Apakah Kegiatan Suluk Tarekat Naqsabandiyah sama dengan I’tikaf atau Amalan Bid’ah?
Ustaz Prof. H. Abdul Somad Batubara, Lc., D.E.S.A., Ph.D., Datuk Seri Ulama Setia Negara, atau lebih dikenal sebagai Ustaz Abdul Somad atau singkatannya, UAS menjelaskan hukum dalil kegiatan suluk tarekat Naqsabandiyah.
Menurut beliau sumber hukumnya adalah guru, wali dan atau mursyid simak video berikut :
Sumber video : https://youtu.be/NIPBT
Baca artikel terkait (klik disini)
Apakah Kegiatan Suluk Tarekat Naqsabandiyah sama dengan I’tikaf atau Amalan Bid’ah?
Pengertian dan Hakikat Bid’ah
Kata “bid’ah” berasal dari bahasa Arab bada’a yang berarti penciptaan suatu karya kreatif dan orisinal tanpa adanya contoh sebelumnya. Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 117 dan al-An’am ayat 101, Allah swt berfirman:”Badi’us samawati wal-ardh”, yang berarti bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi dengan tiada contoh terlebih dahulu.
Pengertian harfiah dari kata bid’ah ini sangat erat hubungannya dengan pengertian terminologi dalam agama Islam, karena bid’ah itu esensinya adalah setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh dari Rasulullah saw yang membenarkannya. Secara teknis para ulama mendefinisikan bid’ah itu sebagai suatu cara mengamalkan agama yang dibuat-buat dan menyerupai ketentuan syara’ dan mempraktikkannya dimaksudkan untuk ibadah kepada Allah (al-I’tisam, I: 36-37). Jadi, menurut definisi ini unsur-unsur bid’ah itu adalah 1) adanya praktik yang diadakan kemudian dan menyerupai ajaran agama; dan2) praktik tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari ritual peribadatan kepada Allah.
Lebih lanjut perlu ditegaskan bahwa bid’ah itu tidak hanya meliputi praktek yang berupa perbuatan, tetapi juga sikap tidak berbuat yang disebut bid’ah tarkiyah, yaitu meninggalkan suatu yang diperintahkan oleh agama baik yang sunat maupun yang wajib dengan anggapan bahwa meninggalkan itu adalah agama. Seperti ajaran bahwa orang salehyang telah mencapai tingkat hakikat tidak perlu lagi mengerjakan taklif syari’ah karena syari’ah itu hanyalah kulit belaka, sementara orang tersebut telah mencapai inti agama, yaitu hakikat. Tetapi orang yang meninggalkan perintah agama bukan karena meninggalkan itu dipandang sebagai agama, melainkan semata-mata karena malas atau lalai atau juga karena tidak percaya kepada agama tidak disebut bid’ah melainkan maksiat.
Pelanggaran bid’ah itu tercakup dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad saw; antara lain hadis riwayat Muslim (Shahih, I: 380, hadis nomor 867) dari Ibnu Majah (Sunan, I: 17, hadis nomor 45) dari Jabir ibn Abdillah: “Adapun selanjutnya, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dari apa yang dikemukakan di atas tampak beberapa hal bahwa bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah saw dan yang oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari agama dan dengan demikian ia merupakan lawan dari sunnah. Bid’ah hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan agama (akidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan duniawi yang bersifat ma’qulul-ma’na (Lebih lanjut pembahasan tentang bid’ah, lihat dalam buku Tanya Jawab Agama 3, hal. 232-3).
Penjelasan Seputar I’tikaf
Adapun “i‘tikaf” menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian i‘tikaf menurut istilah di kalangan para ulama terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat bahwa i‘tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan salat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i), i‘tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan i‘tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
Mengenai tempat pelaksanaan i‘tikaf, di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i‘tikaf dilaksanakan di masjid: “… Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri‘tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah: 187]
Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i‘tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i‘tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa i‘tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut Majelis Tarjih, masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i‘tikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at), dan tidak mengapa i‘tikaf dilaksanakan di masjid biasa (Lihat fatwa no. 31, tahun 2009).
Kegiatan Suluk Tarekat Naqsabandiyah
Pengertian dan Hakikat Bid’ah
Kata “bid’ah” berasal dari bahasa Arab bada’a yang berarti penciptaan suatu karya kreatif dan orisinal tanpa adanya contoh sebelumnya. Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 117 dan al-An’am ayat 101, Allah swt berfirman:”Badi’us samawati wal-ardh”, yang berarti bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi dengan tiada contoh terlebih dahulu.
Pengertian harfiah dari kata bid’ah ini sangat erat hubungannya dengan pengertian terminologi dalam agama Islam, karena bid’ah itu esensinya adalah setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh dari Rasulullah saw yang membenarkannya. Secara teknis para ulama mendefinisikan bid’ah itu sebagai suatu cara mengamalkan agama yang dibuat-buat dan menyerupai ketentuan syara’ dan mempraktikkannya dimaksudkan untuk ibadah kepada Allah (al-I’tisam, I: 36-37). Jadi, menurut definisi ini unsur-unsur bid’ah itu adalah 1) adanya praktik yang diadakan kemudian dan menyerupai ajaran agama; dan2) praktik tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari ritual peribadatan kepada Allah.
Lebih lanjut perlu ditegaskan bahwa bid’ah itu tidak hanya meliputi praktek yang berupa perbuatan, tetapi juga sikap tidak berbuat yang disebut bid’ah tarkiyah, yaitu meninggalkan suatu yang diperintahkan oleh agama baik yang sunat maupun yang wajib dengan anggapan bahwa meninggalkan itu adalah agama. Seperti ajaran bahwa orang salehyang telah mencapai tingkat hakikat tidak perlu lagi mengerjakan taklif syari’ah karena syari’ah itu hanyalah kulit belaka, sementara orang tersebut telah mencapai inti agama, yaitu hakikat. Tetapi orang yang meninggalkan perintah agama bukan karena meninggalkan itu dipandang sebagai agama, melainkan semata-mata karena malas atau lalai atau juga karena tidak percaya kepada agama tidak disebut bid’ah melainkan maksiat.
Pelanggaran bid’ah itu tercakup dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad saw; antara lain hadis riwayat Muslim (Shahih, I: 380, hadis nomor 867) dari Ibnu Majah (Sunan, I: 17, hadis nomor 45) dari Jabir ibn Abdillah: “Adapun selanjutnya, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dari apa yang dikemukakan di atas tampak beberapa hal bahwa bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah saw dan yang oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari agama dan dengan demikian ia merupakan lawan dari sunnah. Bid’ah hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan agama (akidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan duniawi yang bersifat ma’qulul-ma’na (Lebih lanjut pembahasan tentang bid’ah, lihat dalam buku Tanya Jawab Agama 3, hal. 232-3).
Penjelasan Seputar I’tikaf
Adapun “i‘tikaf” menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian i‘tikaf menurut istilah di kalangan para ulama terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat bahwa i‘tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan salat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i), i‘tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan i‘tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
Mengenai tempat pelaksanaan i‘tikaf, di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i‘tikaf dilaksanakan di masjid: “… Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri‘tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah: 187]
Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i‘tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i‘tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa i‘tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut Majelis Tarjih, masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i‘tikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at), dan tidak mengapa i‘tikaf dilaksanakan di masjid biasa (Lihat fatwa no. 31, tahun 2009).
Kegiatan Suluk Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat Naqsabandiyah adalah tarekat yang mengajarkan pemahaman tentang hakikat dan tasawuf. Tarekat ini sesungguhnya telah ada sejak dulu dan konon lahir di daerah Bukhara. Penyebarannya cukup pesat dan luas, termasuk ke negara-negara di Asia Tenggara. Khusus di Indonesia, tarekat ini menjadi cukup terkenal karena seringnya mereka berbeda tentang penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal dengan beberapa pihak.
Mengenai suluk sendiri, sejauh penelusuran Majelis Tarjih dari berbagai sumber, ditemukan beberapa fakta yang perlu diketahui dan menjadi catatan di sini. Pertama, suluk menurut tarekat Naqsabandiyah merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan oleh tarekat tersebut dua kali dalam setahun, yakni pada bulan Rabiulawal dan Ramadan. Kegiatan ini berlangsung beberapa hari, mulai siang dan malam dengan tujuan pembersihan diri dan pendekatan kepada Allah. Kedua, seorang yang mau mengikuti kegiatan suluk ini sebelumnya harus mau dibaiat agar berjanji mau mengikuti segala aturan yang ada dalam tarekat tersebut.
Suluk dan I’tikaf
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kegiatan suluk meskipun sekilas hampir mirip dengan i‘tikaf, tidak serta merta dapat disamakan secara mutlak, karena antara keduanya terdapat beberapa perbedaan yang cukup fundamental. Dalam i‘tikaf tidak ada waktu-waktu khusus dan bacaan-bacaan khusus yang harus dibaca, berbeda dengan kegiatan suluk yang mensyaratkan pelaksanaannya pada bulan Rabiulawal dan Ramadan. Selain itu, ketika seseorang akan melaksanakan i‘tikaf tidak perlu mengadakan baiat dengan siapapun, dan apabila dia adalah seorang perempuan, maka tidak perlu diantar oleh pihak keluarga atau suaminya.
Oleh karena itu, Majelis Tarjih menyarankan agar lebih menjaga akidah dan ibadah kita dari hal-hal yang dapat mengotorinya, maka lebih baik kita amalkan saja amalan-amalan yang sudah diajarkan oleh Rasulullah saw, dan kita tinggalkan amalan atau kegiatan yang tidak jelas atau bahkan tidak ada tuntunannya di dalam Al Quran dan Al Sunah Al Makbulah.
Sumber : https://muhammadiyah.or.id/
Komentar
Posting Komentar