KUPAS TUNTAS SEPUTAR QURBAN

KUPAS TUNTAS SEPUTAR QURBAN

Segala puji bagi Allah Tabarakallah wa Ta'ala, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau

Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha.

 Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Tabarakallah wa Ta’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus.

Istilah qurban lebih umum dari udhiyah. Qurban adalah segala bentuk pendekatan diri pada Allah Tabarakallah wa Ta’ala baik berupa penyembelihan atau selainnya. 

Kaitan udhiyah dan qurban yaitu keduanya sama-sama bentuk pendekatan diri pada Allah Tabarakallah wa Ta’ala. Jika bentuk qurban adalah penyembelihan, maka itu lebih erat kaitannya.

Pensyariatan Qurban

Udhiyah (qurban) pada hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya ayat (yang artinya), “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”.(Lihat Zaadul Masiir, 9: 249)

Keutamaan Qurban

Tak diragukan lagi, udhiyah adalah ibadah pada Allah Tabarakallah wa Ta’ala dan pendekatan diri pada-Nya, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum muslimin sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah muakkad (yang amat dianjurkan) menurut mayoritas ulama. Ada beberapa hadits yang menerangkan fadhilah atau keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang shahih. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aridhotil Ahwadzi (6: 288) berkata,

“Tidak ada hadits shahih yang menerangkan keutamaan udhiyah. 

Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits yang ajiib (yang menakjubkan), namun tidak shahih.” (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 9)

Ibnul Qayyim berkata,

“Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban 

penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah.”

Hukum qurban adalah sunnah (dianjurkan, tidak wajib) menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim). 

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil bahwasanya hukum udhiyah tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”. Seandainya menyembelih udhiyah itu wajib, beliau akan bersabda,

 “Janganlah memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata: Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro).

Dari Abu Suraihah, ia berkata,

“Aku pernah melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak berqurban.” (HR. Abdur Rozaq). Ibnu Juraij berkata bahwa beliau berkata kepada ‘Atho’, “

Apakah menyembelih qurban itu wajib bagi manusia?” Ia menjawab, “Tidak. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban.” (HR. Abdur Rozaq)

Bolehkah Satu Sembelihan untuk Qurban dan Aqiqah?

Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.

Pendapat pertama : Udh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.

Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha). [Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits] 

Al Haitami salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan,

“Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. 

Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.” [Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam]

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan,

“Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen).  Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.” [Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam] 

Pendapat kedua : Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

“Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.” [Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1409 H]

Al Bahuti seorang ulama Hambali mengatakan,

“Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.” [Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam] 

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.

Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.” [Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.

Point Penting dalam Penggabungan Niat

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat  diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat :

  • Kesamaan jenis.
  • Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.

Contoh : Bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”[HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 714, dari Abu Qotadah] 

Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. 

Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.

Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. 

Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.

Jalan Keluar dari Masalah

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?

Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. 

Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.

Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).” [Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H] 

Kesimpulan

1. Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.

2. Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.

3. Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).

4. Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.

Satu Kambing Bisa untuk Qurban Satu Keluarga

Sedikit keanehan yang banyak kita temui pada sebagian orang. Setiap tahun ada yang bergiliran qurban, yang pertama untuk bapaknya, tahun berikut untuk ibunya, lalu tahun berikut dapat giliran anaknya. Padahal sebenarnya satu qurban semisal satu kambing atau 1/7 dari urunan sapi bisa diniatkan untuk satu keluarga. Namun kalau mau berqurban lebih karena jumlah anggota keluarga banyak, maka itu boleh bahkan lebih afdhol.

Dalil yang mendukung pernyataan di atas, dari ‘Atho’ bin Yasar, ia berkata,

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshori, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1505, shahih)

Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan,

“Hadits ini adalah dalil tegas bahwa satu kambing bisa digunakan untuk berqurban satu orang beserta keluarganya, walau jumlah anggota keluarga tersebut banyak. Inilah yang benar.”

Al Hafizh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad berkata,

“Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, satu kambing sah untuk qurban satu orang beserta keluarganya walau jumlah mereka banyak.”

Asy Syaukani mengatakan,

“Yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” Beliau sebutkan hal ini dalam Nailul Author.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ berkata,

“Kolektif dalam pahala qurban tidaklah terbatas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk seluruh umatnya.

Ada juga seseorang (di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang berqurban dengan satu kambing untuk dirinya beserta keluarganya walau jumlahnya 100.”

Al Lajnah Ad Daimah ditanya,

“Ada keluarga terdiri dari 22 anggota. Mereka tinggal di satu rumah dan yang beri nafkah pun satu orang. Di hari Idul Adha yang penuh berkah, mereka berencana berqurban dengan satu qurban. Apakah seperti ini sah atau mesti dengan dua qurban?”

Jawaban para ulama yang duduk di Lajnah,

“Jika anggota keluarga banyak dan berada dalam satu rumah, maka boleh saja berqurban dengan satu qurban. Akan tetapi jika bisa berqurban lebih dari satu, itu lebih afdhol.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 11: 408)

Niatan Qurban untuk Mayit

Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj, “Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut.”

Yang masih dibolehkan adalah berqurban untuk mayit namun sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasarnya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia. (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 12-13)

Baca selanjutnya : 

Hukum Qurban Secara Kolektif

Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi [Sebagian ulama menyamakan kerbau dengan sapi], dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi. [Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/369, Maktabah At Taufiqiyah]

Ketentuan Qurban Kambing

Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.

كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” [HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142]

Asy Syaukani mengatakan,

“(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” [Nailul Author, Asy Syaukani, 8/125, Mawqi’ Al Islam]

Ketentuan Qurban Sapi  dan Unta

Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7orang)[Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa satu unta hanya dijadikan urunan tujuh orang untuk udh-hiyah karena diqiyaskan dengan unta pada al hadyu. 

Sedangkan Asy Syaukani mengatakan bahwa unta udh-hiyah boleh untuk sepuluh orang dan unta al hadyu untuk tujuh orang. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370)]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً

”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” [HR. Tirmidzi no. 905, Ibnu Majah no. 3131. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana dalam Misykatul Mashobih 1469 [17]]

Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.

Soal pertama dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790

Bolehkah seorang muslim berqurban unta atau sapi untuk tujuh orang, lalu masing-masing meniatkan untuk orang tua, anak, kerabat, pengajar dan kaum muslimin lainnya.  Apakah urunan tujuh orang tadi masing-masing diniatkan untuk satu orang saja (tanpa disertai lainnya) atau pahalanya boleh untuk yang lainnya?

Jawabannya adalah yang diajarkan, unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.

Berdasarkan fatwa yang di tandatangani oleh:

  • Anggota: ’Abdullah bin Qu’ud, ’Abdullah bin Ghodyan
  • Wakil ketua: ’Abdur Rozaq ’Afifi
  • Ketua: ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz [Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/405, Darul Ifta’]

Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?

Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.

Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.

Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055

Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, ”Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. 

Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan ”Sembelihlah unta”, itu keliru”. Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.

Jawabannya adalah boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. 

Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.

Yang menandatangai fatwa ini :

  • Anggota: ’Abdullah bin Qu’ud, ’Abdullah bin Ghodyan
  • Ketua: ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz [Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/403]

Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran :

1. Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.

2. Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.

3. Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.

4. Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.

Solusi untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan acara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah,

”Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” [Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/11011, Multaqo Ahlul Hadits] Qurban sama halnya dengan aqiqah.

Sufyan Ats Tsauri mengatakan,

”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”

Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah,

لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

”Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)” 

[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ibnu Katsir, 5/426, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H]

Catatan :

1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.

2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.

3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.

Bagaimana dengan Hadits ”Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?

Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ’Abdillah berikut,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».

”Aku bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ”Bismillah, wallahu akbar. 

Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban”.” [HR. Abu Daud no. 2810, At Tirmidzi no. 1521. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih] Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.

Sanggahan : Mengenai hadits ”qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.

Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan,

”Perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ini wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh  berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.”[Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3/113, Mawqi’ Al Islam] Oleh karena, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).

Kesimpulannya adalah :

1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.

3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.

Hukum Arisan Qurban dan Berutang untuk Qurban

Bolehkah berutang untuk qurban? Seperti yang dilakukan oleh orang saat ini dengan arisan qurban. Karena arisan sama saja dengan berutang.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al Hajj: 36).

Ibnu Katsir mengatakan mengenai maksud “kebaikan” dalam ayat tersebut, yaitu balasan pahala di negeri akhirat. Sedangkan, Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud kebaikan di situ adalah pahala dan kemanfaatan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 415 dan 416.

Jadi ayat tersebut menerangkan bahwa qurban itu akan memperoleh kebaikan yang banyak. Sehingga sebisa mungkin seorang muslim meraih kebaikan ini meski dengan cara berutang.

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”

Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah Tabarakallah wa Ta’ala,

لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 415).

Untuk masalah akikah, Imam Ahmad berkata,

إذا لم يكن مالكاً ما يعقّ فاستقرض أرجو أن يخلف اللّه عليه ؛ لأنّه أحيا سنّة رسول اللّه صلى الله عليه وسلم

“Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” 

(Matholib Ulin Nuha, 2: 489, dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278). Untuk kurban pun berlaku demikian, bisa dengan berutang.

Dalam Fatwa Islam Web no. 7198 disebutkan,

فمن كان غير واجد للمال الذي يكفي لشراء الأضحية فاشترى أضحيته بالدين المقسط، ‏أو المؤجل، لأجل معلوم، وضحى بها أجزأه ذلك، ولا حرج عليه ، بل إن من أهل العلم ‏من استحب لغير الواجد أن يقترض لشراء أضحيته، إذا علم من نفسه القدرة على الوفاء.‏

وليس من هذا الباب من كانت عنده سعة من المال، إلا أنه لا يجد الآن السيولة الكافية ‏لشراء الأضحية. فهذا مخاطب بالأضحية، لأنه واجد في الحقيقة، فعليه أن يقترض حتى ‏يضحي.‏ والله تعالى أعلم.‏

“Siapa yang tidak mendapati kecukupan harta untuk membeli hewan kurban, maka hendaklah ia membeli kurban dengan cara berutang (menyicil) atau dibayar pada waktu akan datang yang telah disepakati (dijanjikan). Jika seseorang berkurban dalam keadaan berutang seperti ini, kurbannya sah, tidak ada masalah baginya. Bahkan sebagian ulama ada yang menganjurkan bagi orang yang tidak mendapati harta saat berkurban supaya ia mencari pinjaman untuk membeli hewan kurban dengan catatan ia mampu untuk melunasi utangnya"

Hal ini tidaklah masuk dalam masalah orang yang tidak punya kelapangan rezeki. Namun saat ingin berkurban, ia tidak punya kecukupan harta untuk membeli hewan kurban padahal ia sudah terkena perintah berqurban. 

Karena kenyataannya ia termasuk oramg yang mampu. Maka saat itu hendaklah ia berutang untuk tetap bisa berkurban. Wallahu Ta’ala a’lam.”

Catatan untuk yang melaksanakan arisan kurban,

1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.

2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.

3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.

Ketentuan Umur Hewan Qurban

Ketentuan umur untuk hewan qurban tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Unta, umur minimal  5 tahun
  2. Sapi, umur minimal 2 tahun
  3. Kambing, umur minimal 1 tahun
  4. Domba Jadza’ah, umur minimal 6 bulan[Lihat Shahih Fiqih Sunnah, hal. 2/370-372]

Hewan Qurban yang Lebih Utama

Yang paling dianjurkan sebagai hewan qurban sebagai berikut :

  1. Yang paling gemuk dan sempurna. Bahkan jika berqurban dengan satu qurban yang gemuk itu lebi baik daripada dua hewan qurban yang kurus. Karena yang diinginkan adalah daging. Semakin banyak daging yang dimiliki hewan tersebut maka itu semakin baik.
  2. Hewan qurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing. Namun satu ekor kambing lebih baik daripada kolektif dalam sapi atau unta.
  3. Warna yang paling utama adalah putih polos, kemudian warna debu (abu-abu), kemudian warna hitam.
  4. Berkurban dengan hewan jantan lebih utama dari hewan betina.[Lihat Shahih Fiqih Sunnah, hal. 2/374-375]

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3 :

1. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 :

  1. Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
  2. Sakit dan tampak jelas sakitnya
  3. Pincang dan tampak jelas pincangnya. Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
  4. Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, 2I/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

2. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 :

  1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  2. Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)

3. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)

Waktu Penyembelihan Qurban

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari)

Sedangkan mengenai waktu akhir dari penyembelihan qurban, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah menjelaskan, “Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.” 

Sedangkan yang menyatakan bahwa waktu penyembelihan pada seluruh hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) dibangun di atas riwayat yang dho’if. (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 119)

Pembagian Sepertiga dari Hasil Qurban

Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. 

Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 5612, 11: 423-424)

Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah no. 1997, 11: 424-425)

Tuntunan Penyembelihan Qurban

1. Syarat hewan qurban, Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati).

2. Syarat orang yang akan menyembelih: 

  1. berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz, 
  2. yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani)
  3. menyebut nama Allah ketika menyembelih.

Perhatian: Sembelihan ahlul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah Tabarakallah wa Ta'ala. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah Tabarakallah wa Ta'ala ketik menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal.

3. Syarat alat untuk menyembelih: 

  1. menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong
  2. tidak menggunakan tulang dan kuku.

4. Adab dalam penyembelihan hewan: 

  1. berbuat baik terhadap hewan, 
  2. membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih, 
  3. meletakkan kaki di sisi leher hewan, 
  4. menghadapkan hewan ke arah kiblat
  5. mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir.

Apa do’a yang dibaca ketika menyembelih qurban?

Terdapat hadits dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah,

أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ, يَطَأُ فِي سَوَادٍ, وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ, وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ; لِيُضَحِّيَ بِهِ, فَقَالَ: “اِشْحَذِي اَلْمُدْيَةَ” , ثُمَّ أَخَذَهَا, فَأَضْجَعَهُ, ثُمَّ ذَبَحَهُ, وَقَالَ: “بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ” –

Nabi pernah memerintahkan agar diambilkan gibas (domba jantan) bertanduk, kuku dan perutnya hitam dan sekeliling matanya hitam. Lalu gibas tersebut dibawa ke hadapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan kurban. Beliau pun bersabda, “

Asahlah dengan batu pengasah.” Kemudian ‘Aisyah mengasahnya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaringkan hewan tersebut lalu menyembelihnya. Saat menyembelih, beliau mengucapkan, “Bismillah, Allahumma taqobbal min Muhammad wa aali Muhammad, wa min ummati Muhammad (Artinya: dengan menyebut nama Allah, Ya Allah terimalah kurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad).” (HR. Muslim no. 1967)

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1. Disunnahkan membaca do’a agar diterimanya qurban dengan bacaan “Allahumma taqobbal minni” (Ya Allah, terimalah kurban dariku). Ini diucapkan setelah sebelumnya mengucapkan “bismillah” sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits yang telah lewat. 

Do’a ini dibaca jika menyembelih atas nama diri sendiri. Sedangkan jika menjadi wakil orang lain, maka yang diucapkan adalah “Allahumma taqobbal min ….” (disebutkan nama shohibul qurban atau pemilik kurban). Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bisa pula menggunakan bacaan yang disebut dalam ayat,

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah: 127).

Bacaan Saat Menyembelih Qurban.

بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَ إِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنْ …..

Bismillah Wallahu Akbar, Allahumma minka wa ilaika, Fataqabbal min … (sebut nama shahibul qurban)

[artinya: Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar, Ya Allah, qurban ini dari-Mu dan untuk-Mu, terimalah qurban …] (Sumber: Kifayah Al-Akhyar)

2. Dalam hadits bisa diambil pelajaran bahwa seseorang boleh saja berqurban atas nama dirinya dan keluarganya dengan satu kurban. Mereka semua akan berserikat dalam pahala.

Catatan :

Hewan tahu, merasakan dan takut kepada orang hendak menyembelihnya maka jagalah perasaan hewan.

Sembunyikan pisau anda dari penglihatannya. Dan jangan menyembelih saudaranya di hadapannya.. Karena demikianlah Islam mengajarkan kepada kita..

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

"Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih." (HR. Muslim. Hadis Syadad bin Aus).

Apakah daging qurban boleh dijual? 

Ketika Imam Ahmad di tanya tentang orang yang menjual daging qurban, ia terperanjat, seraya berkata, “Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah Tabarakallah wa Ta'ala”.

Secara logika suatu barang yang telah anda berikan kepada orang lain bagaimana mungkin anda menjualnya lagi.

Imam Syafi’i juga berkata,

Jika ada yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan? Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu dipersembahkan untukNya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging, kulit, kikil, gajih, kepala dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya berdasarkan dalil, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.” (HR. Hakim dan Baihaqi, shahih)

Hadits di atas sangat tegas melarang untuk menjual qurban sekalipun kulitnya karena berakibat kepada tidak diterimanya qurban dari pemilik hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Janganlah kalian jual daging hewan hadyu (hewan yang dibawa oleh orang yang haji ke Mekkah untuk disembelih di tanah haram), juga jangan dijual daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta pergunakan kulitnya.” (HR. Ahmad, mursal shahih sanad). 

Hadits ini juga tegas melarang menjual daging hewan qurban.

Ali bin Abi Thalib berkata,

“Nabi memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah pemotongan”. (HR. Bukhari).

Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang lain.

Begitu juga orang yang bekerja sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila menginginkah upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi  wa sallam.

Barakallahu fiikum.

Semoga bermanfaat.

Sumber : https://www.facebook.com/

Komentar

Kajian Populer

Seputar amalan bid'ah yang di mabukkan oleh Ust. Abdul Somad

Kedustaan Terhadap Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Rahimahullah

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"