklum kita ketahui, bahwa menyiksa atau memukul punggung seseorang dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.

Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

MENGHINDARI FITNAH DAN PERTUMPAHAN DARAH

Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa. Karena, bila kita tidak mentaati mereka, maka akan terjadi kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin. Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Tirmidzi)

Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban.
Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan mentaati mereka. Namun bukan berarti tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar. Hal itu tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaidah yang telah ditetapkan oleh syari’at yang mulia ini.

Sahabat 'Amr bin 'Ash berkata kepada puteranya, Abdullah :

عن عمرو بن العاص رضي الله عنه أنه قال لابنه عبد الله: يا بني! سلطان عادل خير من مطر وابل، وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم، وسلطان غشوم ظلوم خير من فتنة تدوم

Wahai anakku, pemimpin yang aqdil itu lebih baik dibandingkan dengan hujan yang deras, macan yang buas lebih baik daripada pemimpin yag zhalim sedangkan pemimpin yang sangat zhalim itu masih lebih baik dibandigkan dengan fitnah yang permanen (dikarenakan tidak ada pemimpin sama sekali).

Syekh 'Ali Jum'ah, mantan mufti Mesir menyitir maqolah Imam Malik :

حاكم ظلوم غشوم ولا فتنة تدوم

{Tetaplah menaati) pemimpin yang zhalim dan jangan sampai terjadi fitnah yang berkepanjangan tanpa akhir.
Lalu beliau berkomentar :

فوجدنا من يخرج علينا هذه الأيام ويقول أخطأ مالك بل الفتنة أفضل من الحاكم الظالم .
نقول لهذا الشخص أنك من الخوارج .لأنه يريد الفساد فى الأرض .

"Pada masa ini kita mendapati seseorang yang menyempal dari kita seraya berkata : ”Pemimpin sudah berbuat kesalahan bahkan fitnah (kekacauan denga tidak mengakui adanya pemimpin yang sah untuk ditaati) itu lebih baik dibandingkan dengan pemerintah yag zhalim."
Komentar kami (Syekh Ali Jum'ah) untuk orang ini : "Anda termasuk golongan Khowarij, karena yang dikehendaki adalah kerusakan di muka bumi."

AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR KEPADA PEMIMPIN, TIDAK MEMBENARKAN KEBOHONGAN DAN TDAK MENDUKUNG KEZHALIMAN MEREKA

Berikut ini adalah dalil kebolehan amar ma'ruf, nahi mungkar dengan cara mengkritik pemimpin/ pemerintah :

وقال صلى الله عليه وسلم: أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر

Nabi saw bersabda: Sebaik-baik jihad adalah ucapan yg hak disisi pemimpin yang zhalim. (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Namun amar ma'ruf nahi mungkar harus dengan lemah lembut.dan pelakunya harus mempunyai ilmu yang cukup agar bisa bertindak dengan benar.

Al Imam Sufyan ats-Tsauri  berkata :

لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فيه ثلاث خصال: رفيق بما يأمر، رفيق بما ينهى، عدل بما يأمر، عدل بما ينهى، عالم بما يأمر، عالم بما ينهى

“Seseorang tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut ketika menyeru dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, mempunyai pengetahuan (ilmu) terhadap sesuatu yang diseru dan dicegahnya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali)

Dikisahkan ada seseorang yang akan beramar ma'ruf dan nahi mungkar, lalu dia meminta pendapat kepada seorang ulama agar diijinkan dengan cara yg keras karena pelakunya itu sudah dianggap keterlaluan, namun sang ulama menjawab  bahwa kamu tidak lebih baik dari Nabi Musa as dan orang yg akan kamu nasehati tidak lebih jahat dari Fir'aun, tapi Allah di dalam Al Quran tetap memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as) untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun :

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (Q.S. Thaha 43-44)

Kemudian kita tidak boleh membenarkan kebohongan dan mendukung kezhaliman mereka. Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedzhaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)

LARANGAN MEMBERONTAK, MENDOAKAN PEMIMPIN DAN TIDAK MENYIBUKKAN DIRI MENCELANYA

Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al Aqidah Ath Thahawiyah, Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi Al Hanafi rahimahullah)

AI Imam Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

Al Imam Al Habib Abdullah bin Alawy Al Haddad dalam kitabnya 'Adda'wah Attammah menjelaskan tentang sikap yang harus dilaksanakan kepada pemimpin :

ومهما كان الولي مصلحا حسن الرعاية جميل السيرة
كان على الرعية أن يعينوه بالدعاء له و الثناء عليه بالخير

"Jika seorang pemimpin membawa kemaslahatan untuk rakyat, bersungguh-sungguh dalam memberi perhatian kepada mereka, dan mempunyai kinerja yang bagus maka rakyat harus membantunya dengan berdoa untuknya serta memujinya atas kinerjanya yag bagus".

ومهما كان مفسدا مخلطا كان عليهم ان يدعوا له بالصلاح والتوفيق و الاستقامة وألا يشغلوا ألسنتهم بذمه والدعاء عليه فإن ذلك يزيد في فساده واعوجاجه ويعود وبال ذلك عليهم.

Jika ia membawa kerusakan, mencampur aduk antara kebenaran dan kebathilan, maka kewajiban kita - sebagai rakyat - adalah mendoakan, semoga Allah segera memperbaiki keadaan pemimpin kita itu, memberi ia petunjuk kepada jalan yang benar, dan memberinya sifat istiqomah dalam hal-hal yang di ridhoi Allah - dalam kepemimpinannya -. Dan janganlah kita sibuk mencela dan berdoa buruk atas dirinya, karena itu semua malah akan menambah kerusakan dan kedhalimannya dan kita sendiri yang akan merasakan dampak-dampak buruknya.

قال الفضيل رحمه الله لو كانت لي دعوة مستجابة لم اجعلها إلا للامام. لأن الله إذا اصلح الامام أمن العباد و البلاد. وفي بعض الآثار عن الله تعالى أنه قال انا الملك قلوب الملوك بيدي فمن أطاعني جعلتهم عليه نعمة و من عصاني جعلتهم عليه نقمة فلا تشغلوا أنفسكم بسب الملوك و سلوني أعطف قلوبهم عليكم

Berkata Al Imam Fudhail Bin Iyadh - Rahimahullah - :

"Andai saja aku mempunyai satu doa yang pasti dikabulkan Allah, maka aku akan menjadikannya (untuk berdoa yang baik) untuk pemimpinku, karena jika Pemimpin kita baik, maka negara akan aman dan masyarakat tentram. Allah berfirman dalam sebagian hadits qudsi:

"Aku adalah Maha Raja. Hati para raja ada di gengamanku. Maka barang siapa yang taat padaku, akan aku jadikan mereka (para raja/pemimpin) nikmat baginya, dan barang siapa yang melanggar perintah-Ku akan aku jadikan mereka sebagai musibah atas dirinya. Maka janganlah kalian sibuk mencela dan mencaci maki pemimpin-pemimpin kalian, akan tetapi memintalah padaku, maka akan aku lembutkan hati mereka untuk kalian".

Semoga Allah menguasakan kepada kita pemimpin-pemimpin yag takut kepada-Nya, mau mengasihi kita dan menjadikan Indonesia sebagai baldah thayyibah wa rabbun ghofuur…. Amiin.

Wallahu a'lam....

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab