Perusak Islam : Menghalang-halangi orang berbuat baik

Simak video anjuran ustdz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA. berikut :

Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA (lahir pada 9 Januari 1972 di Sijunjung, Sumatera Barat) baca biodata lengkap beliau, klik disini
----

Perusak Islam : Menghalang-halangi orang berbuat baik

‎السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Apa kabar saudaraku? Manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan berusaha memberikan yang terbaik kepada orang lain. Namun, ada pula sebagian orang yang tidak senang melihat orang berbuat baik. Malah, mereka berusaha menghalangi orang berbuat baik. Perilaku itu digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya,

اَلَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۚ وَهُمْ بِالْاٰخِرَةِ كٰفِرُوْنَۘ

“(Mereka adalah) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah serta menginginkan jalan itu menjadi bengkok dan mereka itu orang-orang yang mengingkari (kehidupan) akhirat.” (QS Al-A‘rāf [7]:45)

Islam seseorang akan rusak jika seorang muslim menghalang-halangi orang lain berbuat kebaikan. Islam mengajarkan umatnya untuk meningkat amal salehnya. Amal saleh menjadi modal kehidupan orang beriman dalam mengisi kehidupan ini. Tanpa amal salah seseorang tidak berarti dalam hidupnya.

Orang yang tidak beramal saleh sangat merugi di dalam hidupnya. Lebih merugi lagi jika ada orang Islam menghalangi orang lain berbuat baik dan beramal saleh. Ada kebenciannya jika ada ada orang menyeru pada kebaikan, melakukan sesuatu yang berguna bagi orang banyak, dan berbuat yang terbaik bagi masyarakatnya.

Mengahalangi orang berbuat baik adalah penyakit batin yang jauh dari hidayah dan terputus dan kasih sayang Allah SWT. Perbuatan itu pada hakikatnya menyelisihi fitrah insani yang senang kepada kebaikan.  Penyimpangan keinginannya itu selain hatinya sakit juga terkendali nafsunya. Tentu berbeda cara kerja batin dan nafsu. Jika batin lebih terkendali karena pantulan nur Ilahi, sedangkan nafsu terkendali oleh setan yang selalu membisikkan perbuatan buruk. Itulah makna ayat yang dinyatakan oleh Nabi Yusuf ketika godaan datang menimpa dirinya. Allah SWT berfirman,

۞ وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yūsuf [12]:53)

Manusia jika tidak mampu menjinakkan nafsunya akan diperbudak oleh nafsunya. Kebaikan yang menjadikan manusia hidup harmonis di dunia menjadi musuh bagi orang yang hatinya dikuasai nafsu. Yang ingin ditebarkannya adalah keburukan dan enggannya orang berbuat baik. Di dalam suatu masyarakat ada keinginan warganya untuk melakukan penggalangan dana, misalnya, untuk membantu meringankan penderita bencana alam. Berbagai cara dilakukannya agar tidak perlu adanya penggalangan dana itu karena daerahnya jauh dari lingkungannya. Bukankah sudah ada orang lain yang membantunya sehingga tidak perlu susah-susah mengumpulkam dana,” katanya.

Bagi orang ytang menghalangi orang lain berbuat baik, apa yang dilakukan orang dianggap sia-dia dan tidak ada gunanya. Padahal, kebaikan tidak memandang dekat atau jauhnya bencana. Kepedulian masyarakat terhadap yang dirasakan orang lain merupakan bentuk perasaan bersama yang dirasakan manusia. Bisa jadi apa yang dialami orang lain akan kita rasakan pula. Semua yang terjadi itu akan berputar dan akan dirasakan pula oleh yang lain. Oleh karena itu, semangat kepedulian itu tidak saja terbatas pada lingkungan dekat, tetapi juga di tempat bencana yang jauh dari lokasinya.

Berbuat baik itu itu tidak akan dilihat besar dan kecilnya. Jangan kita terlalu berharap untuk melakukan kebaikan besar sentara kebaikan yang kecil kita sepelekan. Justru kebaikan yang kecil itu akan menhasilkan kabaikan yang besar jika yang kecil itu rutin dan konsisten dilakukan. Kapankah waktunya menunggu kebaikan yang besar dengan mengabaikan kebaikan yang kecil. Bagi orang sadar akan nilai kebaikan, ia pasti akan melakukannya dan bergiat untuk membiasakannya.  Bukankan Allah SWT sudah menyebutkan nilai kebaikan yang akan dilihat nanti sebagai suatu kebaikan. Allah SWT berfirman,

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ

“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.” (QS Az-Zalzalah [99]:7–8)

Orang yang menghalangi orang lain berbuat baik sejatinya orang itu tidak senang mendapatkan kebaikan serupa. Seandainya dia tidak mencegah orang berbuat baik, hakikatnya dia telah berbuat baik.  Niat baik yang tersembunyi di dalam hati sudah merupakan kebaikan seseorang. Suatu kebaikan yang baru diniatkan akan mendapatkan nilai pahala satu kebaikan. Karena itu, tidak perlu dia menghalangi orang dalam melakukan kemaslahatan. Artinya, ketika orang yang belum melakukan amal saleh,  ia sudah mrndapatkan kebaikannya.

Berbeda halnya dengan kejahatan atau kiinginan seseorang untuk menghalangi orang berbuat baik belum dianggap dosa jika belum dilakukan penghalangan itu. Niat untuk melakukan kejahatan masih dapat berubah sehingga belum dinilai sebagai suatu kejahatan. Ketika niat berbuat buruk berubah untuk tidak melakukannya, akan dicatat satu kebaikan. Namun, niat yang sudah dilaksanakan, pada saat itu sudah terjadi kejahatannya sehingga pelakunya berdosa. Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ.

وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً» رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ فِي صَحِيْحَيْهِمَا بِهَذِهِ الحُرُوْفِ.

“Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelaskannya. Siapa yang berniat melakukan kebaikan, lalu tidak mengerjakannya, Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika dia berniat mengerjakan kebaikan, lalu mengerjakannya,  Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak. Jika dia berniat melakukan keburukan, lalu tidak jadi mengerjakannya, Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika dia berniat melakukan keburukan, lalu mengerjakannya, Allah menulis itu sebagai satu keburukan.” (HR Bukhari No. 6491 dan Muslim No. 131 dari Ibnu Abbas r.a.)

Itulah perbedaan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk. Suatu perbuatan baik walaupun belum dilakukan, pahalanya sudah didapatkan oleh pelakunya karena niat yang sudah ada di hatinya. Namun, perbuatan jahat akan nandapatkan balasan dosanya setelah dilakukan. Karena itu, masing-masing akan nandapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkan dan dilakukannya.

Di tengah-tengah masyarakat banyak juga orang yang menjadi penyeru kebenaran dengan mendorong manusia untuk berbuat yang terbaik bagi hidupnya. Dai dan tokoh agama adalah orang yang mewarisi tugas kerasulan Nabi Muhammad saw. untuk mendakwahi manusia agar melakukan kabaikan. Intinya, mereka bertugas melakukan amar makruf dan nahi munkar. Tugas itu merupakan amanah Allah SWT dan perintah  Radulullah  saw. Allah SWT berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Āli ‘Imrān [3]:110)

Umat Islam adalah umat yang terbaik yang dilahirkan ke dunia ini. Namun, tidak semuanya terbaik karena ada syarat yang dijelaskan Allah, yakni selama umat Islam itu (1)menyuruh (berbuat) yang makruf, (2) mencegah dari yang mungkar, dan (3) beriman kepada Allah.

Tugas manusia terbaik itu menyuru orang berbuat baik dan mendorong orang untuk berbuat sesuatu yang bernanfaat bagi orang lain. Perbuatan baik akan mendatangkan keuntungan bukan saja kepada dirinya, melainkan juga bagi orang lain. Para utusan Allah yang diutus kepada umatnya masing-masing selalu membawa misi kebaikan. Nabi Muhammad saw. sebagai utusan yang terakhir membawa tugas menyeru kepada perbuatan baik dan mulia. Misi itu dilanjutkan oleh para ulama yang menyeru kepada jalan Allah dan kebenaran. Oleh karena itu,  setiap umat Nabi Muhammad saw. mengemban tugas pula menebar kebaikan dan menegakkan kebenaran.

Tugas menjadi umat yang terbaik itu jika misi yang terkandung di dalam ayat itu dilaksanakan dengan baik. Manakala manusia yang terbaik itu melepaskan tugasnya mengajak manusia kepada kebaikan dan membiarkannya dalam jalan kesesatan, tentu predikat terbaik itu tidak layak disandangnya. Bukankan Rasulullah saw. juga mengatakan sebagai orang yang terbaik,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”(HR Ahmad dari Jabir r.a. dan dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ No. 3289)

Tugas lain adalah mencegah orang melakukan perbuatan keji dan mungkar. Kekejian dan kemungkaran itu bahkan menjadi perusak kehidupan bermasyarakat dan be kehidupan sosial. Adanya tempat-tempat maksiat, penjualan minuman keras dan narkoba,  dan sebagainya akan menjadi lalat pengganggu di dalam masyarakat. Umat yang terbaik harus mencegah perbuatan itu agar tidak meluas di tengah masyarakat dan merusak kehidupan umat beragama.

Ulama memang memiliki tugas menyampaikan kebenaran dan mengingatkan bahaya kemungkaran. Namun, pihak penguasa dan keamanan tentu memiliki kewenangan yang lebih kuat untuk membasmi kemungkaran. Jangan sampai terjadi, pihak penguasa atau keamanan memberikan pelindungan terhadap praktik kemungkaran itu. Jika hal itu terjadi, percuma masyarakat berharap banyak kepadanya untuk memberikan pelindungan dan keamanan kapada masyarakat.

Dalam mencegah kemungkaran ada beberapa langkah yang dilakukan, yakni mencegahnya dengan kekuatan dan kekuasaan. Jika tidak bisa dilakukan, langkah berikutnya dengan lisan. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, langkah terakhir adalah membencinya dengan hati. Hal itu merupakan cara yang paling lemah. Rasulullah menjelaskannya dalam sabdanya,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ.

“Siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim No. 49 dari Abu Sa’id al-Khudri r. a.)

Umat Islam seharusnya mendorong orang lain untuk berbuat baik  dan mencegahnya dari perpuatan mungkar. Tugas itu merupakan tugas insan terbaik. Perbuatan mencegah manusia berbuat baik dan menyuruhnya berbuat mungkar merupakan perbuatan penyimpangan dari tugas mulianya. Hal itu akan merusak keislaman seseorang. Lebih baik lakukan kebaikan sekalipun kecil daripada tidak berbuat sesuatu untuk menebarkan kebaikan kepada manusia. Umat Nabi Muhammad saw. akan dinilai dari amal saleh yang dilakukannya dan perannya dalam mengajak orang beramal saleh dan mencegahnya dari amal mudarat. Amin! Wallāhu-a’lam bis-sawāb. 

Artikel ditulis oleh : Oleh Abdul Gaffar Ruskhan

Sumber : http://www.agaffarruskhan.inf

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab