Siapakah yang Harus Didahulukan oleh Suami Antara Ibu dengan Istri

Siapakah yang Harus Didahulukan oleh Suami Antara Ibu dengan Istri 

Seorang anak memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orangtua, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda: 

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ 

“Aku bertanya kepada Nabi; “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,”Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi: ”Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘Alaih). 

Allah SWT juga memerintahkan seorang anak berbuat baik kepada kedua orangtua dalam firman Allah QS. Al-Isra: 23 yang berbunyi: 

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ 

”Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.”(QS. Al-Isra:23). 

Setiap anak wajib hormat dan patuh kepada kedua orangtua, karena hal tersebut adalah kewajiban anak terhadap orang tua yang merupakan hak orang tua dari anak. Pemeliharaan anak terhadap orang tua sangat dianjurkan, terlebih pada saat orang tua lanjut usia. Anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tua yang dalam keadaan tidak mampu. Kewajiban ini muncul apabila Sang Anak telah dewasa yang telah mampu untuk membantu orang tuanya serta keadaan orang tua yang memang memerlukan bantuan. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 46 yang menyebutkan bahwa “Jika anak telah dewasa, Ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya”. 

Namun, sekarang ini banyak kasus gugatan perceraian dengan alasan Sang Suami lebih mendahulukan orang tuanya daripada istrinya sendiri. Oleh karena itu, munculah pertanyaan “Ketika anak laki-laki telah menikah, mana yang harus lebih didahulukan antara Ibu dan Istri?”. 

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 46, maka setiap anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan mentaati segala perintah dan larangan yang diberikan oleh mereka serta memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas sesuai kadar kemampuannya jika memerlukan bantuannya. Hal tersebut juga dikuatkan oleh penafsiran Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy dalam tafsir An-Nur terhadap surah An-Nisa ayat 36, beliau menafsirkan “Berlakulah ihsan (baik) kepada kedua orang tuamu. Penuhi segala hak-haknya, berbaktilah kepada mereka sebagaimana mestinya. Merekalah yang menyebabkan kamu hadir di dunia, dan merekalah yang mendidik dan membesarkanmu dalam segala kesungguhan dan keikhlasannya, meskipun tidak jarang harus menghadapi halangan dan beban berat”. 

Selain merujuk pada UU Perkawinan, kewajiban anak yang telah dewasa untuk memelihara orang tuanya juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pada Pasal 9 Ayat 1, yang menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Ditinjau dari UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Sang Anak dapat dipidana jika melalaikan kewajibannya dalam memelihara orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangganya. Lingkup rumah tangga ini meliputi: 

  1. Suami, istri, dan anak; 
  2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persususan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga. 
  3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga. 

Dari urutan tersebut sudah jelas siapa yang harus didahulukan oleh seorang laki-laki yang telah menikah. Ia harus mendahulukan istri dan anaknya yang sudah pasti bahwa mereka tergolong dalam lingkup rumah tangga. Kewajiban seorang anak terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga adalah ketika mereka ikut menetap atau bertempat tinggal di rumah yang sama dengan Sang Anak. Maka, ketika Ia lebih mendahulukan orang yang mempunyai hubungan keluarga akan tetapi tidak menetap di satu rumah sehingga bisa dikatakan tidak tergolong dalam lingkup rumah tangga dan menelantarkan istri serta anak yang sudah jelas bahwa mereka tergolong dalam lingkup rumah tangga, Ia bisa dipidana karena melalaikan kewajibannya. 

Urutan kewajiban seorang laki-laki yang telah menikah terutama dalam hal memberi nafkah juga telah disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasa’i, Beliau bersabda: 

قَال: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَىْءٌ فَلِأَهْلِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَىْءٌ، فَلِذِي قَرَابَتِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَىْءٌ، فَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَقُولُ: فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ (رواه مسلم وأبو داود والنسائي، وهذا لفظ مسلم) 

“Lalu Rasulullah saw bersabda: “Mulailah dengan dirimu sendiri, nafkahkan untuknya, lalu jika ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk istrimu. Jika dari nafkah istrimu ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk kerabatmu. Jika dari nafkah kerabatmu ada lebihan sesuatu, maka nafkahkan untuk ini dan itu.” Perawi hadits berkata: “Maka nafkahkan kepada orang di depanmu dan di kanan kirimu”.” (HR Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa‘i. Ini adalah redaksi Imam Muslim). 

Dari hadis tersebut dipahami bahwa urutan orang yang dinafkahi adalah sebagai berikut: 

  1. Diri sendiri; 
  2. Istri; 
  3. Kerabat yang mencakup orang tua dan anak. 

Karenanya, menurut urutan di atas, nafkah istri lebih didahulukan daripada nafkah ibu yang termasuk golongan kerabat. Selain itu, dalam fiqih, nafkah ibu masuk dalam kategori nafkah kerabat yang merupakan muwasah atau kepedulian, sedangkan nafkah istri merupakan mu’awadhah atau imbalan (atas ketaatannya terhadap suami), sehingga nafkah yang merupakan imbalan lebih didahulukan daripada nafkah yang bersifat kepedulian. 

Simak video berikut ;

1. Kewajiban nafkah dulukan isteri :


2. Untuk berbakti (pelayanan) dulukan orang tua :

Mungkin hal tersebut cukup aneh, akan tetapi kalau dipahami lebih lanjut, nafkah istri itu identik dengan transaksi antarmanusia, sementara nafkah ibu identik dengan kepedulian yang merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan. Karenanya, wajar apabila nafkah istri lebih didahulukan daripada nafkah ibu, sebagaimana pelunasan hutang yang juga harus didahulukan daripada nafkah ibu. Namun, bukan berarti orang tua bisa dilupakan begitu saja setelah Sang Anak menikah. Ia tetap wajib untuk berbuat baik kepada kedua orang tua hanya saja sebaiknya Ia memprioritaskan Sang Istri dengan tidak melupakan kedua orang tuanya terlebih ibunya. 

KAPAN NAFKAH ORANG TUA HARUS DIDAHULUKAN DARIPADA NAFKAH ANAK? 

Semua yang wajib ditanggung, hukum asalnya harus dinafkahi semuanya sebanyak apapun selama hartanya mencukupi. 

Tetapi, jika harta hanya mencukupi untuk nafkah satu pos saja, berarti harus memakai skala prioritas. Aturan umumnya adalah sebagai berikut. 

Nafkah diri harus diutamakan. Setelah itu nafkah istri. Setelah itu nafkah anak yang masih kecil. Setelah itu nafkah ibu. Setelah itu nafkah ayah. Setelah itu nafkah anak yang sudah besar. Setelah itu baru prioritas terakhir, yakni nafkah kakek terus ke atas selama masih ada. 

Tapi terkadang setelah nafkah istri terpenuhi terjadi situasi dilematis, yakni orang tua sama-sama butuhnya dengan nafkah anak yang masih kecil sementara nafkah yang ada hanya tersedia untuk satu pos. 

Misalnya anak yang masih kecil butuh nafkah, sementara orang tua yang lumpuh juga butuh nafkah. Dalam kondisi seperti ini hak keduanya sama yakni dinafkahi dua-duanya tanpa bisa dipilih. Dengan kata lain, dalam situasi seperti ini tidak bisa dipakai skala prioritas dengan standar yang telah dijelaskan sebelumnya. Menjadi pertanyaan sekarang, “Apakah mungkin orang harus memperioritaskan nafkah orang tua daripada anak?” 

Jawabannya adalah mungkin. Yakni pada saat orang tua sangat butuh (fī syiddati al-īhtiyāj) sementara anak yang kecil meskipun kelaparan, akan tetapi tidak sampai membinasakan atau membahayakan kesehatannya. Dalam kondisi seperti ini maka nafkah orang tua harus diutamakan. 

Contohnya adalah orang tua yang sudah tua renta sampai level pikun atau mendekatinya dan sudah tidak kuat apa-apa lagi. Kondisi orang tua tinggal serumah bersama anak-anak misalnya. Orang tua dalam situasi kelaparan dan jika tidak diberi makanan, itu bisa berpotensi membinasakannya atau membuatnya sakit. Sementara pada saat yang sama anak juga kelaparan sampai menangis, akan tetapi jika dibiarkan lapar untuk sementara maka tubuhnya tetap sehat. Dalam kondisi ini, makanan harus diberikan kepada orang tua dan untuk sementara menunda makan untuk anak di hari itu. Al-Syirbīnī berkata, 

«لَوْ كَانَ الْأَبْعَدُ زَمِنًا قُدِّمَ عَلَى الْأَقْرَبِ لِشِدَّةِ احْتِيَاجِهِ» مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج» (5/ 190: 

“Jika kerabat yang lebih jauh (yang wajib dinafkahi) itu cacat, maka dia didahulukan daripada kerabat yang dekat (yang wajib dinafkahi) karena kebutuhannya yang sangat.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 5 hlm 190) 

Keputusan seperti inilah yang diceritakan Rasulullah ﷺ dalam hadis 3 orang yang terjebak ke dalam gua. Salah satu di antara mereka memiliki amalan mendahulukan makanan orang tua daripada makanan anak-anaknya meskipun kondisi anaknya saat itu menangis karena lapar. Lelaki itu mendahulukan orang tuanya yang sudah tua renta karena mengharap Allah rida dari amal birrul walidain-nya dengan skala prioritas seperti itu. Ternyata Allah rida sehingga mengabulkan doanya. Rasulullah ﷺ juga menceritakannya dalam koteks memuji. Hal ini menunjukkan, memprioritaskan orang tua yang sangat butuh daripada kebutuhan anak kecil (yang bisa ditunda) adalah keputusan yang benar dan diridai Allah. Al-Bukhārī meriwayatkan, 

«قَالَ أَحَدُهُمْ: ‌اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ، وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ، كُنْتُ أَرْعَى عَلَيْهِمْ، فَإِذَا رُحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ، فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ أَسْقِيهِمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَإِنِّي اسْتَأْخَرْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ، فَوَجَدْتُهُمَا نَامَا، فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ، فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا، وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ حَتَّى طَلَعَ الفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ لَنَا فَرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ، فَفَرَجَ اللَّهُ، فَرَأَوُا السَّمَاءَ» صحيح البخاري» (3/ 105 

“Salah seorang di antara mereka berdoa: “Ya Allah, aku memiliki kedua orang tua yang sudah renta dan aku juga mempunyai anak-anak yang masih kecil. Aku menggembalakan kambing untuk menafkahi mereka. Apabila aku sudah selesai aku memerah susu dan aku mulai memberikan susu tersebut untuk kedua orang tua, aku mendahuluinya untuk kedua orang tuaku sebelum anakku. Pada suatu hari aku terlambat pulang hingga malam dan aku dapati kedanya sudah tertidur. Maka aku mencoba menawarkan susu kepada keduanya, aku hampiri di dekat keduanya dan aku khawatir dapat membangunkannya dan aku juga tidak mau memberikan susu ini untuk anak kecilku padahal dia sedang menangis di bawah kakiku meminta minum hingga terbit fajar. Ya Allah seandainya Engkau mengetahui apa yang aku kerjakan itu semata mencari rida-Mu, maka bukakanlah celah batu ini sehingga dari nya kami dapat melihat langit.’ Maka Allah membukakan batu itu hingga mereka sedikit dapat melihat langit.” (H.R.al-Bukhārī) 

Saat menerangkan hadis ini Ibnu ḥajar al-‘Asqalānī berkata, 

لَعَلَّهُمْ كَانُوا يَطْلُبُونَ زِيَادَةً عَلَى سَدِّ الرَّمَقِ وَهَذَا أَوْلَى» فتح الباري لابن حجر» (6/ 510: 

“Barangkali anak-anak itu (menangis karena) meminta tambahan (makanan yang) melebihi kadar yang diperlukan untuk menjaga nyawa (saja). Penafsiran ini lebih utama.” (Fatḥu al-Bārī, juz 6 hlm 510)

Artikel Terkait : 

Sumber :

Komentar

Kajian Populer

Seputar amalan bid'ah yang di mabukkan oleh Ust. Abdul Somad

Kedustaan Terhadap Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Rahimahullah

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"