Fanatik pada Madzhab Tertentu

Fanatik pada Madzhab Tertentu 

Di antara sifat yang tercela lainnya yang ini juga masuk dalam karakter orang Jahiliyyah yaitu fanatik pada madzhab tertentu. Asalnya, tidak mengapa kita mengambil pendapat madzhab. Namun saat pendapat madzhab bertentangan dengan dalil, maka tentu perkataan Allah dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih didahulukan. 

Allah menceritakan tentang keadaan orang-orang Yahudi, 

وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَن تَبِعَ دِينَكُمْ 

“Dan jangan kamu percaya melainkan pada orang yang mengikuti agamamu.” (QS Ali Imran: 73) 

Dalam ayat lainnya disebutkan, 

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنبِيَاءَ اللَّهِ مِن قَبْلُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 

“Ketika mereka diperintah, berimanlah kepada apa yang diturunkan oleh Allah. Mereka berkata, kami beriman dengan apa yang diturunkan pada kami.” (QS. Al Baqarah: 91) 

Yaitu maksud ayat tersebut adalah mereka hanya mau beriman pada nabi mereka saja. Padahal wajib mereka beriman pada wahyu yang Allah turunkan pada nabi mereka, begitu pula wajib beriman pada wahyu yang diturunkan pada nabi yang lain. Akan tetapi, hakekatnya mereka tidak beriman pada Nabi mereka sendiri, bahkan orang Yahudi membunuh para nabinya. Tentu saja perbuatan itu bukanlah wahyu. 

Syaikh Sholeh Al Fauzan -guru penulis- berkata, 

“Sama seperti di atas yang termasuk tercela adalah mengikuti pendapat suatu madzhab tanpa dalil. Wajib bagi setiap muslim secara umum untuk mengikuti kebenaran. Baik kebenaran tersebut terdapat dalam madzhab kita atau terdapat dalam madzhab lainnya. Pendapat madzhab tentu saja tidak diterima semuanya karena ada yang benar dan ada yang keliru. Yang benar tentu saja diambil sedangkan pendapat yang keliru ditinggalkan. Jika kita bermadzhab Hambali lalu melihat pendapat yang benar pada madzhab lainnya, yaitu pada madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i, maka ambillah pendapat yang benar tersebut walau menyelisihi pendapat dalam madzhab kita. Karena tentu saja tujuan kita adalah mencari kebenaran. Jadi, ajaran yang di atas dalil itulah yang diikuti, itu wajib. Demikian sikap kita jika kita memiliki ilmu. Adapun jika kita bukan orang yang berilmu, maka orang awam semacam ini hendaklah bertanya pada orang yang berilmu yang kredibel. Hasil fatwa dari orang berilmu hendaklah diambil. Ini adalah cara yang benar. Adapun bersikap fanatik pada madzhab tertentu, baik dalam kebenaran maupun kebatilan, maka itu termasuk perkara Jahiliyyah sebagaimana yang Allah terangkan tentang orang Yahudi di atas.” (Syarh Masail Jahiliyyah, hal. 128). 

Hukum Fanatik Terhadap Madzhab atau Ormas 

Ada dua kata yang perlu diterangkan artinya, yaitu kata ‘fanatik’ dan kata ‘madzhab’. Pada kamus umum bahasa Indonesia susunan Poerwodarminto terbitan Balai Pustaka tahun 1976 halaman 280, diterangkan bahwa arti fanatik ialah teramat sangat kuat kepercayaan (keyakinan) seseorang terhadap suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya. Keyakian atau kepercayaan yang sangat kuat itu biasanya menimbulkan kepicikan dalam berpikir, sehingga kurang atau bahkan kadang-kadang tidak lagi menggunakan akal dan budi dalam mengikuti suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya. Biasanya kefanatikan itu menimbulkan pengkultusan terhadap sesuatu benda, tempat, kelompok, golongan, keturunan, atau terhadap seseorang tertentu, seakan-akan yang dikultuskan itu adalah keramat, sakti, dan melebihi manusia biasa.

Al-Qur’an dan as-Sunnah memerintahkan kaum muslimin agar selalu menggunakan akal dalam memahami segala sesuatu yang ada, termasuk dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah beserta seluruh ciptaan Allah swt. Allah swt berfirman: 

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيََاتٍ لِأُولِي اْلأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. [آل عمران (3): 190-191] 

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.” [QS. Ali Imran (3): 190-191] 

Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita agar menggunakan akal dan pikiran. Orang yang suka menggunakan akal dalam memikirkan sesuatu adalah orang yang suka tafakkur. Tafakkur menghasilkan ilmu dan kecerdasan, sedang fanatik menghasilkan kebodohan. Hal ini dipahami dari hadis : 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا. [متفق عليه] 

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya, tetapi ilmu itu tercabut dengan matinya para ulama. Sehingga apabila tidak ada orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh, maka apabila ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan’.” [Muttafaq ‘alaih] 

Kedua ialah kata ‘madzhab’. Kata ‘madzhab’ berasal dari kata dzahaba, yadzhibu, dzahaban, dzuhuban dan madzhaban, yang berarti pergi berjalan, berlalu, bahkan kadang-kadang berarti mati, sesuai dengan konteks dan pemakaiannya dalam suatu kalimat. Kemudian para ahli fiqih menjadikan kata ‘madzhab’ sebagai kata istilah yang berarti pendapat seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diikuti oleh orang banyak atau suatu kelompok orang, karena mereka percaya kepada kebenaran pendapat itu. Dalam perjalanan sejarah ada kelompok orang yang tetap berpegang kepada arti ‘madzhab’ yang sebenarnya, yaitu mengikuti pendapat mujtahid yang dipercayainya itu, selama belum ada dalil yang lebih kuat yang dapat merubah pendapat itu, jika ada dalil yang lebih kuat maka meninggalkan pendapat itu dan ada pula kelompok orang yang tidak lagi mengikuti pendapat tersebut keseluruhannya, tetapi mereka tetap menamakan kelompok mereka dan membangsakan diri kepada imam ‘madzhab’ tersebut. 

Pada masa Rasulullah saw, masa Khulafaurrasyidin, masa tabi’in, masa tabi’it-tabi’in, masa atba’ut-tabi’it-tabi’in, masa imam-imam mujtahid belum dikenal kata ‘madzhab’ yang diartikan seperti arti yang sekarang. Kata ‘madzhab’ dikenal dengan arti yang sekarang mulai pada abad keempat Hijriyah (Munawar Khalil, 1956). Pada waktu itu pemerintah Bani Abbas dalam keadaan lemah, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaannya, seperti pemerintahan bani Saman di Turkistan, pemerintahan Bani Fathimiy di Afrika Utara, pemerintahan Buwaihi yang menguasai daerah Irak dan sebagainya. Pemerintahan Bani Abbas yang lemah ini mendapat serangan dari bangsa Tartar yang dipimpin Hulagu Khan, maka jatuhlah Kota Baghdad ke tangan mereka (656 H), dan Khalifah al-Mu’tashim dibunuh. 

Maka timbullah kemunduran di dunia Islam dalam segala bidang. Di kalangan para ulama timbul pendapat bahwa mulai dari generasi mereka sampai akhir zaman nanti tidak akan muncul lagi para mujtahid sebagaimana para mujtahid yang hidup pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, seperti Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Asy-Syafi’i (150-204 H), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan lain-lain. Karena itu mereka berpendapat cukup mengikuti pendapat para imam mujtahid itu yang telah dibukukan oleh murid-murid mereka. Sejak itu para murid dan pengikut seorang imam mujtahid membanggakan dan mengagungkan imam-imam mereka masing-masing, seakan-akan imam mereka lebih dari imam yang lain. Pengikut-pengikut dan murid-murid imam mujtahid itulah yang mendirikan ‘madzhab’ sekalipun dalam pikiran imam mujtahid yang diagungkan mereka itu semasa hidupnya tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan dijadikan imam suatu ‘madzhab’ (Muhammad Abu Zahrah, 1956).

Bila dilihat sejarah kehidupan para imam mujtahid itu dan murid-muridnya, mereka hanya beda pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun mereka saling menghormati pendapat-pendapat itu. Begitu pula dalam kehidupan, mereka saling tolong-menolong. Abu Hanifah, Ja’far ash-Shadiq, Malik bin Anas berteman, bergaul bersama dan saling berdiskusi pada Madrasah Ahlul Bait di Madinah. Asy-Syafi’i, seorang pemuda yang cerdas di Mekah, tetapi miskin, oleh walikota Mekah dititipkan pada Malik bin Anas di Madinah. Maka asy-Syafi’i tinggal dan belajar di rumah Malik bin Anas selama 9 tahun. Asy-Syafi’i pernah diselamatkan dari hukuman pancung oleh Abu Yusuf (murid Abu Hanifah dan ketua Mahkamah Agung Khalifah Bani Abbas waktu itu). Kemudian asy-Syafi’i tinggal di rumah Abu Yusuf dan berguru kepadanya. Setelah Abu Yusuf meninggal dunia beliau berguru kepada Muhammad Hasan asy-Syaibani, murid Abu Hanifah dan teman Abu Yusuf. Pada perguruan Muhammad bin Hasan inilah asy-Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal, dan terjalinlah hubungan yang erat antara keduanya. Ahmad bin Hanbal memperkirakan bahwa tidak lama lagi Makmun akan diangkat memjadi khalifah. Sebagai seorang mu’tazilah, ia akan menangkap lawan-lawan politiknya termasuk golongan ahlu sunnah. Karena itu Ahmad bin Hanbal menganjurkan kepada asy-Syafi’i agar segera meninggalkan Kufah, dan sebaiknya pergi ke Mesir. Anjuran ini diterima oleh asy-Syafi’i dan beliau pergi ke Mesir dan tinggal di rumah teman Ahmad bin Hanbal. Asy-Syafi’i memberi gelar Abu Hanifah dengan “‘Iyaalu ahlil-fiqh” (cikal bakal ahli fiqh), sebagai tanda betapa tingginya penghargaan asy-Syafi’i kepada Abu Hanifah. Dikatakan bahwa pendapat asy-Syafi’i merupakan sintesa dari pendapat Abu Hanifah dan pendapat Malik.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fanatik kepada suatu madzhab itu tidak diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kyai itu tidak menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah. Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau kyai itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah kita wajib meninggalkannya.

---oOo---

Akibat dari fanatik mazhab dan taqlid buta, Idrus Ramli Kiyai Aswaja-NU memakruhkan shalat di belakang Imam Masjidil Haram yang bermazhab Hanbali (Baca Dalil mereka, klik disini)

Sumber video : https://youtu.be/

Baca juga artikel terkait ;
Hanya Allah yang memberi taufik.  

Komentar

Kajian Populer

Seputar amalan bid'ah yang di mabukkan oleh Ust. Abdul Somad

Kedustaan Terhadap Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Rahimahullah

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"